KLINIK DUNIA KONSTRUKSI
BERBASIS GEOKIMIA & BIOKIMIA KONSTRUKSI
(Bagian 1)
Diasuh Oleh: Ratmaya Urip
Beberapa kawan telah mengajukan pertanyaan
melalui email saya, mengenai masalah
konstruksi, dalam hal ini yang berhubungan dengan teknik tanah (geoteknik)
khususnya yang berkaitan dengan Geokimia Konstruksi. Terima kasih atas
pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan. Saya akan berusaha memberikan
jawaban, semoga cukup puas dengan jawaban saya. Jawaban ini sekedar sharing
berdasar secuil experiences
yang saya peroleh di lapangan.
Perlu diketahui, saya juga membuka kesempatan
untuk berdiskusi atau sharing untuk masalah-masalah Engineering,
Construction, Mining, dan/atau Industrial Environment/Issues. Materi-materi untuk bahan diskusi
meliputi : Strategic Management, Project Management,
Construction Management, SHE Management, Total Quality Management (termasuk ISO Series), Production-Operation
Management, dan juga Material
Science & Technology seperti Concrete (Beton), Steel (Baja), Cement (Semen), Paper (Kertas),
serta Geochemistry for Civil Engineering (Geokimia Teknik Sipil), dll.
Untuk Bagian 1 ini, akan saya jawab beberapa
pertanyaan dari sdr. David Iswahyudi, tentang konstruksi khususnya tentang
teknik tanah (geoteknik) yang berbasis geokimia teknik sipil, sbb:
Sebelumnya terima kasih atas balasan e-mail saya yang
pertama dahulu, saya masih bingung untuk beberapa hal tentang stabilisasi
gambut dengan bahan fly ash. Maaf kalau terlalu banyak pertanyaannya tapi saya
harap bapak mau membantu saya dalam hal ini. sebelumnya terima kasih. saya
menunggu balasannya. (David)
ooOoo
Pertanyaan David :
1.Penambahan fly ash (2%, 4%, 6%, 8%) pada lempung malah
menurunkan BJ campuran secara berbanding lurus, mengapa?
Jawaban Ratmaya Urip :
Sekali lagi saya perlu menegaskan, lempung itu terdiri dari
berbagai macam mineral (senyawa majemuk) dan atau oksida. Lempung terdiri dari
beberapa macam senyawa/ mineral : kaolinite, dickite, nacrite, halloysite, montmorillonite,
beidellite, nontronite, saponite, illite, dan lain-lain. Untuk penelitian
yang sekarang dilakukan, jenis yang mana yang dipakai??? Karena masing-masing
mineral mempunyai density, specific grafity dan specific surface
yang berbeda pula. Begitu pula komposisi oksidanya juga berbeda (jumlah SiO2
dan Al2O3, serta Fe2O3 berbeda).
Kalau kita tinjau mineralnya saja dengan mengabaikan oksidanya,
maka sebagai contoh :
· Kaolinite berat
jenisnya = 2,60 s/d 2,68 gr/cm3
· Halloysite
berat jenisnya = 2,00 s/d 2,20
· Illite berat jenisnya = 2,76 s/d 3,00
· Belum lagi berat jenis mineral-mineral yang lain.
Meskipun di alam, lempung terdiri dari kombinasi beberapa mineral., yang tidak
mungkin Kaolinite murni, Montmorillonite murni, dan sebagainya. Pasti kombinasi berbagai
macam mineral. Hanya yang paling dominan yang mana.
Sementara fly ash rata-rata mempunyai berat jenis lebih
kurang 2,68.
Semen mempunyai berat jenis lebih kurang 3,05 s/d 3,15
Perlu diketahui, bahwa di samping kandungan oksida, fly ash juga
dapat dibedakan dari kandungan senyawa/mineralnya, di antaranya glass
(paling dominan karena kandungannya 50% s/d 90%), haematite, magnetite,
mullite, quartz, dll.
Jika fly ash dicampur dengan lempung yang
kandungan senyawa dominannya berupa Kaolinite yang berat jenisnya hampir
sama dengan fly ash yaitu 2,68, maka berat jenis campuran lempung dan fly
ash tidak akan berubah
Jika fly ash dicampur dengan lempung yang
kandungan senyawa dominannya berupa Halloysite yang berat jenisnya 2,00
s/d 2,20, maka berat jenis campuran akan cenderung naik seiring dengan tambahan
dosis fly ash-nya, jika dibandingkan dengan berat jenis lempung sebelum
dicampur fly ash
Jika fly ash dicampur dengan lempung yang
kandungan senyawa dominannya berupa Illite yang berat jenisnya 2,76 s/d
3,00, maka berat jenis campuran akan cenderung turun seiring dengan tambahan
dosis fly ash-nya, , jika dibandingkan dengan berat jenis lempung
sebelum dicampur fly ash.
Tinjauan di atas masih belum memperhitungkan
analysis oksida dan analysis specific surface.
Untuk dapat memahami hal tersebut sebaiknya memang harus
mempelajari geokimia dan kimia teknik sipil, apalagi jika ditambah Ilmu
Metalurgi. Jika hanya berbasis kemampuan geoteknik/mekanika tanah/teknik
fondasi (cabang dari Ilmu Teknik Sipil), maka akan sulit memahaminya, atau akan
bias hasilnya.
Katagori tanah (soil) dalam Ilmu Teknik Sipil, yang hanya
membatasi pada jenis clay, silt, dan sand maupun kombinasi dari
ketiganya tidaklah cukup untuk memahami perilaku tanah (soil). Apalagi
untuk memahami bebatuan.
ooOoo
Pertanyaan David :
2. Dari penelitian penambahan fly ash menurunkan IP secara
berbanding lurus? berarti grafik IP tidak mungkin berbentuk parabola kan (pada
campuran yang sama)? apa juga berlaku untuk semua jenis tanah?
Jawaban Ratmaya Urip :
IP dipengaruhi oleh nilai luas jenis (specific surface). (Awas perhatikan beda antara
luas jenis/specific surface dan berat jenis/specific gravity).
Masing-masing jenis tanah lempung mempunyai specific
surface yang berbeda. Semakin besar nilai specific surface maka
keplastisannya semakin tinggi, karena dengan semakin besar nilai specific
surface tanah akan semakin lembut butirannya, sehingga butiran akan semakin
spherical dan antar butir akan semakin mudah menggelincir, sehingga pergerakan
butiran akan semakin mudah.
Nilai-nilai specific surface :
· Kaolinite = 15 m2/gr =
150.000 cm2/gr
Halloysite = 43 m2/gr = 430.000 cm2/gr
· Illite = 100 m2/gr =
1.000.000 cm2/gr
· Montmorillonite
= 800 m2/gr = 8.000.000 cm2/gr
Nilai specific surface fly ash = 1800 s/d 5900 cm2/gr
tergantung dari jenis fly ash-nya (dipengaruhi jenis batubaranya) dan
cara menangkapnya (dipengaruhi oleh sistem penangkapan fly ash di pabrik
penghasil fly ash, apakah dengan Electrostatic Precipitator, dust collector
atau lainnya).
Dari perbandingan nilai specific surface, ternyata nilai specific
surface fly ash jauh lebih kecil daripada nilai specific surface
berbagai senyawa tanah lempung, sehingga dapat dipastikan bahwa fly ash jauh
kurang plastis dibandingkan dengan tanah lempung (clay elements). Dengan
kata lain fly ash mempunyai IP yang jauh lebih rendah daripada tanah lempung.
Tentang bentuk grafik IP, saya duga memang tidak mungkin berbentuk
parabola, namun lebih ke bentuk linier, karena perbandingan nilai specific
surface fly ash sangat
jauh lebih kecil daripada nilai specific
surface tanah lempung.
Apakah berlaku untuk semua jenis tanah? Itu
tergantung nilai specific surface tanah, karena tanah itu bukan hanya
tanah lempung (felspar, zeolite, dll) atau clay element saja, namun juga
ada limestone, chalk, marl, dll, yang masuk dalam lime element,
serta other elements. Meskipun yang dominan di bola dunia ini adalah
clay component (felspar, zeolite, dll).
Jika specific surface tanah lebih kecil
daripada specific surface fly ash, maka fly ash-nya lebih plastis.
Beberapa jenis tanah kapur tertentu mempunyai specific surface yang
lebih rendah daripada fly ash.
ooOoo
Pertanyaan David :
3. Juga menaikkan plastis limit, padahal
fly ash bukannya bersifat non plastis?
Jawaban Ratmaya Urip :
Dari jawaban no. 2 di atas, saya kira sudah
dapat memahami seluruh persoalan.
Apakah fly ash itu bersifat plastis atau non
plastis adalah relatif, tergantung dengan jenis tanah yang akan dicampur fly
ash. Jika specific surface fly ash lebih besar daripada tanah, maka fly
ash lebih plastis, jika lebih kecil maka fly ash menjadi lebih tidak plastis.
ooOoo
Pertanyaan David :
4. Saya agak kesulitan mencari reaksi
kimia antara fly ash, kapur dan air
Jawaban Ratmaya Urip :
Kapurnya CaO (kapur padam/kapur
bakar/quick-lime) yang berupa oksida atau senyawa kapur majemuk CaCO3 (kapur
alam)??
Jika kapurnya oksida kapur maka reaksinya :
CaO + H2O Ć Ca(OH)2
2(Al2O3.2SiO2) + 7Ca(OH)2 Ć
3CaO.2SiO2.aq + 2(2CaO.Al2O3.SiO2.aq)
Disingkat Ć CSH + CASH
Bisa juga terjadi reaksi sebagai berikut
(dengan persyaratan dan ketentuan tertentu) :
3CaO + 3SiO2 Ć 3CaOSiO2 disingkat C3S
2CaO + 2SiO2 Ć 2CaOSiO2 disingkat C2S
3CaOSiO2 + H2O Ć 3CaOSiO2.aq + Ca(OH)2
2CaOSiO2 + H2O Ć 2CaOSiO2.aq + Ca(OH)2
Ca(OH)2 + Al2O3.SiO2 Ć
CaO.SiO2.aq + CaO.Al2O3.SiO2.aq disingkat CSH + CASH
ooOoo
Pertanyaan David :
5. Dari salah satu dosen UGM pembimbing saya
mengatakan komposisi bahan campur untuk tanah dibatasi 20%. artinya bila
campuran melebihi batas tersebut maka hasil CBR akan jelek. apa benar begitu?
Jawaban Ratmaya Urip :
Yang perlu dipahami adalah, jenis tanahnya
harus diketahui dulu, dalam hal ini jenis oksida dominannya dan jenis mineral
dominannya (kandungan SiO2, Al2O3, Fe2O3, CaO dan oksida-oksida lainnya, serta
jenis mineral-mineralnya seperti Kaolinite, Dickite, Nacrite, Halloysite,
Montmorillonite, Beidellite, Nontronite, Saponite, Illite (clay component),
limestone, chalk, marl (lime component), dan mineral-mineral lainnya.
Demikian juga jenis bahan campurnya (dalam hal
ini jenis oksida atau mineral dominannya.
Tanpa pengetahuan yang cukup tentang kandungan
oksida atau kandungan mineralnya, sulit memprediksi jumlah bahan pencampur yang
maksimal (kecuali jika terbatas hanya pada ilmu teknik sipilnya saja).
Untuk itu diperlukan penelitian chemical
analysis dan geological analysis (khususnya geochemical analysis)
dari tanah dan bahan pencampurnya. Jika hanya penelitian yang bersifat physical
seperti penelitian di laboratorium Teknik Sipil, datanya tidak cukup untuk
dianalysis secara hakiki.
Memang untuk beberapa referensi mengatakan,
bahwa kebanyakan dibatasi sampai 20% (Itu karena keterbatasan kemampuan
orang-orang teknik sipil, yang biasanya lemah dalam ilmu kimia dan ilmu
geologi)
Pada prinsipnya saya masih dapat memahami
(berdasar penelitian kimia dan geologis), jika bahan pencampurnya sampai 40%.
Namun itu berdasar teori. Untuk prakteknya masih harus diperlukan banyak
penelitian lagi, karena yang meneliti untuk aspek ini belum banyak (bahkan
mungkin tidak ada). Kenapa tidak banyak yang meneliti? Karena orang-orang
teknik sipil terlalu sibuk dengan penelitian yang lebih physical, atau tidak
suka Ilmu Kimia, meskipun hanya terbatas Ilmu Kimia Teknik Sipil yang hanya
terdiri dari 8 unsur utama. Sementara orang-orang dari teknik kimia lebih
tertarik pada penelitian kimia industri, kimia polimer, petrokimia, dan kimia
minyak. Juga
orang-orang geologi lebih suka meneliti tentang geologi yang lebih komersial,
seperti pertambangan logam mulia dan minyak.
Bidang ini adalah bidangnya teknik sipil,
khususnya kimia teknik sipil atau geokimia teknik sipil, ilmu yang masih perlu
terus menerus dikembangkan, oleh orang-orang teknik sipil sendiri, khususnya
untuk program-program master atau doktor).
Saran saya: untuk penelitian index
plastisitas, batas atterberg, sudut gesek dalam, swell, CBR, stabilisasi
tanah (solidification), dan lain-lain, sebaiknya harus dikaitkan dengan
ilmu kimia teknik sipil dan geokimia teknik sipil, supaya lebih hakiki.
Oh, ya...Siapa dosen UGM yang menjadi
pembimbing anda? Salam saya untuknya, karena saya dibesarkan di sana. Kalau
perlu kita bisa diskusikan hal ini.
ooOoo
Pertanyaan David :
6. Apakah hubungan swell selalu berbanding
lurus dengan CBR walaupun pada campuran yang berbeda?
Jawaban Ratmaya Urip :
Swell berhubungan dengan
kerapatan butiran tanah atau besar kecilnya angka pori tanah, atau
permeabilitas dari tanah. Ini kita belum bicara masalah specific surface.
Semakin besar swell-nya maka jumlah butiran tanah dalam satu satuan
volume akan berkurang. Atau lebih tepatnya jumlah butiran per satuan volume
akan berkurang. Jika
jumlah butiran per volume berkurang akan menyebabkan daya dukung tanah
berkurang. Jika daya dukung tanah berkurang menyebabkan nilai CBR turun. Begitu
juga sebaliknya.
Sekali lagi saya sampaikan, bahwa sebelum
proses pencampuran harus selalu diketahui dulu oksida dan atau mineralnya
dengan chemical analysis dan geological analysis, jangan
semata-mata berdasar penelitian fisikal saja. Juga moisture content-nya.
ooOoo
Pertanyaan David :
7. Untuk swell, mengapa hanya dilakukan 4
hari padahal setelahnya masih terjadi swell yang mungkin signifikan?
Jawaban Ratmaya Urip :
Tergantung jenis oksida atau mineral tanahnya.
Untuk tanah dengan kandungan kalsium yang dominan, maka 4 hari sudah cukup.
Tanah kapur-pun, jika kapurnya CaO atau CaMgO atau MgCO3 atau CaSO4nH2O bukan
CaCO3, juga memerlukan waktu swelling yang lama. Masalahnya memang tanah
kapur kebanyakan adalah CaCO3. Sementara tanah dengan kandungan alumina dominan
(lempung ekspansip), maka proses swelling sering memerlukan waktu yang
lama, khususnya jika moisture content-nya tinggi.
ooOoo
Pertanyaan David :
8. Juga pada CBR, mengapa titik yang
diambil yaitu 0,1" dan 0,2"? padahal peningkatan yang besar masih
terjadi setelahnya.
Jawaban Ratmaya Urip :
Mirip dengan jawaban nomor 7
ooOoo
Pertanyaan David :
9. Apa anda memiliki literatur tentang
stabilisasi tanah gambut dengan fly ash? karena saya sudah mencari di berbagai
media belum saya temui topik tersebut.
Jawaban Ratmaya Urip :
Literatur tentang hal itu memang sangat
sedikit, saya sendiri tidak memilikinya. Saya hanya memiliki pengalaman
lapangan, sehingga saya sedikit mempunyai referensi empiris, meskipun
sebenarnya dapat saya buat menjadi sebuah buku.
Kita juga dapat menganalisisnya berdasar
pengetahuan kimia dan geologi kita (tentu saja di samping pengetahuan geoteknik
kita).
Yang pasti tanah gambut (yang banyak jumlahnya
di Kalimantan dan Sumatra), memang berbeda dengan tanah rawa di Jawa. Tanah
gambut dominan dengan unsur kimia organik, khususnya C atau CO2, meskipun
kandungan SiO2 dan Al2 O3 juga banyak. Gambut sebenarnya juga dapat dimasukkan
sebagai bahan bakar setengah fosil. Sementara tanah rawa di Jawa lebih dominan
SiO2 dan Al2O3, dengan kandungan mineral dominan Halloysite,
Montmorillonite, dan Illite yang masuk dalam katagori kimia non-organik.
Dalam stabilisasi tanah gambut, maka kita
harus berasumsi bahwa kandungan organiknya (khususnya lignin dan humusnya)
dianggap sebagai filler, sementara cellulosa-nya dapat dianggap
sebagai reinforcement.
Meskipun kita tahu bahwa bahan organik sangat
merugikan bagi pembentukan kekuatan beton atau tanah. Jika ingin benar-benar
berfungsi untuk stabilisasi tanah maka tanah gambut harus dibakar dulu supaya
kandungan carbonnya menguap, dan yang tersisa adalah SiO2 dan Al2O3 dominan.
Namun itu pasti memerlukan biaya yang besar sekali dan juga mencemari
lingkungan dalam hal ini menimbulkan kebakaran tanah gambut yang lebih luas
(dan akan timbul efek rumah kaca karena adanya emisi karbon dioksida, di
samping masalah asapnya yang bisa terekspor ke Malaysia dan Singapura)
ooOoo
Pertanyaan David :
10. Dari penelitian saya dihasilkan nilai
CBR sbb:
-
tanah A tanpa peram (gambut+6%fly ash) = 8.302%
-
tanah A peram 7 hari = 8.927%
nilai
itu lebih besar dari
-
tanah B tanpa peram (gambut+7%gypsum+6%fly ash) = 8.022%
- tanah B peram 7 hari = 8.841%
mengapa bisa begitu?
Jawaban Ratmaya Urip :
Saya tidak dapat menganalisis lebih dalam
karena saya belum memperoleh data kandungan kimia dan geologi dari tanah gambut
serta kandungan kimia dari fly ash. Ibarat dokter, maka saya tidak dapat
mendiagnose suatu penyakit jika data laboratoriumnya belum ada. Ingat, bahwa fly
ash-pun bermacam-macam jenisnya. Ada yang low calcium ada yang high
calcium. Juga apakah termasuk fly ash klas F (hasil pembakaran
batubara jenis anthracite dan bituminous) atau klas C (hasil
pembakaran batubara jenis sub-bituminous atau lignite).
Meskipun saya tidak dapat menganalisis karena
tidak ada data penelitian geologi dan penelitian kimia, namun saya dapat
menduga. Dugaan saya adalah sebagai berikut :
· Fly ash yang dipakai adalah jenis C, yang biasanya high calcium. Karena ada calcium,
maka akan berreaksi dengan SiO2 dan Al2O3 yang ada di tanah gambut.
· Gypsum adalah CaSO42H2O, yang
mempunyai sifat mengembang (swell) yang tinggi.
Karena dugaan tersebut di atas, maka :
- Tanah A dengan peram 7 hari akan lebih besar nilainya daripada tanah A tanpa peram, karena calcium dalam fly ash klas C yang berreaksi dengan silika oksida dan alumina oksida dalam tanah gambut akan menyebabkan terjadinya sementasi dan flokulasi, sehingga kerapatan butiran menjadi tinggi, dengan kata lain jumlah butiran per satuan volume akan naik, sehingga nilai CBR-nya akan naik. Begitu juga halnya dengan perbedaan nilai CBR yang terjadi antara tanah B dengan peram dan tanpa peram.
- Perbedaan tanah A dan tanah B terjadi karena dengan adanya gypsum maka potensi untuk mengembang menjadi besar, karena gypsum adalah material yang mudah mengembang. Karena mengembang, maka jumlah butiran per satuan volume menjadi mengecil, sehingga nilai CBR akan mengecil. Hanya saja tingkat pengembangan dari gypsum, masih lebih kecil daripada tingkat sementasi atau flokulasi dari adanya reaksi kimia antara calcium dari fly ash klas C dengan silika dan alumina oksida.
ooOoo
Pertanyaan David :
11. Apakah nilai Indek Plastisitas
berbanding lurus dengan nilai swell?
Jawaban Ratmaya Urip :
Ya. Karena logikanya jika swell-nya
besar, maka jumlah butiran per satuan volume akan mengecil, sehingga proses
gerak mekanis dari butiran akan semakin leluasa, karena ruang gerak butiran
menjadi lebih besar. Ini adalah jawaban yang paling mudah dipahami karena
sangat sederhana.
Di samping itu ada jawaban saya yang lain yang
berkaitan dengan nilai specific surface, namun penjelasannya terlalu
rumit, yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang benar-benar memahami
kimia, geologi dan metalurgi.
Demikian jawaban-jawaban saya. Yang pasti saya
memang berangkat dari disiplin Ilmu Teknik Sipil, namun karena ternyata belum
cukup untuk memahami tentang perilaku struktur tanah, maka saya belajar tentang
tanah lebih dalam, termasuk aspek kimia, geologi, dan pertaniannya.
Yang pasti pertanyaan-pertanyaan anda sangat
bagus, yang hanya bisa dijawab oleh orang-orang yang benar-benar dalam
pengetahuannya tentang hal ini, yang tidak mungkin diperoleh jawabannya dari
seseorang yang hanya mendalami Teknik Sipil, khususnya dalam hal ini Ilmu
Geoteknik atau Ilmu Teknik Tanah semata, tanpa didukung Ilmu Geokimia
========== ==
Catatan:
Pengasuh adalah pemerhati dan pelaku di bisnis
Konstruksi, Pertambangan, Manufaktur, dan Manajemen. Pengasuh adalah Alumnus
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS), Surabaya.
1 komentar:
Posting Komentar