Kajian atas Banjir di Jakarta,
dalam Perspektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi
Oleh: Ratmaya Urip*)
=================
(Source of Picture: Courtesy of google.com)
Puisi Kecik Buat
Jakarta:
Banjir
kembali menyapa Jakarta
Selalu
tak pernah lalai berbekal derita
Selalu
tiba dengan perkasa menggasak tatanan yang ada
Sementara
itu pula hampir sepanjang masa
Jakarta
juga tak pernah lalai menyapa petaka
Kemacetan
selalu enggan pergi yang hampir tak ada celah untuk asa
Kapan
derita ini bertabik mesra dengan julatan sapa bahagia?
Tuk
dahaga akan lenyapnya renjana yang segera sirna?
====================
Pengantar
Banyak
sekali kajian serta analysis tentang banjir di Jakarta, namun rasanya belum ada
yang pernah membahasnya dari Perspektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi,
khususnya yang ditulis secara populer, tanpa meninggalkan keilmiahannya. Untuk
itu penulis akan mencoba menyampaikan kajian tentang hal ini sebagai kajian
rintisan.
Musim hujan sering berdampak pada terjadinya banjir, termasuk
banjir bandang, tanah longsor, tanah bergerak, angin puting beliung, dan badai.
Khusus untuk banjir dan tanah
longsor, sangat erat kaitannya dengan aspek tanah, khususnya mekanika tanah,
geokimia, sedimentologi, mineralogi dan kristalografi, bukan hanya masalah
hidrologi, hidrolika, mekanika fluida, morfologi, topografi, klimatologi,
geofisika, meteorologi dan berbagai aspek lain yang telah disampaikan sebagai
bahasan sebelumnya oleh para ahlinya. Kali ini penulis sengaja akan membahasnya
dari perpektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi saja.
(Source of Picture: Courtesy of google.com)
Normalisasi dan Naturalisasi
Banjir di akhir tahun 2019
yang berlanjut di awal tahun 2020 memuncakkan silang pendapat tentang Normalisasi dan Naturalisasi. Sengaja
penulis menulis dengan kata “dan” bukan “versus”, untuk kedua hal yang tersebut
dalam sub judul tulisan ini, tidak
menulis dengan mempertentangkan kedua hal tersebut, karena keduanya memang
diperlukan, hanya perlu diperjelas dalam tataran operasional dan teknis,
khususnya yang menyangkut “naturalisasi”, karena ini merupakan hal yang baru ,
sehingga penulis masih belum memperolah pemahanan secara utuh, rinci, komprehensif dan holistik. Masih sebatas visi
atau malah mungkin wacana. Sedangkan untuk “normalisasi” penulis cukup dapat
memperolah informasi mulai dari visi atau wacana sampai tahapan
teknis-operasional, karena sudah ada realisasinya.
“Normalisasi”, secara singkat
adalah upaya-upaya terstruktur dan sistematis untuk membuat luas tampang
sungai, saluran, kanal atau membuat kapasitas
volume waduk, polder, “boezem”,
situ, danau, telaga, di “catchment area” banjir menjadi normal kembali atau
menjadi lebih luas atau besar, setelah terjadinya proses penyempitan luas tampang
atau volume karena terjadinya sedimentasi, dengan tujuan untuk lebih
melancarkan kembali aliran air banjir ke
hilirnya atau ke laut. Sedangkan tentang “naturalisasi” penulis baru
mendapatkan pemahaman berupa upaya-upaya untuk memasukkan air ke dalam tanah,
untuk mengurangi atau menghilangkan genangan banjir. Bahkan untuk
“naturalisasi” ini dapat ditambahkan, bahwa kebijakan selama ini berupa
memperluas kembali tampang-tampang
sungai supaya air banjir dapat lebih banyak tertampung untuk dialirkan adalah
kebijakan yang kurang tepat. Inilah yang kemudian menimbulkan polemik di antara
para pengambil kebijakan di tingkat Pusat dengan yang di tingkat
Daerah-Propinsi.
Terlepas dari polemik yang
ada, dan tidak ingin terlibat terlalu dalam dalam polemik ini, penulis akan
mencoba mengkajinya dari perspektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi secara ilmiah untuk kedua hal
tersebut di atas, untuk menghindari politisasi masalah banjir ini.
Menurut penulis, banjir adalah
bencana kemanusiaan yang berdampak
sangat besar pada penderitaan korbannya secara fisik, mental dan material,
sehingga sebaiknya ada titik temu di tingkat visi, strategi, taktik, serta
teknis-operasional untuk seluruh “stakeholders” dengan mengesampingkan seluruh
polemik, tanpa saling menyalahkan.
Geokimia, Sedimentologi dan
Mineralogi
Penulis belum memperoleh data
resmi tentang Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi tentang tanah di Jakarta.
Namun sebagai awal patut diduga, bahwa secara
visual teramati, bahwa tanah di Jakarta secara “Soil Mechanics” lebih
banyak mengandung komponen dominan “clay” (tanah liat) dengan varians
berkombinasi dengan “silt” (lanau) dan
sedikit “sand” (pasir). Dengan demikian secara Geokimia kandungan kimianya
didominasi oleh SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 atau “natural pozzolan soil”, yang patut
diduga secara Kristalografi merupakan “natural pozzolan” yang relatif bersifat
“amorf” atau “amorphous”. Kecuali di sebagian wilayah pantai utara bagian barat
Jakarta yang berdekatan dengan Kepulauan Seribu, yang patut diduga juga
mengandung CaO.
Perlu diketahui clay (lempung) memiliki
kelembutan butiran dengan diameter butiran di bawah 0,004 ( 1/256)
milimeter. Silt (Lanau) memiliki kelembutan butiran dengan diameter 0,004
(1/256) milimeter sampai diameter 0,062 (1/16) milimeter. Sand (pasir) memiliki
kelembutan butiran dengan diameter 0,062 (1/16) milimeter sampai 2 milimeter.
Di atas Sand (pasir) yang lebih besar
diameter butirannya (di atas 2 mm) ada
jenis tanah yang disebut Gravel dan seterusnya..
Pada umumnya tanah "clay"
mengandung oksida-oksida dengan dominasi oksida silika (sekitar 50-60%), oksida
alumina (20-30%) dan oksida ferro (sekitar 7-17%). Coba perhatikan, di beberapa
lokasi di Jakarta ada yang didominasi lempung yang tercampur tanah organik
(warna kehitaman), ada lempung keabuan (dominasi alumina oksida dan silika
oksida tinggi), lempung keputih-putihan (silika oksida yang tinggi), lempung
kemerah-merahan (ferro-oksida relatif tinggi dibandingkan ferro oksida
rata-rata)
Secara historis dan sedimentologi patut
diduga tanah di Jakarta adalah endapan alluvial dengan kandungan butiran tanah
dengan “specific surface” (luas jenis) yang sangat besar atau memiliki “porosity” (tingkat
pori) yang kecil, atau memiliki “permeability” (kemampuan untuk dapat dilewati
air) yang rendah. Ini secara logika
dapat dimaklumi karena posisi geografis Jakarta yang berada di tepi pantai atau
daerah hilir, yang merupakan muara sungai, sehingga menjadi muara juga dari pergerakan
batuan dari hulu yang terlapuk karena proses fisikal-mekanikal, kimia, maupun
bakteriologis.
Sedangkan secara Mineralogi, patut diduga, tanah di Jakarta
seperti wilayah-wilayah pesisir rawa di Jawa pada umumnya yang berdekatan
dengan muara sungai dimana di bagian hulu sungai merupakan wilayah
gunung-gunung kerucut yang kebanyakan merupakan gunung berapi aktif, atau
mantan gunung berapi aktif, umumnya merupakan mineral-mineral yang didominasi
oleh mineral yang termasuk dalam salah satu dan atau kombinasi dari jenis tanah lempung "Kaolin Group"
seperti "kaolinite", "dickite", "nacrite",
"halloysite, atau termasuk dalam "Montmorillonite Group" seperti
"montmorillonite", "beidellite", "nontronite",
"saponite" atau termasuk dalam "Alkali Bearing Clays"
seperti "illite". Tentu saja diperlukan penelitian di
laboratorium yang lebih rinci untuk mengetahui secara tepat komponennya.
Relasi Geokimia, Sedimentologi dan
Mineralogi terhadap Normalisasi dan Naturalisasi
Telah disampaikan di atas, bahwa patut
diduga tanah di Jakarta didominasi oleh jenis tanah Clay. Diperlukan peta
Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi untuk dapat melakukan analysis yang
lebih presisi dan akurat untuk itu,
sampai tingkat kandungan mineralnya. Karena jenis mineral akan menentukan
tingkat kelembutan, yang berujung pada tingkat porositas atau tingkat
permeabilitas tanah.
Secara Geokimia, Sedimentologi dan
Mineralogi (untuk selanjutnya saya sebut sebagai Teknik Tanah), dengan hal-hal
yang disampaikan di atas, dan meskipun baru sampai tahap dugaan dari pengamatan
visual, yang perlu ditindaklanjuti dengan pengumpulan data dari lapangan, dapat
disampaikan, bahwa tanah di Jakarta dengan kandungan Clay (lempung) yang tinggi
apapun jenis mineralnya, akan sulit bagi air untuk dapat menembus tanah. Hal
ini karena clay (lempung) memiliki “specific surface” yang sangat tinggi, atau
memiliki “porosity” yng rendah, atau memiliki “permeability” yang rendah.
Paling tidak air akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat menembus
tanah, tergantung dari komponen atau kandungan mineral atau dimensi butiran
tanahnya. Air akan lebih cepat dapat menembus tanah jika memiliki “specific
surface” yang lebih kecil, atau memiliki “porosity” yang lebih besar, atau
memiliki “permeability” lebih besar. Memang tidak seluruh tanah di Jakarta
mengandung komponen Clay (lempung). Mungkin ada yang mengandung “silt” dominan,
atau “sand” dominan, atau kombinasi ketiganya. Itulah peluang untuk dapat
melakukan manajemen sumber daya air yang menurut penulis adalah yang lebih
tepat. Apakah “normalisasi”, “naturalisasi” atau kombinasi keduanya.
Kesimpulan
Untuk memberikan kontribusi solusi bagi
penanganan banjir di Jakarta, diperlukan kajian Geokimia, Sedimentologi dan
Mineralogi atau untuk selanjutnya dapat disebut sebagai Teknik Tanah tingkat
lanjut. Namun sementara ini dapat disimpulkan, bahwa solusi dengan cara
“Normalisasi” lebih efektif daripada dengan cara Naturalisasi, mengingat jenis
tanah dan kandungan tanah di Jakarta, patut diduga memiliki “specific surface”
yang sangat tinggi, tingkat “porosity” yang rendah, atau tingkat “permeability”
yang rendah. Namun solusi dengan cara Normalisasi dapat dikombinasikan dengan
Naturalisasi, jika memang jenis dan mineral tanahnya mendukung untuk itu.
Karena umumnya kecepatan air mengalir dibandingkan dengan kecepatan air
menyusup ke dalam tanah relatif lebih cepat air mengalir. Apalagi jika
dibandingkan dengan kecepatan air banjir untuk menguap.
Karena artikel ini hanya sebagai artikel
rintisan, maka sangat ditunggu artikel lainnya yang lebih rinci yang didasarkan
dari data laboratorium, sehingga tingkat keilmiahannya lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
============== ====
Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah Material Konstruksi, Teknik
Tanah dan Manajemen Publik, alumnus UGM dan ITS, yang juga Pembina Asosiasi
Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar