Senin, 30 April 2012

Pespektif Baru untuk Agenda Lama?


Oleh: Ratmaya Urip*)

(Catatan Kecil atas Terpilihnya Presiden Bank Dunia yang Baru dari Pendekatan Antropologi Politik dan Antropologi Ekonomi)

Bukanlah tanpa alasan jika kemudian Presiden Obama memilih Jim Yong Kim, warga negara Amerika Serikat keturunan Korea untuk bertarung dalam pemilihan Presiden Bank Dunia, sampai kemudian benar-benar terpilih menjadi orang nomor satu di lembaga keuangan dunia tersebut, Senin, 16 April 2012 dengan menyingkirkan Ngozi Okonjo-Iweala, Menteri Keuangan Nigeria, yang jabatannya sebagai Managing Director Bank Dunia digantikan oleh Sri Mulyani Indrawati bulan Juli tahun lalu. Meskipun kemudian didukung oleh Jose Antonio Ocampo, wakil dari negara dunia ketiga yang lain, yang juga mantan Menteri Keuangan Columbia, yang mengundurkan diri dari bursa pencalonan, untuk memberi kesempatan bagi Okonjo-Iweala supaya dapat bertarung secara head to head menghadapi calon dari Amerika Serikat yang didukung Jepang, Rusia dan Eropa, atau yang dapat disebut sebagai representasi dari negara-negara maju.

Kekalahan tersebut diduga masih disebabkan oleh belum hapusnya kesepakatan tidak resmi, yang selalu mendudukkan wakil dari Amerika Serikat untuk menakhodai Bank Dunia, sedangkan wakil dari Eropa memimpin IMF. Kesepakatan tidak resmi tersebut oleh para penentangnya dikecam sebagai kesepakatan yang sudah usang dan sangat tidak adil.

Ngozi Okonjo-Iweala, perempuan tangguh dan cerdas yang sangat disegani, dengan sejumlah penghargaan dari berbagai kalangan, lulusan Harvard University dengan predikat magna cum laude, serta Ph.D dari MIT tersebut tidak mampu membawa kemenangan bagi pembaharuan dan perubahan yang banyak disuarakan oleh negara-negara dunia ketiga, dalam pertarungan yang konon dianggap paling serius sejak berdirinya Bank Dunia Meskipun pengalamannya sudah tidak diragukan lagi. Apalagi sebelumnya dia juga sempat dijagokan memimpin Bank Dunia menyusul meledaknya kehebohan yang melanda Presiden Bank Dunia ke-10, Paul D. Wolfowitz, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, yang akhirnya terpaksa turun dan hanya menjabat selama 2 (dua) tahun sebagai Presiden Bank Dunia, yang digantikan oleh Presiden yang sekarang masih menjabat, Robert B. Zoellick. Sementara Okonjo-Iweala meskipun difavoritkan akhirnya “hanya” mendapatkan kursi Managing Director, sampai digantikan oleh Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan Indonesia, pada bulan Juli 2011, karena harus menjabat sebagai Menteri Keuangan Nigeria.
Presiden Obama bukannya tidak mengetahui tentang desakan pembaharuan atau tekanan perubahan tersebut. Maka meskipun santer diberitakan sebelumnya, bahwa Jeffrey D. Sachs, penganut Keynesian yang fanatik, yang juga ahli politik ekonomi dari Harvard University, serta “bidan” MDGs dan banyak dijagokan oleh banyak kalangan, setelah pencalonan Hillary Clinton nyaris tak terdengar, terpaksa memilih kandidat yang tidak diduga banyak pengamat, yaitu Jim Yong Kim, seorang kandidat yang berlatar belakang atau berprofesi dokter sekaligus antropolog.

Ketika itu timbul spekulasi, mengapa Obama memilih Jim Yong Kim, bukannya Jeffrey D. Sachs, yang benar-benar berlatar belakang ekonomi politik dan sebagai “bidan” bagi MDGs yang juga merupakan visi Bank Dunia. Spekulasi yang berkembang adalah karena Jeffrey D. Sachs telah “menyerang” Presiden Obama dengan pernyataannya: “Stimulus Presiden Obama telah gagal mengangkat keterpurukan ekonomi”, yang disampaikannya pada tanggal 7 Juni 2010, menyusul krisis ekonomi akhir dekade lalu yang melanda Amerika Serikat yang kemudian merambah ke bagian dunia yang lain.

Sebelum pencalonan resmi oleh Amerika Serikat diumumkan, saya sependapat dengan para pengamat, bahwa Jeffrey D. Sachs adalah calon yang paling tepat untuk menduduki jabatan Presiden Bank Dunia periode berikutnya. Kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. Apalagi dia beretnis Jews, etnis yang selama ini secara formal dan riil banyak memegang otoritas finansial global. Mengingat bahwa kepentingan Jews dalam percaturan finansial global pastilah sulit untuk dikorbankan. Dalam perspektif antropologi ekonomi & bisnis maupun antropologi politik hal itu sangat masuk akal. Apalagi kolaborasi antara etnis Irish di birokrasi dan etnis Jews di sektor finansial sudah sangat melegenda di Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi signifikan bagi pembentukan wajah Amerika Serikat menjadi seperti kemarin dan saat ini. Tentu saja dengan tidak mengabaikan kontribusi etnis-etnis lain yang menyusun Amerika Serikat di sektor-sektor lain, termasuk yang di sektor riil oleh etnis-etnis German-American, Spanish/Spaniard, Afro-American, Scottish, Italian, English, dan lain-lain.

Namun setelah Presiden Obama mengumumkan secara resmi bahwa calon Presiden Bank Dunia yang dicalonkan Amerika Serikat adalah Jim Yong Kim, saya mulai menganalisis kembali apa yang mendasari pemilihan tersebut. Keberanian Presiden Obama dengan memilih seorang dokter yang juga antropolog, bukannya seorang pakar finansial global untuk memimpin suatu institusi keuangan yang sangat besar seperti Bank Dunia, tentulah bukan main-main. Apalagi Presiden Obama (yang memiliki darah setengah Irish dari ibunya), pastilah harus berpikir panjang untuk mengabaikan dukungan penguasa finansial global, yaitu etnis Jews, mengingat kolaborasi panjang antara etnis Jews di sektor financial dengan etnis Irish di birokrasi yang historis. Apalagi jika dikaitkan dengan pemilihan presiden periode kedua bagi Obama dalam waktu dekat ini, yang tentu saja tidak ingin kehilangan dukungan yang telah diperolehnya secara mayoritas dari etnis Jews pada pemilihan presiden yang lalu.

Menurut saya, nampaknya Presiden Obama memang memiliki kegamangan terselubung, dengan krisis ekonomi dunia yang belum juga selesai, yang diakui atau tidak, karena kerakusan institusional maupun kerakusan individual yang menimbulkan ekses negatip atas kecerdasan finansial yang di atas rata-rata dari etnis Jews. Sehingga sektor finansial menggelembung secara luar biasa, meninggalkan kinerja sektor riil yang terseok-seok, mengejar ketertinggalannya. Padahal sektor finansial seharusnya adalah cermin kinerja sektor riil. Ketika bubble di sektor finansial itu meletus, kemudian mencari keseimbangan baru terhadap kinerja sektor riil, mengakibatkan sektor riil kewalahan. Semua komoditas naik harganya, karena permintaan yang tiba-tiba naik, tanpa didukung penawaran yang memadai, karena selama ini ekonomi global terlalu fokus ke sektor finansial. Setelah bubble meletus, semua lari menuju alternatif lain satu-satunya, yaitu sektor riil, khususnya komoditas yang strategis.

Pilihan untuk menempatkan seorang antropolog sekaligus seorang dokter oleh Obama, bukannya seorang ekonom atau pakar finansial dan perbankan murni menurut saya adalah untuk meluruskan kembali pencapaian visi Bank Dunia yang menyangkut issue kemiskinan dan pembangunan, di samping pendidikan dan kesehatan. Tekanan yang lebih pada visi tersebut, sekaligus sebagai upaya untuk menata kembali ekonomi global yang berada di ambang kehancuran karena kapitalisme dan liberalisme yang absolut, akan lebih mudah dijabarkan dalam action plan secara teknis oleh pakar anti-kemiskinan dan pakar pembangunan, bukan pakar finansial. Pakar finansial seharusnya lebih berkonsentrasi pada aspek pendanaan atau supporting. Karena pakar anti-kemiskinan dan pakar percepatan pembangunan yang dapat lebih mendalaminya. Untuk itulah ditunjuk pakar antropologi. Latar belakang dokter juga sangat membantu dalam penjabaran dari visi menuju action plan secara realistis, karena kesehatan sangat berkorelasi positip dengan masalah pemberantasan kemiskinan dan masalah percepatan pembangunan. Untuk posisi Presiden Bank Dunia kali ini tuntutan kepakaran pada pengetahuan dan keterampilan antropologi, nampaknya yang lebih dibutuhkan. Karena dianggap lebih menguasai masalah-masalah penanggulangan kemiskinan dan percepatan pembangunan. Bukan pada pendanaannya, karena pendanaan adalah supporting dari action plan yang diturunkan dari visinya. Apalagi dana-nya sudah tersedia, hanya dibutuhkan pakar yang dapat secara tepat mengatur alokasinya. Pakar yang mengetahui secara benar esensi dari penanggulangan kemiskinan dan percepatan pembangunan, termasuk cara mencapainya.

Selama ini pakar finansial dikonotasikan sebagai rem untuk lajunya gerak kendaraan, sementara pakar-pakar di sektor riil dikesankan sebagai gas bagi sebuah kendaraan. Padahal masing-masing sangat penting untuk tercapainya tujuan. Kendaraan yang lebih banyak di-rem tidak akan pernah sampai ke tujuan, sementara kendaraan yang lebih banyak di-gas akan berpotensi untuk menabrak, sehingga juga tidak mencapai tujuan. Setelah puluhan tahun kendali atas kendaraan yang disebut Bank Dunia banyak dipegang oleh pakar finansial yang lebih banyak dikonotasikan sebagai rem, sehingga tidak banyak bergerak, atau lambat sampai ke tujuan, dicoba oleh Obama untuk dikendalikan dengan aksi dari gas yang lebih banyak, supaya cepat sampai ke tujuan. Asumsinya adalah akan lebih cepat dan mudah seorang pakar yang berlatar belakang ilmu exacta, dalam hal ini physician atau engineer belajar aspek finansial, daripada seorang ahli finansial belajar kedokteran atau engineering. Dengan kata lain, Obama mencoba untuk menempatkan seorang financial physician atau financial engineer daripada seorang pure financial expert. Namun demikian, meskipun top level-nya bukan seorang pakar ekonomi politik atau ekonomi pembangunan atau finansial global, namun sebagai lembaga keuangan global yang bergengsi, pastilah lembaga tersebut dijejali oleh pakar-pakat finansial global yang sewaktu-waktu dapat selalu mem-back up kebijakan dari top management, yaitu Presiden Bank Dunia.

Dari uraian di atas, nampaknya ada perspektif baru dalam pencapaian visi Bank Dunia ke depan, meskipun agenda yang dibawa adalah agenda lama, yang mencoba untuk dipercepat atau supaya lebih membumi, atas visi anti-kemiskinan dan percepatan pembangunan, khususnya di dunia ketiga. Caranya adalah dengan menempatkan orang yang dapat secara tepat menjabarkan visi menjadi action plan supaya mudah dan cepat mencapai tujuan, sementara pakar sumber daya sebagai penggerak lebih diberi peran sebagai supporting, yang akan dikendalikan oleh pengendali yang tahu persis masalah yang sedang dihadapi.

Menurut saya, pilihan Presiden Obama pada Jim Yong Kim dengan menggunakan pendekatan antropologi untuk penempatannya sebagai Presiden Bank Dunia, merupakan perspektif baru untuk lebih memanusiakan dunia, di tengah keterengahan akut karena deraan kapitalisme dan liberalisme absolut yang lebih sering mengabaikan keadilan dan pemerataan kemakmuran. Ini adalah pendekatan antropologis kedua dalam pengambilan keputusan oleh Presiden Obama, setelah penetapan Gary Locke, mantan Gubernur Washington DC, sebagai duta besar Amerika Serikat untuk China yang memang bukan kebetulan jika berdarah China beberapa waktu yang lalu. Apakah diplomasi antropologisnya akan berhasil, marilah kita tunggu bersama. Karena kedua pendekatan antropologis itu kini sedang menapak awal

Ratmaya Urip

ooOoo

Catatan:
*) Penulis adalah pemerhati masalah kemiskinan & pembangunan. Saat ini fungsionaris Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia)

Selasa, 17 April, 2012 08:13

Artikel April-3



Mohon maaf artikel ini sedang dalam proses penyuntingan.
Mohon ditungu terbitnya

Ratmaya Urip

Artikel April-4


(The picture/painting: courtesy of AJBS Gallery-Surabaya)

Mohon maaf, artikel ini sedag dalam proses penyuntingan.
Mohon ditunggu terbitnya.

Ratmaya Urip

Artikel April-2

Mohon maaf artikel ini sedag dalam proses penyuntingan.
Mohon ditunggu terbitnya

Ratmaya Urip

Artikel April-1

Maaf artikel ini sedang dalam proses penyuntingan
Mohon ditunggu terbitnya

Ratmaya Urip

Jumat, 13 April 2012

Belajar Manajemen dari “Indonesian Idol”


Sepotong Catatan Ringan yang ditulis saat makan siang yang terlambat di Rumah Makan Pak nDut, di salah satu sudut pusat kota Buntok,Barito Selatan, Kalimantan Tengah:


Belajar Manajemen dari “Indonesian Idol"
Suatu Telaah dalam Perspektif “Human Capital Management”
(Manajemen Modal Insani)

Oleh: Ratmaya Urip*)


Ada suatu materi yang mendekati absurd yang tiba-tiba melintas di benak ketika sepotong program acara televisi yang termasuk dalam variety show sempat singgah di indra saya.Saya katakan "indra" karena memang seluruh indra saya terpesona oleh proses yang terjadi di event tersebut Tidak hanya "mata" saya yang terhibur dan terkesima, yang biasanya sering dikerahkan jika melihat suatu tontonan visual yang kali ini adalah tontonan variety show musikal, melalui media televisi. Namun juga membuat terhenyak telinga, hidung, perasaan, dan selera saya. More than just watch, it’s called beyond sense! Ujung-ujungnya membuat tangan dan benak saya gatal untuk membuat catatan-catatan kecil, semacam sinopsis, yang mungkin dapat saya kembangkan menjadi suatu artikel, yang semoga saja bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Saya tiba-tiba mendapatkan inspirasi yang terekam dengan pekat di benak, yang tiba-tiba pula bekerja secara cepat untuk menyeruak mencari linking dengan dunia manajemen, khususnya Human Capital Management (Manajemen Modal Insani). Musik dengan nilai musikalitas yang tinggi jika dianalisis dalam perspektif manajemen, adalah bahasan yang menarik. Dengan linking yang pas, pastilah dapat diangkat menjadi kajian yang menarik. Berpikir dan berbuat sekaligus menghibur, semacam edutainment, begitulah misinya. Konon suatu materi yang dibahas dengan sajian hiburan, lebih mudah dicerna dan dinikmati. Maka infotainment, edutainment, sportainment, dan sebagainya, lebih mudah diterima dan merasuk, meski terkesan instant, kurang serius dan tidak dalam.

Sebetulnya event tersebut tidak hanya dapat dikaji dari perspektif Manajemen Modal Insani saja, karena dapat pula ditelaah dari perspektif Manajemen Pemasaran, Manajemen Kualitas, Manajemen Operasi & Pemeliharaan, Manajemen SHE, Manajemen Keamanan, Manajemen Proyek, Manajemen Kinerja dan lain-lain. Namun untuk kali ini, sengaja saya hanya akan membahasnya dari perspektif Manajemen Modal Insani. Karena dari perspektif ini saja cakupannya sudah sangat luas. Semoga di kesempatan lain saya dapat mengkajinya dari perspektif manajerial yang lain. Atau sahabat-sahabat saya di milis ini dapat membahasnya dari perpektif yang berbeda? Tentulah akan menarik jadinya. Karena akan terjadi divergenitas, suatu hal penting di samping konvergenitas, yang merupakan salah satu kontributor bagi proses kreatif dan inovatif yang merupakan cikal-bakal budaya produktif, di tengah rimba budaya konsumtif yang saat ini sedang menjamur di negara dan bangsa ini. Perlu diketahui, dan mau diakui atau tidak, faktanya budaya konsumtif telah mendarah daging dalam diri bangsa ini. Jauh lebih besar dari budaya produktifnya.

Banyak dari event "Indonesian Idol" ini yang dapat dibuat linking-nya dengan Human Capital Framework dengan penyajian yang lebih menarik dan gampang dicerna. Linking dengan Human Capital Framework, mulai dari Corporate Strategic Business Plan yang kemudian di-cascade atau di-deploy menjadi Human Capital Strategy, yang meliputi Planning, Acquiring, Developing, Maintaining, dan Retaining. Atau juga dapat dtempuh dengan menggunakan Human Capital Framework yang lain, mulai dari Human CapitalPlanning, Recruitment, Remuneration, Performance Management, Competency Development, Discipline Management. Dari framework tersebut kemudian juga dapat ditumbuhkembangkan menjadi lebih divergen lagi, namun terlalu teknis untuk disampaikan di sini. Karena mulut harus berbuih-buih untuk menyampaikan Learning & DevelopmentProcess, Knowledge Management, Tacit Management, Leadership-Followership, dansebagainya.

Di sisi yang lain, dalam hal ini bicara tentang musik, kebetulan saya ada sedikit bekal. Di masa muda dulu karena sering nongkrong di warung-warung kopi di depan nDalem Puro Pakualaman, Yogyakarta, sehabis nonton film di bioskop Permata (sekarang bioskopnya sudah almarhum?), saya sempat berinteraksi dan mendapatkan bekal teori dan praktek musik klasik dari sahabat-sahabat saya dari Akademi Musik Indonesia (sekarang sudah merger dengan perguruan-perguruan tinggi seni lain menjadi Institut Seni Indonesia-ISI Yogyakarta). Meskipun waktu itu saya masih sangat muda dan sedang belajar Engineering Science. Sementara bekal ilmu manajemen diperoleh dari teori dan praktek-praktek manajerial di lapangan,. Semoga saja dua kutub ini dapat bertemu di satu titik dengan pendekatan matriks, atau pendekatan analisis vektor atau analisis numerik yang melahirkan resultante yang positip. Musik versus Manajemen atau M vs M, begitulah formulanya.

Saya masih ingat beberapa teman Akademi Musik Indonesia mengajarkan untuk yang pertama kali kepada saya cara menggesek biola, atau memetik dawai gitar, atau memberikan interpretasi atas ketukan atau tepukan dari musik perkusi, atau memperkenalkan teori musik diatonis dan pentatonis, atau bagaimana melakukan tone attack dengan pitch yang terkontrol, sehingga tingkat akurasi dan presisi atas tone-nya benar-benar terjaga, baik untuk vocal maupun instrument musik, sambil menyantap “randa royal” ( “janda royal”- adalah tape yang berlumur tepung beras kental yang dibakar), dan juga “randa goreh” (demikian kami biasanya suka menyebut yang artinya “janda galau”, ketan putih yang berlumur gula dan sedikit susu olahan dalam kaleng yang kemudian dibakar), juga jagung bakar, tempe kara bacem maupun tahu bacem, sambil “menyeruput” kopi luwak yang legam, atau wedang bajigur atau wedang ronde yang hangat, yang cara menikmatinya dengan posisi “leyeh-leyeh” (setengah berbaring setengah duduk) di atas “lincak” (kursi bambu panjang yang ada sandarannya dengan kapasitas 4 sampai 5 pantat, yang dianyam dengan menggunakan rotan). Saya banyak belajar tentang intonasi, artikulasi, dinamika, interpretasi, uni-sono, phrasering, first tone attack, interlude, coda,
crescendo-decrescendo, falsetto, harmoni, a-capella dan lebih banyak lagi materi. Belum lagi jika harus mencoba berolah vokal dengan prakteknya langsung dengan berbekal suara tenor saya yang waktu itu masih pas-pasan, tanpa vibrasi apalagi tremolo. Harus susah payah mengapai nada-nada secara pianissimo, piano, mezzo piano, forte dan fortissimo, sambil terengah-engah Wah di awal susahnya bukan main. (Uf, saya terlalu lama bernostalgia, sehingga hampir lupa untuk menyampaikan substansi bahasan artikel ini. OK, kita kembali ke pokok analisis).

Kembali ke pokok bahasan. Ketika teman-teman yang lain yang berjumlah 5 (lima) orang (tidak termasuk saya) mulai menyantap pesanan masing-masing karena hidangan sudah siap di meja, saya masih berkutat untuk mencoba cloning atau mapping atau capturing apapun yang sedang terjadi dalam proses yang ada di televisi yang sedang menghidangkan proses Seleksi atau tepatnya Eliminasi bagi calon-calon peserta Babak Spectaculer Show dari kontes Indonesian Idol. Semuanya saya tulis dan rekam di BlackBerry, karena hanya itulah yang ada di tangan saya. Mau mengambil laptop atau kertas dan alat tulis yang semuanya ada dalam tas di mobil yang parkir di halaman rumah makan tersebut tentu saja saya enggan, karena takut kehilangan momentum. Karena saya tidak mau melewatkan setiap detikpun blocking dan setting serta materi dari acara tersebut. Sampai teman-teman mengingatkan saya untuk segera makan, karena sudah terlambat makan siang, dan sebentar lagi harus mengejar agenda yang lain. Saya memang sempat berpikir, libur-libur kok ya harus kerja. Meskipun hari Jumat, namun hari tersebut kebetulan memang merupakan hari libur nasional karena bertepatan dengan Hari Libur Wafat Nabi Isa Al Masih. Sehabis Jumatan di Masjid Agung Baiturrahman tadi waktunya terlalu lama untuk mencari rumah makan yang cocok di kota kecil Buntok, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah yang memang hanya sedikit rumah makan yang representative di kota tersebut, yang menumbuhkan perdebatan panjang di antara kami berenam untuk memilih rumah makan yang cocok bagi keenam selera yang ada.

Akhirnya kami sepakat memilih Rumah makan Pak nDut yang spesialisasinya adalah ayam dan bebek goreng di Jalan Pelita Jaya, di sebelah kiri dari kantor Kabupaten.Yang bukan kebetulan jika tidak terlalu jauh dengan Masjid Agung Baiturrahman. Kawasan yang dipenuhi oleh banyak perkantoran dari institusi birokrasi Pemerintah Daerah.

ooOoo

Proses eliminasi Indonesian Idol sedang berlangsung, yang dapat saya lihat di televisi yang ada di Rumah Makan Pak nDut. Eliminasi adalah salah satu tahapan proses rekruitmen untuk mencari Top 15 di antara 27 perserta yang tersisa dari kontes Indonesian Idol, yang sudah terjaring dari proses audisi dan proses eliminasi awal sebelumnya. Proses audisi sudah terlewati, dimana lebih dari 200.000 calon peserta saling berhadapan mengadu nasib untuk menggapai popularitas secara instant lewat media televisi. Tinggal 27 peserta yang masih harus berjuang menuju Top 15 yang dilanjutkan dengan Top 10 sebelum menuju The Best One, melalui tahapan Spectacular Show.

Prosesnya sendiri dimulai dengan Audisi yang menjaring calon-calon peserta dari seluruh pelosok tanah air, dengan berbagai sistem atau cara. Kemudian dilanjutkan dengan proses Eliminasi Awal, dan Eliminasi Akhir sebelum masuk ke ajang inti kompetisi yang disebut sebagai Spectacular Show yang biasanya disebut Top 10, karena yang beradu kemampuan tinggal 10 orang saja di antara ratusan ribu peserta tersebut.

Yang menarik di sini adalah. Jika kita jeli maka jika kita telaah dari perspektif Human Capital Management (Manajemen Modal Insani, yang selanjutnya akan saya singkat menjadi MMI), proses rekruitmen di sini sudah mencakup 3 dimensi dari MMI yang selama ini saya perkenalkan.

Di sini (dalam Indonesian Idol) ada pencarian calon yang berbasis profesionalisme atau ability (skill & knowledge) sebagai dimensi pertama dari MMI. Juga ada proses seleksi moral (attitude & behavior) sebagai dimensi kedua dari MMI. Juga ada tuntutan kreatifitas dan spontanitas serta improvisasi yang wajib dimiliki oleh para peserta, serta penggodokan jati diri atau karakter calon peserta, sebagai dimensi ketiga dari MMI. Jadi rekruitmen sudah lengkap menggunakan pendekatan 3 dimensi. Padahal biasanya dalam proses reruitmen dan proses-proses lain dalam lingkup Human Capital Framework,sering hanya melihatnya dari perspektif Human Resource Management-HRM (Manajemen Sumber Daya Manusia-MSDM) belum sampai ke tataran Human Capital Management–HCM (Manajemen Modal Insani-MMI). Dimana hanya melibatkan dimensi pertama yaitu ability(skill & knowledge) dan dimensi kedua yaitu moral (attitude & behavior) saja. Masalah dimensi ketiga yaitu Arts (inovasi, kreatifitas, akseptabilitas, adabtabilitas, flexibilitas, dll) baru muncul setelah saya menyampaikan konsep dasar Human Capital Management (HCM) secara lebih matematis dan komprehensif. Pendekatan matematis saya perlukan untuk konvergenitas dalam pola pikir dan pola tindak, supaya lebih mudah dicerna dan dieksekusi. Mengingat bahwa supaya dapat tercapai Human Value, esensi yang paling hakiki bagi suatu organisasi (meskipun sifatnya “hanya” organisasi proyek seperti Indonesian Idol), diperlukan ketiga dimensi tersebut. Human Value sendiri wajib bermata air dari Human Creditability, atau Human Honorability, atau Human Recognizability. (Untuk jelasnya, seluruh aspek ini dapat dicerna dengan penjelasan secara tatap muka).

Mengapa selama ini dalam rekruitmen selalu “hanya” melibatkan dimensi pertama dan kedua saja? Menurut saya karena selama ini filosofinya masih berkutat hanya pada Iceberg Model (Model Gunung Es) dalam Human Resource Management.

Iceberg Model selama ini dianggap sebagai fisosofi dasar. Dimana ability (skill & knowledge) dianggap lebih mudah dipelajari diamati dan dikembangkan, sehingga dianggap sebagai bagian dari gunung es yang berada di atas permukaan air laut. Bagian ini nampak dengan jelas dan mudah diamati, diseleksi atau dikembangkan. Dimensi yang pertama ini merupakan basic requirement and important, but not enough. Sedangkan bagian dari gunung es yang berada di bagian bawah permukaan air laut, yang volumenya sangat jauh lebih besar, tidak tampak. Ini melambangkan dimensi yang kedua atau dimensi moral (attitude & behavior) atau integritas, akuntabilitas, kredibilitas dan honestabilitas. Bagian dari gunung es yang berada di bawah permukaan air laut ini tidak nampak, sangat absurd. Ini melambangkan sesuatu yang lebih sulit untuk dipahami, dideteksi, diobservasi dan dikembangkan. Dengan tambahan dimensi ke-2 ini juga masih belum cukup untuk bekal memenangkan persaingan global yang penuh dengan kejutan perubahan. Maka perlu ditambah dengan dimensi ke-3, bahkan dimensi ke-4.

Sekedar set-back, jika kita membahas Human Resource Management (HRM) kita “hanya” berkutat pada dua dimensi saja, yaitu human ability (skill & knowledge) atau lebih sering disebut sebagai human capacity, dan juga human moral (attitude & behavior). Sementara dalam Human Capital Management (Manajemen Modal Insani) wajib ditambahkan dengan Arts sebagai dimensi ketiga, yang meliputi human creativity (kemampuan berkreasi atau ber-inovasi), human acceptability (kemampuan untuk dapat diterima oleh lingkungannya), human adabtability, human flexibility. Dua yang terakhir ini adalah potensi atau kemampuan untuk menghadapi perubahan, bukan kemampuan untuk mencla-mencle. Saya sering menyebut secara matematis, bahwa Human Resource Management-HRM ( Manajemen Sumber Daya Manusia-MSDM) diproyeksikan pada pendekatan 2-dimensi atau pendekatan linier, sementara Human Capital Management-HCM (Manajemen Modal Insani-MMI) diproyeksikan pada pendekatan 3-dimensi atau pendekatan volumetrik.

Di samping itu dengan pendekatan pada 3-dimensi, Human Being atau Workforce tidak sekedar hanya dapat memenuhi requirements sebagai pekerja keras, namun juga sebagai pekerja cerdas dan pekerja waras. Karena tuntutannya adalah memenuhi kemampuan fisik dan mental, kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan visioner.

Di kemudian hari mungkin saja dapat dikembangkan menjadi 4-dimensi. Tentang dimensi ke-4 ini sedang dalam penelitian saya. Belum dapat diungkapkan di sini. Masih off the records.


(BERSAMBUNG)
ooOoo

(Catatan: Catatan Ringan ini terinspirasi ketika menonton rekaman proses seleksieliminasi Indonesia Idol di RCTI, Jum’at, 6 April 2012 jam 14:00 s/d 15:00 WIB,dengan jury Ahmad Dani, Anang Hermawan dan Agnes Monika)


Salam Manajemen,

Ratmaya Urip

Senin, 09 April 2012

ANTROPOLOGI KESEHATAN


Pak Andi, Bu Monika, Pak Rky & Members,

Untuk masukan saya, saya tuangkan dalam satu artikel di bawah:

ANTROPOLOGI KESEHATAN
Bagi Masyarakat Papua

Oleh: Ratmaya Urip*)

Antropologi Kesehatan sudah menjadi ilmu terapan yg sudah lama diterapkan dalam bidang kesehatan di Papua.

Sejak zaman penjajahan Belanda dikenal penelitian2 dalam bidang ini. Sehingga sudah bukan merupakan hal yang baru. Dinas Kesehatan Propinsi maupun Kabupaten selalu membekali tenaga medis dan paramedis dengan ilmu terapan ini. Sebelum diterjunkan di lapangan tenaga medis dan paramedis, wajib dibekali dengan ilmu ini.

Universitas Cendrawasih, dalam hal ini Fisipol Jurusan Antropolologi melalui Laboratorium Antropologi, juga sangat berperan aktif dalam apresiasi penerapan ilmu ini di lapangan. Dikenal sekali JURNAL ANTROPOLOGI PAPUA (Papuan Journal of Social and Cultural Anthropology), yang sangat mengglobal karena diakui oleh dunia internasional, dengan point akreditasi yg tinggi.

Bagi yg ingin mendalami aspek antropologi di Papua, termasuk Antropologi Kesehatan di Papua, silakan mulai dengan mengoleksi dan mempelajari Jurnal-jurnal yg telah diterbitkannya.

DEFINISI

Buku induk (textbook) Antropologi Kesehatan yg sangat dikenal adalah dari George M. Foster and Barbara Gallatin Anderson (silakan googling), diterjemahkan oleh Priyanti Pakan Suryadarma & Meutia Hatta, dan diterbitkan oleh Penerbit UI-Press.

Secara umum, masalah kesehatan berkaitan erat dengan lingkungannya, baik fisik maupun sosial budaya-nya. Untuk itu peran ilmu ekologi dan ilmu sosial budaya termasuk antropologi sangat berperan.

Antropologi Kesehatan adalah studi dan atau aplikasi tentang pengaruh2 unsur2 budaya terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Solita Sarwono, 1993). Definisi Solita masih sangat sempit, krn Antropologi tidak terbatas hanya pada masalah sosial budaya saja, seperti yg disampaikan Prof Koentjaraningrat (Bpk Antropologi Indonesia) bahwa Ilmu Antropologi mempelajari manusia dari aspek fisik, sosial dan budaya.

Menurut Foster dan Anderson (yg dianggap memberikan definisi paling tepat), Antropologi Kesehatan mengkaji masalah2 kesehatan dan penyakit dari 2 (dua) kutub yang berbeda, yaitu kutub biologi dan kutub sosial-budaya.

Kutub Biologi memberi perhatian pada:

- Tumbuh kembang manusia (secara fisik dan psikis)
- Peranan penyakir
- Paleopatologi

Kutub Sosial-Budaya:

- Sistem medis tradisional (etnomedisin)
- Masalah petugas2 kesehatan dan persiapan profesional mereka
- Tingkah laku sakit
- Hubungan antara dokter-pasien
- Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan modern kepada masyarakat tradisional.

INTERPRETASI MASYARAKAT PAPUA TENTANG KEHAMILAN, MELAHIRKAN,NIFAS DAN GIZI

Masyarakat Papua memiliki konsep dasar berbasis pandangan antropologis tentang masalah ini.

Bentuk pengobatan tertentu dan siapa yg harus atau siapa yg akan melakukan pengobatan, dan dengan cara apa dilakukan pengobatan, terbentuk karena warisan turun temurun. Sehingga sudah menjadi way of life. Secara tradisional.

Ada beberapa contoh penanganan secara tradisional dalam konteks ini. Yg memerlukan penanganan secara modern dengan pendekatan antropologis.

Tentang konteks ini, bagi yang berkepentingan dapat konsultasi dengan Dinas Kesehatan setempat. Krn mereka sdh dibekali dengan ilmu Antropologi Kesehatan secara praktis. Atau bisa juga menyimak artikel2 tentang Antropologi Kesehatan di Jurnal tsb di atas.

PENUTUP

Masyarakat Papua memiliki keragaman sub-etnis yg masing2 berbeda secara antropologis.

Di daerah pedesaan lebih percaya pada penanganan kesehatan yg cenderung tradisional, krn faktor2 kebiasaan turun temurun dan lebih percaya pd apa yg dilakukan leluhur.

Untuk daerah pedesaan perlu diberi pemahaman terlebih dahulu tentang interpretasi yg seharusnya tentang sakit, sehat, dan penjelasan secara bijak tentang perbedaannya dengan sistem pengobatan tradisional. Jangan dibuat friksi.

Di daerah perkotaan sudah dapat menerima sistem pengobatan modern.

Demikian, terima kasih.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip

Minggu, 1 April, 2012 07:10