Rabu, 04 Agustus 2010

Ibu Kota Negara Mesti Pindah?

Sekali Lagi: Ibu Kota Negara Mesti Pindah?

Oleh: Ratmaya Urip*)


Wacana lama yang pernah menyeruak di era Presiden Soekarno kembali muncul (Jawa Pos, Sabtu, 27 Februari 2010 di halaman utama dan Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010 di Kolom Mr Pecut). Di era Presiden Soekarno memang pernah muncul gagasan untuk memindah ibu kota negara ke Palangkaraya, Kalteng atau Purwokerto, Jateng. Di era Presiden Soeharto pun pernah muncul gagasan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Jonggol, Jabar, yang membuat harga-harga tanah di wilayah tersebut melonjak secara drastis, namun sampai akhir masa pemerintahannya gagasan tersebut menguap begitu saja. Di zaman awal kemerdekaan, sebenarnya ibu kota negara sempat pindah ke Yogyakarta, namun sifatnya darurat karena situasi pada waktu itu memang mengharuskan demikian.

Dalam konteks kekinian, nampaknya gagasan tersebut perlu benar-benar didalami dan dicermati. Sebagai wacana atau boleh disebut sebagai embrio program jangka panjang, gagasan tersebut cukup mengurangi kedahagaan akan hadirnya mimpi tentang akan terciptanya tata ruang dan tata wilayah yang mendekati ideal di republik ini. Jika dapat disejajarkan, maka jika gagasan tersebut dapat terlaksana, ini identik dengan apa yang telah dilakukan oleh Daendels ketika membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan di abad 19 yang lalu, atau gagasan untuk membangun Jembatan Selat Sunda, karena sangat spektakuler dan monumental.

Sejak lama dalam benak penulis memang telah pekat dengan pertanyaan, kenapa ibukota negara atau ibukota politik dari Indonesia tidak dipisahkan dengan ibukota bisnis atau ibukota ekonominya, seperti Inggris, Jerman, Italia, Rusia, Australia, China, India, Canada, atau Amerika Serikat, dan lain-lainnya, sehingga hiruk-pikuk politik tidak berimbas ke hiruk pikuk bisnis, dan sebaliknya, atau bencana tidak selalu menghantamnya. Supaya nilai tambah yang direncanakan tidak terdistorsi oleh hal-hal yang tidak perlu, dan supaya kemampuan bersaing bangsa menjadi semakin tinggi?

Semua orang tahu bahwa ibu kota politik Inggris adalah London, sementara ibukota bisnisnya di Liverpool dan Manchester. Ibukota politik Jerman adalah Berlin, sementara ibu kota industrinya Frankfurt, Hamburg, dan Stuttgart. Ibukota politik Italia ada di Roma, sementara ibukota bisnisnya ada di Milan dan Turin. Ibukota politik Rusia di Moskow, sementara ibukota bisnisnya di wilayah Caucasus. Ibukota politik Australia adalah Canberra, sementara ibukota bisnisnya adalah Sidney dan Melbourne. Ibukota politik China ada di Beijing, namun ibukota bisnisnya ada di Shanghai dan Guangzhou. Ibukota politik India ada di New Delhi, sementara ibukota bisnis ada di Mumbai. Ibukota politik Canada ada di Ottawa, sementara ibukota bisnisnya ada di Montreal dan Toronto. Juga ibukota politik Amerika Serikat adalah Washington DC, sementara ibukota bisnisnya sudah terspesialisasi yang menyebar ke seluruh negara bagian. Ibukota perdagangan dan keuangan di New York, ibukota otomotif di Detroit, ibukota penerbangan di Seattle, ibukota minyak di Houston, ibukota hiburan di Los Angeles (baca: Hollywood) dan Las Vegas, ibukota wisata di Miami, ibukota pertambangan di Appalachia, ibukota pendidikan di Boston dan New England, ibukota pertanian di California dan Pennsylvania, ibukota maritim di San Diego, dan sebagainya.

Melihat ibukota politik atau pusat pemerintahan seperti Cairo, Roma, Washington DC, Beijing, Canberra, London, Paris, Berlin, Ottawa, Kualalumpur, New Delhi, Beijing, Riyadh dan lain-lain yang semuanya nyaman, tenang, serba disiplin, serba teratur dan jauh dari hiruk pikuk bisnis (karena memang ibukota bisnis tidak di situ), maka pastilah pemimpin-pemimpin politik dapat lebih berpikir tenang, lebih dapat mencurahkan tenaganya untuk kemakmuran rakyat, kemajuan bangsa dan semua hal yang positip lainnya. Jauh dari godaan untuk berkolusi dengan para pebisnis (?). Mereka lebih dapat meng-upgrade atau mentransformasikan dirinya untuk menjadi negarawan, tidak hanya sekedar politisi. Presidennya tidak perlu menyusuri jalan busway karena kebanjiran, seperti di Indonesia. Mungkin karena ibu kota politiknya terdistorsi oleh aktifitasnya sebagai ibu kota ekonomi, maka para pemimpin bangsa jadi bising dan senewen, sehingga peri lakunya menjadi seperti sekarang ini. Korup, narsistis, mendahulukan kepentingan diri sendiri dan golongan, serta sering arogan.

Juga patut untuk dicermati, tidak seperti halnya dengan Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, yang semuanya menempel di bibir pantai, hampir seluruh negara maju memiliki ibukota politik yang berada di pedalaman, atau jauh dari garis pantai, bahkan di pegunungan, untuk memudahkan sistem drainasi. Ingat, seluruh ibukota politik ini semuanya jauh dari garis pantai, seperti London (Inggris), Paris (Perancis), Madrid (Spanyol), Berlin (Jerman), Moskow (Rusia), Roma (Italia), Beijing (China), Riyadh (Arab Saudi), New Delhi (India), Ottawa (Canada), Mexico City (Mexico), dan lain-lain. Bahkan ibukota negara tetangga dekat kita, Putra Jaya sebagai pengganti Kuala Lumpur-pun tidak berani terlalu dekat dengan garis pantai.

Pengalaman telah memberikan data dan fakta, bahwa letak kota di tepi pantai, telah menyebabkan sejuta masalah antri atau malah secara frontal menghantam kehidupan kota, dan selanjutnya menjadi bencana kemanusiaan. Contohnya adalah banjir. Banjir terjadi karena daya tampung lahan berkurang karena padatnya pemukiman yang menyebabkan resapan air berkurang karena padatnya bangunan. Banjir juga terjadi karena letak kota di pesisir yang nota bene daerahnya rendah, sehingga membuat air hujan atau banjir sukar untuk run-off karena muka air laut sama dengan muka air di darat. Juga air banjir sulit untuk infiltrasi ke dalam tanah, karena muka air tanah sangat tinggi dan sudah jenuh air. Masalah lain di kota yang letaknya di tepi pantai adalah banyaknya penyakit malaria, demam berdarah, dan muntaber. Ini terjadi karena letak kota di pesisir telah menyulitkan drainasi, sehingga nyamuk sebagai penyebab penyakit mudah berkembang biak. Drainasi dapat juga menyebabkan banjir karena seringnya saluran drainasi tertutup sampah. Belum lagi masalah kemacetan lalu lintas, karena semakin berkurangnya daya tampung dan daya dukung kota karena kepadatan dan hiruk pikuk kota yang terjadi yang diakibatkan campur-aduknya fungsi kota sebagai ibu kota politik dan ibu kota bisnis. Infrastuktur kota, khususnya jalan dan drainasi sering rusak karena tingkat keasaman yang tinggi serta ketidakmampuan menanggung beban yang lebih besar daripada kapasitasnya, dan sebagainya.

Faktanya, upaya apapun untuk mengatasi banjir, kemacetan lalu lintas, menghambat laju serangan penyakit, mengurangi laju urbanisasi dan lain-lain sulit untuk berhasil, meskipun seluruh daya dan dana sudah dikerahkan. Bahkan semakin berat saja masalahnya. Khusus upaya mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan pembangunan busway, ringroad, kereta jabotabek, kawasan khusus untuk lalu lintas dengan tiga penumpang atau lebih, bahkan dengan pembangunan subway, MRT, pengenaan retribusi bagi kendaraan yang lewat di jalan protokol, maupun double deck traffic, nampaknya akan sia-sia saja

Kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota besarnya memang rakus. Semuanya ingin berpolitik sekaligus berbisnis di segala bidang, sehingga aktifitasnya menumpuk di satu kota, tanpa ‘core competency’, sehingga wajarlah jika kesemrawutan dan ketidaknyamanan kota, termasuk banjir, kemacetan lalu lintas, demo-demo politik maupun buruh, wabah-wabah penyakit memorakporandakan sendi-sendi ekonomi dan kehidupan. Dengan memilih core competency-nya sendiri seperti Bali, atau Yogyakarta, maka kemakmuran akan lebih mudah tercapai, karena fokus.

Mendengar atau menyimak adanya kota di Indonesia, yang ingin mengangkangi seluruh aktifitas kehidupan, seperti industri, pariwisata, perdagangan, maritim, budaya, dan lain-lain, penulis merasa geli, karena menunjukkan bahwa kota tersebut tidak fokus.


Bagaimana dengan Ibu Kota Propinsi?


Tulisan di atas baru tinjauan antarnegara. Bagaimana dengan tingkat propinsi atau negara bagian? Contoh yang mudah adalah Amerika Serikat (Maaf, penulis hanya menyampaikan contoh yang baik-baik saja dari negara adidaya tersebut, sementara yang kontroversial, seperti invasi ke negara berdaulat Irak, serta sikap ambivalensi di Palestina, serta rasialisme yang masih ada, dan lain-lain, penulis tidak begitu menyukainya).

Di Amerika Serikat, hampir seluruh ibukota politik negara bagian, yang penulis identikkan dengan propinsi di Indonesia, ternyata juga terpisah dengan ibukota bisnis negara bagian tersebut.

Contohnya, ibukota bisnis negara bagian New York adalah New York City, sementara ibukota politik (pusat pemerintahan) adalah Albany. Ibukota bisnis California adalah Los Angeles, San Fransisco dan San Diego, sementara ibukota politik (pusat pemerintahan) di Sacramento, (bukan San Fransisco seperti yang disampaikan Ibu Sirikit Syah dalam tulisan beliau “Sepuluh Kebutuhan Warga Surabaya” di Jawa Pos, Selasa, 23 Februari 2010), yang “hanya” kota terbesar ke tujuh di California. Ibukota bisnis Texas ada di Houston, sementara ibukota politik ada di Austin. Juga negara bagian Florida, bukannya Miami atau Key West sebagai pusat pemerintahan, tapi malah kota yang lebih kecil, Tallahassee. Semuanya ada di pedalaman, bukan di bibir pantai. Demikianlah, banyak negara bagian yang jumlahnya 50 (lima puluh) itu ternyata tidak memilih ibukota politiknya sama dengan ibukota bisnisnya, dengan kata lain pusat pemerintahan bukan di kota terbesar di wilayahnya, atau banyak kota-kota besar di setiap negara bagian yang bukan menjadi ibukota politik negara bagian tersebut. Dari 50 negara bagian, mungkin kurang dari 10 negara bagian yang “terpaksa” menempatkan ibu kota pemerintahan di kota-kota terbesar di wilayahnya, di antaranya Alaska di Juneau, Georgia di Atlanta, Hawaii di Honolulu, Colorado di Denver, Massachusetts di Boston, Oklahoma di Oklahoma City, dan Utah di Salt Lake City. Ini berbeda dengan Indonesia, yang dapat dipastikan, bahwa ibukota politik dari suatu propinsi pasti dikangkangi oleh kota-kota besarnya, yang sekaligus sebagai ibukota bisnis/ekonomi, dan ibukota seluruh aktifitas. Maka tentu saja segudang masalah pasti akan muncul, termasuk Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, dan sebagainya. Bagaimana dengan kota-kota tersebut? Apakah sebagai ibu kota propinsi dengan segala permasalahannya yang kompleks saat ini sudah saatnya dipindahkan ke tempat lain?

Apresiasi perlu penulis sampaikan kepada PT Telkom Tbk, PT Kereta Api (Persero), PT Pos Indonesia, yang sudah sejak lama memusatkan aktifitas bisnisnya di Bandung, meskipun nampaknya masih setengah hati karena akhirnya tidak dapat dihindari bahwa pada kenyataannya pemusatan aktifitas masih di Jakarta, karena ketergantungan dengan regulator, konsumen maupun bisnis-bisnis lain yang masih berpusat di Jakarta. Juga penghargaan kepada Jawa Pos yang telah memusatkan aktifitas bisnisnya tidak di Jakarta, meski menurut penulis sebaiknya juga jangan di Surabaya. Juga apresiasi kepada Citilink (Surabaya) dan PT Merpati Nusantara (Makassar) yang mulai memindahkan pusat pengendalian bisnisnya ke luar Jakarta.

Jika menyimak fakta, memang hanya sedikit negara yang pernah memindahkan ibu kota negaranya karena alasan tertentu, seperti Pakistan yang pernah memiliki kota-kota Karachi dan kemudian Rawalpindi sebagai ibukota sebelum Islamabad, ibu kota yang sekarang. Juga Brazil yang pernah memiliki Rio de Janeiro sebelum pindah ke Brasilia. Namun gagasan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke tempat lain yang lebih representatif nampaknya perlu dicermati sebagai alternatif untuk meninggalkan segala masalah. Juga gagasan untuk memindahkan sejumlah ibu kota propinsi, khususnya yang masalahnya semakin berat.

Biarlah Jakarta menjadi ibukota bisnis seperti New York, Los Angeles, Frankfurt, Shanghai, Sidney, Liverpool, Mumbai, Toronto, dan lain-lain, yang hiruk pikuk dengan aktifitas bisnisnya, sementara ibukota negara atau ibukota politik, kita pilih yang damai dan santun, seperti Beijing, Washington DC, Canberra, London, Paris, Ottawa, Kuala Lumpur, Riyadh, New Delhi, Cairo, dan lain-lain, yang semuanya berada jauh di pedalaman, bukan di bibir pantai.

Barangkali banyak yang mencibir tulisan ini, mengingat bahwa tulisan ini telah mengabaikan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Namun orang sering lupa bahwa ketika Daendels membangun Jalan Pos Anyer-Panarukan sepanjang 1000 km lebih dari satu abad yang lalu, yang ketika itu yang melewatinya mungkin hanya satu kuda atau satu pedati per minggu (karena waktu itu belum ada mobil), akan menjadi seperti sekarang ini, menjadi jalan paling padat se Indonesia, atau bahkan jalan paling padat se Asia.

Orang juga sering lupa, wilayah wild-wild west atau pantai barat Amerika Serikat, satu setengah abad yang lalu adalah wilayah tempat jin buang anak, namun dengan keberanian yang luar biasa, relatif tanpa biaya (karena pada waktu itu semua orang tertarik pindah ke wilayah barat yang kosong secara swakarsa), maka kemudian dapat berdiri kota-kota San Diego, Los Angeles, San Fransisco, Las Vegas, Denver. Portland, Seattle, dan lain-lain.

Juga orang lupa kalau Ir. Ciputra tidak menyulap kawasan rawa-rawa Ancol yang angker, mungkin sampai sekarang kita tidak akan pernah merasakan serunya naik Gondola dan Tornado, atau merasakan indahnya Pantai Festival.

Jadi kuncinya adalah kemauan dan keberanian, yang kemudian di-cascade atau di-deploy, menjadi lebih operasional dan transaksional, serta dijalin secara transformasional. Karena keberanian dan kemauan hanyalah budaya atau lebih tepatnya sikap mental yang menjadi dasar dalam menjabarkan strategi untuk tercapainya tujuan.


ooOoo


*) Catatan:

Tulisan ini telah dimuat oleh harian Jawa Pos edisi, Senin, 1 Maret 2010, rubrik Opini halaman 4 bawah, maupun di cyber newspaper-nya. Namun pemuatan dengan banyak editing dari Redaksi Jawa Pos, telah mengurangi pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum proses penyuntingan. Terima kasih.