Senin, 28 Juni 2010

Serial Manajemen Birahi 3

Prolog:

Di tengah-tengah kesibukan Musyawarah Nasional Asosiasi Manajemen Indonesia VII (MUNAS AMA VII) di Malang dan Batu, tanggal 4 sampai 6 juni 2010, saat sedang jedah di suatu Villa di kota apel Batu, beberapa Pengurus Cabang dari Surabaya, Malang, dan Jakarta sempat diskusi dan saling berbagi pengalaman. Aku masih ingat, ketika itu dari tuan rumah Malang, ada Ibu Irene, Ibu Cenny Tan, Ibu Dewi, dari Surabaya ada saya sendiri, Bpk Chris Susanto, Bpk Tiantoro, Bpk Samsu Hadi, dari Jakarta ada Bpk Hendry dan P. Jimmy. Dari Pengurus Pusat yang ketika itu sudah demisioner ada Bpk Ketika mendengar masukan saya, mereka sangat tertarik. Malah P. Hendri sebagai penerbit mengatakan bahwa cerita saya itu dapat dibukukan, karena P. Hendry mencium bau bisnis. Apalagi judulnya sangat menjual, yaitu “Serial Manajemen Birahi” (Serial Pengelolaan Birahi secara sehat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal dan moral).

Meskipun judulnya “serem” namun justru unsur pengelolaannya atau manajemen-nya yang ditonjolkan, mengingat banyaknya penyalahgunaan Birahi tidak pada tempatnya dan tidak berdasar pada akal dan moral.

Ketika itu Pak Hendry dari Jakarta siap menerbitkan, sementara Ibu Dewi dari Malang atau tepatnya Gramedia Malang mempertimbangkan akan menjadi motornya. Nah, untuk pengenalan pertama serial tersebut, maka berikut ini saya “launching” sebagian kecil dari tulisan dimaksud. Namun maaf tulisan ini masih belum benar-benar tersunting secara baik dan benar, karena masih bahan mentah. Ini hanya test pasar saja. Laku apa tidak?! He.he.he…!


Terima kasih.

ooOoo

Serial Manajemen Birahi 3:

(Serial Pengelolaan Birahi secara sehat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal dan moral)

Luna yang tidak Maya

Oleh: Ratmaya Urip

Kota Buntok, sepenggal wilayah di jantung Provinsi Kalimantan Tengah, menurut sebagian besar penghuninya adalah akronim dari “BUNtu dan menTOK”, karena secara geografis memang demikian adanya, jauh dari sana sini, namun ternyata menyimpan potensi. Aku lebih suka menjadikan kota Buntok sebagai akronim dari “keBUN TOK” yang artinya kebun semuanya, atau seluruhnya berupa kebun. Perpanjangan akronim “Buntok” menjadi “keBUN TOK”, menurutku lebih membangun dan optimistik daripada BUNtu dan menTOK. Karena ternyata isinya memang dipenuhi dengan kebun karet rakyat, suatu komoditas perkebunan yang saat ini sedang menjadi primadona ekspor sekaligus sumber penghasilan rakyat yang menggiurkan, karena harga karet dunia yang sedang melambung tinggi. Di tingkat petani harganya sampai sebelas ribu per kilogram, sementara harga ekspor konon sampai 3,2 sampai dengan 3,3 US Dollar per kilogram. (Catatan: tentang harga ekspor ini dikutip dari KB Antara, yang di-released pagi ini bersamaan dengan saat tulisan ini sedang dalam proses penyuntingan, Jum’at, 18 juni 2010 jam 17:54 WIB). Ini karena dipicu oleh naiknya harga karet sintetis di pasar internasional, yang seperti diketahui sebagai akibat dari tingginya harga bahan bakunya yaitu minyak bumi, yang naik sampai 70%. Tentu saja para stakeholders komoditas karet sekarang beralih ke karet natural atau karet alam. Padahal 2 tahun yang lalu ketika krisis ekonomi, harga karet alam sempat jatuh sampai “hanya” Rp 2.500,- per kilogram di tingkat petani, yang di sekitar kota Buntok banyak diusahakan oleh teman-teman kita dari suku Dayak Manyaan, Dayak Bakumpai dan Dayak Dusun, khususnya di sekitar Kecamatan Gunung Bintang Awai, Kecamatan Dusun Utara, dan Kecamatan Dusun Selatan.

Perjalananku ke Buntok, Kalimantan Tengah, yang juga ibu kota Kabupaten Barito Selatan kali ini adalah untuk yang kedua kalinya, menyusul sekaligus melengkapi perjalananku beberapa pekan sebelumnya, Rasanya pemeo kuno yang selama ini berkibar di seluruh bumi Borneo kembali menemukan buktinya. Pemeo kuno yang selalu hadir dalam perjalanan hidupku. Ya pemeo yang berujar: “Sekali minum airnya pasti kan kembali ke tepiannya” kali ini kembali sangat manjur menjeratku. Selama hidupku, jika aku ke bumi Kalimantan, aku pasti tidak pernah hanya sekali mengunjunginya. Aku pasti selalu kembali dan kembali ke tempat yang sama, minimal kembali satu kali. Apakah itu di tepian Sungai Mahakam di Kalimantan Timur membaur dengan masyarakat suku Dayak Kenyah, Dayak Benuaq, dan Dayak Putuq, di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, dengan suku Dayak Iban, tepian Sungai Barito, di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, dengan Suku Banjar, Bugis dan Madura, tepian Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah, dengan Dayak Maanyan, Dayak Bakumpai, Dayak Dusun, dan Dayak Kapuas.

Yang membedakanku kali ini dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya adalah kali ini aku menemukan pengalaman yang sangat berharga…yang benar-benar exciting, interesting, and fascinating. Sebagai manusia yang dilahirkan dan dibesarkan di luar Pulau Borneo, tentu saja aku wajib bersyukur dan berbahagia, karena untuk pertama kalinya aku dapat melihat atau lebih tepatnya menemukan tanaman khusus yang selama ini telah menjadi simbol atau bahkan mitos tentang keperkasaan lelaki, yang konon sering disebut sebagai biang untuk pencapaian kejantanan prima seorang pria sekaligus kebahagiaan wanita (He.he.he…mohon dicatat, itu “konon” ya?! Kebenarannya silakan dicoba! Karena ada yang mengatakan bahwa tanaman itu, karena sangat natural, jika diminum akan lebih baik hasilnya, atau lebih berefek depan daripada berefek samping, dibandingkan jika “hanya” minum Viagra, Cialis, Tripoten, Bluemoon, Pasangma, maupun EverJoy). Tanaman itu benar-benar dengan kelima inderaku aku temukan di sela-sela lebatnya dan pengapnya belantara di jantung Borneo. Kalau menemukan tanaman itu dalam keadaan sudah diolah dan langsung dapat dikonsumsi, dan dapat diperoleh dari oleh-oleh kerabat, atau dibeli di pasar-pasar, atau di apotik, atau di beberapa counter Bandara Sepinggan, Syamsudin Noor, Supadio, Tjilik Riwut, dan Sanggu, sudah sering aku mendapatkannya. Namun kali ini aku menemukan di tengah-tengah lebatnya hutan, di sela-sela hutan sekunder dengan vegetasi tinggi yang terdiri dari berbagai jenis vegetasi hutan seperti Meranti Merah (Shorea leprosula), Keruing (Dipterocarpus tempehes), Geronggang (Cratoxylon sp), Pelawan (Tristania maiganyi), Bangkirai (Shorea leavifolia), Senduduk (Acrositicum specolsum), Cengal (Hopea sangal), Pitaruk (Eugenia Sp), Jabon (Authocephalus cadamba), Alabon (Vitex Pubesceus), dan Rasak (Hidnocarpus), dan juga di antara buah-buahan hutan seperti cempedak (Artocarpus integer merr), nangka (Artocarpus integra), rambutan (Nephelium lappaceum), dan durian (Durio zibhetinus).

Ya, tanaman yang masih dalam bentuk aslinya, atau masih tertanam di atas tanah di tengah hutan itu adalah “Pasak Bumi”. Belum lagi penemuanku secara alami atas apa yang disebut “Sarang Semut”, dalam tiga bentuk, yaitu yang menggantung di pepohonan seperti benalu, yang tertanam di atas tanah, dan yang berujud seperti tanah. Yang di sebut terakhir ini bahkan di samping mempunyai khasiat lebih manjur dari Pasak Bumi, juga konon mempunyai keunggulan lain, yaitu dapat mengobati penyakit kanker, tekanan darah tinggi, dan lain-lain. Tentang kebenarannya, tentu saja aku belum tahu, karena aku belum pernah mencobanya, baru menemukannya dalam hutan secara alami. Namun jika para pembaca berburu kedua materi tersebut, baik “Pasak Bumi” maupun “Sarang Semut” di GOOGLE, pasti akan lebih banyak tahu.

(Bersambung)

Catatan: Maaf Luna-nya, belum Maya, apalagi Kasat Mata. Tapi faktanya, sesuatu yang seharusnya Maya yaitu kehidupan intim pribadi ternyata harus Kasat Mata seperti halnya Luna (baca Lunar : Bulan) yang ketika tulisan ini diunggah masih beujud sabit di ufuk barat.

Tunggu di serial berikutnya.

Buntok-Kalteng, Jum’at, 18 Juni 2010 jam 22:35 WIB


Selebriti atau Selebritas?


Selebriti atau Selebritas ?

Oleh : Ratmaya Urip*)

“Selebriti”, kosakata ini sekarang banyak sekali dipakai sebagai kosakata tulis maupun kosakata tutur dalam berbagai kesempatan. Hampir seluruh media menulisnya seolah sebagai kosakata baku Bahasa Indonesia. Contoh yang paling nyata, ada media elektronik yang memberi nama program acaranya dengan judul “Investigasi Selebriti (Insert),” dan juga “Selebrita-Selebriti”.

Maaf, saya sangat awam dalam berbahasa Indonesia, jauh dari predikat ahli Bahasa Indonesia, dan tidak bermaksud untuk memosisikan diri menjadi pakar Bahasa Indonesia, namun kosakata “selebriti” yang sekarang sudah menjamur (dan mungkin juga akan mengakar) yang telah dipakai sebagai kosakata Bahasa Indonesia selama beberapa tahun ini, telah membuat dahi saya mengernyit dan berombak, benak saya bergejolak, hati saya penuh onak, nyali saya berkelopak, sementara hasrat untuk segera mendiskusikannya menjadi beranak pinak.

Menilik apa yang sedang terjadi ini, saya mencoba untuk menganalisisnya dari apa yang selama ini terjadi dalam proses bentukan kata yang bersistem. Dengan kata lain, apakah kata “selebriti” ini sudah memenuhi kaidah-kaidah dalam proses bentukan kosakata Bahasa Indonesia baku, yang dapat disebut sebagai hasil bentukan kosakata yang bersistem.

Dalam sejarahnya, Bahasa Indonesia tidak akan pernah lepas dari serapan bahasa-bahasa asing maupun bahasa-bahasa daerah. Khusus serapan dari bahasa asing, pada awalnya banyak sekali serapan-serapan dari Bahasa Belanda, namun sejak kemerdekaan, dan terlebih-lebih pada era Orde Baru, kiblat serapannya lebih banyak ke Bahasa Inggris. Hal ini seiring dengan surutnya peran Bahasa Belanda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan semakin menonjolnya peran Bahasa Inggris. (Peran Bahasa Arab juga semakin menonjol mengimbangi peran Bahasa Inggris, dengan semakin besarnya peran negara-negara Arab dan relasinya dengan Bangsa Indonesia dan dunia internasional di bidang-bidang keagamaan, ekonomi, bisnis, politik, sosial dan budaya. Namun dalam konteks tulisan ini kebetulan tidak ada relevansinya).

Contoh-contoh serapan dari Bahasa Inggris yang kini sudah menjadi kosakata baku Bahasa Indonesia adalah, quality menjadi “kualitas” (dulu ditulis “kwalitas”, karena ketika itu masih berbasis Bahasa Belanda), quantity menjadi “kuantitas” (dulu ditulis “kwantitas” karena alasan yang sama), productivity menjadi “produktivitas”, integrity menjadi “integritas”, capability menjadi “kapabilitas”, capacity menjadi “kapasitas”, acceptability menjadi “akseptabilitas”, electability menjadi “elektabilitas”, stability menjadi “stabilitas”, priority menjadi “prioritas”, liquidity menjadi “likuiditas”, rentability menjadi “rentabilitas”, solvability menjadi “solvabilitas”, dan masih banyak lagi serapan-serapan lain yang senada.

Dari proses terjadinya bentukan, nampak sekali bahwa sistemnya adalah, bahwa setiap kosakata dalam Bahasa Ingris yang diakhiri dengan huruf “...ty”, selalu diserap dalam Bahasa Indonesia, dan berubah menjadi “...tas”. Dengan kata lain kosakata dalam Bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari Bahasa Inggris “...ty” bentukan yang seharusnya mengikuti, atau sistemnya adalah menjadi “...tas”.

Bagaimana dengan kosakata “selebriti” yang merupakan serapan dari Bahasa Inggris celebrity yang sekarang sedang menjadi kosakata yang populer di berbagai kesempatan dan kepentingan? Menurut saya, sejalan dengan sistem bentukan kosakata yang selama ini dijadikan acuan untuk menjadi bentukan kosakata yang bersistem, maka kosakata celebrity dari Bahasa Inggris, serapan bakunya adalah “selebritas” bukan “selebriti”. Karena di atas sudah diuraikan sistemnya. Jika kosakata “selebriti” masih diinginkan sebagai kosakata yang dapat dipakai sebagai kosakata Bahasa Indonesia, dapat disebut sebagai kosakata bukan baku. Dengan demikian, sejalan dengan sistem bentukan kata yang bersistem, seperti diuraikan di atas, maka kosakata “polibriti”, sebutan untuk para “politisi” yang telah menjadi “selebriti” bukanlah kosakata yang baku. Adapun yang lebih baku untuk ditulis dan ditutur adalah kosakata “polibritas”, karena merupakan bentukan kosakata yang bersistem.

Bentukan kosakata yang tidak bersistem, sering terjadi dalam berbahasa Indonesia. Contoh lain adalah kosakata “santriwan” atau “santriwati”. Menurut saya kosakata tersebut bukan hasil bentukan kosakata yang bersistem. Akhiran “wan” atau “wati” dan “man” mempunyai fungsi “meng-orangkan”, atau menjadikan orang suatu kosakata yang bukan orang. Sehingga “pahala” menjadi “pahlawan”, “warta” menjadi “wartawan”, “seni” menjadi “seniman”, “rela” menjadi “relawan”, dan sebagainya. Kosakata “santriwan” atau “santriwati” berasal dari kosakata dasar “santri”, dan kosakata “santri” itu adalah orang, sehingga jika ditambah dengan “wan” atau “wati” akan mubazir, karena arti dan pengertiannya sama atau tidak mengubah arti apapun kecuali menambah huruf, dan bukan merupakan bentukan kosakata yang bersistem.

Pada awal berdirinya TVRI, dulu pernah dipopulerkan kosakata “pirsawan” oleh pihak TVRI, namun karena ternyata kemudian kosakata tersebut juga bukan kosakata yang berasal dari bentukan kosakata yang bersistem, maka akhirnya kosakata tersebut lenyap dari Bahasa Indonesia, dan diganti menjadi yang lebih tepat, yaitu “pemirsa” atau “penonton”. “Pirsawan” berasal dari kosakata dasar “pirsa” ditambah akhiran “wan”. Sistem yang ada untuk akhiran “wan”, “man” dan “wati”, di samping sistem yang diuraikan di atas adalah tidak dapat ditambahkan pada kata kerja. Oleh karena “pirsa” adalah kata kerja, maka jika ditambah “wan”,”man” atau “wati” tidak ada sistemnya dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, “pirsawan” bukan merupakan bentukan kosakata yang bersistem.

Contoh lain tentang bentukan kosakata yang tidak bersistem adalah sederetan kata yang melengkapi waktu, yaitu “Bagian Barat Waktu Indonesia (BBWI)”, yang sampai saat ini masih sering ditulis dan ditutur sebagai varian atas penulisan “Waktu Indonesia Barat (WIB)”. Contoh yang sering terjadi, adalah seringnya ditulis dalam undangan, yang menyampaikan bahwa rapat atau acara dimulai pada jam 09:00 BBWI.

Bahasa Indonesia menganut hukum DM (Diterangkan-Menerangkan). Istilah yang awalnya diperkenalkan oleh Prof. Dr. St. Takdir Alisjahbana dalam bukunya “Tatabahasa Baru Melayu Indonesia”. Dalam konteks penulisan “Bagian Barat Waktu Indonesia (BBWI)”, jelas, bahwa kata-kata tersebut telah ingkar dari Hukum DM. Karena “Waktu” yang seharusnya diterangkan, malah berada di bagian belakang dari sederetan kata majemuk tersebut. Penjelasannya adalah, dari kata majemuk tersebut dapat diurai menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu “Bagian Barat”, “Waktu” dan “Indonesia”. Dari ketiga kosakata tersebut, urutan penulisan atau penuturan dimulai dari yang paling diterangkan, dalam hal ini “Waktu”, kemudian “Indonesia”, baru kemudian “Bagian Barat”. Karena harus merujuk pada Hukum DM, maka penulisan atau penuturan yang baku wajib dimulai dari yang paling diterangkan terlebih dahulu, baru kemudian diikuti sampai yang paling menerangkan. Maka penulisan yang sesuai dengan kaidah-kaidah bentukan kata yang bersistem adalah “Waktu Indonesia Bagian Barat”. Supaya lugas, dan tidak ada pemborosan dalam berbahasa, dan karena sudah dapat dicerna secara tepat, maka kata “Bagian” dihilangkan, atau lebih tepat kalau ditulis dengan “Waktu Indonesia Barat (WIB)”. Dalam hal ini “Waktu” adalah yang diterangkan, sementara yang menerangkan adalah “Indonesia”, sementara kosakata “Barat” menerangkan kosakata “Indonesia”, jika Indonesia berfungsi sebagai “yang diterangkan”. Maka letaknya ada dibelakangnya. Penulisan ini sudah baku, karena sudah memenuhi kaidah-kaidah Hukum DM, mengapa ada saja yang mencoba untuk “kreatif” dengan mengubahnya dalam bentuk lain, yang justru malah bukan bentukan kosakata yang bersistem?

Apakah akan kita biarkan ketitakbakuan ini selalu terjadi? Jawabannya ada pada diri setiap manusia Indonesia. Karena yang dapat “nguri-uri” bahasa Indonesia adalah kita sendiri. Jika kita ingin agar Bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa modern yang dapat dipakai sebagai bahasa lisan maupun bahasa tutur yang terhormat, yang tentu saja termasuk di dalamnya dapat menjadi sarana untuk penulisan ilmiah dan sastra, dan dapat diakui eksistensinya oleh masyarakat internasional, maka satu-satunya cara adalah dengan selalu memberikan atensi, koreksi dan apresiasi, untuk tercapainya akurasi dan presisi dalam berbahasa Indonesia. Bagaimana pendapat para ahli Bahasa Indonesia?

ooOoo

*) Ratmaya Urip, pemerhati Bahasa Indonesia. Saat ini fungsionaris Asosiasi

Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia)