Anatomi
Banjir Jakarta
(Satu
Kajian Teknik Tanah atas
Polemik
Normalisasi dan Naturalisasi Banjir)
Oleh:
Ratmaya Urip
==============
====
Pengantar
Drama
berupa polemik kebijakan publik telah
tersaji, menyusul terjadinya banjir di Jakarta yang terjadi sejak akhir tahun
2019 yang bersambung sampai awal tahun 2020. Anies Baswedan yang Gubernur DKI
dan Basuki Hadimuljono yang Menteri PUPR, yang kebetulan sesama alumni UGM
(sesama anggota KAGAMA dengan penulis…he.he.he…), saling bantah (Jawa Pos, Kamis Pahing, 2 Januari 2020,
Halaman Utama)
Anies
Baswedan yang semula getol mengetengahkan “naturalisasi” sebagai solusi untuk
mengatasi banjir mulai menggeser issue
banjir menjadi issue pengendalian
banjir dari hulu, meskipun ini juga bukan issue baru darinya. Hanya titik
beratnya saja yang mulai beralih.
Sedangkan
Basuki Hadimuljono tetap konsisten pada issue “normalisasi” yang selama sebelum
kepemimpinan Anies Baswedan di DKI Jakarta sudah berjalan sesuai harapannya.
Selama
bertahun-tahun, dari Gubernur satu ke Gubernur selanjutnya, masalah “banjir”
dan “kemacetan lalu lintas” selalu menjadi komoditas politik di DKI Jakarta,
sehinggu kedua issue ini sangat strategis untuk dipakai sebagai peluru bagi
yang berseberangan secara politik. Juga warga DKI Jakarta, bahkan yang di luar
DKI Jakarta, sering menggunakan kedua issue ini sebagai tolok ukur kinerja
keberhasilan seorang Pejabat, khususnya Gubernur DKI. Hal ini terjadi
karena DKI Jakarta merupakan ibukota
negara.
Terlepas
dari masalah dan polemik yang ada, serta untuk menghindari politisasi banjir di
DKI Jakarta, penulis mencoba untuk menganalisisnya dari perspektif yang lain,
yang lebih teknis operasional, dan mencoba untuk memberi masukan yang
diharapkan kedap politik, tepatnya kedap Geopolitik Lokal, Regional maupun
Nasional tentang Banjir di Jakarta.
(Source of Picture: Courtesy of google.com)
Anatomi
Banjir Jakarta
Telah
banyak diketahui, banjir di Jakarta disebabkan oleh 3 jenis banjir, yaitu
banjir karena curah hujan yang tinggi di “catchment area” DKI Jakarta, banjir
kiriman dari wilayah hulu, dan banjir rob karena air laut pasang. Ketiganya
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kesengsaraan warga. Kadang salah
satu saja di antara ketiga penyebab tersebut yang menjadi “trigger”, kadang
dua, dan yang paling menyengsarakan adalah jika ketiga-tiganya terjadi
bersamaan. Karena sudah jelas penyebabnya, maka ketiga penyebab tersebut wajib
ada manajemennya.
Banjir
karena kiriman dari hulu
Sering
disebut bahwa pengalihan tata guna lahan di hulu, disebut sebagai biang
berkurangnya wilayah tangkapan air di hulu. Itu memang ada benarnya. Wilayah
tangkapan air yang dahulunya merupakan hutan berubah menjadi tempat hunian, dan
fasilitas-fasilitas lain, sehingga air yang seharusnya disimpan di hulu
tergelontor ke hilir (baca Jakarta). Meskipun tidak dapat dikesampingkan, bahwa
curah hujan yang tinggi di hulu, juga merupakan kontributor yang signifikan
bagi terjadinya banjir di Jakarta. Faktanya, sejak jaman dulu masalah banjir
kiriman selalu terjadi, meskipun pengalihan tata guna lahan saat itu tidak
seganas saat ini. Sejak jaman penjajahan, bahkan sebelumnya banjir sudah
terjadi di Jakarta, sehingga jika hanya berasumsi bahwa banjir terjadi karena
pengalihan tata guna lahan kurang lengkap, bukannya kurang tepat. Lengkapnya
tentang penyebab banjir kiriman ini adalah lebih banyak karena curah hujan yang
tinggi di hulu ditambah karena telah terjadinya pengalihan tata guna lahan di
hulu, karena jaman dahulu lahan di hulu masih relatif belum banyak berubah tata
gunanya.
Karena
adanya banjir kiriman inilah, terlepas dari penyebabnya apakah karena
beralihnya tata guna lahan maupun karena curah hujan yang tinggi atau karena
keduanya sekaligus, maka solusi yang paling tepat adalah, membangun waduk-waduk
baru, karena embung, situ, danau, telaga waduk, polder, “boezem”, atau apapun
namanya yang ada saat ini tidak cukup kapasitasnya untuk menampung air yang
berpotensi menjadi banjir kiriman dari hulu. Memang ada banyak embung, situ,
waduk, telaga, untuk membantu berkurangnya air banjir kiriman, namun rasanya
kapasitasnya tidak sebanding dengan debit air banjir kiriman yang ada. Embung,
situ, waduk, telaga yang ada konon telah di”normalisasi”. Juga rasanya belum
cukup kapasitasnya. Embung, situ, telaga, waduk lama ini menurut penulis,
rasanya lebih banyak difungsikan sebagai penampung air dari hujan lokal, atau
hujan di “catchment area” DKI Jakarta, lebih sedikit yang berfungsi sebagai
bantuan untuk mengurangi air banjir kiriman. Tergantung lokasinya. Maka
pembangunan waduk-waduk baru wajib disegerakan. Khususnya yang berada di hulu.
Saat ini sedang dibangun. waduk-waduk atau bendungan-bendungan baru yang konon
segera selesai dibangun di hulu, seperti Waduk atau Bendungan Ciawi dan Sukamahi. Jika kapasitas tambahan 2
waduk tersebut ternyata belum cukup perlu ditambah lagi. Untuk itu diperlukan
studi atau kajian tentang potensi
tingkat kecukupan waduk atau bendungan untuk menangkal terjadinya banjir
kiriman yang disebabkan oleh tingginya curah hujan yang tinggi di hulu maupun
karena perubahan tata guna lahan.
Perlu
diketahui, untuk mengatasi air banjir yang sudah telanjur terkirim dari hulu,
dan dapat pula membantu mengatasi banjir yang diakibatkan oleh curah hujan yang
juga tinggi di area lokal atau
“catchment area” DKI Jakarta, telah dibangun juga di DKI Jakarta, atau
di bagian tengah mendekati hilir, saluran-saluran drainase besar seperti
Cengkareng Drain, Cakung Drain, Sudetan, dan Kanal Banjir Timur. Semua sebagai
saluran pengelak banjir kiriman dari hulu, kalau tidak salah. Padahal
saluran-saluran tersebut juga sekaligus dapat difungsikan tidak hanya sebagai
saluran pengelak banjir kiriman dari hulu, namun juga saluran untuk menampung
air banjir yang terjadi di “catchment area” DKI Jakarta. Rasanya menurut penulis,
perlu juga dikaji, apakah saluran-saluran besar atau sudetan ini masih perlu
ditambah atau tidak untuk mengurangi dampak banjir kiriman dari hulu, sekaligus
untuk menjadi tempat mengalirkan air banjir yang dari “catchment area” DKI
Jakarta, maupun hilirnya. Atau hanya perlu ditingkatkan kapasitasnya.
(Source of Picture: Courtesy of google.com)
Banjir
Karena Curah Hujan yang Tinggi di DKI Jakarta (Wilayah Tengah dan Hilir)
Banjir
juga diakibatkan tidak hanya karena adanya kiriman dari hulu, namun juga karena
tingginya curah hujan di “catchment area” DKI Jakarta, atau lokal Jakarta.
Untuk hal ini telah dinormalisasi sejumlah
sungai dan embung, waduk, boezem, situ, telaga yang berada di “cathment area”
dimaksud. Juga telah banyak difungsikan pompa-pompa air. Jika semua sudah
dilakukan, namun banjir tetap terjadi,perlu dilakukan langkah-langkah untuk
menambah kapasitasnya sampai tingkat kecukupannya tercapai.
Saluran-saluran
pengelak seperti Cakung Drain, Cengkareng Drain, Kanal Banjir Timur, yang
semula difungsikan hanya untuk menangkal banjir kiriman dari hulu (maaf jika
penulis salah informasi), dapat dioptimalkan untuk juga sebagai saluran
pembuangan air banjir yang ada di “catchment area” DKI Jakarta.
Embung,
waduk, situ, telaga yang ada di wilayah
tengah dan hilir apakah perlu ditambah, disamping dinormalisasi, atau dicari
cara lain yang lebih murah, mengingat tingginya biaya pembebasan lahan di
“catchment area” DKI Jakarta, jika dibandingkan dengan pembebasan tanah di
hulu.
Relasi
Teknik Tanah di “Catchment Area” Lokal Jakarta dengan Naturalisasi dan
Normalisasi
Untuk
dilakukan upaya “naturalisasi” seperti yang diinginkan oleh Gubernur DKI
Jakarta, penulis mencoba menganalisisnya dari perspektif Geokimia,
Sedimentologi dan Mineralogi, supaya lebih fokus dan ilmiah. Karena selama ini
sebelum Gubernur yang sekarang, lebih banyak dilakukan upaya-upaya
“normalisasi”
“Naturalisasi”
kalau penulis tidak salah kutip dan untuk mempermudah pengertian, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk memasukkan
air ke dalam tanah, untuk mengurangi atau menghilangkan genangan banjir.
“Normalisasi”, secara singkat adalah upaya untuk membuat luas tampang
sungai, saluran, kanal atau membuat kapasitas
volume waduk, polder, “boezem”,
situ, danau, telaga, di “catchment area” banjir menjadi normal kembali atau
menjadi lebih luas atau besar, setelah terjadinya proses penyempitan luas
tampang atau volume karena terjadinya sedimentasi, dengan tujuan untuk lebih
melancarkan kembali aliran air banjir ke
hilirnya atau ke laut.
Tanah
di “cathment area” Jakarta adalah endapan alluvial dengan kandungan butiran
tanah yang memiliki “specific surface” (luas jenis) yang sangat besar atau memiliki “porosity”
(tingkat pori) yang kecil, atau memiliki “permeability” (kemampuan untuk dapat
dilewati air) yang rendah. Hal ini karena dari kajian “Soil
Mechanics”, tanah di “catchment area” DKI Jakarta menurut penulis lebih banyak
mengandung komponen dominan “clay” (tanah liat) dengan varians berkombinasi
dengan “silt” (lanau) dan sedikit “sand”
(pasir).
Perlu diketahui “clay” (lempung)
memiliki kelembutan butiran dengan diameter butiran di bawah 0,004 (
1/256) milimeter, “silt” (lanau)
memiliki kelembutan butiran dengan diameter 0,004 (1/256) milimeter
sampai diameter 0,062 (1/16) milimeter, sand (pasir) memiliki kelembutan
butiran dengan diameter 0,062 (1/16) milimeter sampai 2 milimeter.
Pada umumnya tanah "clay"
mengandung oksida-oksida dengan dominasi oksida silika (sekitar 50-60%), oksida
alumina (20-30%) dan oksida ferro (sekitar 7-17%).
Tingkat kelembutan butiran yang
sangat tinggi, dengan kata lain luas jenis atau “specific surface” yang tinggi,
akan berdampak pada sulitnya air untuk dapat menembus ke dalam tanah, karena
tingkat pori (porositas) yang kecil atau kemampuan untuk dapat dilewati air
(permeabilitas) yang rendah. Khusus untuk “clay” (lempung) tingkat kelembutan
akan lebih bervariasi jika kandungan jenis mineralnya diketahui. Apakah dari
jenis tanah lempung "Kaolin Group"
seperti "kaolinite", "dickite", "nacrite",
"halloysite, atau termasuk dalam "Montmorillonite Group" seperti
"montmorillonite", "beidellite", "nontronite",
"saponite" atau termasuk dalam "Alkali Bearing Clays"
seperti "illite". Tentu saja diperlukan penelitian di
laboratorium yang lebih rinci untuk mengetahui secara tepat komponennya.
Dari uraian di atas itulah jika akan dilaksanakan “naturalisasi”,
patut diduga akan mengalami kesulitan, karena air akan terhambat untuk masuk ke
dalam tanah karena kecilnya ruang pori dalam tanah. Jika tetap akan dilaksanakan, harus
benar-benar dikaji, harus diteliti wilayah-wilayah mana yang memiliki tingkat pori (porositas) yang tinggi.
Sedangkan jika dipilih sistem “normalisasi”, dimana air diharapkan untuk
mengalir, bukan untuk infiltrasi ke dalam tanah, maka relatif tingkat
kesulitannya lebih rendah.
Untuk itulah, jika akan dilaksanakan
sistem “naturalisasi”, harus dikaji dimana lokasi-lokasi tanah yang memiliki
tingkat pori (porositas), atau kemampuan tanah untuk dapat dilewati air
(permeabilitas) yang tinggi. Dengan kata lain harus dicari lokasi, dimana tanah
memiliki Luas Jenis (“specific Surface”) yang rendah, supaya air dapat masuk ke
dalam tanah. Karena banjir bukan hanya masalah airnya saja namun juga ada
relasinya dengan tanah, jika kajiannya Teknik Tanah.
Banjir Rob
Banjir
rob adalah banjir yang diakibatkan oleh masuknya air (laut) ke daratan karena
terjadinya kondisi air laut pasang. Banjir jenis ini di DKI Jakarta relatif
memiliki peran yang lebih sekunder karena relatif lebih kurang populer daripada
banjir yang diakibatkan oleh banjir kiriman dari hulu, maupun banjir karena
curah hujan yang tinggi di “catchment area” DKI Jakarta. Tingkat kegawatan atau
risikonya juga tidak separah kedua jenis banjir yang lain, jika memang hanya
terjadi banjir rob semata. Meskipun jangan sampai mengabaikan jenis banjir ini.
Banjir rob akan sangat memiliki risiko tinggi secara tidak langsung, jika
bersamaan terjadi dengan terjadinya banjir karena kiriman dari hulu atau
bersamaan dengan banjir karena curah hujan yang tinggi di “catchment area” DKI
Jakarta, atau kombinasi ketiganya. Karena banjir rob akan menghalangi air
banjir yang disebabkan oleh kedua jenis banjir yang lain untuk mengalir ke
laut, karena permukaan air di laut akan sama dengan permukaan air banjir dari
darat, atau bisa juga lebih tinggi air laut daripada air banjir dari darat.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan, bahwa secara teknik tanah (mekanika tanah, geokimia,
sedimentologi, mineralogi), sistem “naturalisasi” akan lebih efektif jika
diterapkan di lokasi dimana tanah
memiliki Luas Jenis (“specific surface” ) yang rendah, karena berarti
akan memiliki kandungan pori (“porosity”) yang tinggi, atau tingkat kemampuan
air menembus tanah (“permeability”) yang tinggi. Untuk itu perlu dikaji
terlebih dahulu, dan jika perlu dapat dibuatkan peta Geokimia, Sedimentologi, dan
Mineraloginya, selain masalah Mekanika Tanahnya.. Apakah itu akan dilakukan di
wilayah hulu, tengah maupun hilir.
Sedangkan jika akan dilaksanakan
sistem “normalisasi”, karena tidak secara langsung berkaitan dengan upaya
memasukkan air ke dalam tanah, maka secara teknik tanah, relatif lebih efektif.
Baik itu akan dilaksanakan di hulu, tengah maupun di hilir.
Juga patut dicatat, untuk lebih memperhatikan
juga pada kajian-kajian, seberapa besar tingkat kecepatan surutnya air banjir
untuk mengetahui jumlah waktu surutnya
air banjir. Apakah “naturalisasi” atau “normalisasi” yang lebih efektif dan
efisien atau kombinasi keduanya. Karena pokok masalahnya adalah bagaimana
caranya supaya air hujan tidak berubah menjadi banjir, atau jika terpaksa
tejadi banjir, bagaimana caranya supaya secepatnya tidak terjadi genangan yang
merugikan atau membahayakan.
================== ==
Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah Material Konstruksi, Teknik
Tanah, alumnus UGM dan ITS, yang juga Pembina Asosiasi Manajemen Indonesia
(AMA-Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar