Sabtu, 31 Maret 2012

ANTROPOLOGI MARKETING, suatu telaah rintisan




Oleh: Ratmaya Urip*)

Bagian 1


Ilmu Antropologi jarang sekali, atau mungkin tidak ada yang merelasikannya dengan "marketing". Untuk itulah, penulis akan mencoba memberanikan diri untuk sharing tentang subyek ini. Siapa tahu, dari artikel rintisan ini dapat lebih berkembang dan dapat diaplikasikan di lapangan.

Antropologi Marketing menurut penulis adalah bagian dari Manajemen Bisnis, di samping Antropologi-antropologi lain yang berkaitan dengan Business Process yang ada dalam Bisnis. Dalam hal ini, setiap "role" atau "function" atau "milestone" dalam "Business Process", ilmu antropologi, khususnya ilmu antropologi terapan, yang selama ini kurang mendapatkan perhatian, akan coba penulis artikulasikan dengan intonasi yang berbeda timbre-nya dalam aplikasi bisnis. Atau mencoba menganalisnya dari perspektif yang berbeda. Karena sebenarnya dalam praktek-praktek lapangan Antropologi Marketing sering berperan.

Di samping Antropologi Marketing (Marketing Anthropology), juga ada Antropologi Modal Insani (Human Capital Antropology), Antropologi Ergonomi (Ergonomy Anthropology), Antropologi Operasi & Pemeliharaan (Operation & Maintenance Anthropology), Antropologi Mutu (Quality Anthropology), dan lain-lain.

Untuk kesempatan ini, penulis mencoba untuk melakukan telaah rintisan, khusus untuk ANTROPOLOGI MARKETING saja dulu. Sedangkan untuk Antropologi yg lain semoga ada kesempatan di lain hari.


ILUSTRASI 1.

Dalam satu kesempatan, penulis sebagai representasi suatu institusi bisnis konstruksi ingin melakukan joint operation dengan institusi asing untuk proyek konstruksi skala besar. Keberhasilan dari pembentukan joint operation tergantung dari kerja tim yg penulis pimpin. Tentu saja dalam hal ini kemampuan menjual profesionalisme pribadi maupun profesionalisme institusi sangat dibutuhkan di sini.

Satu hal penting yang patut dicatat adalah, penulis waktu itu relatif masih muda, belum banyak jam terbang di dunia konstruksi, apalagi kemampuan manajemen, khususnya manajemen bisnis.

Namun ada hal lain yg penulis mulai kenal waktu itu sebagai bekal, yaitu ilmu antropologi terapan. Tentu saja di samping pengetahuan dan profesionalisme dalam rentetan milestone di dunia konstruksi dan infrastruktur, yaitu FEED (Front-end Engineering Design), EPCC (Engineering-Procurement-Construction-Comissioning) serta O & M (Operation & Maintenance).

Secara antropologis bangsa Indonesia memiliki stereotip antropologis berupa inferioritas yg akut jika dihadapkan pada hal2 yg dari luar. Bangsa ini terlalu memandang rendah diri sendiri pada orang asing, produk asing, atau institusi asing. Selalu menganggap yg berbau asing itu lebih baik dari kita.

Padahal kalau kita jeli, orang asing yg bekerja di Indonesia, adalah orang-orang yang konon merupakan tenaga kerja kelas 3 atau lebih bawah lagi. Yang kelas 1 ada di negaranya sendiri. Yang kelas 2 menyebar di negara2 maju atau negara2 kaya. Nah untuk Indonesia barulah dikirim tenaga kerja kelas 3. Jadi mengapa takut?

Waktu itu institusi konstruksi yang saya hadapi adalah Fluor Daniel (Fluor Corporation), institusi konstruksi terbesar di Amerika Serikat, yg bukan kebetulan masuk list Fortune 500 dan S&P 500, yg berpusat di Las Colinas, Irving, Texas.

Pengetahuan antropologi bisnis yg saya miliki waktu itu, khususnya yg lebih spesifik lagi yaitu Antropologi Marketing, ternyata ada manfaatnya dalam case ini.

Penulis tahu, birokrasi Amerika Serikat dikuasai Etnis Irish. Finance, Economy, Science, Media & Entertainment, IT dikuasai oleh etnis Jews. Sedang konstruksi dikuasai etnis Jerman dan Irish. Anehnya khusus untuk konstruksi infrastruktur perkeretaapian banyak engineer dr China, ahli peledakan untuk pembuatan terusan/canal dari Irish, dan sebagainya. Ini historis, yg tidak perlu penulis bahas di sini.

Untuk kali itu saya hanya harus siap2 menghadapi kemungkinan berjumpa dengan etnis German/Bavarian atau Irish. Yang pasti saya belum tahu krn belum pernah ketemu.

Saya hanya tahu, bahwa kedua etnis ini memiliki stereotip antropologis yg perfeksionis, berorientasi pada kualitas, teguh pendirian, pekerja cerdas, dan agak kaku, serta budaya tepat waktu.

Ketika bertemu dan bertatap muka pada pandangan pertama, sinar matanya tajam dan kuat. Tim mereka bertiga sedang kami berempat.

Setelah bertukar business card, saya baru tahu nama leader-nya adalah: Franz Schuster.

Saya tahu "Franz" adalah nama klasik Jerman atau tepatnya Bavaria, seklasik nama "Bambang" bagi etnis Jawa. Sedang "Schuster" adalah nama fam yg lebih menjelaskan lagi bahwa dia beretnis Bavarian, Jerman Selatan yg eksotis dengan salju pegunungan Alpen.

Maka kalimat saya pertama yg meluncur dari mulut saya setelah membaca namanya adalah: "are you Bavarian?". Tentu saja dia terkejut. Dan itu adalah "marketing attack" atau "touching attack" saya.

Orang Bavarian memiliki stereotip yg kaku dan tidak suka jika hal2 yg bersifat pribadi dibicarakan. Namun suka sekali jika tanah kelahirannya tersentuh.

Tanpa memberi kesempatan dia bicara, saya kemudian ngoceh tentang Munchen, tentang gadis2 Bavaria yg ceria dan sintal-sintal dan cantik, dan tentang pesta panen anggur yg meriah di lereng pegunungan Alpen yg berselimut salju, dengan keindahan ragawi nan indah, berbalut gaun tradisional yg sensual.

Saya berani ngomong karena memang secara resmi meeting-nya belum dimulai.

Kekakuannya yg formal kemudian mencair.

Dia kemudian cerita kalau dia memang beretnis Bavarian, namun dia lahir dan dibesarkan di Denver, Colorado, sehingga dia seorang German-American.

Ini kesempatan kedua saya, karena saya kebetulan mengenal Denver. Saya puji airport-nya yg beratap runcing dengan arsitektur yg indah. Kota Denver yg dikenal sebagai atap Amerika Serikat krn letaknya yg tinggi. Olah raga musim dingin yg meriah dan juga tentang Colorado Springs, tempat kadet2 Angkatan Udara Amerika Serikat ditempa, dan sebagainya.

Apa yang terjadi? Di luar dugaan, negosiasi bisnis menjadi lebih mudah dan cair karena intimasi yg pas dengan pendekatan Marketing Anthropology.

ILUSTRASI 2

Di Jawa Timur Coca Cola mendapatkan pola penjualan yg khas berbasis antropologi. Mengapa demikian?

Juga China dapat memenangkan persaingan global dengan pendekatan Marketing Anthropology. Mengapa demikian?

Silakan ikuti analisisnya di sambungan artikel berikutnya.

(BERSAMBUNG)

Salam Manajemen

Ratmaya Urip
Minggu, 25 Maret, 2012 11:38


Oleh: Ratmaya Urip

Dear All:

Mohon maaf, membaca banyak tanggapan di berbagai milis tentang sepak terjang Menteri BUMN, Dahlan Iskan, khusunya tentang ngamuknya beliau di Pintu Tol, maka di bawah ini saya sampaikan opini saya:


MENEG BUMN NGAMUK DI PINTU TOL



Maaf Bpk, Dahlan Iskan (DI) bukanlah asli Surabaya, ini penting saya sampaikan, karena menyangkut kajian antropologi, baik antro-politik maupun antro-bisnis.

Secara antro-bisnis atau antro-ekonomi Surabaya termasuk dalam geo-antropologi Jawa-Arek. Padahal DI lahir sampai Sekolah Lanjutan Atas berada di Magetan, wilayah yg secara Geo-antropologis termasuk wilayah Jawa-Mataraman.

Ada stereotip antropologis yang sangat signifikan yang membedakan antara Jawa-Arek dengan Jawa-Mataraman.

Etnis Jawa terbagi menjadi beberapa sub-etnis, yang masing2 memiliki stereotip antropologis yang relatip berbeda.

Sub-etnis dimaksud di antaranya:

1. Jawa-Mataraman, yg mendiami wilayah native geografis yg diidentifikasi dengan wilayah di Jawa yg no polisinya menggunakan huruf ganda (ini historis). Sementara wilayah lain di Jawa dengan huruf tunggal.

Wilayah yg menggunakan no polisi ganda tersebut adalah:

a). AA (Magelang, Kab. Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen).

b). AB (Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul).

c). AD (Solo, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Sragen, Wonogiri).

d). AE (Madiun, Kab. Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan).

e). AG (Kediri, Kab. Kediri, Tulung Agung, Trenggalek, Blitar, Nganjuk).

2. Jawa Arek

Terdiri dari:

a) Jawa-Arek Pesisir
Yg meliputi Surabaya, Gresik, Sidoarjo, sebagian Lamongan Bag Timur, Mojokerto, sebagian Jombang bagian Timur.

b) Jawa Arek Pedalaman
Yg meliputi Malang, Batu, Pasuruan Selatan, Lumajang Barat.

3. Sub Etnis Jawa-Deli, Jawa Tondano, Jawa-Banten, Jawa-Cirebon, Jawa Banyumasan, Jawa-Tegal, Jawa-Semarangan (Jawa-Kulonan), Jawa-Osing, Jawa-Tengger, Jawa-Samin, Jawa-Perantauan (Suriname dan New Calidonie).

Karena substansinya adalah DI, maka sengaja saya tekankan khusus pada Jawa-Arek dan Jawa-Mataraman saja. Sub-etnis Jawa yg lain sengaja tidak saya bahas.

Jawa Arek memiliki stereotip lugas, apa adanya, tanpa basa basi, egaliter, non formal, PETARUNG, pemberontak, namun sebenarnya relatif lebih jujur dan blak-blakan. Sub-etnis Jawa Arek secara ekonomi-bisnis tekun dalam berdagang, ramah meski nampaknya kasar, tekun juga dalam manufacturing.

Sementara Jawa-Mataraman memiliki stereotip antropologis yg terlalu banyak unggah ungguh, feodal, apa yg keluar dr mulut sering berbeda dengan isi hati, tidak suka konflik, suka memendam perasaan krn harus bertenggang rasa, maunya di tengah atau penengah, suka masakan manis-manis. Yang juga penting sub-etnis Jawa Mataraman tidak suka yg aneh-aneh, dan tidak suka merantau.

Mereka relatif sangat mementingkan pendidikan formal, jiwa entrepreneurship relatif kalah jika dibandingkan dengan Jawa Arek, kecuali jika itu adalah Jawa-Mataraman enclave. Karena mereka tidak ingin mengambil risiko. Maka secara antro-ekonomi, mereka banyak yg menjadi birokrat, akademisi, juga petani.

Meskipun demikian, dalam wilayah Jawa Mataraman ada wilayah-wilayah enclave yg memiliki sifat yg berbeda dengan stereotip dasarnya. Ini dapat terjadi karena wilayah Jawa Mataraman tersebut tandus, sehingga mereka memiliki semangat survival yg tinggi. Contoh dari enclave tsb adalah Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, sebagian Magetan, Trenggalek, sebagian Tulung Agung Selatan, dan Blitar Selatan.
Sub etnis Jawa-Mataraman sempalan ini lebih banyak merantau krn lingkungan fisiknya tdk banyak memberikan kehidupan. Mereka lebih terbuka, egaliter, petarung, pemberontak terhadap nilai2 lingkungannya.

Termasuk di sini adalah sub-etnis Jawa-Mataraman, yg krn kehidupan ekonominya sangat kekurangan.

Dahlan Iskan dan Jokowi adalah contoh Jawa Mataraman dengan type petarung dan pemberontak terhadap nilai2 kemapanan yg sering di agung-agungkan sebagai simbol kesuksesan di lingkungannya.

Jika DI tidak keluar dr wilayahnya (Magetan-AE) maka dia sudah menduga hanya akan menjadi petani atau guru. Maklum dilahirkan dari keluarga miskin. Perantauannya berawal selepas Sekolah Lanjutan Atas ke Kalimantan Timur. Spontanitasnya dan juga kelugasannya sebenarnya adalah stereotip antropologis bukan karena mencari sensasi. Namun karena posisinya yg tinggi itulah kemudian dimanfaatkan oleh media untuk di blow up menjadi news. Sebagai newsmaker, tentu saja dia sering diikuti paparazi, tanpa diminta. Entah mana yg benar, sayapun bingung, apakah DI memanfaatkan media, atau Media yg memanfaatkan DI sebagai lumbung berita. Saya duga memang dua-duanya, saling memanfaatkan.

Mirip dengan DI adalah Jokowi yg sama-sama bersub-etnis Jawa Mataraman, namun juga petarung dan pemberontak. Hanya Jokowi dr wilayah AD (Solo), bukan AE, namun sama2 dari lingkungan sosial ekonomi tidak mampu, dan sama2 merintis karir dengan merantau kemudian menjadi pengusaha. Yg membedakannya dengan stereotip Jawa Mataraman pd umumnya, yg biasanya memilih jalan hidup yg lebih menjanjikan kemapanan, dengan menjadi birokrat, militer, dosen, dsb.

Tentang cocok tidaknya seorang petarung atau pemberontak menjadi Presiden atau Kepala Pemerintahan maupun Kepala Negara, itu saya perlu memberi referensi sbb:

Etnis Irish adalah etnis petarung dan pemberontak yg mirip dg etnis Jawa Arek dan Jawa Mataraman yg sempalan seperti saya sampaikan di atas. Tokh mayoritas Presiden Amerika Serikat adalah dari etnis Irish. Presiden Obama pun mengalir darah Irish dari ibunya. Dengan kata lain Obama itu separo Irish, separo Afro-American.

Sementara secara historis, dari 6 Presiden RI yg 4 adalah Jawa Mataraman, 1 Presiden separo Jawa-Mataraman, separo Jawa-Arek (Jombang), 1
Presiden dr Sulawesi.

Menurut saya Potensi Jawa Mataraman masih berpotensi untuk bertarung dalam Pilpres 2014. Karena bukan kebetulan jika calon2 yg sering disebut banyak yg dari Jawa Mataraman. Seperti Dahlan Iskan, Prabowo, Dll. Selama ini Presiden RI dipegang oleh Jawa Mataraman yg native, yg mapan, bukan yg petarung atau pemberontak.

Dari perspektif Antro-politik, Jawa Mataraman adalah wilayah Abangan (Nasionalis), Islam Modernis, dengan enclave Islam tradisional dan sedikit Islam Fundamentalis dan Non Muslim.

Sementara Jawa Arek Pesisir didominasi oleh Islam Tradisional dengan enclave Islam Modernis dan Abangan (Nasionalis).

Jawa Arek Pedalaman didominasi Abangan (Nasionalis), Islam Modernis, enclave Islam Tradisional dan non Muslim

Demikian, kajian ini adalah kajian dari perspektif Antropologi, baik Antro-politik maupun Antro-ekonomi.

Saya kadang berpikir, fenomena DI ini mirip dengan fenomena Silvio Berlusconi (SB), mantan Perdana Menteri Italia 3x atau terlama menjabat PM, yg karir politiknya memanfaatkan media.

DI memiliki Jawa Pos Group, SB memiliki Mediaset.

Karir mereka sama2 berawal dari kota terbesar kedua di negara masing2. DI dari Surabaya, SB dari Milan.

Mereka sama2 menabung pro dan kontra yg dipicu oleh aktifitasnya yg kontroversial.

Bedanya, DI belum pernah memegang kepala pemerintahan, juga bukan womanizer dan tidak memiliki skandal politik dan perempuan. DI juga tidak memiliki Klub sepakbola sekelas AC Milan milik SB. Malah DI belum ada kiprah menonjol di bidang olah raga.

Yang terpenting, bedanya adalah DI tidak memiliki partai politik sebagai kendaraan untuk menuju kekuasaan, seperti halnya SB dengan.

Namun ada yg menarik umtuk membuat kita tersenyum. Krn mereka memiliki aset dengan nama sama. DI memiliki Koran yg bernama "Rakyat Merdeka" (Jawa Pos Group), sementara SB memiliki Partai yg bernama "Rakyat Merdeka". Apakah munculnya nama Koran DI di Jakarta tsb terinspirasi oleh nama partai SB?

Kalau saya boleh berandai-andai, jika DI ingin mendirikan partai sebaiknya diberi nama Partai Rakyat Merdeka.

Jika tidak mendirikan partai apakah akan ada parpol yg mengusungnya? Apa harus dari jalur independen? Itulah teka-teki yg kemudian tiba.
Tokh Surya Paloh yg juga raja media mendirikan Partai Nasdem..he.he.he..

Salam Manajemen

Ratmaya Urip

NB: saya sih netral2 saja. Kebetulan tdk ada kepentingan apapun sehingga tidak alasan untuk pro dan kontra

Artikel Maret 3

Maaf Artikel ini sedang dalam proses penyuntingan

Mohon ditunggu terbitnya

Ratmaya Urip

Artikel Maret 2

Maaf artikel ini sedang dalam proses editing

Mohon ditunggu terbitnya

Ratmaya Urip

Artikel Maret 1

Maaf Artikel ini sedang dalam proses editing
Mohon ditunggu terbitnya

Ratmaya Urip