Minggu, 14 Agustus 2022

 

 Artikel ini pernah diterbitkan pada bulan April tahun 2012. 

Kemudian diunggah kembali 10 tahun kemudian


 
 
PENGANTAR ILMU
GEOKIMIA, MINERALOGI, KRISTALOGRAFI DAN PETROLOGI KONSTRUKSI
Suatu Telaah Rintisan

(Analisis Forensik Konstruksi atas Kerusakan Lapis Perkerasan Jalan dalam Perspektif Geokimia, Mineralogi, Kristalografi dan Petrologi Konstruksi)

Oleh:  Ratmaya Urip*)

Pengantar:

    Menelaah atau menganalisis secara Forensik atas  Kerusakan Konstruksi Jalan Raya dari perspektif dengan judul di atas, mungkin tidak banyak peminatnya.  Mengingat banyaknya peminat yang lebih suka menganalisisnya dari perspektif Ilmu Teknik Tanah Konvensional. 

    Namun bagaimanapun, sebagai bagian dari Ilmu Teknik, dan pula sebagai pelengkap khazanah keilmuan yang telah ada sebelumnya, penulis berharap, artikel ini ada manfaatnya dan dapat memberikan kontribusi bagi masalah yang ada, mengingat kajian ini berhubungan dengan kelancaran dalam  aktifitas publik maupun aktifitas bisnis. Khususnya jika kita kaitkan dengan konteks pemasaran dan distribusi barang, mobilitas kerja, kerugian moril dan materiil akibat kerusakan salah satu jalur distribusi, dan lain-lain. 

    Artikel ini juga untuk melengkapi analisis-analisis sebelumnya di bidang ini, baik dalam kajian-kajian ilmiah di bangku kuliah, seminar-seminar, symposium, workshop dan lain-lain maupun analisis-analisis kontemporer di media-media cetak, elektronik dan media sosial.

     Karena menurut penulis  kurang lengkap diagnosisnya, sehingga therapy yang diberikanpun belum cukup komprehensif dan solutif. Ini terbukti, dengan fakta bahwa masalah ini selalu menahun dan tidak pernah selesai. Dengan kata lain, masalah kerusakan infrastruktur (jalan) yang accute ini seolah tidak pernah tersolusikan dengan tepat.

Selamat menikmati artikel ini.
================



Ilustrasi
    Kompas, Sabtu, 14 April 2012 untuk yang ke sekian kalinya kembali mewartakan tentang kerusakan jalan di Rubrik Nusantara halaman 21, dengan judul:  “Kerusakan Jalan Meluas” dengan sub-judul “Investor Enggan Berbisnis di Daerah”.  

    Sebelumnya dari situs  kompas.com,  25 Maret 2012  juga memberitakan masalah yang sama dengan judul: “Wapres Lewat Jalan Rusak”, ketika Wakil Presiden beserta beberapa menteri melewati jalan Raya Anyer yg rusak parah di Cilegon, Banten (dalam rombongan juga ada Mendikbud Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh).  

    Belum lagi ribuan berita serupa yang pernah disampaikan sebelumnya. Namun tokh masalah kerusakan jalan ini tidak pernah ada akhirnya. Sehingga kerugian moril dan materiil dalam aktivitas bisnis maupun aktifitas publik yang jika dijumlahkan mencapai  triliunan rupiah selalu saja tidak pernah ada solusinya. Sehingga pada gilirannya kemudian menjadi salah satu kontributor yang signifikan bagi ketidakmampuan bersaing bangsa.

    Berita tentang kerusakan jalan yang hampir merata di seluruh Indonesia sering diwartakan oleh banyak media di seluruh Indonesia. Baik melalui media cetak, media elektronik maupun media sosialita. 

    Ribuan berita ini seolah tidak pernah ada matinya, karena solusinya tidak pernah komprehensif. Kerusakan jalan selalu terjadi meski baru diperbaiki Banjirnya informasi tentang kerusakan jalan ini sampai membuat mulut tidak hanya berbuih-buih, namun berdarah-darah, karena terjadinya iritasi di bibir, yang disebabkan oleh terlalu seringnya membicarakan masalah ini namun tidak ada muaranya. 

    Rasanya belum pernah ada solusi permanen yang dapat menjawab tantangan ini, yang ada hanyalah solusi jangka pendek.

    Selama ini yang secara sahih dianggap sebagai biang keladi dari kerusakan jalan dan yang sudah menjadi ritual sebagai analisis forensik konstruksinya adalah karena jalan menerima beban kendaraan yang berlebihan, banjir, kurangnya dana pelaksanaan dan  atau pemeliharaan, pelaksanaan konstruksi atau pemeliharaan jalan yang tidak sesuai spesifikasi teknis yang dipersyaratkan, dana dikorup, kandungan aspal atau semen dicuri, manajemennya kurang baik, tanah longsor atau tanah bergerak, dan lain-lain.

    Semua hal yang menjadi koleksi ritual bagi penyebab akut-nya tingkat kerusakan jalan di Indonesia tersebut di atas memang ada benarnya. Namun sebenarnya ada 1 (satu) analisis penyebab lain yang tidak atau belum pernah  dipergunakan sebagai alternatif solusi, yang menurut saya lebih dapat memberikan solusi  yang lebih baik dan komprehensif. Alternatif solusi ini selama ini tidak ada yang secara jeli  mengamatinya, bahkan mengaplikasikannya.

    Solusi ini pernah saya sampaikan dalam forum dunia konstruksi di beberapa  kesempatan yang dihadiri oleh stakeholders dunia konstruksi khususnya konstruksi perkerasan jalan di Jawa Tengah, yang dihadiri oleh para pakar konstruksi jalan dari akademisi, aparat birokrasi, Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Konsultan dan Kontraktor. Namun masih ada kegamangan dalam aplikasinya, karena masih merupakan hal yang baru, sehingga mereka tidak mau mengambil risiko, mengingat belum ada regulasinya.  Padahal diperlukan terobosan yang inovatif  untuk menjawab masalah yang tidak pernah ada solusinya ini.

    Sebagai contoh supaya apa yang  disampaikan ini tidak dianggap mengada-ada, adalah satu contoh menarik yang sudah lama saya mengamatinya secara ilmiah dalam studi-studi khusus. Yang saya maksud adalah fenomena tentang beberapa ruas jalan di Surabaya dan Sidoarjo, yang meskipun sudah hampir 20 (dua puluh) tahun beroperasi namun jarang tersentuh pemeliharaan, karena tidak pernah mengalami kerusakan yang berarti. 

    Ruas jalan tersebut adalah ruas jalan dari Bunderan Satelit-Jalan Mayjend Sungkono-Adityawarman, serta ruas jalan Aloha-Bandara Juanda. 

    Ruas-ruas jalan tersebut sering tergenang banjir sekaligus juga sering dilewati beban lalu lintas yang super berat dengan frekuensi tinggi, namun boleh dianggap tidak pernah terjadi kerusakan yang berarti meski sudah hampir 20 (dua puluh) tahun melewati masa konstruksi dan masa operasinya.

        Sementara ruas jalan yang lain yaitu  Jalan Gresik-Lamongan-Babat di Jawa Timur, dan juga ruas jalan Babat-Bojonegoro-Cepu-Blora-Purwodadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta ruas jalan tertentu di wilayah-wilayah lain di Indonesia selalu mengalami kerusakan menahun yang akut, yang tidak pernah selesai masalahnya.  

    Juga jalan tol Cipularang sempat longsor.  Mengapa demikian? Karena menurut pengamatan dan studi saya selama ini disebabkan oleh  perbedaan dalam pendekatan perencanaan dan pelaksanaan konstruksinya. Belum lagi kerusakan jalan menahun yang banyak terjadi di daerah dengan kandungan lempung ekspansif tinggi
 
Pendekatan Geokimia-Mineralogi-Kristalografi-Petrologi dalam Konstruksi Jalan sebagai Inovasi

    Dalam pelaksanaan  konstruksi, operasi dan pemeliharaan perkerasan jalan selama ini selalu didekati dengan “pendekatan fisik-mekanik” (physical-mechanical approach). Suatu pendekatan klasik dari aspek kekuatan konstruksinya semata, yang sering mengabaikan aspek durabilitas (keawetan) konstruksi. 

    Jika pernyataan ini kurang tepat, mengapa konstruksi jalan di Indonesia ini sering bermasalah?

    Salah satu kriteria atau persyaratan  dalam pendekatan fisik-mekanik  supaya konstruksi jalan dapat dianggap memenuhi spesifikasi teknis konstruksi adalah jalan dapat secara fisik-mekanik mampu menerima beban berat dari lalu lintas yang beroperasi di atasnya tanpa mengalami kegagalan konstruksi atau malpraktek konstruksi. Baik karena beban vertikal maupun beban horizontal (termasuk beban karena sliding, beban pengereman, maupun pergerakan tanah di bawahnya). Dalam hal ini salah satu requirement-nya adalah memenuhi nilai CBR tertentu untuk konstruksi subgrade, sub-base course, dan base-course-nya.  Serta memenuhi ketentuan-ketentuan compressive strength dan/atau  tensile strength dan/atau flexural strength (modulus of rupture/bend strength/fracture strength) untuk surface course-nya, dalam hal ini khususnya bagi bahan atau material konstruksinya. Baik untuk flexible pavement (aspal) maupun rigid pavement (beton). Itupun masih ditambah technical requirements lain yang hanya dapat dipahami oleh forum yang dihadiri oleh stakeholders khusus dunia konstruksi saja, karena terlalu teknis untuk disampaikan di ruang publik yang sangat heterogen ini. 

    Penulis kira tidak cukup bijak untuk menambahkan requirements lain, seperti persyaratan-persyaratan  LA Test, liquid limit, bleeding, segregasi, dan sebagainya di ruang publik ini. 

    Di samping itu juga karena itu tidak cukup sebagai persyaratan jika kita melakukan treatment dengan pendekatan inovatif yang saya sebut dengan “pendekatan kimia-geologi” (chemical-geological approach), atau lebih tepatnya saya sering menyebutnya sebagai “pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi” (geochemical-mineralogical-chrystalographical-petrological  approach).

    Dari pengamatan dan studi saya, sekuat apapun suatu konstruksi, sangat sulit untuk menerima serangan kimia.  Baja meskipun dikenal sebagai material yang sangat kuat, sering kesulitan untuk menghindar dari bahaya korosi, yang sering mengancam durabilitasnya. Maka kemudian dikenal ilmu metalurgi, yang dapat memberikan solusi bagaimana baja dapat kuat,  tahan karat, atau memiliki daktilitas tertentu, atau tahan gores, dan sebagainya.. Maka kemudian dikenal proporsi mix-design dalam alloy-nya.  Di sini diperlukan pengetahuan tentang perilaku ferrum, carbon, chrom, phosphor, mangaan, vanadium dan lain-lain, untuk memberikan kinerja yang baik bagi baja.

    Pemahaman Material baja dari perspektif Geokimia, Mineralogi, dan Kristalografi, sangat penting bagi civil engineers. Karena berkaitan dengan durabilitas baja tulangan beton, baja profil (canal, WF-H-Beam, dll), PC Strand, PC Wire dan lain-lain. 

    Intinya, seluruh material bahan baku konstruksi wajib dipahami dari aspek yang berkaitan dengan judul artikel ini. 

    Material bahan baku konstruksi utama sebenarnya tidak banyak, yaitu hanya tanah (sebagai tumpuan fondasi, pengisi badan bendungan, sub-grade, dll), semen, beton, baja, kayu dan yang terakhir adalah kaca konstruksi yang baru mulai digunakan untuk lantai/slab jembatan kaca. Semuanya sangat berkaitan dengan geokimia, mineralogi, kristalografi dan petrologi konstruksi

    Sementara material-material lainnya adalah material arsitektural dan mekanikal-elektrikal. Meskipun material-material arsitektural dan mekanikal-elektrikal, banyak di antaranya yang sangat berkaitan dengan geokimia, mineralogi, kristalografi maupun petrologi. Contoh material dimaksud adalah : cat, bata ringan (light-weight concrete), paving-stone, partisi, genteng, dan lain-lain.

    Dalam konstruksi jalan, dikenal struktur berlapis, mulai dari subgrade, sub-base course, base-course dan surface course.  Dalam pemahamannya kemudian, apakah seluruh lapis dalam struktur atau konstruksi jalan tersebut mampu memiliki durabilitas yang tinggi khususnya terhadap serangan kimia dan cuaca atau iklim? Itulah similarisasinya.
 
    Apakah cukup dengan kekuatan struktur yang ditinjau dari aspek-aspek fisikal-mekanikal semata? Saya kira faktanya selama ini, hal  itu saja tidak cukup.

    Kekuatan suatu struktur jalan maupun bangunan konstruksi lainnya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang asam dengan dominasi sulfat dan chlorida tentu saja harus lebih diwaspadai. 

    Begitu juga untuk lingkungan dengan basa kuat. 

    Dengan kata lain untuk daerah dengan dominasi asam kuat, jangan digunakan material dengan ciri basa kuat. Jika sulit mencari material dengan ciri tersebut sebaiknya paling tidak menggunakan batuan yang bersifat netral.  

    Material batuan sangat dominan dipergunakan dalam subgrade, sub-base course, base-course dan surface-course.  Oleh karena itu pengetahuan geokimia, mineralogi, kristalografi dan petrologi tentang batuan harus benar-benar dipahami dalam dunia konstruksi.

     Selama ini stakeholders dunia konstruksi hanya memberikan kriteria, batuan yang wajib dipakai sebagai bahan baku untuk aggregates pokoknya harus keras, atau memenuhi LA Test dengan angka tertentu. Padahal kekuatan batuan tidak cukup untuk membuat struktur jalan menjadi awet, meski kuat di awal masa konstruksi. 

    Jika lingkungan kimia-nya tidak mendukung seperti lingkungan dengan wilayah penuh hujan asam, lingkungan marine atau coastal yang penuh sulfat dan chlorida, atau lingkungan yang kuat secara basa, wajib dihadapi dengan pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi.  

    Sebagai contoh, batuan basalt yang memiliki PH tinggi (bersifat basa) jangan digunakan di lingkungan laut yang biasanya banyak mengandung sulfat dan chlorida. Sebaliknya batuan asam seperti granit sebaiknya jangan digunakan di daerah yang lingkungannya basa kuat karena akan mengancam kekuatannya.

    Mengapa pengetahuan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi  wajib dimiliki oleh stakeholders dunia konstruksi, padahal mungkin saja kita dapat minta masukan tentang ilmu tersebut dari para geolog atau ahli kimia? Ya, karena berdasar pengalaman di lapangan, selama ini para geolog dan ahli kimia jarang yang mendalami ilmu ini, khususnya yang dikorelasikan atau yang ada linking-nya dengan dunia konstruksi.
 
    Mereka lebih intens dan lebih tertarik pada geologi pertambangan baik pertambangan migas maupun pertambangan minerba, yang lebih menjanjikan bagi masa depan. 

    Juga para ahli kimia jarang yang secara intens mendalami geokimia untuk keperluan konstruksi, karena mereka lebih tertarik pada kimia industri, kimia pertambangan atau petrokimia yang lebih menjanjikan. 

    Geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi untuk keperluan konstruksi benar-benar belum ada yang menggarapnya. Menjadi kewajiban para ahli konstruksi jalan untuk menggelutinya, untuk memperoleh jawaban atas seluruh permasalahan jalan yang ada di Indonesia selama ini.

    Pengetahuan tentang sifat-sifat batuan dalam perspektif geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi wajib untuk didalami demi tercapainya durabilitas hasil pelaksanaan konstruksi jalan. 

     Selama ini konstruksi jalan hanya mengenal bahwa batuan granit, gabbro, andesit, basalt itu kuat, namun sifat-sifat kimia dan geologisnya jarang yang mendalaminya. Untuk itu sebaiknya pemahaman geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi wajib dipahami secara benar untuk penggunaan batuan dalam struktur jalan.  

    Untuk semua batuan yang potensinya ada di sekitar wilayah konstruksi masing-masing wajib dipahami secara benar tentang kemampuannya terhadap chemical attack maupun serangan cuaca atau iklim. 

    Seperti batuan yang sudah ditetapkan sebagai kriteria dalam ASTM, British Standard, Japan Standard, DIN, Singapore Standard, Australian Standard, dan lain-lain, yang dikelompokkan dalam kelompok batuan  artificial group, basalt group, flint groups, gabbro groups, granite group, gritstone group, hornfels group, limestone group, porphyry group, quartzite group, atau schist group.

    Termasuk dalam lingkup ini adalah pemahaman tentang kelebihan dan kekurangan aspal maupun semen atau beton sebagai bahan pengikat dalam surface course. 

    Juga jika calcium atau portland cement akan dimanfaatkan dalam solidifikasi untuk subgrade, sub-base coarse, maupun base-course. Bagaimana proporsi, jenis dan kadarnya.   Bagaimana menanggulangi kekurangannya dan meningkatkan kelebihannya.

Geokimia
    Pengetahuan geokimia khususnya geokimia untuk keperluan konstruksi kita hanya perlu mendalami kurang dari sepuluh unsur atau oksida kimia. Yaitu  unsur-unsur atau oksida-oksida yang menguntungkan bagi dunia konstruksi seperti Calcium (Ca), Ferrum (Fe), Silica (Si), Alumina (Al)  atau saya sering memberi akronim “cafesial”  dan unsur-unsur yang sering merugikan dalam dunia konstruksi, yaitu Magnesium (Mg), Kalium (K), dan Natrium (Na), atau saya sering memberikan akronim “makan”.

    Sedang pemahaman tentang oksida-oksidanya, hanya perlu ditambah dengan unsur oksigen atau O2.    Pemahaman tentang geokimia berupa “cafesial” dan “makan” ditambah  O2, sering saya pahami sebagai  pendekatan  “O-makan-cafesial”, seperti cara yang ditempuh untuk memahami warna pelangi yang selama ini menggunakan akronim “mejikuhibiniu” (merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu), supaya cepat merasuk di benak dan hati.

Mineralogi
    Pemahaman tentang mineralogi, hanya perlu mendalami masalah expansive clay (lempung ekspansif) yang biasanya mengandung alumina yang berlebihan dengan cara lebih mendalami lagi berbagai macam jenis clay (lempung). Karena selama ini dalam terminologi Soil Mechanics (Mekanika Tanah) dan Foundation Engineering (Teknik Fondasi) hanya dikenal sand, silt dan clay.  

    Dalam perspektif mineralogi, maka jenis clay (lempung) wajib diperdalam dengan mengetahui jenis mineralnya, karena dengan hanya memahami sebatas clay saja tidaklah cukup.  Kedalaman pemahaman tentang sifat-sifat mineral lempung apakah termasuk dalam Kaolin Group seperti kaolinite, dickite, nacrite, halloysite atau termasuk dalam Montmorillonite Group seperti montmorillonite, beidellite, nontronite, saponite maupun termasuk dalam Alkali Bearing Clays seperti illite.  

    Karena masing-masing memiliki pengaruh berbeda, khususnya dalam pencapaian kekuatan dalam perbaikan tanah asli atau subgrade dalam proses land preparation, khususnya dalam solidifikasi tanah (land solidification)

    Dalam pemahaman tentang mineralogi untuk keperluan konstruksi, kita juga sering menjumpai satuan berupa total luasan per satuan berat yang disebut specific surface (luas jenis), untuk memahami tentang kelembutan mineral, khususnya mineral yang termasuk dalam jenis clay, yang sangat berpengaruh pada tingkat ekspansivitas atau kembang susut clay, sehingga dapat ditentukan kemungkinan penjinakannya., supaya tanah tidak mudah bergerak yang sering kali menyebabkan jalan menjadi rusak.

Kristalografi
    Sedangkan pemahaman tentang kristalografi hanya perlu memahami apakah suatu mineral penyusun bahan material untuk konstruksi termasuk crystalline atau amorphous (amorf), untuk memberi solusi atas kegagalan dalam menentukan jenis material yang tepat supaya jalan tidak cepat rusak. Juga kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Petrologi
    Petrologi memberi bekal pengetahuan dalam menentukan jenis-jenis batuan yang akan dipergunakan dalam struktur jalan, mulai subgrade, sub-base course, base-course, dan surface-course, supaya tidak salah pilih batuan sebagai aggregate, sebagai timbunan, maupun sebagai campuran dengan aspal atau semen menjadi beton.

Aspek Biaya
    Untuk pendekatan ini relatif tidak diperlukan tambahan biaya yang besar, karena tinggal menambahkan biaya laboratorium dan analisisnya untuk aspek geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi. Masalahnya hanya pada langkanya atau mungkin tidak adanya tenaga ahli yang dapat menganalisis masalah kerusakan jalan dengan pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi untuk keperluan konstruksi.

    Demikian, semoga telaah rintisan ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pihak manapun secara ilmiah, aplikatif sekaligus inovatif, dengan harapan dapat mengurai benang kusut masalah kerusakan jalan yang secara akut menghantui infrastruktur utama di Indonesia ini. Semoga dapat memberikan kontribusi yang solutif dalam akut-nya masalah kerusakan jalan di Indonesia.

Salam 

Ratmaya Urip
Jakarta, April 2012
=========== =====

Catatan:
*) Penulis adalah pemerhati masalah Infrastruktur Dari Perspektif Geokimia, Mineralogi, Kristalografi dan Petrologi Konstruksi.
Alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


PENGANTAR ILMU GEOKIMIA, MINERALOGI, KRISTALOGRAFI DAN PETROLOGI KONSTRUKSI :


 Artikel ini pernah diterbitkan pada bulan April tahun 2012. 

Kemudian diunggah kembali 10 tahun kemudian


 
 
PENGANTAR ILMU
GEOKIMIA, MINERALOGI, KRISTALOGRAFI DAN PETROLOGI KONSTRUKSI
Suatu Telaah Rintisan

(Analisis Forensik Konstruksi atas Kerusakan Lapis Perkerasan Jalan dalam Perspektif Geokimia, Mineralogi, Kristalografi dan Petrologi Konstruksi)

Oleh:  Ratmaya Urip*)

Pengantar:

    Menelaah atau menganalisis secara Forensik atas  Kerusakan Konstruksi Jalan Raya dari perspektif dengan judul di atas, mungkin tidak banyak peminatnya.  Mengingat banyaknya peminat yang lebih suka menganalisisnya dari perspektif Ilmu Teknik Tanah Konvensional. 

    Namun bagaimanapun, sebagai bagian dari Ilmu Teknik, dan pula sebagai pelengkap khazanah keilmuan yang telah ada sebelumnya, penulis berharap, artikel ini ada manfaatnya dan dapat memberikan kontribusi bagi masalah yang ada, mengingat kajian ini berhubungan dengan kelancaran dalam  aktifitas publik maupun aktifitas bisnis. Khususnya jika kita kaitkan dengan konteks pemasaran dan distribusi barang, mobilitas kerja, kerugian moril dan materiil akibat kerusakan salah satu jalur distribusi, dan lain-lain. 

    Artikel ini juga untuk melengkapi analisis-analisis sebelumnya di bidang ini, baik dalam kajian-kajian ilmiah di bangku kuliah, seminar-seminar, symposium, workshop dan lain-lain maupun analisis-analisis kontemporer di media-media cetak, elektronik dan media sosial.

     Karena menurut penulis  kurang lengkap diagnosisnya, sehingga therapy yang diberikanpun belum cukup komprehensif dan solutif. Ini terbukti, dengan fakta bahwa masalah ini selalu menahun dan tidak pernah selesai. Dengan kata lain, masalah kerusakan infrastruktur (jalan) yang accute ini seolah tidak pernah tersolusikan dengan tepat.

Selamat menikmati artikel ini.
================



Ilustrasi
    Kompas, Sabtu, 14 April 2012 untuk yang ke sekian kalinya kembali mewartakan tentang kerusakan jalan di Rubrik Nusantara halaman 21, dengan judul:  “Kerusakan Jalan Meluas” dengan sub-judul “Investor Enggan Berbisnis di Daerah”.  

    Sebelumnya dari situs  kompas.com,  25 Maret 2012  juga memberitakan masalah yang sama dengan judul: “Wapres Lewat Jalan Rusak”, ketika Wakil Presiden beserta beberapa menteri melewati jalan Raya Anyer yg rusak parah di Cilegon, Banten (dalam rombongan juga ada Mendikbud Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh).  

    Belum lagi ribuan berita serupa yang pernah disampaikan sebelumnya. Namun tokh masalah kerusakan jalan ini tidak pernah ada akhirnya. Sehingga kerugian moril dan materiil dalam aktivitas bisnis maupun aktifitas publik yang jika dijumlahkan mencapai  triliunan rupiah selalu saja tidak pernah ada solusinya. Sehingga pada gilirannya kemudian menjadi salah satu kontributor yang signifikan bagi ketidakmampuan bersaing bangsa.

    Berita tentang kerusakan jalan yang hampir merata di seluruh Indonesia sering diwartakan oleh banyak media di seluruh Indonesia. Baik melalui media cetak, media elektronik maupun media sosialita. 

    Ribuan berita ini seolah tidak pernah ada matinya, karena solusinya tidak pernah komprehensif. Kerusakan jalan selalu terjadi meski baru diperbaiki Banjirnya informasi tentang kerusakan jalan ini sampai membuat mulut tidak hanya berbuih-buih, namun berdarah-darah, karena terjadinya iritasi di bibir, yang disebabkan oleh terlalu seringnya membicarakan masalah ini namun tidak ada muaranya. 

    Rasanya belum pernah ada solusi permanen yang dapat menjawab tantangan ini, yang ada hanyalah solusi jangka pendek.

    Selama ini yang secara sahih dianggap sebagai biang keladi dari kerusakan jalan dan yang sudah menjadi ritual sebagai analisis forensik konstruksinya adalah karena jalan menerima beban kendaraan yang berlebihan, banjir, kurangnya dana pelaksanaan dan  atau pemeliharaan, pelaksanaan konstruksi atau pemeliharaan jalan yang tidak sesuai spesifikasi teknis yang dipersyaratkan, dana dikorup, kandungan aspal atau semen dicuri, manajemennya kurang baik, tanah longsor atau tanah bergerak, dan lain-lain.

    Semua hal yang menjadi koleksi ritual bagi penyebab akut-nya tingkat kerusakan jalan di Indonesia tersebut di atas memang ada benarnya. Namun sebenarnya ada 1 (satu) analisis penyebab lain yang tidak atau belum pernah  dipergunakan sebagai alternatif solusi, yang menurut saya lebih dapat memberikan solusi  yang lebih baik dan komprehensif. Alternatif solusi ini selama ini tidak ada yang secara jeli  mengamatinya, bahkan mengaplikasikannya.

    Solusi ini pernah saya sampaikan dalam forum dunia konstruksi di beberapa  kesempatan yang dihadiri oleh stakeholders dunia konstruksi khususnya konstruksi perkerasan jalan di Jawa Tengah, yang dihadiri oleh para pakar konstruksi jalan dari akademisi, aparat birokrasi, Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Konsultan dan Kontraktor. Namun masih ada kegamangan dalam aplikasinya, karena masih merupakan hal yang baru, sehingga mereka tidak mau mengambil risiko, mengingat belum ada regulasinya.  Padahal diperlukan terobosan yang inovatif  untuk menjawab masalah yang tidak pernah ada solusinya ini.

    Sebagai contoh supaya apa yang  disampaikan ini tidak dianggap mengada-ada, adalah satu contoh menarik yang sudah lama saya mengamatinya secara ilmiah dalam studi-studi khusus. Yang saya maksud adalah fenomena tentang beberapa ruas jalan di Surabaya dan Sidoarjo, yang meskipun sudah hampir 20 (dua puluh) tahun beroperasi namun jarang tersentuh pemeliharaan, karena tidak pernah mengalami kerusakan yang berarti. 

    Ruas jalan tersebut adalah ruas jalan dari Bunderan Satelit-Jalan Mayjend Sungkono-Adityawarman, serta ruas jalan Aloha-Bandara Juanda. 

    Ruas-ruas jalan tersebut sering tergenang banjir sekaligus juga sering dilewati beban lalu lintas yang super berat dengan frekuensi tinggi, namun boleh dianggap tidak pernah terjadi kerusakan yang berarti meski sudah hampir 20 (dua puluh) tahun melewati masa konstruksi dan masa operasinya.

        Sementara ruas jalan yang lain yaitu  Jalan Gresik-Lamongan-Babat di Jawa Timur, dan juga ruas jalan Babat-Bojonegoro-Cepu-Blora-Purwodadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta ruas jalan tertentu di wilayah-wilayah lain di Indonesia selalu mengalami kerusakan menahun yang akut, yang tidak pernah selesai masalahnya.  

    Juga jalan tol Cipularang sempat longsor.  Mengapa demikian? Karena menurut pengamatan dan studi saya selama ini disebabkan oleh  perbedaan dalam pendekatan perencanaan dan pelaksanaan konstruksinya. Belum lagi kerusakan jalan menahun yang banyak terjadi di daerah dengan kandungan lempung ekspansif tinggi
 
Pendekatan Geokimia-Mineralogi-Kristalografi-Petrologi dalam Konstruksi Jalan sebagai Inovasi

    Dalam pelaksanaan  konstruksi, operasi dan pemeliharaan perkerasan jalan selama ini selalu didekati dengan “pendekatan fisik-mekanik” (physical-mechanical approach). Suatu pendekatan klasik dari aspek kekuatan konstruksinya semata, yang sering mengabaikan aspek durabilitas (keawetan) konstruksi. 

    Jika pernyataan ini kurang tepat, mengapa konstruksi jalan di Indonesia ini sering bermasalah?

    Salah satu kriteria atau persyaratan  dalam pendekatan fisik-mekanik  supaya konstruksi jalan dapat dianggap memenuhi spesifikasi teknis konstruksi adalah jalan dapat secara fisik-mekanik mampu menerima beban berat dari lalu lintas yang beroperasi di atasnya tanpa mengalami kegagalan konstruksi atau malpraktek konstruksi. Baik karena beban vertikal maupun beban horizontal (termasuk beban karena sliding, beban pengereman, maupun pergerakan tanah di bawahnya). Dalam hal ini salah satu requirement-nya adalah memenuhi nilai CBR tertentu untuk konstruksi subgrade, sub-base course, dan base-course-nya.  Serta memenuhi ketentuan-ketentuan compressive strength dan/atau  tensile strength dan/atau flexural strength (modulus of rupture/bend strength/fracture strength) untuk surface course-nya, dalam hal ini khususnya bagi bahan atau material konstruksinya. Baik untuk flexible pavement (aspal) maupun rigid pavement (beton). Itupun masih ditambah technical requirements lain yang hanya dapat dipahami oleh forum yang dihadiri oleh stakeholders khusus dunia konstruksi saja, karena terlalu teknis untuk disampaikan di ruang publik yang sangat heterogen ini. 

    Penulis kira tidak cukup bijak untuk menambahkan requirements lain, seperti persyaratan-persyaratan  LA Test, liquid limit, bleeding, segregasi, dan sebagainya di ruang publik ini. 

    Di samping itu juga karena itu tidak cukup sebagai persyaratan jika kita melakukan treatment dengan pendekatan inovatif yang saya sebut dengan “pendekatan kimia-geologi” (chemical-geological approach), atau lebih tepatnya saya sering menyebutnya sebagai “pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi” (geochemical-mineralogical-chrystalographical-petrological  approach).

    Dari pengamatan dan studi saya, sekuat apapun suatu konstruksi, sangat sulit untuk menerima serangan kimia.  Baja meskipun dikenal sebagai material yang sangat kuat, sering kesulitan untuk menghindar dari bahaya korosi, yang sering mengancam durabilitasnya. Maka kemudian dikenal ilmu metalurgi, yang dapat memberikan solusi bagaimana baja dapat kuat,  tahan karat, atau memiliki daktilitas tertentu, atau tahan gores, dan sebagainya.. Maka kemudian dikenal proporsi mix-design dalam alloy-nya.  Di sini diperlukan pengetahuan tentang perilaku ferrum, carbon, chrom, phosphor, mangaan, vanadium dan lain-lain, untuk memberikan kinerja yang baik bagi baja.

    Pemahaman Material baja dari perspektif Geokimia, Mineralogi, dan Kristalografi, sangat penting bagi civil engineers. Karena berkaitan dengan durabilitas baja tulangan beton, baja profil (canal, WF-H-Beam, dll), PC Strand, PC Wire dan lain-lain. 

    Intinya, seluruh material bahan baku konstruksi wajib dipahami dari aspek yang berkaitan dengan judul artikel ini. 

    Material bahan baku konstruksi utama sebenarnya tidak banyak, yaitu hanya tanah (sebagai tumpuan fondasi, pengisi badan bendungan, sub-grade, dll), semen, beton, baja, kayu dan yang terakhir adalah kaca konstruksi yang baru mulai digunakan untuk lantai/slab jembatan kaca. Semuanya sangat berkaitan dengan geokimia, mineralogi, kristalografi dan petrologi konstruksi

    Sementara material-material lainnya adalah material arsitektural dan mekanikal-elektrikal. Meskipun material-material arsitektural dan mekanikal-elektrikal, banyak di antaranya yang sangat berkaitan dengan geokimia, mineralogi, kristalografi maupun petrologi. Contoh material dimaksud adalah : cat, bata ringan (light-weight concrete), paving-stone, partisi, genteng, dan lain-lain.

    Dalam konstruksi jalan, dikenal struktur berlapis, mulai dari subgrade, sub-base course, base-course dan surface course.  Dalam pemahamannya kemudian, apakah seluruh lapis dalam struktur atau konstruksi jalan tersebut mampu memiliki durabilitas yang tinggi khususnya terhadap serangan kimia dan cuaca atau iklim? Itulah similarisasinya.
 
    Apakah cukup dengan kekuatan struktur yang ditinjau dari aspek-aspek fisikal-mekanikal semata? Saya kira faktanya selama ini, hal  itu saja tidak cukup.

    Kekuatan suatu struktur jalan maupun bangunan konstruksi lainnya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang asam dengan dominasi sulfat dan chlorida tentu saja harus lebih diwaspadai. 

    Begitu juga untuk lingkungan dengan basa kuat. 

    Dengan kata lain untuk daerah dengan dominasi asam kuat, jangan digunakan material dengan ciri basa kuat. Jika sulit mencari material dengan ciri tersebut sebaiknya paling tidak menggunakan batuan yang bersifat netral.  

    Material batuan sangat dominan dipergunakan dalam subgrade, sub-base course, base-course dan surface-course.  Oleh karena itu pengetahuan geokimia, mineralogi, kristalografi dan petrologi tentang batuan harus benar-benar dipahami dalam dunia konstruksi.

     Selama ini stakeholders dunia konstruksi hanya memberikan kriteria, batuan yang wajib dipakai sebagai bahan baku untuk aggregates pokoknya harus keras, atau memenuhi LA Test dengan angka tertentu. Padahal kekuatan batuan tidak cukup untuk membuat struktur jalan menjadi awet, meski kuat di awal masa konstruksi. 

    Jika lingkungan kimia-nya tidak mendukung seperti lingkungan dengan wilayah penuh hujan asam, lingkungan marine atau coastal yang penuh sulfat dan chlorida, atau lingkungan yang kuat secara basa, wajib dihadapi dengan pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi.  

    Sebagai contoh, batuan basalt yang memiliki PH tinggi (bersifat basa) jangan digunakan di lingkungan laut yang biasanya banyak mengandung sulfat dan chlorida. Sebaliknya batuan asam seperti granit sebaiknya jangan digunakan di daerah yang lingkungannya basa kuat karena akan mengancam kekuatannya.

    Mengapa pengetahuan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi  wajib dimiliki oleh stakeholders dunia konstruksi, padahal mungkin saja kita dapat minta masukan tentang ilmu tersebut dari para geolog atau ahli kimia? Ya, karena berdasar pengalaman di lapangan, selama ini para geolog dan ahli kimia jarang yang mendalami ilmu ini, khususnya yang dikorelasikan atau yang ada linking-nya dengan dunia konstruksi.
 
    Mereka lebih intens dan lebih tertarik pada geologi pertambangan baik pertambangan migas maupun pertambangan minerba, yang lebih menjanjikan bagi masa depan. 

    Juga para ahli kimia jarang yang secara intens mendalami geokimia untuk keperluan konstruksi, karena mereka lebih tertarik pada kimia industri, kimia pertambangan atau petrokimia yang lebih menjanjikan. 

    Geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi untuk keperluan konstruksi benar-benar belum ada yang menggarapnya. Menjadi kewajiban para ahli konstruksi jalan untuk menggelutinya, untuk memperoleh jawaban atas seluruh permasalahan jalan yang ada di Indonesia selama ini.

    Pengetahuan tentang sifat-sifat batuan dalam perspektif geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi wajib untuk didalami demi tercapainya durabilitas hasil pelaksanaan konstruksi jalan. 

     Selama ini konstruksi jalan hanya mengenal bahwa batuan granit, gabbro, andesit, basalt itu kuat, namun sifat-sifat kimia dan geologisnya jarang yang mendalaminya. Untuk itu sebaiknya pemahaman geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi wajib dipahami secara benar untuk penggunaan batuan dalam struktur jalan.  

    Untuk semua batuan yang potensinya ada di sekitar wilayah konstruksi masing-masing wajib dipahami secara benar tentang kemampuannya terhadap chemical attack maupun serangan cuaca atau iklim. 

    Seperti batuan yang sudah ditetapkan sebagai kriteria dalam ASTM, British Standard, Japan Standard, DIN, Singapore Standard, Australian Standard, dan lain-lain, yang dikelompokkan dalam kelompok batuan  artificial group, basalt group, flint groups, gabbro groups, granite group, gritstone group, hornfels group, limestone group, porphyry group, quartzite group, atau schist group.

    Termasuk dalam lingkup ini adalah pemahaman tentang kelebihan dan kekurangan aspal maupun semen atau beton sebagai bahan pengikat dalam surface course. 

    Juga jika calcium atau portland cement akan dimanfaatkan dalam solidifikasi untuk subgrade, sub-base coarse, maupun base-course. Bagaimana proporsi, jenis dan kadarnya.   Bagaimana menanggulangi kekurangannya dan meningkatkan kelebihannya.

Geokimia
    Pengetahuan geokimia khususnya geokimia untuk keperluan konstruksi kita hanya perlu mendalami kurang dari sepuluh unsur atau oksida kimia. Yaitu  unsur-unsur atau oksida-oksida yang menguntungkan bagi dunia konstruksi seperti Calcium (Ca), Ferrum (Fe), Silica (Si), Alumina (Al)  atau saya sering memberi akronim “cafesial”  dan unsur-unsur yang sering merugikan dalam dunia konstruksi, yaitu Magnesium (Mg), Kalium (K), dan Natrium (Na), atau saya sering memberikan akronim “makan”.

    Sedang pemahaman tentang oksida-oksidanya, hanya perlu ditambah dengan unsur oksigen atau O2.    Pemahaman tentang geokimia berupa “cafesial” dan “makan” ditambah  O2, sering saya pahami sebagai  pendekatan  “O-makan-cafesial”, seperti cara yang ditempuh untuk memahami warna pelangi yang selama ini menggunakan akronim “mejikuhibiniu” (merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu), supaya cepat merasuk di benak dan hati.

Mineralogi
    Pemahaman tentang mineralogi, hanya perlu mendalami masalah expansive clay (lempung ekspansif) yang biasanya mengandung alumina yang berlebihan dengan cara lebih mendalami lagi berbagai macam jenis clay (lempung). Karena selama ini dalam terminologi Soil Mechanics (Mekanika Tanah) dan Foundation Engineering (Teknik Fondasi) hanya dikenal sand, silt dan clay.  

    Dalam perspektif mineralogi, maka jenis clay (lempung) wajib diperdalam dengan mengetahui jenis mineralnya, karena dengan hanya memahami sebatas clay saja tidaklah cukup.  Kedalaman pemahaman tentang sifat-sifat mineral lempung apakah termasuk dalam Kaolin Group seperti kaolinite, dickite, nacrite, halloysite atau termasuk dalam Montmorillonite Group seperti montmorillonite, beidellite, nontronite, saponite maupun termasuk dalam Alkali Bearing Clays seperti illite.  

    Karena masing-masing memiliki pengaruh berbeda, khususnya dalam pencapaian kekuatan dalam perbaikan tanah asli atau subgrade dalam proses land preparation, khususnya dalam solidifikasi tanah (land solidification)

    Dalam pemahaman tentang mineralogi untuk keperluan konstruksi, kita juga sering menjumpai satuan berupa total luasan per satuan berat yang disebut specific surface (luas jenis), untuk memahami tentang kelembutan mineral, khususnya mineral yang termasuk dalam jenis clay, yang sangat berpengaruh pada tingkat ekspansivitas atau kembang susut clay, sehingga dapat ditentukan kemungkinan penjinakannya., supaya tanah tidak mudah bergerak yang sering kali menyebabkan jalan menjadi rusak.

Kristalografi
    Sedangkan pemahaman tentang kristalografi hanya perlu memahami apakah suatu mineral penyusun bahan material untuk konstruksi termasuk crystalline atau amorphous (amorf), untuk memberi solusi atas kegagalan dalam menentukan jenis material yang tepat supaya jalan tidak cepat rusak. Juga kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Petrologi
    Petrologi memberi bekal pengetahuan dalam menentukan jenis-jenis batuan yang akan dipergunakan dalam struktur jalan, mulai subgrade, sub-base course, base-course, dan surface-course, supaya tidak salah pilih batuan sebagai aggregate, sebagai timbunan, maupun sebagai campuran dengan aspal atau semen menjadi beton.

Aspek Biaya
    Untuk pendekatan ini relatif tidak diperlukan tambahan biaya yang besar, karena tinggal menambahkan biaya laboratorium dan analisisnya untuk aspek geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi. Masalahnya hanya pada langkanya atau mungkin tidak adanya tenaga ahli yang dapat menganalisis masalah kerusakan jalan dengan pendekatan geokimia-mineralogi-kristalografi-petrologi untuk keperluan konstruksi.

    Demikian, semoga telaah rintisan ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pihak manapun secara ilmiah, aplikatif sekaligus inovatif, dengan harapan dapat mengurai benang kusut masalah kerusakan jalan yang secara akut menghantui infrastruktur utama di Indonesia ini. Semoga dapat memberikan kontribusi yang solutif dalam akut-nya masalah kerusakan jalan di Indonesia.

Salam 

Ratmaya Urip
Jakarta, April 2012
=========== =====

Catatan:
*) Penulis adalah pemerhati masalah Infrastruktur Dari Perspektif Geokimia, Mineralogi, Kristalografi dan Petrologi Konstruksi.
Alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Rabu, 22 Januari 2020

Klinik Konstruksi Berebasis Geokimia & Biokimia Konstruksi


KLINIK DUNIA KONSTRUKSI
BERBASIS GEOKIMIA & BIOKIMIA KONSTRUKSI
(Bagian 1)
Diasuh Oleh: Ratmaya Urip 


Beberapa kawan telah mengajukan pertanyaan melalui email saya,  mengenai masalah konstruksi, dalam hal ini yang berhubungan dengan teknik tanah (geoteknik) khususnya yang berkaitan dengan Geokimia Konstruksi. Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan. Saya akan berusaha memberikan jawaban, semoga cukup puas dengan jawaban saya. Jawaban ini sekedar sharing berdasar secuil experiences yang saya peroleh di lapangan.

Perlu diketahui, saya juga membuka kesempatan untuk berdiskusi atau sharing untuk masalah-masalah Engineering, Construction, Mining, dan/atau Industrial Environment/Issues. Materi-materi untuk bahan diskusi meliputi : Strategic Management, Project Management, Construction Management, SHE Management, Total Quality Management (termasuk ISO Series), Production-Operation Management, dan juga Material Science & Technology seperti Concrete (Beton), Steel (Baja), Cement (Semen), Paper (Kertas), serta Geochemistry for Civil Engineering (Geokimia Teknik Sipil), dll.
 
Untuk Bagian 1 ini, akan saya jawab beberapa pertanyaan dari sdr. David Iswahyudi, tentang konstruksi khususnya tentang teknik tanah (geoteknik) yang berbasis geokimia teknik sipil, sbb:


Sebelumnya terima kasih atas balasan e-mail saya yang pertama dahulu, saya masih bingung untuk beberapa hal tentang stabilisasi gambut dengan bahan fly ash. Maaf kalau terlalu banyak pertanyaannya tapi saya harap bapak mau membantu saya dalam hal ini. sebelumnya terima kasih. saya menunggu balasannya. (David)


ooOoo


Pertanyaan David :
1.Penambahan fly ash (2%, 4%, 6%, 8%) pada lempung malah menurunkan BJ campuran secara berbanding lurus, mengapa?

Jawaban Ratmaya Urip :
Sekali lagi saya perlu menegaskan, lempung itu terdiri dari berbagai macam mineral (senyawa majemuk) dan atau oksida. Lempung terdiri dari beberapa macam senyawa/ mineral : kaolinite, dickite, nacrite, halloysite, montmorillonite, beidellite, nontronite, saponite, illite, dan lain-lain. Untuk penelitian yang sekarang dilakukan, jenis yang mana yang dipakai??? Karena masing-masing mineral mempunyai density, specific grafity dan specific surface yang berbeda pula. Begitu pula komposisi oksidanya juga berbeda (jumlah SiO2 dan Al2O3, serta Fe2O3 berbeda). 

Kalau kita tinjau mineralnya saja dengan mengabaikan oksidanya, maka sebagai contoh : 

· Kaolinite berat jenisnya = 2,60 s/d 2,68 gr/cm3
· Halloysite berat jenisnya = 2,00 s/d 2,20
· Illite berat jenisnya = 2,76 s/d 3,00 

· Belum lagi berat jenis mineral-mineral yang lain. Meskipun di alam, lempung terdiri dari kombinasi beberapa mineral., yang tidak mungkin Kaolinite murni, Montmorillonite murni, dan sebagainya. Pasti kombinasi berbagai macam mineral. Hanya yang paling dominan yang mana.

Sementara fly ash rata-rata mempunyai berat jenis lebih kurang 2,68.
Semen mempunyai berat jenis lebih kurang 3,05 s/d 3,15 

Perlu diketahui, bahwa di samping kandungan oksida, fly ash juga dapat dibedakan dari kandungan senyawa/mineralnya, di antaranya glass (paling dominan karena kandungannya 50% s/d 90%), haematite, magnetite, mullite, quartz, dll.

Jika fly ash dicampur dengan lempung yang kandungan senyawa dominannya berupa Kaolinite yang berat jenisnya hampir sama dengan fly ash yaitu 2,68, maka berat jenis campuran lempung dan fly ash tidak akan berubah

Jika fly ash dicampur dengan lempung yang kandungan senyawa dominannya berupa Halloysite yang berat jenisnya 2,00 s/d 2,20, maka berat jenis campuran akan cenderung naik seiring dengan tambahan dosis fly ash-nya, jika dibandingkan dengan berat jenis lempung sebelum dicampur fly ash

Jika fly ash dicampur dengan lempung yang kandungan senyawa dominannya berupa Illite yang berat jenisnya 2,76 s/d 3,00, maka berat jenis campuran akan cenderung turun seiring dengan tambahan dosis fly ash-nya, , jika dibandingkan dengan berat jenis lempung sebelum dicampur fly ash.
 
Tinjauan di atas masih belum memperhitungkan analysis oksida dan analysis specific surface.

Untuk dapat memahami hal tersebut sebaiknya memang harus mempelajari geokimia dan kimia teknik sipil, apalagi jika ditambah Ilmu Metalurgi. Jika hanya berbasis kemampuan geoteknik/mekanika tanah/teknik fondasi (cabang dari Ilmu Teknik Sipil), maka akan sulit memahaminya, atau akan bias hasilnya.

Katagori tanah (soil) dalam Ilmu Teknik Sipil, yang hanya membatasi pada jenis clay, silt, dan sand maupun kombinasi dari ketiganya tidaklah cukup untuk memahami perilaku tanah (soil). Apalagi untuk memahami bebatuan.
ooOoo

Pertanyaan David :
2. Dari penelitian penambahan fly ash menurunkan IP secara berbanding lurus? berarti grafik IP tidak mungkin berbentuk parabola kan (pada campuran yang sama)? apa juga berlaku untuk semua jenis tanah?

Jawaban Ratmaya Urip : 

IP dipengaruhi oleh nilai luas jenis (specific surface). (Awas perhatikan beda antara luas jenis/specific surface dan berat jenis/specific gravity). Masing-masing jenis tanah lempung mempunyai specific surface yang berbeda. Semakin besar nilai specific surface maka keplastisannya semakin tinggi, karena dengan semakin besar nilai specific surface tanah akan semakin lembut butirannya, sehingga butiran akan semakin spherical dan antar butir akan semakin mudah menggelincir, sehingga pergerakan butiran akan semakin mudah.

Nilai-nilai specific surface :
· Kaolinite = 15 m2/gr = 150.000 cm2/gr
Halloysite = 43 m2/gr = 430.000 cm2/gr
· Illite = 100 m2/gr = 1.000.000 cm2/gr
· Montmorillonite = 800 m2/gr = 8.000.000 cm2/gr

Nilai specific surface fly ash = 1800 s/d 5900 cm2/gr tergantung dari jenis fly ash-nya (dipengaruhi jenis batubaranya) dan cara menangkapnya (dipengaruhi oleh sistem penangkapan fly ash di pabrik penghasil fly ash, apakah dengan Electrostatic Precipitator, dust collector atau lainnya).

Dari perbandingan nilai specific surface, ternyata nilai specific surface fly ash jauh lebih kecil daripada nilai specific surface berbagai senyawa tanah lempung, sehingga dapat dipastikan bahwa fly ash jauh kurang plastis dibandingkan dengan tanah lempung (clay elements). Dengan kata lain fly ash mempunyai IP yang jauh lebih rendah daripada tanah lempung.

Tentang bentuk grafik IP, saya duga memang tidak mungkin berbentuk parabola, namun lebih ke bentuk linier, karena perbandingan nilai specific surface fly ash sangat jauh lebih kecil daripada nilai specific surface tanah lempung.

Apakah berlaku untuk semua jenis tanah? Itu tergantung nilai specific surface tanah, karena tanah itu bukan hanya tanah lempung (felspar, zeolite, dll) atau clay element saja, namun juga ada limestone, chalk, marl, dll, yang masuk dalam lime element, serta other elements. Meskipun yang dominan di bola dunia ini adalah clay component (felspar, zeolite, dll).

Jika specific surface tanah lebih kecil daripada specific surface fly ash, maka fly ash-nya lebih plastis. Beberapa jenis tanah kapur tertentu mempunyai specific surface yang lebih rendah daripada fly ash.

ooOoo

Pertanyaan David :
3. Juga menaikkan plastis limit, padahal fly ash bukannya bersifat non plastis?

Jawaban Ratmaya Urip :

Dari jawaban no. 2 di atas, saya kira sudah dapat memahami seluruh persoalan.
Apakah fly ash itu bersifat plastis atau non plastis adalah relatif, tergantung dengan jenis tanah yang akan dicampur fly ash. Jika specific surface fly ash lebih besar daripada tanah, maka fly ash lebih plastis, jika lebih kecil maka fly ash menjadi lebih tidak plastis.

ooOoo

Pertanyaan David :
4. Saya agak kesulitan mencari reaksi kimia antara fly ash, kapur dan air

Jawaban Ratmaya Urip : 

Kapurnya CaO (kapur padam/kapur bakar/quick-lime) yang berupa oksida atau senyawa kapur majemuk CaCO3 (kapur alam)??

Jika kapurnya oksida kapur maka reaksinya :

CaO + H2O à Ca(OH)2
2(Al2O3.2SiO2) + 7Ca(OH)2 à 3CaO.2SiO2.aq + 2(2CaO.Al2O3.SiO2.aq)
Disingkat à CSH + CASH

Bisa juga terjadi reaksi sebagai berikut (dengan persyaratan dan ketentuan tertentu) :

3CaO + 3SiO2 à 3CaOSiO2 disingkat C3S
2CaO + 2SiO2 à 2CaOSiO2 disingkat C2S
3CaOSiO2 + H2O à 3CaOSiO2.aq + Ca(OH)2
2CaOSiO2 + H2O à 2CaOSiO2.aq + Ca(OH)2
Ca(OH)2 + Al2O3.SiO2 à CaO.SiO2.aq + CaO.Al2O3.SiO2.aq disingkat CSH + CASH

ooOoo

Pertanyaan David :
5. Dari salah satu dosen UGM pembimbing saya mengatakan komposisi bahan campur untuk tanah dibatasi 20%. artinya bila campuran melebihi batas tersebut maka hasil CBR akan jelek. apa benar begitu?

Jawaban Ratmaya Urip :

Yang perlu dipahami adalah, jenis tanahnya harus diketahui dulu, dalam hal ini jenis oksida dominannya dan jenis mineral dominannya (kandungan SiO2, Al2O3, Fe2O3, CaO dan oksida-oksida lainnya, serta jenis mineral-mineralnya seperti Kaolinite, Dickite, Nacrite, Halloysite, Montmorillonite, Beidellite, Nontronite, Saponite, Illite (clay component), limestone, chalk, marl (lime component), dan mineral-mineral lainnya.

Demikian juga jenis bahan campurnya (dalam hal ini jenis oksida atau mineral dominannya.

Tanpa pengetahuan yang cukup tentang kandungan oksida atau kandungan mineralnya, sulit memprediksi jumlah bahan pencampur yang maksimal (kecuali jika terbatas hanya pada ilmu teknik sipilnya saja).

Untuk itu diperlukan penelitian chemical analysis dan geological analysis (khususnya geochemical analysis) dari tanah dan bahan pencampurnya. Jika hanya penelitian yang bersifat physical seperti penelitian di laboratorium Teknik Sipil, datanya tidak cukup untuk dianalysis secara hakiki.

Memang untuk beberapa referensi mengatakan, bahwa kebanyakan dibatasi sampai 20% (Itu karena keterbatasan kemampuan orang-orang teknik sipil, yang biasanya lemah dalam ilmu kimia dan ilmu geologi)
Pada prinsipnya saya masih dapat memahami (berdasar penelitian kimia dan geologis), jika bahan pencampurnya sampai 40%. Namun itu berdasar teori. Untuk prakteknya masih harus diperlukan banyak penelitian lagi, karena yang meneliti untuk aspek ini belum banyak (bahkan mungkin tidak ada). Kenapa tidak banyak yang meneliti? Karena orang-orang teknik sipil terlalu sibuk dengan penelitian yang lebih physical, atau tidak suka Ilmu Kimia, meskipun hanya terbatas Ilmu Kimia Teknik Sipil yang hanya terdiri dari 8 unsur utama. Sementara orang-orang dari teknik kimia lebih tertarik pada penelitian kimia industri, kimia polimer, petrokimia, dan kimia minyak. Juga orang-orang geologi lebih suka meneliti tentang geologi yang lebih komersial, seperti pertambangan logam mulia dan minyak.

Bidang ini adalah bidangnya teknik sipil, khususnya kimia teknik sipil atau geokimia teknik sipil, ilmu yang masih perlu terus menerus dikembangkan, oleh orang-orang teknik sipil sendiri, khususnya untuk program-program master atau doktor).

Saran saya: untuk penelitian index plastisitas, batas atterberg, sudut gesek dalam, swell, CBR, stabilisasi tanah (solidification), dan lain-lain, sebaiknya harus dikaitkan dengan ilmu kimia teknik sipil dan geokimia teknik sipil, supaya lebih hakiki.

Oh, ya...Siapa dosen UGM yang menjadi pembimbing anda? Salam saya untuknya, karena saya dibesarkan di sana. Kalau perlu kita bisa diskusikan hal ini.

ooOoo

Pertanyaan David :
6. Apakah hubungan swell selalu berbanding lurus dengan CBR walaupun pada campuran yang berbeda? 

Jawaban Ratmaya Urip :

Swell berhubungan dengan kerapatan butiran tanah atau besar kecilnya angka pori tanah, atau permeabilitas dari tanah. Ini kita belum bicara masalah specific surface. Semakin besar swell-nya maka jumlah butiran tanah dalam satu satuan volume akan berkurang. Atau lebih tepatnya jumlah butiran per satuan volume akan berkurang. Jika jumlah butiran per volume berkurang akan menyebabkan daya dukung tanah berkurang. Jika daya dukung tanah berkurang menyebabkan nilai CBR turun. Begitu juga sebaliknya.

Sekali lagi saya sampaikan, bahwa sebelum proses pencampuran harus selalu diketahui dulu oksida dan atau mineralnya dengan chemical analysis dan geological analysis, jangan semata-mata berdasar penelitian fisikal saja. Juga moisture content-nya.

ooOoo

Pertanyaan David :
7. Untuk swell, mengapa hanya dilakukan 4 hari padahal setelahnya masih terjadi swell yang mungkin signifikan?

Jawaban Ratmaya Urip :

Tergantung jenis oksida atau mineral tanahnya. Untuk tanah dengan kandungan kalsium yang dominan, maka 4 hari sudah cukup. Tanah kapur-pun, jika kapurnya CaO atau CaMgO atau MgCO3 atau CaSO4nH2O bukan CaCO3, juga memerlukan waktu swelling yang lama. Masalahnya memang tanah kapur kebanyakan adalah CaCO3. Sementara tanah dengan kandungan alumina dominan (lempung ekspansip), maka proses swelling sering memerlukan waktu yang lama, khususnya jika moisture content-nya tinggi.

ooOoo

Pertanyaan David :
8. Juga pada CBR, mengapa titik yang diambil yaitu 0,1" dan 0,2"? padahal peningkatan yang besar masih terjadi setelahnya.

Jawaban Ratmaya Urip :

Mirip dengan jawaban nomor 7

ooOoo

Pertanyaan David :
9. Apa anda memiliki literatur tentang stabilisasi tanah gambut dengan fly ash? karena saya sudah mencari di berbagai media belum saya temui topik tersebut.

Jawaban Ratmaya Urip :

Literatur tentang hal itu memang sangat sedikit, saya sendiri tidak memilikinya. Saya hanya memiliki pengalaman lapangan, sehingga saya sedikit mempunyai referensi empiris, meskipun sebenarnya dapat saya buat menjadi sebuah buku. 

Kita juga dapat menganalisisnya berdasar pengetahuan kimia dan geologi kita (tentu saja di samping pengetahuan geoteknik kita).

Yang pasti tanah gambut (yang banyak jumlahnya di Kalimantan dan Sumatra), memang berbeda dengan tanah rawa di Jawa. Tanah gambut dominan dengan unsur kimia organik, khususnya C atau CO2, meskipun kandungan SiO2 dan Al2 O3 juga banyak. Gambut sebenarnya juga dapat dimasukkan sebagai bahan bakar setengah fosil. Sementara tanah rawa di Jawa lebih dominan SiO2 dan Al2O3, dengan kandungan mineral dominan Halloysite, Montmorillonite, dan Illite yang masuk dalam katagori kimia non-organik.

Dalam stabilisasi tanah gambut, maka kita harus berasumsi bahwa kandungan organiknya (khususnya lignin dan humusnya) dianggap sebagai filler, sementara cellulosa-nya dapat dianggap sebagai reinforcement.

  Meskipun kita tahu bahwa bahan organik sangat merugikan bagi pembentukan kekuatan beton atau tanah. Jika ingin benar-benar berfungsi untuk stabilisasi tanah maka tanah gambut harus dibakar dulu supaya kandungan carbonnya menguap, dan yang tersisa adalah SiO2 dan Al2O3 dominan. Namun itu pasti memerlukan biaya yang besar sekali dan juga mencemari lingkungan dalam hal ini menimbulkan kebakaran tanah gambut yang lebih luas (dan akan timbul efek rumah kaca karena adanya emisi karbon dioksida, di samping masalah asapnya yang bisa terekspor ke Malaysia dan Singapura)

ooOoo

Pertanyaan David :
10. Dari penelitian saya dihasilkan nilai CBR sbb:

- tanah A tanpa peram (gambut+6%fly ash) = 8.302%
- tanah A peram 7 hari = 8.927%
nilai itu lebih besar dari
- tanah B tanpa peram (gambut+7%gypsum+6%fly ash) = 8.022%
- tanah B peram 7 hari = 8.841%
mengapa bisa begitu?


Jawaban Ratmaya Urip :

Saya tidak dapat menganalisis lebih dalam karena saya belum memperoleh data kandungan kimia dan geologi dari tanah gambut serta kandungan kimia dari fly ash. Ibarat dokter, maka saya tidak dapat mendiagnose suatu penyakit jika data laboratoriumnya belum ada. Ingat, bahwa fly ash-pun bermacam-macam jenisnya. Ada yang low calcium ada yang high calcium. Juga apakah termasuk fly ash klas F (hasil pembakaran batubara jenis anthracite dan bituminous) atau klas C (hasil pembakaran batubara jenis sub-bituminous atau lignite).

Meskipun saya tidak dapat menganalisis karena tidak ada data penelitian geologi dan penelitian kimia, namun saya dapat menduga. Dugaan saya adalah sebagai berikut :

· Fly ash yang dipakai adalah jenis C, yang biasanya high calcium. Karena ada calcium, maka akan berreaksi dengan SiO2 dan Al2O3 yang ada di tanah gambut.
· Gypsum adalah CaSO42H2O, yang mempunyai sifat mengembang (swell) yang tinggi.

Karena dugaan tersebut di atas, maka :
  • Tanah A dengan peram 7 hari akan lebih besar nilainya daripada tanah A tanpa peram, karena calcium dalam fly ash klas C yang berreaksi dengan silika oksida dan alumina oksida dalam tanah gambut akan menyebabkan terjadinya sementasi dan flokulasi, sehingga kerapatan butiran menjadi tinggi, dengan kata lain jumlah butiran per satuan volume akan naik, sehingga nilai CBR-nya akan naik. Begitu juga halnya dengan perbedaan nilai CBR yang terjadi antara tanah B dengan peram dan tanpa peram.
  •  
  • Perbedaan tanah A dan tanah B terjadi karena dengan adanya gypsum maka potensi untuk mengembang menjadi besar, karena gypsum adalah material yang mudah mengembang. Karena mengembang, maka jumlah butiran per satuan volume menjadi mengecil, sehingga nilai CBR akan mengecil. Hanya saja tingkat pengembangan dari gypsum, masih lebih kecil daripada tingkat sementasi atau flokulasi dari adanya reaksi kimia antara calcium dari fly ash klas C dengan silika dan alumina oksida.
  •  
ooOoo

Pertanyaan David :
11. Apakah nilai Indek Plastisitas berbanding lurus dengan nilai swell?

Jawaban Ratmaya Urip :

Ya. Karena logikanya jika swell-nya besar, maka jumlah butiran per satuan volume akan mengecil, sehingga proses gerak mekanis dari butiran akan semakin leluasa, karena ruang gerak butiran menjadi lebih besar. Ini adalah jawaban yang paling mudah dipahami karena sangat sederhana.

Di samping itu ada jawaban saya yang lain yang berkaitan dengan nilai specific surface, namun penjelasannya terlalu rumit, yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang benar-benar memahami kimia, geologi dan metalurgi.

Demikian jawaban-jawaban saya. Yang pasti saya memang berangkat dari disiplin Ilmu Teknik Sipil, namun karena ternyata belum cukup untuk memahami tentang perilaku struktur tanah, maka saya belajar tentang tanah lebih dalam, termasuk aspek kimia, geologi, dan pertaniannya.

Yang pasti pertanyaan-pertanyaan anda sangat bagus, yang hanya bisa dijawab oleh orang-orang yang benar-benar dalam pengetahuannya tentang hal ini, yang tidak mungkin diperoleh jawabannya dari seseorang yang hanya mendalami Teknik Sipil, khususnya dalam hal ini Ilmu Geoteknik atau Ilmu Teknik Tanah semata, tanpa didukung Ilmu Geokimia
========== ==

Catatan:
Pengasuh adalah pemerhati dan pelaku di bisnis Konstruksi, Pertambangan, Manufaktur, dan Manajemen. Pengasuh adalah Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.