Sabtu, 30 Juni 2012

Sharing Seputar Manajemen:

Sharing Seputar Manajemen:

Factory Management (Manajemen Manufaktur)

Sharing Oleh: Ratmaya Urip*)

Dari milis The Managers Indonesia (TMI), berikut ini saya sampaikan RISALAH atas sharing saya dari beberapa masukan atau pertanyaan seputar Factory Management (Manajemen Manufaktur), yang disarikan dari interaksi aktif di milis TMI pada periode-periode sebelumnya. Mohon maaf, beberapa nama anggota milis yang terlibat dalam interaksi sengaja tidak dicantumkan nama lengkapnya, hanya dicantumkan akronim-nya. Juga sudah dilakukan editing (penyuntingan) untuk beberapa pertanyaan dan jawabannya.

Demikian, semoga bermanfaat.

Salam Manajemen,

Ratmaya Urip

====== =========

1. Pertanyaan: dari Bpk. A.N.

Dear Manager

Semangat pagi

Dalam waktu dekat ini, saya akan menjalani tantangan dan peluang baru sebagai Factory Manager untuk suatu factory di Jawa Barat

Bidang Manufacturing merupakan hal yang baru bagi saya (karena selama 20 thn saya banyak bergerak di bidang Sales & Marketing)

Mohon bantuan kepada Moderator dan Manager untuk berkenan memberikan advice positif dan kontruktif seputar Factory.

Terima kasih atas perhatiannya

Salam sukses dan sejahtera

Best-regard
A.N.

Date: Mon, 20 Jun 2011 03:35:27

========== ======

Sharing dari Ratmaya Urip:

Pak A.N. yg berbahagia,

Pertama-tama saya ucapkan selamat atas posisi Bpk yg baru. Semoga tangan dingin Bpk dapat memberikan nilai tambah bagi institusi.

Suatu keuntungan bagi Bpk, krn sebelum sbg Factory Manager, Bpk selama 20 thn ada di Sales & Marketing. Mengapa saya sebut “keuntungan?” Krn secara internal ada pemeo, next process is our customer

Jika Bpk di Factory, next process Bpk adalah End Product Warehouse (EPW). Juga End Product Quality Control (EPQC) , Delivery, kemudian Sales. Dalam hal ini mungkin saja EPW maupun EPQC, masih menjadi tanggung jawab Factory Manager, namun ada institusi bisnis yang dalam business process-nya, tidak menjadi tanggung jawab Factory Manager.

Saya tdk tahu product Bpk. Apakah fast moving dg sistem serah langsung dg product delivery ke customer (seperti industri beton siap pakai/ready-mixed concrete) atau slow moving dengan proses warehousing dulu. Atau juga job order system, mass product atau batch.

Dengan demikian, experiences Bpk di Sales & Marketing telah memberikan bekal untuk tercapainya customer satisfaction (CS) bahkan mungkin customer loyalty (CL) di bagian hulu dari rantai bisnis internal, meski sifatnya adalah internal satisfaction. Karena visi CS dan/atau CL telah hadir dalam proses produksinya, atau lebih hulu, Hal ini penting, karena sedikit banyak akan mereduksi distorsi internal, disamping distorsi eksternal.

Terlepas dr apapun product nya, Bpk wajib benar-benar memahami Business Process-nya, khususnya yg menjadi tanggung jawab Bpk.

Sebagai bekal, Bpk perlu mencermati tentang dikotomi process vs product. Process dulu atau Product dulu sbg kiblat. Saran yang bersumber dari experiences panjang saya dapat Bpk baca dalam coretan saya di bawah. Yang sering terjadi, jika masing-masing terlalu dominan sering tdk sesuai harapan kita.

Karena menurut saya, dikotomi process vs product lebih banyak tergantung dari jenis bisnisnya, tidak dapat digeneralisir. Bisnis di bidang oil & gas, pertambangan umum, penerbangan, shipping, konstruksi dan industri berat serta strategis dan juga bisnis obat-obatan, bisnis hukum dan bisnis rumah sakit, menurut saya lebih berorientasi ke proses sebagai core-nya, sedangkan product sebagai plasm-nya. Karena risk-nya sangat besar. Sementara bisnis consumer good menurut saya dapat berorientasi pada product sebagai core sementara process sebagai plasm, jika merujuk pada Filosofi Sel, salah satu Filosofi yang saya sampaikan dalam Serial Filosofi Manajemen saya. Khusus untuk consumer good juga wajib dicermati, karena untuk consumer good dengan risiko tinggi, seperti produk makanan yang berdampak langsung pada kesehatan, menurut saya sebaiknya berorientasi pada process. Namun secara umum saya sarankan, agar menggunakan orientasi product maupun process secara balance.

Catatan: Tentang core and plasm, silakan baca artikel saya dalam Serial Filosofi Manajemen: FILOSOFI SEL DALAM BISNIS

Di samping itu orientasi process-based lebih sering digunakan pada bisnis dengan ekspor sebagai tujuan pasar-nya. Proses berbelit sering mengharuskan kita untuk terpaksa memenuhi proses yang dipersyaratkan

Perlu juga dipahami, jika hanya memperdebatkan process atau product menurut saya kurang lengkap dan kurang komprehensif..
Dalam Manajemen yg paling Generik atau Hakiki, selalu dijabarkan ada INPUT untuk diPROCESS menjadi OUTPUT (Product). Dalam perdebatan yg tdk pernah ada muaranya selalu saja yg terjadi adalah friksi orientasi bisnis antara PROSES vs PRODUK. INPUT atau RESOURCES tdk pernah digunjingkan. Padahal RESOURCES sbg INPUT yg terdiri dr human capital, natural resources and artificial resources, space, time, dll, maha penting.

Saran saya: Bpk wajib menempatkan ketiga milestones dr Manajemen Generik tsb secara benar, proporsional, profesional, prospeksional, dan perfeksional.

Jika terlalu berorientasi pd produk semata, banyak terjadi reject, rework, repair dan recall. Berarti Cost of Quality naik atau tdk efisien. Jika berorientasi pd Proses semata, mk Produk-nya sering terhambat, berarti inefisien. Juga Resources sbg input wajib ketat dlm QC terhadap natural/artificial resources, serta manning system utk labor, serta pula dlm me-manage Ruang dan Waktunya. Saya sering menggunakan sistem berbasis IT (MIS) utk yg ini. Apalagi di era persaingan tajam dengan kondisi bisnis yang unpredictable dan uncountable serta sering membuat hopelessness seperti saat ini, keunggulan bersaing biasanya bermata air dari aplikasi operation-based excellences, yang berbasisi kecepatan dan kecepatan dalam pengambilan keputusan. Khususnya untuk manufacturing. Berbeda dengan bisnis di bidang IT dan bisnis–bisnis derivative-nya yang lebih menggunakan cara innovation-based excellence. Untuk menggenggam keunggulan dalam bersaing. Operation-based excellence wajib memelototi business process, untuk mencari milestones mana yang dapat diefisienkan.

Saya juga belum tahu Sistem Manajemen yg diterapkan di Institusi Bpk. Apakah Generic System berbasis PDCA atau POAC saja, atau Branded System seperti, Just In Time, Six Sigma, Lean Manufacturing, ISO Series (ISO 9001, 14000, 18000/OHSASS, 22000, dll), MBNQA, GCG, European System, dll).

Masing-masing sistem memiliki ke khas-an sendiri. Meskipun dapat diintegrasikan dlm satu sistem manajemen, yang saya rumuskan sendiri menjadi INTEGRATED SYSTEM. Krn selama ini banyak terjadi dualisme atau malah poli-sistem yg membuat terjadinya wasting time, sehingga tdk produktif dan tidak efisien.

Utk yg ini kebetulan saya menerapkan suatu INTEGRATED SYSTEM berbasis IT (MIS). Ini untuk akurasi (ketepatan) dan kecepatan baik dalam dalam planning, action/execution and evaluation-nya. Karena dapat meningkatkan power of planning, power of action/execution and power of evaluation. Sehingga dapat memelihara Endurance of Planning, Endurance of Action/Execution, dan Endurance of Evaluation.

Apakah sistemnya hanya Generic atau Branded, itu tdk jadi masalah jika tdk berbenturan dg regulasi dr regulator dan atau buyer. Ada yg mempersyaratkan ISO, OHSAS, FDA Audit, Sertifikat Halal, GCG, dll.

Jika itu dipersyaratkan memang wajib diikuti. Jika tidak ada persyaratan akan lebih mudah, krn dengan PDCA saja sdh cukup, asal S.M.A.R.T dan Power of Planning, Power of Execution, Power of Evaluation benar2 efektif dan efisien.

Yg terakhir adalah Sistem Pengambilan Keputusan. Apakah analitis atau intuitif. Ini bs mengambil pendekatan pd sistem AHP atau ANP, berbasis software Expert Choice atau
Super Decision, jika kita menggunakan pendekatan analitis.

Pada hakekatnya sebagai Factory Manager, Bpk wajib benar-benar intens dan focus kepada O & M Management dalam berbagai dimensinya. Itu sebagai inti atau proton dan neutron-nya. Sementara sebagai plasma atau elektron-nya, Bpk juga wajib memahami sistem manajemen pendukung dan yang berkaitan dengannya. Itu jika kita merujuk pada Filosofi Sel atau Filosofi Atom (Lihat Artikel saya tentang Serial Filosofi Manajemen, khusus Filosofi Atom atau Filosofi Sel).

Salam, semoga bermanfaat.

Ratmaya Urip
Date: Tue, 21 Jun 2011 01:08:19

============ ===========

2. Tanggapan Bpk. A.N.:

Yth Ibu Ratmaya Urip

Setulus hati, saya ucapkan terima kasih, atas advice yang sangat detail

Best-ragard
A.N.

Selasa, 21 Juni, 2011, 2:17 AM

============ =========

3. Komentar Bpk. SS:

Pak AN,

Ratmaya Urip bergender laki-laki. Jadi saya biasa memanggil Pak Urip. Tapi benar, jangankan Bpk yang mengalami langsung, saya saja yang hanya 'nebeng' baca merasa terbantu dengan uraian Pak Urip kok :)

SS

Tue, 21 Jun 2011 11:13:16 +0800 (SGT)

=========== ========

4. Pertanyaan dari Bpk E:

Saya sependapat dengan pak Surjo, uraian pak Ratmaya Urip memang top markotop dalam memberikan uraian dgn jelas, tegas, focus dan tidak berbelit jadi enak dibaca dan dicerna nya.

Saya jadi ada sedikit ingin mendapat penjelasan dr pak Urip, apakah yg telah dijelaskan bapak itu merupakan suatu sistem yang disebut rantai produksi? Ada input,proses dan output.
Kemudian biasanya dari output itu ada namanya feedback ke input. Adakah saran atau trik2 dari bapak Urip, bagaimana menangani feedback yang baik dan benar sehingga tidak mengganggu proses produksi dan output.

Semoga pak Urip berkenan kembali membagi ilmu dan pengetahuannya.

Terimakasih,
E

Tue, 21 Jun 2011 03:44:09 +0000

=========== =======

Sharing dari Ratmaya Urip:

Bpk E,

Tks atas apresiasinya.

Ttg pertanyaan Bpk, saya akan coba jelaskan sbb:

a. Tentang rantai produksi:

Apa yg saya jelaskan dlm jawaban saya, memang dpt disebut rantai produksi. Namun bukan hanya itu. Milestone dari Input-Proses-Output yg saya jelaskan tsb lebih tepat sebagai Rantai Manajemen paling Hakiki. Krn jika scope-nya Institutional dimana Produksi "hanya" merupakan bagian dr sistem manajemen seutuhnya, maka disebut Rantai Manajemen Super Generik.

Dari Rantai Manajemen Super Generik kemudian di-arrange Business Process-nya yg lebih kompleks. Ada yg Generic ada yg Branded.

Dari Business Process kemudian akan nampak Roles (Peran) atau Function-nya (Fungsi).

Contoh Role atau Function adalah Marketing/Sales, PPIC, Engineering, Purchasing, Warehousing, QSHE, Delivery, Finance and Account, Human Capital Dept dll.

Di masing-masing Role ada juga IPO (Input-Proses-Output) masing2. Before Role disebut Input, dalam Role disebut Process, after Role disebut Output.

Ambil contoh, untuk Role: Delivery. Input dari Role adalah End Product QSHE dan End Product Warehouse. Output-nya langsung Customer. Dalam hal ini di pihak Customer diterima oleh Customer QSHE Inspection sebelum masuk ke Customer Warehouse.

Contoh lain: Role atau Function dari Production, Input-nya adalah Raw Material Warehouse dan/atau Raw Material QSHE. Output-nya End Product Warehouse dan/atau End Product QSHE. Prinsipnya, before Role adalah Input sedangkan next Role adalah Output. Makanya dlm Business Process ada Rantai Produksi, Rantai Pembelian, Rantai Keuangan dll. Namun masih Super Generik. Krn masih I-P-O. Itu kalau tinjauannya Role atau Function. Jika tinjauannya secara institutional di sebut Rantai Manajemen Super Generik.


b. Jika ada feedback dr output

Feedback-nya positif apa negatif.

Baik positif maupun negatif wajib dijadikan acuan pd Planning yg baru. Saya sebut revolving plan jika sifatnya masih dalam satu kesatuan waktu bisnis. Ingat jangan sampai mengubah proses yg baru berlangsung tanpa Planning baru. Jangan langsung Eksekusi dr feedback yg baru, kecuali force majeure, atau memang ada Scheduled Plant Stop. Krn akan mengganggu proses dan output yg sedang berlangsung.

Prinsipnya adalah PDCA.
Plan dulu, kemudian Do atau eksekusi dari Plan yg ditetapkan, kemudian Check yaitu membandingkan Plan dan Do, dicari berapa gap-nya, kenapa bisa terjadi gap, akar masalahnya apa, dll. Kemudian kita lakukan Evaluasi yg hasilnya disebut feedback. Kemudian kita lakukan Action berupa perbaikan2 Plan atas feedback yg diperoleh menjadi Plan baru, Do dr Plan (atau Revolving Plan) yg baru dst. Itulah hakekat Continual Improvement.

Salam Manajemen

Kredo:
Teori tanpa Praktek itu omong kosong, sedang Praktek tanpa Teori itu Ngawur. Apalagi tanpa
Teori dan Praktek

Ratmaya Urip

Tue, 21 Jun 2011 14:08:17 +0000

================= =====

5. Tanggapan dari Bpk E:

Dear pak Urip dan Managers,

Terima kasih dan sungguh saya sangat terkesan dan tercerahkan sekali dengan penjelasan dan uraian yang disampaikan pak Urip. Jika ada pertanyaan lanjutan masih boleh kan pak?:)

Terus terang baru kali ini saya mengikuti milist yang mendatangkan manfaat yg baik sekali buat saya, tidak sekedar buat hiburan, debat tanpa kesimpulan/debat kusir atau senang2 tapi tercerahkan oleh para ahli dibidangnya yang mau meluangkan waktu dan mungkin bersusah payah menulis di keypad bb atau hp yg lumayan kecil untuk berbagi ilmunya.

Meskipun saya sebenarnya bekerja dibidang engineering, tapi sangat tertarik dengan ilmu-ilmu ekonomi dan management.
Tentu saya selalu berharap akan mendapatkan ilmu-ilmu lainnya dari pak Urip atau managers lainnya untuk menambah wawasan dibidang management.

Semoga Tuhan selalu mencurahkan segala berkah dan nikmat-Nya buat Bapak Urip khususnya dan kita semua serta membalas semua kebaikannya.

Salam,
E

Sel, 21 Juni, 2011 22:01:03

= = = ========== = ===

5. Masukan dari Bpk OD (DB):

Saya sangat setuju sekali orang orang seperti Pak Ratmaya yang mau membagikan ilmunya sangat amat ditunggu kontribusinya sehingga kami para manager pemula ini bisa banyak belajar... jauh lebih berharga dari debat kusir yang tidak berujungpangkal atau keluh kesah yang mungkin tidak ada hubungan dengan misi dan visi milis ini... bukan mau menyinggung kepentingan yang lain yang join di milis ini... but please stay focus!

yang merasa dicerahkan di milis ini,
DB

Selasa, 21 Juni, 2011 22:07

============ =====

6.Pertanyaan dari Bpk. VA:

Pak Urip,

QSHE yang bapak maksud apakah QC=quality control?

Mohon pencerahan, terimakasih.

Salam,
A. Van

Tue, 21 Jun 2011 15:42:40 +0000

=========== =======

Sharing dari Ratmaya Urip:

Bpk V.A.

Dalam Business Process mutakhir, salah satu milestone dari Role (Peran), atau Function (Fungsi) Quality Control (QC) telah bermetamorfosa atau ber-evolusi menjadi Quality, Safety, Health, and Environment (QSHE) yg terintegrasi secara massif dan komprehensif:

Hal itu mengingat tekanan issue Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan issue Lingkungan, di samping issue Quality.

Jika dirunut historinya, maka evolusinya adalah:

1. Ketika dan setelah Revolusi Industri berlaku "Inspection" saja

2. Era sebelum Perang Dunia Kedua adalah Quality Control.

3. Era setelah Perang Dunia Kedua sampai awal dekade delapan puluhan adalah Total Quality Control dg Deming Circle dan Seven Tools

4. Era awal dekade delapan puluhan sampai masuk abad 21 adalah Total Quality Management (TQM)

5. Era awal abad 21 sampai sekarang, saya menyebutnya sbg Performance Management System Based on QSHE.
Catatan: Performance Management yg dimaksud di sini bukan Individual or People Performance seperti yg ada dlm Human Capital Management, namun Institution Performance, yg di dalamnya sudah terkandung secara integrated dan comprehensive Invidual dan Role Performance.


Salam Manajemen

Kredo:
Teori tanpa Praktek itu omong kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori itu ngawur. Apalagi tanpa Praktek dan Teori

Ratmaya Urip

Tuesday, June 21, 2011 23:40:03

================= ==

7. Pertanyaan dari Bpk ARK. B:

Selamat pagi Pak Ratmaya ,

Dalam "Performance Management System Based on QSHE" versi Bpk tsb dimana letak CD ( Cost & Delivery) ?.

mohon pencerahannya .

salam,

ARK. B

Tue, 21 Jun 2011 17:17:52 -0700 (PDT)

=================== ====

Sharing dari Ratmaya Urip:

Bpk ARK. B yg jeli,

Wah pertanyaannya very nice. Saya tidak menduga ada pertanyaan secerdas yang Bpk sampaikan. Saya juga manusia, jadi kekurangan selalu ada. Maka untuk pertanyaan Bpk yang sulit dijawab ini saya akan coba sharing semampu saya, berdasar experiences saya di lapangan. Malah saya ingin ngangsu kawruh atau nyantrik atau menimba ilmu dr Bpk yg memiliki experiences yg mungkin saja lebih dari saya.

Namun saya akan coba share, mohon masukan utk melengkapinya, krn terbatasnya kemampuan saya, berbasis experiences saya.

Kalau dulu hanya Quality, sehingga yg dikenal adalah Quality, Cost and Delivery (QCD), maka ketika kemudian ber-evolusi menjadi QSHE, mk QCD berubah menjadi QSHECD. Atau tetap QCD, namun Q di sini sudah mengandung pengertian QSHE. Tentu saja letak QCD atau lebih tepatnya QSHECD letaknya melumuri atau selalu intens

Utk yg sistemnya sdh Activity-based Management sebagai metamorfosa dr Activity-based Costing menurut pendapat saya akan lebih mudah dlm pendekatan Key Performance Indicators-nya.

Setiap institusi bisnis pasti "wants to achieve a highest quality, a highest safety, a highest health and a highest environment, lowest cost product that ia deliverable within a timely manner".
Namun kita sering tdk berdaya menghadapi regulasi dr Regulator dan Buyer. Maka pandai2 menitinya, dalam konteks ini pendekatan QCD, sebagai tools bagi salah satu di antara 2 (dua) kutub keunggulan (excellence), yaitu kutub keunggulan operasional (operational-based excellence). Di samping kutub keunggulan lainnya yaitu innovation-based excellence.
Letaknya tergantung dr business process-nya. Business Process yg efektif dan efisien. Pendekatan pada operational-based excellence, tidak dapat dilepaskan dari adanya business process yang benar-benar berorientasi pada keefektifan dan keefisienan.

Menurut saya, QCD sendiri perlu dilengkapi dengan Scope (S), sehingga menjadi SQCD. Masak sih bicara QCD tanpa melihat S-nya? Sehingga Activity-based Costing yang telah bermetamorfosa menjadi Activity-based Management, akan mempermudah dalam aplikasinya. Meskipun saat ini tidak banyak institusi bisnis yang mengacunya. Padahal untuk operational-based excellence salah satu cara yang termudah adalah dengan pendekatan ini.

Konsep QCD sebenarnya mirip dengan konsep BMW (Biaya, Mutu, Waktu) dalam Project Management. Dalam konteks inipun saya selalu menambahkan Scope (S) atau dalam Bahasa Indonesia adalah Cakupan Pekerjaan yang saya singkat menjadi C. Sehingga konsep BMW saya lebih sering mengubahnya menjadi SBMW.

Intensifikasi Scope, yang meliputi uraian pekerjaan, volume dan spesifikasinya, termasuk rincian atas komponen dari produk/jasa termasuk yang dipasok sub-kon akan mengurangi konflik dalam interaksi bisnis, dan menyamakan persepsi bisnis, sehingga menghindari terjadinya distorsi. Ini akan melengkapi intensifikasi atas aplikasi QCD. Dengan kata lain kita lebih melakukan tindakan pencegahan (preventive action) bukannya tindakan penyembuhan/koreksi (corrective / curative action). Karena inilah soul bagi adanya operational-based excellence. Pencegahan akan lebih murah dan mudah dibandingkan dengan penyembuhan atau tindakan koreksi.

Ingat, menurut saya, dalam kancah persaingan tajam dalam bisnis ini, hanya innovation-based excellence dan operational-based excellence yang dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian keunggulan bersaing, yang tujuannya adalah memenangkan persaingan untuk tercapainya kejayaan yang berkesinambungan (sustainable glory)

Dalam persaingan yg semakin ketat, uncountable dan unpredictable spt saat ini memang harus kreatif dalam hal apapun, "insights are offered on each of the factors that affect the QCD or the QSHECD of perforated product".

Dengan demikian, menjawab pertanyaan Bpk, letak QCD atau QSHECD atau lebih lengkapnya QSHESQCD (versi saya), wajib ada dalam setiap peran (role) atau fungsi (function) atau milestone yang ada dalam business process-nya, yang memberikan resultante bagi pencapaian kinerja operational-based excellence bagi institusi bisnis kita.

Demikian, mohon berkenan dan juga masukan dan pencerahannya untuk kesempurnaannya.

Trm kasih dan salam hangat.

Salam Manajemen

Kredo:
Teori tanpa Praktek adalah omong kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori adalah ngawur. Apalagi tanpa Teori dan Praktek

Ratmaya Urip

Selasa, 21 Juni, 2011 22:14

============ ======

Telaah Antropologi Politik Pemilihan Gubernur DKI



Oleh: Ratmaya Urip*)


Keberpihakan sering bermuara pada subyektifitas. Subyektifitas sering bermata air dari kepentingan, sementara kepentingan sering terbit atau berkiblat pada referensi dan pandangan atau persepsi "ideologis". Kata "ideologis" saya beri tanda petik, karena di zaman ini sangat sulit mencari ideologi yg benar-benar dapat disebut ideologi yang sebenarnya. Karena seiring perkembangan zaman kini ideologi telah bermetamorfosa dari semula yang berupa ideologi harfiah, atau ideologi literer atau pure ideology yang bersifat politis, menjadi ideologi yang bersayap atau ideologi semu, atau pseudo ideology yang berorientasi pada kepentingan ekonomi. Dari semula berorientasi benak dan hati berubah menjadi berorientasi perut dan tangan.

Demikian juga halnya dengan "gawe" besar Pemilukada DKI, tidak luput dari benturan "ideologis". Apakah itu benturan ideologis yang visioner, stratejik, taktikal maupun operasional. Juga apakah itu benturan ideologis dalam perspektif kekuasaan semata, atau keberpihakan pada suatu strata sosial tertentu dalam masyarakat, atau perspektif perjuangan yang hanya berujung untuk mengisi "perut" (atau perebutan materi) semata, dan sebagainya. Karena konon ideologi itu kini sudah bukan lagi dipersepsikan sebagai suatu "political value", atau "political idea" atau "political objective" yang sakral, atau "surga politik" yang wajib diperjuangkan sampai mati untuk dapat diraih, yang secara emosional dan spiritual menghuni benak dan hati pengikutnya. Dengan kata lain ideologi sudah bukan lagi merupakan modal dasar dalam pencapaian tujuan politik yang perlu dipahami, dihayati, dan dioperasionalkan. Karena kini ideologi lebih sering bersifat transaksional bukan transformasional, dan menjadi lebih rasional dan super-materialistik. Karena untuk memenangkan kekuasaan, kini bukan ideologi lagi yang dijadikan sebagai kuda tunggangan. Lebih banyak yang menempuh jalan pencitraan maupun politik uang.

Dalam Pemilukada DKI kali ada 6 pasang calon yang bertarung, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan yang ada digembar-gemborkan oleh pengikutnya untuk memenangkan calonnya, sementara kekurangannya diledakkan sebagai "pedang pembunuh" oleh lawan-lawannya.

Dalam context, content, container,constraint dan contest Pemilukada DKI ini, saya mencoba untuk mengambil conspectus, melalui suatu analisis, dengan mencoba untuk membuang jauh-jauh adanya keberpihakan. Semoga telaah atau kajian ini dapat disebut obyektif karena mencoba untuk berbasis pada referensi ilmiah dan mencoba untuk dikembangkan dengan tetap berpikir jernih, supaya tidak bias. Tentu saja kajian saya masih dalam perspektif Antropologi, khususnya Antropologi Politik.

Peta Ideologis Calon Gubernur DKI dalam Perspektif Antropologi Politik

Clifford Geertz dalam bukunya yang fenomenal " The Religion of Java" ("Santri, Priyayi dan Abangan"-1960) sebenarnya sudah mengajarkan kepada kita tentang jati diri manusia Indonesia (khususnya etnis Jawa). Meskipun banyak yang menganggapnya sudah tidak relevan lagi, namun jika kita jeli, dalam konteks fenomena politik kontemporer Indonesia mutakhir telah menjadi rujukan yang sangat membantu saya dalam menganalisis perilaku politik kontemporer Indonesia, khususnya jika ditransformasikan dalam kajian Antropologi Ekonomi/Bisnis maupun Antropologi Politik.

Mengapa buku ini saya ketengahkan? Karena dari buku inilah saya dapat mengambil saripati untuk dijadikan acuan dalam menganalisis setiap pesta demokrasi yang terjadi di Indonesia ini.
Sudah 14 pemilihan Gubernur di Indonesia ini yang saya lakukan analisisnya berdasar referensi buku ini. Dan hasilnya ternyata cukup akurat dan presisi. Sementara untuk wilayah DKI memang lebih sulit, karena lebih heterogen masyarakatnya dari sisi etnis. Namun demikian, saya akan coba untuk menelaahnya. Jika tokh nanti hasil telaah saya tidak akurat dan atau tidak presisi, mohon dimaklumi, karena keterbatasan saya sebagai manusia biasa. Tentu saja saya akan lebih banyak belajar lagi.

Geertz membagi masyarakat Jawa (saya proyeksikan untuk seluruh Indonesia karena sangat mirip), menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu priyayi, santri dan abangan.
Priyayi mewakili para birokrat, militer, bangsawan, pengusaha mapan dan sebagainya yang mengindikasikan ciri kemapanan dalam hidupnya. Hidupnya lebih banyak di perkotaan. Termasuk di sini adalah golongan Non-Islam.

Santri adalah kekuatan Islam, yang dalam kehidupannya selalu menjalankan ajaran Islam dalam hal ini Al Qur'an dan Hadist.

Sementara Abangan adalah kekuatan Nasionalis yang mewakili golongan buruh, pekerja, petani, dan golongan bawah lainnya, yang dalam orientasi keagamaannya, jika Muslim lebih sering menjurus ke sinkretisme. Sementara Non-Muslim lebih cenderung masuk ke golongan Abangan/Nasionalis ini.

Perlu diketahui, bahwa sebenarnya golongan Priyayi sendiri, dalam konteks politik Indonesia kontemporer memiliki pola pikir dan pola tindak terbelah. Ada yang lebih condong sebagai Santri, ada yang lebih condong ke arah Abangan. Sehingga yang terjadi pada hakekatnya bukannya Trikotomi Santri-Priyayi-Abangan, namun lebih sering terjadi Dikotomi atau friksi antara Santri Vs Abangan (Islam Vs Nasionalis)

Dengan kata lain, pada prinsipnya, kutub utama politik dalam perebutan hegemoni kekuasaan di Indonesia, menurut saya mengikuti pola yang disampaikan Geertz, karena dalam kehidupan riil di lapangan, benturan ideologis lebih sering terjadi antara golongan Islam Vs Nasionalis. Meskipun antar-Islam maupun antar-Nasionalis juga sering terjadi benturan. Karena dalam Islam maupun Nasionalis terdapat sayap-sayap ultra, moderat maupun infra. Anehnya, jika antar-Islam terjadi friksi, salah satunya kemudian mendekat ke Nasionalis, begitu juga sebaliknya.

(Catatan: 1. Islam Mayoritas di Indonesia dapat digolongkan menjadi Islam yang berbendera Bola Dunia dan Bintang (Tradisional), yang berbendera Matahari (Modernis), dan yang Berbendera Bulan Bintang (Ultra Modernis). Islam Minoritas meliputi Islam Literer yang fundamentalis dan Islam Liberal. Sebarannya dari Ultra ke Infra adalah mulai dari Islam yang Literer Fundamentalis, Ultra Modernis, Modernis, Tradisional-Kultural, dan Liberal. 2. Sementara Golongan Nasionalis lebih banyak lagi variant-nya. Mulai rentang yang bermula dari Ultra-Nasionalis sampai yang Infra-Nasionalis. Termasuk di dalamnya adalah Golongan Sosialis, Demokrat dan Non-Muslim).

Dalam context Pemilihan Gubernur DKI kali ini, diakui atau tidak, jika kita kutubkan, maka sebenarnya hanya ada 2 (dua) kutub kekuatan yang bersaing, yaitu kutub Islam dan kutub Nasionalis. Kutub Islam memang belum tentu dapat bersatu, begitu juga kutub Nasionalis. Pemilih memang pada awalnya akan lebih melihat pada sosok atau ketokohannya, kemudian baru menoleh apakah sesuai atau tidak golongannya atau sejalan atau tidak dengan aspirasi politiknya. Sementara programnya baru akan dilirik bahkan diributkan jika sudah terpilih. Jika programnya di kemudian hari tidak tercapai, atau janjinya tidak ditepati maka akan menjadi bumerang. Polarisasi suara pemilih secara otomatis akan terjadi ke arah dua kutub utama tadi.
Jika kita amati lebih jeli, golongan Islam relatif lebih solid, karena calonnya hanya 1 (satu) pasang. Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi adalah suara pemilih akan dapat terkumpul di satu calon secara konvergen. Sementara Golongan Nasionalis calonnya 5 (lima) pasang, yang akan membuat suara pemilih menyebar ke seluruh calon. Dengan kata lain, karena terpecah suaranya, maka Golongan Nasionalis masing-masing calon akan mendapatkan suara yang sudah terbagi. Dalam hal suara terpecah belah atau terbagi, maka ketokohan seseorang akan menyumbang kontribusi terbesar bagi tercapainya kemenangan.

Jika kita tengok sejarah politik kontemporer di DKI sejak zaman Orde Baru, nampak bahwa waktu itu Golkar sering dibuat kewalahan oleh PPP (meski di seluruh wilayah, kecuali Aceh, Golkar sangat mendominasi), bahkan PPP pernah memenangi pertarungan politik di DKI. Di zaman Orde Reformasi PKS mendulang suara yang signifikan, bahkan kemudian berani mencalonkan Gubernur tanpa koalisi, meskipun kalah (2007). Namun pengumpulan suara sejumlah 42,13% oleh Adang Daradjatun yang diusung PKS berbanding 57,87% oleh Fauzi Bowo yang diusung sejumlah Partai Nasionalis dan Partai Islam sungguh sangat mengejutkan. Itulah kini yang menjadi modal dasar bagi PKS untuk optimis. Apalagi kekuatan calon gubernur rivalnya terpecah belah dalam beberapa calon.

Dengan kata lain, Golongan Islam yang diwakili hanya 1 (satu) pasangan, akan mendapatkan suara yang utuh, sementara Golongan Nasionalis yang memiliki 5 (lima) pasang calon akan terpecah suaranya. Untuk yang terakhir ini (Golongan Nasionalis), satu-satunya jalan untuk memenangkan pertarungan politik kali ini adalah seberapa besar ketokohan dari calon, termasuk ketokohan dari para pendukung utamanya. Semakin tinggi ketokohannya akan memiliki keunggulan komparattif dan keunggulan kompetitif yang memadai.
Calon-Calon Gubernur yang Bersaing

Pasangan No. 1: Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli

Pasangan ini adalah pasangan incumbent. Meskipun dianggap "tidak berhasil" dalam Periode Pertama masa pemerintahannya, pasangan ini memiliki akar kuat pada birokrasi. Sehingga mesin birokrasi dapat memainkan peran dalam pemenangannya, meski tidak secara terang-terangan. Pasangan ini lebih berat masuk dalam Kutub Nasionalis. Jargon Betawi Asli untuk menjaring pemilih dari etnis Betawi (27,65% dari penduduk DKI, atau ranking 2 setelah etnis Jawa yang berjumlah 35,16%). Namun Nampaknya tidak seluruh etnis Betawi mendukungnya. Yang terang-terangan mendukung hanyalah FORKABI, sementara FBR dan lainnya masih mengambang. Malah tokoh Betawi Ridwan Saidi dengan terang-terangan sangat menentang Foke, dan menganggap Foke sebagai Betawi Palsu, ketika jargon Betawi dikumandangkan. Ketidaksolidan suku Betawi dalam mendukungnya serta "kegagalannya" dalam periode pemerintahan sebelumnya (yang banyak disuarakan oleh intelektual tertentu termasuk Ridwan Saidi), akan sangat membuat langkah menuju DKI-1 menjadi berat. Kekuatan penunjang utamanya adalah birokrasi.

Pasangan No. 2: Hendardji Supandji - Ahmad Riza Patria

Pasangan Nasionalis dari jalur independen ini menurut saya belum memiliki akar yang kuat di DKI. Meskipun dukungan pengumpulan KTP yang diperolehnya sebagai persyaratan untuk menjadi calon independen dapat dipenuhi, ada kemungkinan suara yang diperoleh dalam pemilihan tidak sebesar jumlah KTP yang dikumpulkannya. Program kerjanya bagus, namun pemilih di Indonesia lebih sering melihat figur atau ketokohan dibandingkan programnya. Sifat melodramatis yang secara antropologis mewarnai hampir seluruh etnis di Indonesia itulah biangnya. Karena ketokohannya masih berada di bawah beberapa calon yang lain. Peluang sebagai DKI-1 sangat berat.

Pasangan No. 3: Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama

Pasangan Nasionalis ini memiliki nilai ketokohan yang tinggi, karena publikasi yang gencar dan prestasi yang ditunjukkannya. Sebagai tokoh Jawa Mataraman yang lahir di Solo (AD), Joko Widodo memiliki potensi bawaan untuk menjadi pemimpin. Baginya menjaring suara dari etnis Jawa yang di DKI merupakan etnis terbesar dengan 35,16% akan lebih mudah. Etnis Jawa menyebar mulai dari strata sosial terendah dan tertinggi di DKI. Kedekatannya dengan "wong cilik" dan relasinya dengan strata sosial menengah-atas yang luas memudahkan baginya untuk memperoleh dukungan politik.

Sementara calon Wakil Gubernur yang berasalah dari etnis Tionghoa, pasti akan menjadi magnit tersendiri bagi etnis Tionghoa yang jumlahnya di DKI sekitar 5,53%. Saya menduga, mayoritas etnis Tionghoa di DKI akan memilih pasangan ini, karena faktor ini.

Pasangan No. 4: Hidayat Nur Wahid - Didik Rachbini

Seperti halnya Joko Widodo, pasangan dari kutub Islam ini berasal dari Jawa Mataraman, karena Hidayat Nur Wahid dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah (AD). Hidayat Nur Wahid adalah tokoh yang sangat dikagumi dan disegani karena kesederhanaan, kebersihan dan kesantunannya. Gaya bicara dan penampilannya yang sangat "mature"dan tidak meledak-ledak memiliki kekuatan tersendiri untuk menggapai suara pemilih, khususnya dari kalangan Islam yang terdidik secara modern. Meskipun berasal dari kutub Islam yang sering di-issue-kan beraliran Wahabi (meski sudah dibantahnya), namun kecurigaan terhadap aliran ini (Wahabi) masih sulit dipisahkan dari PKS, yang diduga akan menyebabkan aliran Islam yang lain mungkin tidak akan serta merta mendukungnya. Namun suara signifikan PKS ketika mengusung Adang Dorodjatun pada Pemilukada DKI tahun 2012 yang meraih dukungan 42,13% patut untuk diperhitungkan (meskipun kalah, namun kalahnya karena "dikeroyok" partai-partai besar dan menengah, yang perolehan suaranya hanya sedikit di atas 50%). Mengingat waktu itu PKS berjuang sendirian, "dikeroyok" partai-partai lain, baik yang Nasionalis maupun yang Islam. Sehingga kali ini pasangan ini patut untuk diperhitungkan, karena suara PKS sangat solid dan militan, sementara partai-partai besar dan menengah yang dulu menjadi rivalnya kini tercerai berai, mengusung calonnya masing-masing.

Pasangan No. 5: Faisal Basri - Biem T. Benjamin

Secara pribadi saya sangat dekat dengan Faisal Basri. Intelektualitasnya dalam menyusun program sangat dibanggakan. Secara teoritis Faisal Basri memiliki program yang terstruktur dengan baik. Namun menurut saya dukungan akar rumput belum dapat diperolehnya secara maksimal, Faisal Basri lebih banyak dikenal oleh kaum intelekttual dan menengah atas, meskipun kesehariannya sangat merakyat, bersih dan sangat sederhana, dengan lebih sering memakai hem batik, bersepatu sandal dan di punggungnya bertengger tas ransel. Saya memperkirakan dukungan pemilih kepadanya belum cukup untuk membawanya ke tampuk kursi DKI-1 (Maaf Bang Faisal, sebagai sahabatmu saya terpaksa menulis seperti ini, demgan tanpa mengurangi rasa hormat saya).

Pasangan No. 6: Alex Noerdin - Nono Sampono

Prestasi Alex Noerdin sangat cemerlang ketika menjabat sebagai Bupati Musi Banyuasin selama 2 (dua) periode. Begitu pula ketika kemudian mengalahkan incumbent dalam Pemilukada Sumatra Selatan. Strategi dan pengalamannya dalam mengalahkan incumbent di Sumatra Selatan inilah yang mungkin akan dibawanya ke DKI untuk memenangkan pemilukada. Langkah-langkahnya ketika menjadi Bupati dan Gubernur dicoba untuk di copy-paste dalam janji-janji kampanyenya, untuk diterapkan di DKI. Yang tidak mustahil akan dapat terlaksana, karena pengalamannya. Ketokohannya sangat menonjol, namun masih belum menjamah tataran nasional. Pasangan ini saya golongankan sebagai pasangan Nasionalis.

Kutub Islam Vs Kutub Nasionalis

Seperti disampaikan di atas, "pertempuran" sebenarnya dalam setiap pesta demokrasi di Indonesia, khususnya untuk tingkat Propinsi dan tingkat di atasnya, tidak dapat dilepaskan dari adanya kutub Islam dan kutub Nasionalis (Meskipun untuk beberapa case dapat pula terjadi antar-kutub dalam Islam, maupun antar-kutub dalam Nasionalis).

Dari 6 (enam) calon yang ada, kebetulan kutub Islam direpresentasikan oleh pasangan No. 4 (satu-satunya calon dari kutub Islam). Meskipun demikian diduga tidak seluruh golongan Islam memilih calon ini, mengingat kecurigaan-kecurigaan aliran yang sudah disampaikan di atas.
Sementara untuk kutub Nasionalis direpresentasikan oleh 5 calon. Dari 5 calon Kutub Nasionalis, menurut saya hanya pasangan calon no 3. dan no. 1 yang kuat, mengingat analisis tersebut di atas. Yang pasti Kutub Islam dan Kutub Nasionalis akan tetap saling berhadapan sampai di Putaran kedua.

Prediksi saya, pemilihan akan berlangsung 2 (putaran). Tingkat kehadiran pemilih di hari pemilihan akan cukup tinggi, karena di samping bukan hari libur, juga karena daya tarik Pemilukada kali ini sangat besar. Pemilih nampaknya tidak ingin calonnya kalah, sehingga mereka akan berduyun-duyun menuju kotak suara.

================ ===========

Artikel No. 05- Bulan Juni 2012

Maaf, artikel ini masih dalam proses penyuntingan. Mohon ditunggu tanggal terbitnya.

Terima kasih
Ratmaya Urip

Artikel No. 04 - Bulan Juni 2012

Maaf, artikel ini masih dalam proses penyuntingan. Mohon ditunggu tanggal terbitnya.

Terima kasih
Ratmaya Urip

Artikel No. 03- Bulan Juni 2012

Maaf, artikel ini masih dalam proses penyuntingan. Mohon ditunggu tanggal terbitnya.

Terima kasih
Ratmaya Urip

Artikel No. 02- Bulan Juni 2012

Maaf, artikel ini masih dalam proses penyuntingan. Mohon ditunggu tanggal terbitnya.

Terima kasih
Ratmaya Urip

Artikel No. 02- Bulan Juni 2012

Maaf, artikel ini masih dalam proses penyuntingan. Mohon ditunggu tanggal terbitnya.

Terima kasih
Ratmaya Urip

Artikel No. 01- Bulan Juni 2012

Maaf, artikel ini masih dalam proses penyuntingan. Mohon ditunggu tanggal terbitnya.

Terima kasih
Ratmaya Urip