Selasa, 31 Juli 2012

Artikel Juli 2012 No. 6



Maaf Artikel ini masih dalam proses penyuntingan
Mohon ditunggu tanggal terbitnya

Salam,
Ratmaya Urip

Artikel Juli 2012 No. 5

Maaf Artikel ini masih dalam proses penyuntingan
Mohon ditunggu tanggal terbitnya

Salam,
Ratmaya Urip

Artikel Juli 2012 No. 4

Maaf Artikel ini masih dalam proses penyuntingan
Mohon ditunggu tanggal terbitnya

Salam,
Ratmaya Urip

Artikel Juli 2012 No. 3

Maaf Artikel ini masih dalam proses penyuntingan
Mohon ditunggu tanggal terbitnya

Salam,
Ratmaya Urip

Artikel Juli 2012 No. 2

Maaf Artikel ini masih dalam proses penyuntingan
Mohon ditunggu tanggal terbitnya

Salam,
Ratmaya Urip

Artikel Juli 2012 No. 1

Maaf Artikel ini masih dalam proses penyuntingan
Mohon ditunggu tanggal terbitnya

Salam,
Ratmaya Urip

Senin, 16 Juli 2012

OFFICE POLITICS or WORKPLACE POLITICS or ORGANIZATIONAL POLITICS (POLITIK KANTOR)




Oleh: Ratmaya Urip*)

Politik kantor, atau dalam istilah "baku"nya "Office Politics" atau "Workplace Politics" atau ada juga yang menyebutnya sebagai "Organizational Politics" banyak sekali yang membahas dan menganalisnya dalam berbagai textbook, jurnal dan Blog di dunia maya. Masalah ini sudah ada sejak jaman Revolusi Industri di Eropa maupun Revolusi Pertanian di Amerika Serikat

Dalam setiap perusahaan, sering kali dijumpai adanya gosip, kasak-kusuk, friksi, bujuk membujuk, hubungan baik atau buruk antar individu atau kelompok dan interrelasi lain dengan tujuan tertentu. Setiap inter-relasi sering memberikan dampak, baik positip maupun negatif. Yang negatip sering berbuah friksi, baik tertutup maupun terbuka.

Friksi akan semakin kenyal, kental dan tajam dengan semakin besarnya organisasi. Friksi dapat terjadi baik dalam organisasi bisnis (perusahaan baik BUMN maupun Swasta) maupun organisasi publik (pemerintahan, lembaga2 tinggi negara, militer atau polisi, organisasi sosial, dan lain-lain). Biasanya friksi terjadi karena adanya perbedaan kepentingan, ambisi tertentu, ketidakadilan, ketidaksukaan, perbedaan ideologi, perbedaan cara pandang, perbedaan visi, perbedaan sikap dan perilaku, dan sebagainya. Di samping itu friksi akan semakin menguat jika "leadership" maupun " followership" dalam organisasi lemah.

Friksi dalam organisasi publik sering lebih menonjol dibandingkan dengan friksi dalam organisasi bisnis, karena organisasi publik banyak disorot oleh media.
Khusus dalam organisasi bisnis, friksi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jalur. Jalur pertama adalah "inter-role friction" atau friksi klasik antar "role" atau antar-fungsi dalam perusahaan, yang biasanya terjadi antara "finance" versus "sales/marketing", "sales/marketing" " versus "production", "production" versus "Human Capital Department", "production" versus " quality control", dan sebagainya. Sementara jalur kedua adalah "inter-personal friction" atau "individual friction".

"Inter-role friction" sebenarnya sah-sah saja, karena masing-masing "role" biasanya memiliki argumentasinya masing-masing dalam menjalankan fungsinya. Sebagai contoh, "finance" biasanya selalu "pelit" dalam urusan pengeluaran sumber daya termasuk uang, karena ingin selalu on the right track dalam kebijakan keuangannya, sehingga kadang-kadang sering dianggap "pelit", sementara "sales/marketing" lebih sering banyak mengeluarkan sumber daya termasuk uang demi pencapaian kepuasan pelanggan. Masalahnya, dalam praktek "inter-role friction" ini kemudian berubah menjadi "inter-personal friction". yang menumbuhkan kasak-kusuk, gosip, ketidaksukaan, dan sebagainya yang menyerang individu atau kelompok yang berbasis sentimen negatip.

Friksi juga dapat tumbuh karena ambisi untuk "naik ke posisi atas" dalam hierarki manajemen. Karena semakin keatas semakin kecil space-nya, maka sering dijumpai adanya saling sikut dan saling menjatuhkan antar individu.

Wikipedia sendiri menulis sebagi berikut: "Workplace politics", sometimes referred to as "office politics" or "organizational politics" is "the use of one's individual or assigned power within an employing organization for the purpose of obtaining advantages beyond one's legitimate authority. Those advantages may include access to tangible assets, or intangible benefits such as status or pseudo-authority that influences the behavior of others. Both individuals and groups may engage in Office Politics." Office politics has also been described as "simply how power gets worked out on a practical, day-to-day basis".

Politik kantor yang bermartabat dan bersih memang baik. Biasanya politik kantor yang baik, bersih, dan "elegant" atau "mature" dapat terjadi jika personal-personal dalam organisasi lebih profesional. Namun jika terjebak dalam politik kantor yang kotor, memang menyebalkan, karena akan membuat "organizational climate" menjadi penuh dengan mendung tebal yang menggelantung pekat. Saling curiga, saling jegal akan membuat terjadinya polarisasi dalam perusahaan.

Politik kantor sering dijumpai dalam praktek maupun dalam teori organisasi, sejak jaman Revolusi Industri di Eropa maupun Revolusi Pertanian di Amerika Serikat. Sehingga langkah antisipasinya adalah dengan memperdalam pengetahuan kita dalam menghadapi adanya praktek politik kantor, khususnya politik kantor yang negatip, serta kita-kiat untuk mengatasinya. Baik dalam posisi kita sebagai leader, maupun sebagai follower. Banyak kiat yang dapat dipelajari. Silakan "googling" dengan kata kunci "politik kantor" atau "office politics", pasti akan banyak artikel yang muncul.

Artikel ini adalah artikel rintisan tentang "politik kantor" atau "office politics". Silakan member milis yang lain lebih menyempurnakan atau melengkapinya dengan contoh-contoh di lapangan, berdasar pengalaman masing-masing.

Salam Manajemen,
Ratmaya Urip

Minggu, 15 Juli 2012

Telaah Antropologi Politik Pemilihan Gubernur DKI (Bagian-2)


Dear All,

Melanjutkan analisis saya sebelumnya (Periksa Artikel saya: TELAAH ANTROPOLOGI POLITIK PEMILIHAN GUBERNUR DKI, maka setelah berlangsungnya Pemilukada 11 Juli 2012, di bawah ini saya sampaikan analisis lanjutan saya:

ANALISIS PUTARAN KEDUA MENUJU DKI-1
Oleh: Ratmaya Urip*)

Sehari sebelum Pemilukada DKI diselenggarakan, saya telah menganalisis sebagai berikut:

"Seperti disampaikan di atas, "pertempuran" sebenarnya dalam setiap pesta demokrasi di Indonesia, khususnya untuk tingkat Propinsi dan tingkat di atasnya, tidak dapat dilepaskan dari adanya kutub Islam dan kutub Nasionalis (Meskipun untuk beberapa case dapat pula terjadi antar-kutub dalam Islam, maupun antar-kutub dalam Nasionalis)" (periksa alinea ke-4 dari Artikel saya: TELAAH ANTROPOLOGI POLITIK PEMILIHAN GUBERNUR DKI" di milis ini, 10 Juli 2012) ".

Di samping itu pula saya telah memprediksi tentang hasil Pemilukada sbb:

"Sementara untuk kutub Nasionalis direpresentasikan oleh 5 calon. Dari 5 calon Kutub Nasionalis, menurut saya hanya pasangan calon no 3. dan no. 1 yang kuat, mengingat analisis tersebut di atas. Yang pasti Kutub Islam dan Kutub Nasionalis akan tetap saling berhadapan sampai di Putaran kedua."

Saya telah menyampaikan, bahwa hanya Calon No. 3 dan no. 1 yang kuat di kutub Nasionalis, sementara calon No. 4 yang paling kuat dari kubu Islam.

Hasil terakhir "quick count" menempatkan pasangan No. 3 sebagai kampiun, disusul oleh pasangan no. 1 (semuanya dari kutub Nasionalis), dan pasangan no. 4 (dari kutub Islam) menduduki peringkat ke 3. Saya telah memprediksi hal tersebut. Namun yang agak mengejutkan adalah, bahwa pasangan no 4 (Kutub Islam) mendapatkan suara yang tidak siginifikan, khususnya jika merujuk pada setiap Pemilu yang diselenggarakan sejak awal Orde Baru khusus Pemilu di DKI. Ingat, bahwa di zaman Orde Baru, Kutub Islam yang diwakili oleh PPP, dan PKS di era Orde Reformasi, jumlah suara yang dikumpulkan selalu tinggi. Sebenarnya yang tersirat dari analisis saya sebelumnya saya memperkirakan bahwa kutub Nasionalis akan berhadapan dengan kutub Islam dalam Putaran Kedua. Meskipun saya juga menyampaikan, bahwa antar Kutub Nasionalis dapat menuju Putaran Kedua. Sementara antar Kutub Islam sulit saling berhadapan di putaran Kedua, karena calon dari Kutub Islam hanya 1 (satu) yang ikut dalam Pemilukada. Juga selama ini di DKI, meskipun Kutub Islam sangat kuat dalam Pemilu, namun lebih sering dibawah bayang-bayang Kutub Nasionalis.

Dalam kaitannya dengan Pemilukada DKI kali ini, keterpurukan calon yang merepresentasikan Kutub Islam (yang diwakili oleh Sayap Ultra Modernis), tidak dapat dilepaskan dari persepsi Sayap Islam lainnya (khususnya yang dari mayoritas Islam yaitu Sayap Tradisional-Kultural dan Sayap Modernis yang lebih moderat), yang mencurigai ada aroma Wahabi dalam PKS. (Periksa artikel saya sebelumnya). Sehingga rivalitas yang terjadi dalam kutub Islam membuat pemilih dari Kutub Islam tidak solid atau terbelah. Terjadi friksi antara yang ultra modernis berhadapan dengan yang beraliram moderat, yaitu Tradisional Kultural dan Modernis.

Seperti diketahui, kecurigaan ini kemudian memunculkan adanya Blog: PKSWatch, yang kemudian di-counter dengan blog lain yaitu PKSWatch Watch. Juga terbitnya buku: Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia diterbitkan oleh Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, dan Libforall Foundation. Meskipun sudah dibantah dengan pernyataan: "Saya dan PKS bukan Wahabi" dan Pengukuhan PKS sebagai Partai Terbuka di Mukernas Bali.

Yang pasti dari analisis saya pada setiap Pemilukada tingkat Propinsi untuk Pemilihan Gubernur yang sampai dengan analisis kali ini sudah masuk ke seri ke 15 (semuanya analisis Pemilukada Tingkat Propinsi), inilah yang paling sulit. Hasilnya memang tidak 100% akurat, karena jika saya memprediksi urutan pemenangnya adalah No. 3 disusul No. 4 dan No. 1. Yang terjadi adalah No, 3 disusul No. 1 dan No. 4. Sehingga saya memprediksi dalam artikel sebelumnya bahwa yang masuk putaran Kedua adalah No. 3 berhadapan dengan No. 4, yang terjadi adalah No. 3 berhadapan dengan No. 1.

Namun yang pasti 3 kandidat tersebut memang masuk dan sesuai dengan prediksi saya.

PREDIKSI HASIL PUTARAN 2

Dengan hasil "quick count" yang menempatkan pasangan No. 3 berhadapan dengan pasangan No 1, yang masihg2 didukung oleh PDI dan Gerindra berhadapan dengan Partai Demokrat, menurut saya akan lebih memudahkan bagi pasangan no 3 untuk memenangkan pertarungannya.

Ini tidak lepas dari publikasi gencar yang dilakukan media dan kaum intelektual yang mengetengahkan "Kegagalan" pemerintahan incumbent. Kegagalan yang secara kasat mata digambarkan secara cerdas dengan masih macet dan banjirnya Ibukota Negara, yangmeskipun secara manajerial sebaiknya didukung dengan evaluasi PDCA dengan tolok ukur KPI yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Kemenangan pasangan No. 3 di Putaran Kedua, dapat terjadi, karena track record pasangan tersebut memang sedang menuju pasang. Di samping "keterpurukan" faktor partai pengusung pasangan No. 1. Juga faktor dukungan Prabowo Soebianto, yang nampaknya kini popularitasnya sedang menjulang, menyongsong Pilpres 2014, yang saya prediksi, bahwa Prabowo Soebianto akan berpasangan dengan Puan Maharani. Karena bagaimanapun sebagai figur yang sama-sama dari etnis Jawa Mataraman, yang sangat kental dan kenyal dengan stereotip budaya ewuh-pakewuh, nampaknya Megawati dan Prabowo Subianto akan kembali berkoalisi dalam Pilpres 2014, namun kali ini yang diusung adalah Pasangan Prabowo Subianto-Puan Maharani.

Di samping itu sepak terjang Jokowi mirip dengan sepak terjang JK, karena memang berasal dari Pengusaha, bukan birokrat, seperti halnya Dahlan Iskan yang sama-sama dari Jawa Mataraman.

Perlu diketahui, sepak terjang Jawa Mataraman yang terlibat dalam birokrasi, sangat berbeda stereotipnya dengan Jawa Mataraman yang bergerak di bidang Bisnis. Jawa Mataraman yang bergelut di Bidang Birokrasi dan Militer cenderung peragu, lamban, formal, tertutup, feodal, "alon-alon waton kelakon" dan berorientasi pada proses. Sementara Jawa Mataraman yang bergerak di Bidang Bisnis cenderung lugas, berorientasi pada hasil, merakyat, "cepet ning kelakon", ceplas-ceplos dan terbuka. Mirip dengan Jawa Arek. (Untuk jelasnya, simak lagi Artikel-artikel saya sebelumnya di milis ini, khususnya yang berkaitan dengan Kajian Bisnis dalam Perspektif Antropologi BIsnis).

Terus terang saya memprediksi Jokowi akan "leading" di Putaran Kedua bukan karena kebetulan saya berasal dari Jawa Mataraman dan bukan kebetulan pula saya sama-sama dari UGM yang merupakan kesamaan saya dengan Jokowi. Saya memprediksi itu karena memang dari Kajian atau Telaah berbasis pada Perspektif Antropologi, khususnya Antropologi Politik dan Antropologi Ekonomi/Bisnis.

Sidoarjo, 11 Juli 2012
Ratmaya Urip

Rabu, 11 Juli, 2012 19:07
=============== ====
TANGGAPAN DARI PEMBACA:
1. William Santosa
Pak Ratmaya,Keren sekali analisisnya ... 5 thumbs up.

Cuman mau tambah analisisnya... Bukan hanya etnis Tionghua saja yg memilih pasangan Jokowi-Ahok, tapi juga sebagian besar umat Nasrani, berhubung pak Basuki adalah Nasrani juga. Saya kurang begitu tahu apa faktor ini juga mendukung, dan kalau di survey, mungkin akan sangat menarik.

Terima kasih.

William

Rabu, 11 Juli, 2012 19:21
=============== =
2. Rizaldi Oyong:
Analisis yang sanagt cerdas,,,,
Rabu, 11 Juli, 2012 19:35
================= ==
3. Erwin Wangsamulja:

Widih......keren.....analisa yang cerdas

Sesekali anda harus tampil di tipi nih......

Erwin

Rabu, 11 Juli, 2012 21:05

============= ====

4. amerishr:

Analisa yang bagus dari Pak Ratmaya.

Mohon maaf saya kurang setuju dengan pendapat Pak William.

Jaman sekarang, di era pemikiran terbuka serta informasi yang mudah didapat, orang-orang memilih Jokowi & Basuki bukan dikarenakan faktor SARA, dalam hal ini seperti yang diutarakan oleh Pak William adalah faktor agama, yang menurut saya justru sangat tidak menentukan (terus terang, saya tidak mengetahui latar belakang agama semua kandidat tsb).
Kemenangan pasangan tsb selain mempunyai visi serta track record, mereka juga mempunyai transparansi yang jelas.

Dalam kondisi dunia seperti sekarang ini, rakyat tidak membutuhkan pemimpin dengan status agama sebatas KTP/di muka umum saja, melainkan rakyat membutuhkan pemimpin yang berintegritas dalam tindakan sehari-hari.

Best regards'
Davy

Rabu, 11 Juli, 2012 22:22
================ ==
5.