Jumat, 19 Agustus 2011

Catatan Ringan dari Kota Amoy, Singkawang

Oleh: Ratmaya Urip

BAGIAN 1

Mendengar kata Singkawang, konotasi kita sering bermuara pada hal-hal yang lebih memanjakan lelaki. Mata menjadi lebih bersinar, telinga menjadi lebih lebar, hidung menjadi lebih bergerak, benak menjadi lebih mempunyai riak, dan hati serasa ada onak. Namun yang pasti ada rasa enak yang bergelora di dada karena ada gairah yang beranak pinak (he..he..he, kenapa, ya?)

Rasanya sudah ribuan tulisan tentang Kota Amoy, Singkawang, Kalimantan Barat, bertengger di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Rasanya juga sudah ribuan orang yang saling bertabik, dengan menanggapinya, bahkan sampai mulutnya berbuih-buih. Sampai dengan saat ini, tulisan, cerita, diskusi, dan perdebatan tentang Kota Amoy tersebut belum pernah ada akhirnya…selalu menarik dan menarik. Nampaknya masih dalam kondisi memuncak, atau menuju klimaks, atau dalam istilah musik disebut crescendo, dalam istilah pariwisata sering disebut peak season, sementara dalam istilah biologi lebih dikenal dengan istilah orgasmus. Sehingga aku cukup ada nyali untuk mempersembahkannya kepada seluruh pembaca, khususnya para pemerhati Kota Singkawang. Semoga dapat menambah referensi, karena tulisan ini berdasar fakta di lapangan, yang aku peroleh dari seluruh indera yang aku kerahkan selama berada di kota tersebut. Sedangkan bagi para pembaca yang lebih paham tentang kota yang sensual tersebut mohon masukan tambahan, siapa tahu ada yang terlewatkan olehku.

Awal bulan November 2007 ini, aku sempat berada di Singkawang, setelah sebelumnya mengunjungi Pontianak, Mempawah, dan beberapa wilayah di Kalimantan Barat lainnya, untuk beberapa urusan. Ini adalah kunjunganku kedua di Kalimantan Barat. Kunjungan pertama sudah lupa tahunnya, yang pasti awal tahun delapanpuluhan, itupun kalau tidak salah. Saat itu Kalimantan Barat masih terbagi menjadi 7 kabupaten (sekarang 14 kabupaten/kota). Waktu itu kunjunganku cukup singkat, hanya 2 hari, dan hanya mengunjungi Pontianak saja, tidak sempat ke Singkawang.

Ada pemeo yang cukup dikenal di Kalimantan Barat, yang wajib diketahui para pembaca. Yang pertama adalah, sekali minum air Kapuas pasti kan kembali ke tepiannya. Pemeo ini nampaknya sangat erat kaitannya dengan bumi seluruh Kalimantan, karena di Kalimantan Timur-pun juga tersebar pemeo ini. Di Kalimantan Timur, jika kita pernah meminum air Mahakam, pasti kan kembali ke buminya juga. Nampaknya pemeo ini sangat manjur, karena faktanya aku akhirnya beberapa kali mengunjungi Kalimantan Timur. Juga akhirnya aku sampai di Pontianak untuk yang kedua kalinya. Padahal kunjungan pertama sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

Pemeo yang kedua adalah, bahwa seseorang tidak dapat dianggap pernah ke bumi Kalimantan Barat, jika belum pernah singgah di Equator Monument (Tugu Khatulistiwa).

Pemeo ketiga, dan ini yang paling dikenal, adalah seseorang belum dianggap sampai di Kalimantan Barat jika belum pernah sampai di Singkawang, Kota Amoy.

ooOoo

Pesawat Adam Air dari Surabaya tujuan Pontianak dengan transit di Jakarta yang semula direncanakan berangkat jam 08.15 WIB akhirnya molor satu seper-empat jam.(Catatan: Waktu itu Adam Air memang masih berjaya). Aku memang sedikit kecewa, karena yang pasti aku akan terlambat sampai Pontianak. Apalagi jika waktu tunggu selama transit di Jakarta nanti juga molor. Itu berarti programku akan terhambat. Sebenarnya ada penerbangan lain yang menurut beberapa teman lebih sering tepat waktu, yaitu Surabaya – Pontianak via Yogyakarta dengan maskapai penerbangan yang lain, yang akhirnya aku rencanakan untuk kupilih. Namun entah mengapa ketika aku reserve tiket di Delta Tour, dua hari sebelum keberangkatan, tiba-tiba berubah dengan memilih flight di luar saran yang disampaikan teman-teman. Yeah, bagaimana lagi, seperti semua penumpang yang lain, aku hanya bisa pasrah dengan sejuta serapah yang menyesaki dada.

Boeing 737-400 dengan kapasitas penumpang lebih kurang 158 seats menembus awan di ketinggian 33.000 kaki dengan tenangnya. Seluruh seats terisi penuh. Nampaknya cuaca cukup mendukung perjalananku pagi ini. Cerah, tanpa cumulus-nimbus, yang biasanya merajai langit Surabaya-Jakarta. Terus terang aku agak was-was, karena di Jakarta ketika transit nanti aku pasti ganti pesawat. Padahal schedule terbangku untuk Jakarta-Pontianak adalah jam 11.00. Kalau berangkat dari Juanda saja sudah jam 09.30, dengan perjalanan udara selama 1 jam lebih 5 menit, pasti akan sampai di Jakarta jam 10.35 WIB. Itu berarti aku harus tergopoh-gopoh menuju transit desk sebelum masuk pesawat berikutnya untuk flight Jakarta-Pontianak, karena hanya tersisa waktu 25 menit. Tiba-tiba aku tersenyum, karena menertawakan jalan pikiranku kali ini. Kenapa? Ya, untuk kali ini aku ingin agar flight Jakarta-Pontianak sedikit terlambat, supaya aku tidak perlu terburu-buru mengejar pesawat yang sudah mau berangkat. Padahal ketika di Surabaya tadi sewotku setengah mati ketika ada keterlambatan keberangkatan. Dan, kalau aku menertawakan diri sendiri atas kekonyolanku kali ini, aku kira wajar, dan sah-sah saja. Sekali-sekali konyol nggak apalah. Asal jangan dijadikan kebiasaan.

Meskipun kali ini adalah trip untuk dalam negeri, namun aku sengaja membawa paspor, karena jika seluruh program di Pontianak selesai dan masih ada sisa waktu, aku mempunyai rencana untuk ke Kuching, Serawak, Malaysia. Juga kalau tokh masih ada waktu lagi, aku akan ke Singkawang, kota yang selama ini hanya sering aku dengar via media massa. Sepanjang hidupku aku belum pernah ke kedua kota tersebut.

Menurut teman yang pernah ke Kuching, perjalanan Pontianak-Kuching dapat ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan bus super excecutive selama 8 jam, via Entikong – Tebedu, dengan harga tiket pergi-pulang hanya Rp. 300.000,- ditambah fiskal darat sebesar Rp 250.000,- (Malah ada teman lain yang cerita kalau fiskal daratnya bebas). Jika menggunakan pesawat udara (dengan Batavia Air) harga tiketnya sekitar Rp 700.000,- sekali jalan, namun masih ditambah fiskal udara sebesar Rp 1.000.000,- untuk terbang selama setengah jam. Aku jadi ingat ketika menyeberang dari Batam ke Singapura dengan ferry yang dikenai fiskal laut sebesar Rp 500.000,- dan menyeberang dari Woodlands ke Johor Bahru yang bebas fiskal. Indonesia memang negara konyol dengan pungutan fiskal perjalanan ke luar negeri yang masih terus dipertahankan, padahal negara lain hal itu tidak ada. (Catatan: Waktu itu fiskal memang masih diberlakukan di Indonesia).

Sedang rencana ke Singkawang, hanyalah untuk memenuhi rasa ingin tahuku saja. Penasaran, karena terlalu seringnya informasi yang masuk tentang kota itu ke benakku. Kota Amoy, kota seribu kelenteng, San Kheu Jong, San Kew Jong, atau apapun nama lainnya. Kalau aku boleh jujur, nampaknya perihal amoy itulah yang menarik perhatianku. Pastilah lain jika pengalaman pribadi dibandingkan dengan cerita orang atau ulasan media. Sering kali cerita orang lebih banyak biasnya, karena banyak tambahannya. Aku tentu saja lebih mempercayai pengalaman pribadi. Maklum, kalau percaya pada media aku jadi bingung. Contohnya saja, Pak Budi Agus Sanjaya dalam masukannya, setelah membaca tulisan saya yang seri (1), yang bersumber dari suatu situs menyampaikan, bahwa etnis Tionghoa di Singkawang adalah 70%, padahal di Kompas, Rabu, 3 September 2003 mengatakan, bahwa etnis Tionghoa di Singkawang hanya 40,96%. Juga data di situs lain mengatakan, bahwa penduduk Singkawang total adalah 190.000 jiwa, sementara di Kompas menyebut hanya 151.622. Pusing deh, kalau bicara data di Indonesia ini. Nggak ada yang akurat. Data saja tidak akurat, bagaimana bisa dijadikan acuan untuk membangun ( Aku jadi ingat data tentang hasil pertanian yang sering beda antara institusi-institusi pemerintah,khususnya stakeholder sektor pertanian).

Terus terang saja kepergianku ke Pontianak kali ini adalah dalam rangka menjajagi salah satu proyek konstruksi yang ada di Pontianak, proyek yang aku harapkan dapat ikut berpartisipasi seperti proyek-proyek sejenis sebelumnya. Aku harus mendalami berbagai aspek yang harus disiapkan sebelum pelaksanaan proyek konstruksi, khususnya konstruksi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dalam rangka pembangunan jaringan PLTU 10.000 MW yang tersebar di seluruh Indonesia. PLTU Cilacap sudah selesai. PLTU Rembang sedang mulai, disusul PLTU-PLTU lainnya, seperti PLTU Sukabumi, Pacitan, Tanjung Awar-awar, Paiton, dan lain-lain.

Sebelum berangkat aku sempat kontak Bapak Jadi Rajagukguk, Ketua AMA Batam, yang kebetulan juga fungsionaris KADIN Batam, menanyakan tentang kemungkinan adanya pasokan pasir dan batu pecah (yang dalam dunia konstruksi disebut aggregates) untuk raw material yang dibutuhkan bagi ready-mixed concrete. Siapa tahu ada teman Pak Jadi yang dapat memasok aggregates dari Bintan. Karena setahuku, bahan baku tersebut untuk wilayah Kalimantan Barat selalu kesulitan, sehingga harus didatangkan dari Jawa, atau Sulawesi. Siapa tahu dari Bintan, yang nota bene lebih dekat ke Kalimantan Barat dapat memasoknya. Selama ini aku tahu, bahwa di Pulai Bintan dan Kepulauan Karimun, serta Bangka dan Belitung, adalah gudang untuk aggregates, karena wilayah-wilayah tersebut adalah salah satu padang perburuanku (menyitir serial Winnetou & Old Shatterhand dari Dr. Karl May). Singapura selalu mengambil bahan baku aggregates dari Bintan, sementara Malaysia Barat, khususnya Johor Bahru, Melaka, dan sekitarnya mengambilnya dari Karimun. Aku sering berpikir dan prihatin melihat Kijang (satu wilayah di Bintan Timur yang kaya pasir dan batu pecah untuk konstruksi), yang wilayahnya jadi acak-acakan, penuh lubang-lubang raksasa, karena exploitasi besar-besaran untuk diambil pasir dan batunya, yang kemudian ditinggalkan begitu saja. Malang benar nasibmu, ya Kijang, Bintan.

Pengalaman selama ini, untuk proyek konstruksi di Indonesia Timur, dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, untuk aggregates selalu dipasok dari Palu, Sulawesi Tengah, atau dari Jawa. Apalagi untuk baja (steel), hampir 100% dipasok dari Jawa, atau malah impor. Sebenarnya ada potensi yang bagus untuk pasokan aggregates, sebagai alternatif lain untuk Palu, Sulawesi Tengah, yaitu Sumbawa, Nusatenggara Barat. Aku pernah survey ke sana, namun sampai saat ini tidak ada satu investorpun yang meliriknya. Lebih baik mengelola yang sudah ada, daripada susah-susah membuka yang baru yang kemungkinan berhasilnya belum diketahui. Mungkin itulah yang ada di benak meraka.

Pernah ketika aku menangani pembangunan Landasan Udara di Merauke, Papua, untuk konstruksi landas pacu runway, taxi-way dan apron yang konstruksinya biasanya adalah konstruksi beton dengan flexure strength 45, seluruh aggregates harus didatangkan dari negara tetangga, yaitu New Guinea. Pasokannya sangat tersendat, dengan kualitas material yang sangat jauh dari standar. Padahal persyaratan AASHTO, maupun ASTM selalu menghadang dengan garangnya. Seluruh skill & knowledge dari Engineering & Construction-ku serta kemampuan Manajemen Konstruksi dan Manajemen Proyek sudah kujajal di proyek tersebut, namun semuanya tidak cukup untuk diaplikasikan di lapangan. Untung aku memiliki cukup experiences, sehingga meskipun dengan susah payah semua hambatan dan kendala dapat diatasi.

Untuk pelaksanaan proyek konstruksi berskala besar di Indonesia Timur memang memerlukan kiat-kiat tersendiri, khususnya dalam Manajemen Logistik-nya. Tentu saja tanpa mengabaikan aspek Engineering & Construction, Manajemen Konstruksi, maupun Manajemen Proyek. Kita harus tahu cuaca, supaya barges atau kapal pengangkut material-material atau pengangkut mesin-mesin selamat dari amukan badai yang sering mengganas di laut, atau supaya jadwal pelaksanaan proyek tidak terlambat, yang akan mengganggu time schedule proyek. Kita harus paham tentang ketinggian pasang-surut, serta kapan terjadinya, khususnya yang berkaitan dengan dermaga sungai, dalam hal ini supaya barges yang ditarik tugboat dapat merapat ke dermaga. Sehingga raw material untuk konstruksi tidak terhambat.

Tiba-tiba suara pramugari yang lembut, yang menyapaku dengan santun menyadarkanku dari mimpi. Dia menyodori aku segelas air mineral, yang kuterima dan langsung kuletakkan ke kantong kursi di depan seat-ku. Suaranya memiliki rentang nada mezzo sopran, mendekati alto. Mirip suara siapa, ya? Kalau penyanyi, padanannya sulit kutemukan, karena kebanyakan penyanyi wanita dari mancanegara dan penyanyi Indonesia bersuara sopran, atau paling rendah mezzo sopran, jarang yang bersuara alto. Coba- kuingat-ingat….Oh, ya,…mirip suara January Christie, atau Iga Mawarni. Sedang untuk penyanyi manca negara aku belum menemukan kemiripannya dengan suatu sosok. Sementara wajah tirusnya yang cantik, dengan kulit putih yang di wajahnya terlumuri dengan tipis oleh make up yang aku yakin adalah dari suatu merk yang berkelas. Sanggulnya cukup indah untuk menjadi isi bola mataku, sementara posturnya yang tinggi untuk ukuran wanita, yang aku taksir mempunyai ketinggian lebih dari 168 cm, memberikan kesan sportip namun sexy, meski terbalut seragam crew yang biasanya berkesan kaku, namun kali ini kesan femininnya amat menonjol. Wajahnya mempunyai tipikal Arya, dalam hal ini timur tengah, atau tepatnya Iran, dan mungkin juga dapat disebut berwajah India Utara, seperti wajah yang sering menghiasi film-film India. Wajah Hema Malini ketika masih muda, mungkin itu yang lebih tepat. Untuk sosok dan wajahnya aku dapat memberinya angka 7 (tujuh), namun untuk isi benaknya aku belum dapat memberinya nilai, karena tidak mengenalnya lebih jauh. Yang jelas seluruh kinerja fisiknya membuatku semakin menyadari bahwa aku memang benar-benar laki-laki. Truly man!

Aku jadi ingat dengan pengalamanku ketika sempat akrab dengan seorang pramugari beberapa tahun yang lalu, yang kukenal dalam penerbangan Denpasar-Perth (Western Australia). Pengalaman mengesankan yang singkat, akrab, notable, dan memorable.

ooOoo

Jam 10.45 kakiku menginjak aspal dari apron Bandara Internasional Soekarno-Hatta, setelah pesawat melewati taxi-way, menuju bus yang sudah menunggu di dekat pesawat. Entah mengapa, pesawat harus landing di Terminal 2, atau tepatnya di sub-terminal E, padahal itu adalah terminal untuk kedatangan luar negeri. Entah mengapa pula, seluruh penumpang tidak lewat rampway (belalai). Lebih jengkel lagi, akhirnya bus harus berjalan dari terminal 2 tepatnya sub-terminal E, ke terminal 1 atau tepatnya sub-terminal C, yang lumayan jauhnya, terminal yang seharusnya menjadi tujuan akhir pesawat tersebut di Jakarta.

Beruntung, meskipun matahari merangkak naik, namun cukup sejuk karena mendung tipis yang menggantung, sebagai sisa-sisa hujan yang baru selesai turun. Sangat menyegarkan buat tubuh yang lagi capek dan suntuk. Sangat meredam emosi.

Meskipun telah sering kali berada di Bandara termegah di Indonesia itu, aku selalu sejenak menikmati aroma dan fisik bandara yang selesai dibangun tahun 1985 oleh Main Contractor Dumez dari Perancis dengan partner lokal PT Waskita Karya (Persero) itu. Aku ingat persis, karena pada waktu pembangunannya aku sering main ke proyek di sebelahnya, yaitu Proyek Jalan Access Bandara Cengkareng atau sekarang lebih sering disebut sebagai Jalan Tol Prof Dr. Sediyatmo, yang dibangun oleh Main Contractor Yala Perkasa Internasional. Waktu itu proyek Bandara bernama Jakarta International Airport Cengkareng (JIAC), belum diberi nama Bandara Soekarno Hatta.

Saat itu Jalan akses masuk ke Bandara, sedang dibangun fondasi jalannya. Karena harus melewati rawa-rawa yang berat kondisinya, di daerah mendekati Bandara dibangun dengan sistem Konstruksi Cakar Ayam, buah karya Prof Dr. Sediyatmo. Sedang bagian sebelah timurnya yang melintas di sekitar Kali Angke, fondasi jalan dibangun dengan geotextiles 3 lapis, dengan menggunakan bahan urug pasir laut yang di ambil dari kedalaman laut sekitar Kepulauan Seribu. Ketika pasir laut datang melalui Kali Angke, barges yang membawa pasir putih menumpahkannya di atas hamparan geotextiles. Hal yang menakjubkan adalah ketika bersama pasir ternyata terbawa sejumlah besar fosil dari cangkang-cangkang kerang raksasa, yang diameternya hampir 2 (dua) meter. Bayangkan, kulit kerang (cangkang) kerang yang diameternya 2 (dua) meter. Aku bisa menghitung, di zaman sekarang jika makan seafood khususnya kerang, setiap orang harus pesan sekitar lima puluh biji kerang berdiameter 2 sampai 3 cm supaya puas. Jika diameter kerangnya sampai dua meter pastilah dengan hanya satu kerang saja, tidak akan habis dimakan oleh dua puluh orang. Pernah aku mencoba membawa pulang satu fosil cangkang kerang yang beratnya hampir satu ton, dan ketika mengangkatnya ke atas mobil pengangkut yang harus diangkat oleh sekitar 12 orang ternyata telah membuat mobilnya rusak.

Kembali ke jalan cerita semula. Jam 11.00 menurut schedule aku sudah harus terbang lagi ke Pontianak. Untuk itu tinggal tersisa waktu 15 menit. Jangan-jangan pesawat sudah berangkat, sehingga aku harus menunggu pesawat berikutnya. Maka dengan kondisi yang sarat dengan gegas aku menyusuri koridor sub-terminal C setelah turun dari bus. Untunglah ketika sampai di transit desk, petugas transit menyampaikan bahwa pesawat ke Pontianak delay satu jam. Atau memang sengaja menunggu perbangan lain yg connected? Itulah salah satu biang mengapa pesawat udara selalu terlambat. Terlepas dari semuanya itu, rasa lega-pun terbit dengan saratnya.

Sambil berjalan menuju ruang tunggu C5, aku mencoba menghubungi Pak Aswin, salah seorang mantan Ketua AMA Pusat, pada masa kepengurusan Pak Handi Irawan (pencetus Indonesia Customer Satisfaction Award-ICSA, Top Brand, Indonesia’s Most Admired Companies-IMAC, Marketing Award, Hari Pelanggan Nasional dll) dulu. Pak Aswin dengan postur tubuh yang tinggi besar seperti Bima, yang selalu mengingatkanku pada bintang film favourite-ku John Wayne dalam salah satu film-nya Hatari. Flamboyant namun sangat perkasa, dengan kesantunan yang selalu menjadi ciri khas penampilan beliau. Kalau di Jakarta aku pasti ingat beliau, karena selalu ingat pesan beliau untuk menghubungi beliau jika aku di Jakarta. Siapa tahu ada waktu bagiku untuk memberikan ‘workshop’ atau ‘development program’ bagi para senior manajer beliau. Kebetulan ada materi baru yang mungkin beliau tertarik. Beberapa waktu yang lalu aku baru mengaplikasikan suatu Sistem Manajemen Kinerja, menyusul penelitian yang aku lakukan sebelumnya.

Selama ini untuk aplikasi Sistem Manajemen Kinerja (Performance Management System), para pengambil keputusan selalu memelototi dan jungkir balik dengan Malcolm Baldride National Quality Award (MBNQA), European Quality Award (EQA), Total Performance Scorecard (TPS), The Balanced Scorecard, Deming Prize, SMART, Performance Measurement Questionnaire, Performance for World Class Manufacturing, Quantum Performance Measurement Model, Prism, dan lain-lain. Bahkan Six-Sigma yang semula hanya diaplikasikan di lantai pabrik (shop floor) sebagai metode pengendalian kualitas produk dengan statistik sebagai tools-nya, saat ini sudah bermetamorfosa, memasuki area perbaikan kinerja di level stratejik dan organisasi, dengan kata lain sudah menjadi Sistem Manajemen Kinerja.

Kalau dicermati, untuk aplikasi dan adopsinya di Indonesia sebenarnya belum begitu meluas. Perusahaan-perusahaan yang benar-benar sadar akan arti pentingnya Sistem Manajemen Kinerja untuk tercapainya predikat excellence-lah yang dengan serius dan tekun mau berjibaku dengan Sistem Manajemen Kinerja di atas. Dan memang kinerjanya kemudian menjadi excellence. Sayang masih banyak perusahaan di Indonesia yang belum mengadopsinya, dengan alasan masing-masing. Kebanyakan memang karena alasan cost, atau belum diperlukan, atau manajemen gini aja sudah untung ngapain susah-susah, dan lain-lain alasan.

Melihat masih belum luasnya adopsi untuk sistem manajemen kinerja di atas, maka aku mencoba meneliti suatu sistem manajemen lain, yang sebenarnya diadopsi sangat luas di Indonesia, namun belum ada yang meliriknya menjadi suatu sistem manajemen kinerja. Kita masih terlalu enggan untuk berpikir out of the box.

Kita semua tahu, bahwa ISO 9001 sudah lebih dari 15 tahun di adopsi di Indonesia, sejak versi sebelum 1994 sampai versi 2000, dan yang sudah saatnya akan berubah menjadi versi 2008. Adopsinya sangat luas, bahkan banyak perusahaan yang sudah jenuh mengaplikasikannya, sehingga asal dapat sertifikat saja. Apalagi tingkat persaingan yang tinggi di antara certification bodies, telah membuat ISO 9001:2000 dijual murah (benarkah ???! Semoga aku salah!).

ISO 9001:2000 adalah Sistem Manajemen Mutu, yang sampai saat ini tetap seperti itu, dengan aplikasi lapangan yang seringkali hanya tempelan saja (baca : mengejar sertifikat saja!!). Itu semua orang tahu. Kenapa tidak ada yang berani melakukan transformasi untuk menjadikannya Sistem Manajemen Kinerja. Dengan kata lain, Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 ditransformasikan menjadi Sistem Manajemen Kinerja ISO 9001:2000. (Waktu itu memang belum berlaku Serie Tahun 2008)

Berbasis benih pikiran seperti itu, kemudiaan aku menelitinya, dan setelah bersusah payah akhirnya aku temukan suatu formula untuk mentransformasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 menjadi Sistem Manajemen Kinerja ISO 9001:2000. Bahkan aku akan mencoba mengirim usul dengan mengirim email ke ISO Committee di Wina, agar dalam Seri ISO terbaru (ISO 9001 versi 2008), jangan lagi menjadi Sistem Manajemen Mutu lagi, namun harus ditingkatkan menjadi Sistem Manajemen Kinerja, seperti halnya MBNQA, dan lain-lain. Supaya lebih ada apresiasi. Aku jadi ingat evolusi Quality Management, yang dimulai dari check, inspection, quality control, Total Quality Control (TQC), kemudian menjadi Total Quality Management (TQM). Kenapa berhenti sampai di situ saja? Tidak ada upaya meningkatkannya menjadi Performance Management System (PMS) ?

Transformasi sudah aku lakukan, dengan suatu metode yang melibatkan Analytical Hierarchy Process (AHP), dengan software Expert Choice atau Analytical Network Process (ANP), dengan software Super Decision, yang semuanya dari Saaty. Di samping itu ditambah metode OMAX dalam hal ini scoring system dan traffic light system. Transformasi yang sangat mudah dan murah, karena tinggal meneruskan yang sudah ada, tidak perlu keluar cost yang besar lagi, untuk tercapainya suatu excellence.

Yang aku sedih, sampai saat ini belum banyak perguruan tinggi bisnis di Indonesia yang kurikulumnya memberikan mata kuliah dan aplikasi untuk Sistem Manajemen Kinerja secara holistik dan komprehensip. Padahal Sistem Manajemen Kinerja adalah induknya manajemen, sementara Manajemen Stratejik, Manajemen Sumber Daya Manusia, Manajemen Keuangan, Manajemen Teknologi, Manajemen Pemasaran, Manajemen Operasi, Manajemen Logistik, SHE Management, dan lain-lain, adalah bagian dari Sistem Manajemen Kinerja, karena objective dari masing-masing sistem manajemen tersebut muaranya adalah Kinerja. Sehingga rangkumannya adalah Sistem Manajemen Kinerja. Salut buat Bapak Dermawan Wibisono, Ph.D, dari School of Business and Management ITB, yang telah merintisnya. Sementara Sekolah Bisnis yang lain aku belum mendengarnya. Atau mungkin ada anggota milis yang bisa membantu? Atau ada anggota milis yang alumnus dari Sekolah Bisnis yang lain yang ternyata sudah lebih dulu melakukan apa yang aku kupas di atas??! Hanya kekurangtahuankulah penyebabnya. Maklum aku sampai saat ini masih seperti katak dalam tempurung. Maafkan jika aku salah. Itu semata-mata karena kebodohanku saja.

Setelah aku telepon, ternyata Pak Aswin sangat tertarik dengan materiku tersebut, sehingga beliau akan mengundangku. Terima kasih Pak Aswin.

Sesaat kemudian, aku sudah ada dalam pesawat untuk membawaku selama 1 jam 15 menit ke Pontianak, Ibu kota Propinsi Kalimantan Barat, yang oleh temen-temen etnis Tionghoa di Pontianak yang kebetulan berbahasa Hakka atau Khek, bukan berbahasa Mandarin atau Cantonese lebih mengenal nama Pontianak dengan nama Khuntien ( 坤甸 ).

(BERSAMBUNG)

Ratmaya Urip

ooOoo

CATATAN RINGAN DARI KOTA AMOY, SINGKAWANG

Oleh: Ratmaya Urip

= = = = = = = = = = =

BAGIAN 2

Hujan deras menyambutku ketika pesawat landing di Bandara Internasional Supadio, Pontianak. Aku agak terkesima dengan kata Internasional yang terpampang mengiringi nama Bandara. Untuk beberapa kejap dahiku berkerenyit. Benarkah Bandara Supadio berpredikat Internasional ? Waktu itu aku memang belum mengerti. (Beberapa hari kemudian baru aku tahu, ternyata memang ada internasional flight yang berangkat dari Bandara Supadio, yaitu ke Kuching, Serawak, Malaysia, dan mungkin juga ke Brunei Darussalam)

Sampai di terminal kedatangan, tentu saja pakaianku basah, meskipun tidak kuyup. Seperti biasa, jika aku baru tiba di Bandara suatu kota, aku selalu mencari counter dari agen pemasaran suatu hotel, untuk memesan hotel. Terlebih-lebih jika perusahaan belum menjadi member suatu hotel di kota tersebut, sehingga belum mempunyai company rate. Biasanya rate untuk hotel di counter Bandara di manapun lebih murah, apalagi biasanya bisa ditawar.

Ketika kupelototi deretan counter pemasaran hotel yang ada, ternyata hanya ada satu hotel yang aku kenal reputasinya, yaitu Santika Hotel, hotel berbintang tiga. Kalau aku ke Semarang aku sering menginap di Hotel Santika, Jalan Pandanaran., dekat Simpang Lima, yang bersebelahan dengan Toko Buku Gramedia. Sarapan paginya sangat enak, dengan pelayanan yang sangat prima. Aku jadi ingat Icha, atau nama lengkapnya Marisa Deparina, sales exevutive yang selalu aktif berada di Restaurant menemani para tamu dalam breakfast untuk mencari umpan balik tentang kualitas pelayanan hotel, mungkin untuk mewujudkan secara riel atas slogan Hospitality from The Hearth yang disandang oleh Hotel Santika. Yang juga sering dilakukannya adalah mengontrol kecukupan dari hidangan santap pagi yang tersedia untuk breakfast.

Dalam jaringan Santika Hotel, nampaknya Grand Santika (Graha Santika) di Semarang-lah yang paling unggul. Sementara Santika Hotel di Surabaya, aku belum mengenal kualitas pelayanannya, karena belum pernah menginap di sana, karena aku tinggal di Surabaya. (Di kemudian hari baru aku tahu, bahwa hotel-hotel di Pontianak, yang tertinggi adalah berbintang tiga,belum ada yang berbintang empat apalagi lima).

Aku sempat melihat ada counter pemasaran Gajahmada Hotel, Mahkota Hotel dan Kapuas Hotel, serta hotel-hotel yang lain di dalam ruang kedatangan, namun aku belum mengenal reputasinya, maka aku putuskan untuk mengambil Santika Hotel saja. (Di kemudian hari baru aku tahu bahwa jaringan Hotel Mahkota adalah milik Pak Oesman Sapta, senator eh, anggota DPD dari Kalimantan Barat, yang juga pengusaha sukses dari Kalimantan Barat, yang namanya berkibar di Ibukota. Saat cerita ini ditulis Pak Oesman sedang menantang Gubernur lama (incumbent) , Bapak Usman Jafar dalam Pemilihan Gubernur yang dihelat tanggal 15 November 2007).

Biasanya, jika aku belum mengenal secara dalam reputasi hotel di suatu kota yang belum pernah atau jarang aku kunjungi, aku pasti akan mencoba seluruh hotel yang ada di kota tersebut, sekalian survey, untuk mengetahui tingkat kualitas pelayanannya. Sehingga tiap malam pasti pindah hotel. Apalagi rencanaku di Pontianak adalah untuk beberapa hari. Ya memang repot, karena harus selalu pindah hotel dengan beban koper yang sangat berat. Namun itulah cara yang lebih dalam untuk mengenal suatu kota dan fasilitasnya.

Akhirnya untuk Hotel Santika aku peroleh voucher dengan harga nett Rp 350.000,-per malam untuk superior room, included breakfast. Agak aneh memang, karena untuk price list-nya saja terpajang angka Rp 630.000,-. Perlu diketahui Hotel Santika Pontianak memasang tarif mulai dengan Rp 630.000,- untuk Superior Room sampai dengan Rp 1.400.000,- untuk Premier Suite Room. Pada awalnya Budi, petugas counter, menawarkan tarif Rp 475.000,-, namun karena ada sedikit bekal experiences, maka akhirnya kudapat harga tersebut di atas. (Setelah itu aku mendapat masukan, bahwa tarif tersebut benar-benar murah. Informasi tersebut aku dapatkan dari Manajer Pemasaran PT Petrokimia Gresik (Persero) untuk Wilayah Kalimantan Barat yang kukenal beberapa hari kemudian, dan juga Branch Manager Coca Cola untuk Wilayah Kalimantan Barat, yang secara tak sengaja berkenalan ketika breakfast. Menurut mereka, mereka belum pernah dapat rate semurah itu selama menginap di Hotel Santika. Biasanya yang paling murah Rp 475.000,-). Apalagi Hotel Santika mempunyai reputasi pelayanan yang sangat bagus, dengan banyaknya para pelaku bisnis dan pejabat pemerintahan yang menginap di situ, di samping Hotel Mahkota dan Hotel Kapuas.

Jam 15.15 WIB taksi yang membawaku dari bandara dengan tarif Rp 60.000,- telah memasuki hotel yang terletak di tengah Central Business District di jantung kota Pontianak, atau tepatnya di Jln. Diponegoro 46, setelah menempuh jarak sekitar 17 kilometer.

Ada sesuatu yang menurutku aneh setelah memasuki lantai dasar hotel yang memiliki 129 kamar tersebut. Lobby hotel berada di lantai 3 (tiga), sementara lantai dasar (yang di hotel tersebut diberi nomor lantai 1), hampir tidak ada apa-apanya, kosong sama sekali, dalam arti tidak ada sentuhan dari suatu aplikasi design interior apapun, kecuali satu petugas Satuan Pengamanan. Selain itu ruangannya sangat sempit, dan tidak layak jika harus dipaksakan sebagai lobby hotel.

Di front office, aku disambut oleh seorang gadis yang di kemudian nanti aku kenal dengan nama Lina. Sengaja aku tidak menunjukkan voucher yang kudapat di Bandara tadi. Aku bermaksud mengadakan sedikit test.

“Maaf, Pak… saya Lina…ada yang dapat kami bantu?” ucapnya penuh keakraban, dengan logat Melayu yang tidak seberapa kental seperti yang sering kudengar di Semenanjung Malaysia, baik di Pattani-Thailand Selatan, maupun di Malaysia, Riau Daratan, maupun Riau Kepulauan. Logat yang kaya dengan huruf ‘e’. Kalimantan Barat memang kawasan dengan etnis Melayu, di samping Dayak maupun Tionghoa, tiga etnis yang lebih dominan daripada etnis-etnis lainnya. Meskipun ada juga etnis Bugis, Jawa, dan Madura.

Nampaknya Lina memang dari etnis Melayu. Wajahnya sangat manis, mengingatkanku pada Setyowati, salah satu tokoh wayang, isteri Prabu Salya, yang kesetiannya menjadi buah bibir di dunia pewayangan dan pedalangan. Apalagi sanggulnya dengan segumpal tipis rambut yang menggelayut ringan, yang sengaja dibiarkan terlepas dari kesatuan sanggul, yang kadang menyusuri daun telinganya atau kadang hampir menutupi mata kanannya, sehingga dia sering harus menyibakkannya dengan kekuatan berupa gerak-kejut yang ringan dari kepalanya. Yang lebih asyik lagi, senyum manisnya rasanya enggan beringsut dari wajahnya. Tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran wanita, langsing meski ada kesan sintal alami. Wajah oval seperti telur burung maleo. Semua itulah yang mungkin daya tariknya. He…he…he…ngelantur dikit, nih. Jika anggota milis tidak percaya, silakan hubungi Hotel Santika Pontianak. Nomor teleponnya silakan dicari dari Yellow Pages atau via Telkom 108.

“Oh, ya…masih ada kamar?” sahutku dengan tergagap, sambil mencoba mengimbangi keramahtamahan yang tertebar pekat darinya.

Lina mengamati catatannya sebentar kemudian :

“Masih, ada satu kamar pak…Deluxe Suite Room saja, lainnya sudah penuh.”

“Berapa tarifnya?” tukasku

“Untuk berapa malam, Pak?”

“Satu malam saja,” sahutku, karena memang aku merencanakan untuk selalu ganti hotel selama di Pontianak. Aku coba melirik ke price list yang tadi aku dapatkan di counter hotel di Bandara. Oh,..untuk Deluxe Suite Room .harganya Rp 720.000,-

“Lima ratus lima puluh ribu rupiah nett, included breakfast…” jelas Lina.

“Oh, ya…mahal amat?!” sergahku. “Untuk Superior berapa?” lanjutku.

“Sudah penuh dipesan, Pak. Kalau tokh ada, tarifnya empat ratus tujuh puluh lima ribu.”

“Tidak boleh kurang?”

Lina hanya tersenyum menyambut pertanyaan terakhirku tadi.

Beberapa saat aku berpikir. Kemudian kuambil voucher yang tadi kuperoleh dari Budi, petugas counter di Bandara.

“Mbak Lina, bagaimana dengan voucher ini?”

Lina menyambut voucher, memeriksa sebentar, kemudian berbisik ke teman di sebelahnya,yang beberapa saat kemudian aku kenal dengan nama Yanti. Cukup lama mereka berbincang. Aku tahu pasti ada sedikit masalah, karena voucherku untuk kelas Superior, sementara kamar yang tersisa tinggal satu kamar untuk kelas Deluxe Suite Room, atau kelas di atas voucher yang kumiliki. Lama juga aku menunggu, rasanya ada sepuluh menit.

Tiba-tiba Yanti menyodorkan welcome drink ke padaku. Entah minuman apa, aku tidak tahu.

“Apa ini?”

“Aloe Vera, Pak…tepatnya sirup aloe vera.”

Aloe vera? Lidah buaya?” tukasku kemudian. Bayanganku pastilah serasa minum shampo lidah buaya.

Nampaknya Yanti menyadari, bahwa aku baru pertama kali ditawari minuman lidah buaya tersebut. Itu terbukti kemudian dia berkata :

“Dicoba saja, Pak…Enak kok. Jangan khawatir… tidak akan meracuni, Bapak,” katanya kemudian dengan setengah bercanda, dengan senyum yang lepas menghiasai wajahnya.

Yanti memang berbeda dengan Lina yang berkulit sawo matang. Yanti sangat putih kulitnya. Wajahnya seperti wajah dengan etnis Tionghoa. Wajah yang stereotipe-nya aku sangat mengenalnya. Di kemudian hari aku baru tahu, bahwa Yanti beretnis Dayak Kanayatn, dan berasal dari pedalaman Kapuas Hulu. Sebenarnya aku cukup banyak bergaul dengan gadis-gadis Dayak ketika muda dulu, namun suku Dayak yang kukenal adalah suku Dayak yang ada di pedalaman Kalimantan Timur, yaitu Dayak Kenyah, Dayak Putuq, Dayak Benuaq, dan Dayak Tunjung. Mungkin karena namanya Yanti, nama yang sering disandang oleh gadis Jawa, aku jadi bingung. Ternyata ada juga gadis Dayak yang bernama Yanti. Setahuku nama Dayak itu sering menggunakan nama Baptis (Itu yang sering kujumpai di pedalaman Kalimantan Timur). Maka wajar kalau aku pada awal tadi agak terkecoh. Suku Dayak memang cukup banyak sub-sukunya. Dari dialek bahasanya saja ada sekitar 170-an dialek, atau bahkan mungkin lebih.

Aku coba cicipi minuman yang disediakan…dan ternyata manis sekali dan tentu saja enak. Gumpalan lidah buaya yang ada dalam minuman mirip dengan nata de coco yang selama ini banyak aku minum. Hanya kekenyalannya kurang jika dibandingkan dengan nata de coco. Kemudian ketika Yanti menawariku untuk tambah lagi, tanpa malu-malu aku menyambutnya. Secara total aku akhirnya minum 3 gelas sirup lidah buaya. Dasar rakus!

Propinsi Kalimantan Barat memang disebut juga Propinsi Lidah Buaya, karena gerakan serentak untuk mempopulerkan lidah buaya sebagai kebanggaan warga propinsi. Di kemudian hari akhirnya seluruh makanan dan minuman yang berbasis lidah buaya aku membelinya sebagai oleh-oleh, yang kudapatkan semuanya di Jalan Sisingamangaraja, yang bersimpangan dengan Jalan Pattimura, dekat Supermarket Kaisar. Di antaranya adalah dodol lidah buaya, sirup lidah buaya, manisan lidah buaya, teh lidah buaya yang katanya dapat mengobati berbagai macam penyakit, dan lain-lain. Tentu saja tidak ketinggalan lempok durian, makanan favoritku.

Sore itu, setelah petugas hotel berunding cukup lama, akhirnya aku mendapatkan satu-satunya kamar yang tersisa tanpa tambahan biaya. Beruntunglah aku.

Sebelum aku meninggalkan lobby untuk naik ke lantai lima atau tepatnya room 574, aku sempat menikmati sekali lagi keindahan ragawi yang terpancar di diri Lina dan Yanti. Gadis yang cantik, ramah dan indah, gumamku. Rasanya seperti menikmati keindahan lukisan surrealisme dari Salvador Dali, jika sebagai pengamat lukisan atau menikmati lukisan Basuki Abdullah yang beraliran naturalisme, jika awam tentang lukisan.

Aku beruntung, karena masih sempat menunaikan sholat fardlu, yaitu dhuhur dan ‘ashar, sebelum maghrib tiba. Sebenarnya ingin pula menunaikan sholat sunnah qobliyah dan sunnah ba’diyah. Namun maghrib sudah menjelang. Aku tunaikan sholat fardlu dengan di-jamak dan di-qasar sebagai musafir. Sementara setelah sholat aku lihat lewat jendela kaca, hujan sedang deras-derasnya. Padahal sesampai di hotel aku merencanakan untuk mulai langsung bekerja, dengan mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan maksud kedatanganku ke Pontianak kali ini. Aku harus ke toko buku mencari beberapa buku yang berkaitan dengan tugasku, sekaligus juga mencari beberapa peta yang kuperlukan, seperti peta Propinsi Kalimantan Barat, serta beberapa peta Kabupaten/Kota sekitar Kota Pontianak, seperti peta-peta Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Kubu Raya, Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas, khususnya yang skalanya lebih besar.

Sambil menunggu maghrib tiba sekaligus hujan reda, aku menuju ke Business Center yang ternyata masih buka. Letaknya di lantai tiga, di depan lobby, di samping Open Air Restaurant. Aku coba buka email, siapa tahu ada yang penting, sekaligus kalau sempat aku akan browsing untuk mencari beberapa informasi yang kuperlukan. Sudah hampir dua minggu aku tidak sempat membukanya.

Wah, penuh sekali email box-ku dengan banyaknya email yang masuk. Yang paling heboh ternyata masih didominir milis INDOKARLMAY, disusul milis AMA DKI, sementara milis AMA BISNIS, AMA Surabaya, dan Quality Network adem ayem saja. Milis-milis yang lain seperti World Tourism Organization, dan Voice of America biasa-biasa saja, demikian juga milis-milis tentang Engineering & Construction. Karena banyaknya email, aku mencoba untuk memulai dari yang paling penting. (Catatan: Waktu itu milis The Managers, belum lahir).

Ada 2 email yang sangat menarik perhatianku. Yang pertama dari Ibu Ani, atau lengkapnya Ibu Ir. Sri Prabandiyani, M.Sc, Ph.D, yang tengah mempersiapkan pidato pengukuhan untuk memperoleh gelar Professor di bidang Geoteknik dari Universitas Diponegoro. Beliau yang kebetulan tertarik dengan hasil penelitianku tentang Geokimia Teknik Sipil yang sempat aku paparkan sebagai pembicara dalam Seminar Nasional Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) awal tahun ini (2007) di Semarang memang kebetulan mempunyai minat yang sama denganku. Sehingga sering terjadi diskusi yang menarik dengan beliau. Beliau sering menyampaikan kajian teoritisnya, sementara aku lebih sering memaparkan aspek aplikasi lapangannya, sehingga cocok sekali. Meskipun sering juga terjadi debat seru.

Dalam email-nya beliau menanyakan tentang Solidifikasi Tanah Berbasis Calsium, yang telah diterapkan dengan berhasil pada pemadatan tanah rawa di Proyek Perluasan Bandara Juanda, untuk konstruksi taxi-way dan apron-nya. Perlu diketahui, selama ini untuk pemadatan rawa, civil engineer selalu memberi solusi dengan pendekatan mekanik dan fisik, yaitu dengan memakai geotextiles, geogrid, sand-drain, vertical drain, batas-batas atterberg, index plastisitas, Terzaghi, dan sebagainya. Tidak ada yang berpikir out of the box dengan melakukan pendekatan kimia. Ketika Proyek Perluasan Bandara Juanda (sekarang sudah selesai dan dinikmati oleh para stakeholders), aku sering diskusi dengan memberikan masukan kepada Pak Pamudji, Team Leader Konsultan LAPI-ITB, yang nampaknya masukanku diterima baik. Tiap sore beliau sering ke kantor untuk mendiskusikan hal-hal yang menjadi tanggung jawab beliau (Masukanku yang teknis detail dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan yang membutuhkan, khususnya para konsultan teknis).

Untuk email pertama, akhirnya aku memberi response beberapa point yang diharapkan oleh Ibu Ani dalam emailnya. Tentang aplikasi Cement-based treatment versus Calcium-based treatment dalam Soil Solidification.

Email yang kedua datang dari seorang mahasiswa, yang kebetulan dari Undip juga, yang isinya adalah konsultasi masalah geoteknik. Kebetulan pula dalam emailnya dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ada kaitannya dengan keberadaanku di Pontianak kali ini. Kebetulan ada pertanyaan kritis yang membuka jalan bagi tugasku kali ini. Dia mengenalku setelah hadir dalam paparanku tentang Geokimia Teknik Sipil pertengahan tahun ini dalam suatu Seminar Nasional di Universitas Diponegoro.

Untuk jelasnya beberapa pertanyaan mahasiswa tersebut akan aku kutip seperti di bawah ini, sekaligus aku lampirkan jawaban-jawabanku, siapa tahu bermanfaat :

From: Arief Setiawan
Subject: semen dan RHA
To: Ratmayaurip@yahoo.com
Date: Friday, November 2, 2007, 7:39 AM
Assalamualaikum…
Pak saya mahasiswa dari Semarang dulu pernah ikut seminar dimana bapak Ratmaya menjadi pembicaranya, saya ingin bertanya mengenai perilaku bahan tambah semen+
RHA untuk tanah gambut.

Pertanyaan Arief :
1. Bagaimanakah sifat RHA (Abu sekam padi) menurut bapak dalam hal ini untuk campuran bahan stabilisasi tanah gambut dan berapa nilai optimumnya bila digunakan untuk campuran?
Ratmaya Urip menjawab :

Tanah gambut adalah tanah organik, yang belum atau sedang mengalami proses oksidasi (proses kimia). Atau kalau tokh terjadi proses okidasi, prosesnya amat sangat lambat . Untuk dapat memberikan kestabilan secara kimia, maka tanah gambut harus sudah teroksidasi. Itupun jika sudah teroksidasi (dengan dibakar atau terbakar dan menghasilkan abu gambut), maka kandungan oksidanya adalah sama dengan RHA. Dalam hal ini yang dominan adalah SiO2, Al2O3, Fe2O3. Untuk terjadinya proses stabilisasi maka diperlukan CaO, yang akan menghasilkan CaOSiO2H2O atau Calsium Silikat Hidrat (CSH).

Jadi jika tanah gambut yang sudah teroksidasi sekalipun, jika dicampur RHA, maka secara chemis tidak akan terjadi proses pengikatan menjadi senyawa baru yang padat. Karena silika dan alumina dari hasil oksidasi tanah gambut bertemu dengan silika dan alumina dari RHA. Secara fisik atau mekanik mungkin akan terjadi pemadatan, namun diperlukan RHA dengan jumlah yang besar sekali (dosisnya tinggi sekali).

Tanah gambut jika dicampur abu sekam padi dalam proses fisik dan mekanik, sifatnya sama dengan tanah gambut ditambah pasir silica. Jika pasir silikanya banyak sekali. maka tanah akan padat karena airnya akan pergi dari tanah gambut karena terdesak oleh pasir silika, namun tidak terjadi proses kimia. Jadi tanah gambut bersifat seperti filler atau reinforcement saja.

Pada prinsipnya, proses stabilisasi kimia (lebih tepatnya disebut solidification), hanya akan terjadi jika kandungan SiO2 dan Al2O3 bertemu dengan CaO. Coba dichek apakah ada CaO di proses tersebut?

Perlu diketahui, tanah gambut jika terbakar sempurna akan menghasilkan abu, yang sama kandungan kimianya dengan sekam padi yang dibakar.

Tanah gambut adalah salah satu bahan baku terjadinya batubara. Tanah gambut jika kena tekanan yang ultra tinggi, dan panas yang ultra tinggi dalam waktu yang lama (dalam jutaan tahun) maka akan menjadi batubara. Karena salah satu bahan baku batubara adalah tanah gambut yang menjadi fosil. Maka seperti halnya minyak bumi, batu bara juga sering disebut bahan bakar fosil.
Pertanyaan Arief :
2. Apakah cocok bila abu sekam padi ini dicampur dengan PC untuk stabilisasi tanah gambut (keduanya kan memiliki daya ikat dan serap yang tinggi , kan sama2 memiliki
silikat yang besar)

Ratmaya menjawab :

Abu sekam padi jika dicampur semen (PC) akan menjadi semen portland pozzolan (PPC). Berarti jika terjadi proses hidrolis (pengerasan semen), akan menjadi lebih lambat mengeras, Kita sama-sama tahu bahwa fungsi PC atau PPC adalah sebagai pengikat, dalam hal ini mengikat serat-serat gambut. Fungsi abu sekam padi malah akan memperlambat proses pengerasan atau pengikatan serat-serat gambut.

Pertanyaan Arief :
3. Untuk berat jenis semen tipe satu apakah sama untuk semua merk ?
Ratmaya menjawab :
Yang dimaksud dengan berat jenis itu apakah density atau specific grafity? OK, saya anggap saja pengertian berat jenis secara umum. Pada dasarnya berat jenis semen tergantung dari mix-design bahan bakunya, dan berat jenis bahan baku semennya, dalam hal ini kapur, tanah liat, pasir besi, pasir silika, dan gipsum. Karena meskipun ASTM sudah menetapkan standard tertentu untuk suatu jenis semen (kandungan C3S, C2S, C3A, C4AF, dll), namun karena mix -design yang berbeda dan berat jenis raw-material yang beda akan menyebabkan terjadinya berat jenis semen yang beda pula. Namun saya kira bedanya tidak terlalu banyak. Kalau mau menganggap sama juga tidak apa-apa. Soalnya saat ini sedang dilakukan penelitian untuk mencari struktur beton yang sangat ringan (sehingga beban matinya kecil), namun mempunyai kekuatan struktur yang tetap sama dengan yang beban matinya lebih besar).

Pertanyaan Arief :

4. Menurut bapak berat jenis tanah yang sudah dicampur (PC+RHA+Gambut) apakah lebih besar dari tanah aslinya?

Ratmaya menjawab :

Tergantung dari usia, dan proses pembentukan tanah gambutnya (dipengaruhi oleh suhu, tekanan, lama pembentukan, bahan pembentuk gambut, water content, dll).
Namun secara awam dapat disampaikan, bahwa tanah asli biasanya porous (berpori lebih banyak daripada tanah yang sudah terjadi proses hidrasi (pengerasan oleh semen). Tapi jika gambutnya lebih porous? Kan ya sama saja. Kecuali pori-pori gambut bisa tertutup semua oleh semen dan RHA.
Terima kasih sebelumnya.

< arief setiawan >

di Semarang

Merdunya Adzan Maghrib terdengar sayup-sayup di kejauhan, sehingga aku harus menutup email-ku. Sebenarnya masih ada satu email lagi yang ingin konsultasi masalah bottom ash dan fly ash, yang keduanya merupakan limbah batu bara yang sampai saat ini masih menjadi problem dunia industri, khususnya yang menggunakan energi batubara. Untuk fly ash sudah banyak pemanfaatannya, sementara untuk bottom ash masih terus menerus dilakukan penelitian (Aku sebenarnya ada solusi, namun untuk sementara belum bisa ku-expose karena masih off the record). Kadang-kadang Pak Salim dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Bapedal, sering juga konsultasi masalah ini. Bahkan beberapa kali beliau menggunakan naskah-naskah presentasiku untuk dibawa berkeliling ke seluruh Indonesia dengan seizinku.

Untuk email ketiga ini rasanya aku akan me-response-nya esok hari saja, karena aku harus menunaikan sholat maghrib, setelah itu ke toko buku.

Dan langkahku kembali menyusur koridor lantai 5 menuju kamar 574. Saat itu hujan mulai reda. Nanti habis Maghrib aku akan menanyakan ke Lina atau Yanti tentang toko buku yang lengkap yang ada di Pontianak, sekaligus menanyakan arah yang harus dituju. Aku harus dapatkan peta-peta yang kuinginkan malam ini juga, supaya ada panduan awal untuk melangkah. Sebab besok pagi acaraku padat sekali, di antaranya aku akan ke Universitas Tanjungpura dan melihat lahan gambut atau rawa tempat akan berdirinya proyek PLTU Pontianak.

(BERSAMBUNG)

Ratmaya Urip

ooOoo

CATATAN RINGAN DARI KOTA AMOY, SINGKAWANG

Oleh: Ratmaya Urip

= = = = = = = = = = =

BAGIAN 3

Malam ini akhirnya aku berangkat dengan taksi ke beberapa toko buku di Jalan Gajah Mada. Sekurang-kurangnya ada 3 toko buku yang kumasuki, namun semua yang kubutuhkan tidak aku temui. Akhirnya aku pergi ke Toko Buku Gramedia yang terletak di Mega Mal A. Yani, di Jalan Jend A. Yani. Tadi Yanti memang menyarankan untuk ke Gramedia saja, karena menurutnya lebih lengkap koleksinya, namun karena terlalu jauh dari hotel, aku memilih ke Jln. Gajah Mada, yang akhirnya tanpa hasil. Yanti bahkan sempat memberiku kupon discount untuk pembelian buku di Gramedia, yang jumlahnya lumayan. Ternyata antara Gramedia dan Hotel Santika ada kerja sama tertentu.

Karena terlalu lama berputar-putar di Jalan Gajah Mada, akhirnya aku kehabisan waktu. Jam menunjukkan angka delapan lebih empat puluh lima menit ketika aku memasuki Mega Mal dengan bergegas, karena takut Gramedia segera tutup sebentar lagi.

Mega Mall A. Yani adalah pusat perbelanjaan dan hiburan terbesar di Pontianak. Kalau dibandingkan dengan Surabaya mirip dengan Plaza Tunjungan, meski lebih kecil. Ramainya luar biasa, seperti pusat-pusat perbelanjaan yang ada di kota-kota besar di Jawa. Ada Hypermart, dan beberapa stand dari branded fastfood dan lain-lain. Karena aku terburu-buru, aku tidak sempat memperhatikan secara detail situasi yang ada.

Oh, ya …mumpung belum lupa, aku akan menyampaikan sesuatu yang sangat notable tentang taksi yang ada di Pontianak. Ternyata taksi yang ada di Pontianak, tidak sama dengan taksi-taksi yang ada di Jawa. Di Pontianak, semua taksi menggunakan city car, seperti Atoz, Ceria, Karimun, dan sejenisnya. Melihatnya aku merasa ada yang lucu. Untung ketika berangkat dari hotel tadi Lina sempat memberitahuku soal ini, sehingga aku tidak kesulitan untuk mencarinya. Yang juga perlu dicatat, adalah bahwa populasi taksi di Pontianak tidak begitu banyak. Jarang dijumpai berkeliaran di jalan-jalan, karena nongkrongnya di pusat-pusat perbelanjaan atau di hotel-hotel. Kalau mau pakai taksi, lebih baik memakainya secara menerus. Jika tidak, pasti nanti akan kesulitan untuk mendapatkannya lagi. Karena tingkat kesulitannya yang tinggi dalam mencarinya itulah, mulai besok pagi aku telah memesan ke Lina untuk disiapkan minibus saja, semacam Kijang Station, untuk aku sewa selama tiga hari, supaya bebas, murah dan cepat dalam mobilisasi, serta tangguh dalam menghadapi medan yang berat. Kalau pakai sedan pasti tidak menguntungkan dalam menghadapi medan yang berat, apalagi jika harus memakai city car.

Toko buku Gramedia di Pontianak menempati sebagian dari lantai dua di Mall tersebut. Luar biasa luasnya, yang menurutku adalah Toko Buku Gramedia yang terbesar yang pernah aku kunjungi. Beberapa toko buku dengan brand yang sama di kota-kota besar di Indonesia pernah aku masuki, nampaknya inilah yang paling lengkap koleksinya. Karena waktunya sangat sempit, aku tidak sempat berkeliling, langsung ke rak yang menyediakan peta. Semua yang kucari ada di tempat tersebut, juga buku-buku yang aku perlukan.

ooOoo

Malam itu di Open Air Restaurant di lantai tiga Hotel Santika aku sempat menikmati musik jazz atau sekurang-kurangnya lagu-lagunya termasuk jazzy, yang dihidangkan oleh home band. Aku sempat berbincang hangat dengan seorang pengunjung wanita yang cukup menarik perhatianku karena dia sangat smart. Ketika berdiskusi masalah musik, dia sangat antusias menyambutnya. Pengetahuan musiknya sangat dalam, bahkan dia sempat menyanyikan sebuah lagu pemenang Grammy Awards Tahun 1965, yang biasa dinyanyikan oleh Louis Amstrong, yaitu Hello Dolly dengan manisnya. Suara alto-nya membuat telingaku terbuai indah, karena dalam meniti nada-nada dia sangat khas, atau sangat berkarakter. Dinamikanya sangat prima, karena ketika harus bernyanyi dengan mezo-piano, dia bisa menitinya dengan tanpa kehilangan power. Juga ketika harus menyanyi dengan mezo-forte, intonasi, atau pitch-nya tidak lepas kontrol. Artikulasi dan phrasering-nya tak ada duanya, bahkan ketika harus meniti nada secara decrescendo. Padahal decrescendo adalah teknik yang biasanya dihindari oleh vokalis manapun, kecuali memang tingkat kemampuan teknik vokalnya benar-benar luar biasa. Aku jadi semakin tertarik saja.

Hello Dolly, yang diciptakan oleh Jerry Herman dan dipopulerkan oleh Louis Amstrong adalah pemenang Grammy Awards Tahun 1965 untuk katagori Song of The Year. Waktu itu untuk katagori Best of New Artist direbut oleh grup band yang mulai menanjak namanya yaitu The Beatles. Sementara untuk katagori Record of The Year direbut oleh The Girl from Ipanema dari Astrud Gilberto & Stan Getz. Untuk mengimbanginya maka setelah dia menyelesaikan lagunya maka aku senandungkan The Girl from Ipanema semaksimal mungkin. Aku puas karena home band mengiringiku dengan total. Suara brass yang menggelegar dari saxophone yang ditiup dengan piawai sangat harmonis ketika dipadu dengan dentingan-dentingan gitar dan gebugan drum yang dinamis. Sinar mata dari wanita tersebut mengindikasikan tingkat response yang sangat positip atas lagu yang baru selesai kubawakan. Dia memberikan apresiasi yang tinggi atas lagu yang aku bawakan tersebut. Maka aku sempat berpikir, apakah akhir lagu yang kubawakan tadi merupakan suatu awal? Awal apa, ya…? (He…he…he…untuk para pembaca jangan terlalu berpikir secara dalam, ya?)

Sehabis diskusi musik, dia membawaku ke diskusi politik, khususnya politik lokal.

Waktu itu di Kalimantan Barat sedang ramai-ramainya kampanye politik untuk pemilihan Gubernur Baru. Kebetulan ada 4 pasangan yang bertarung. Sebagian besar pengamat memprediksi, bahwa pertarungan sebenarnya terjadi antara kandidat no 1, yaitu incumbent, melawan kandidat nomor 2, Pak Oesman Sapta, pengusaha sukses di Kalimantan Barat, sekaligus senator (anggota DPD) dari Kalimantan Barat. Saya sendiri juga berpendapat demikian. Anehnya wanita tersebut justru malah menjagokan kandidat no 4 sebagai kuda hitam. Menurut analisisnya, memang telah benar, bahwa seluruh kandidat merangkul etnis Dayak sebagai calon. Masalahnya untuk kandidat no. 1, nomor 2, dan no. 3, wakil etnis Dayak ditempatkan sebagai Calon Wakil Gubernur. Sementara kandidat no. 4 menempatkan seorang calon Gubernur dari etnis Dayak, sedangkan Wakil Gubernurnya dari etnis Tionghoa. Strategi yang mirip dengan Pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah, yang kemudian ternyata dimenangkan oleh Gubernur dari etnis Dayak. Di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat, memang tidak boleh mengabaikan potensi suku Dayak, jika ingin mendulang suara. Apalagi ditambah etnis Tionghoa yang juga cukup significant jumlahnya. Itu semua terlepas dari partai politik yang mendukungnya. Untuk pemilihan langsung memang sulit ditebak hasilnya, karena belum tentu partai politik yang memenangkan Pemilu untuk parlemen dapat pula memenangkannya dalam pemilihan Gubernur.

Aku yang belum paham tentang politik lokal Kalimantan Barat tentu saja tidak bisa memberikan komentar apapun, daripada salah. Selama dia bicara aku hanya memperhatikan bibir jingganya yang tipis, yang merekah karena gencarnya kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Bibir yang indah, itulah satu-satunya komentarku. Apalagi kalau sedang mendendangkan sebuah lagu.

Namanya Merry, marganya Han, jadi namanya Merry Han (maaf nama ini adalah nama yang sengaja disamarkan, untuk privasinya). Lahir di Singkawang, tiga puluh dua tahun yang lalu. Statusnya masih lajang (Dan aku enggan menanyakan kepadanya, kenapa wanita secantik dia masih juga lajang di usia itu). Saat itu tengah menginap di Hotel Santika, karena sedang transit menuju kota kelahirannya, Singkawang. Baru datang dari Jakarta setelah maghrib, sehingga tidak bisa langsung ke Singkawang. Besok habis breakfast, rencananya dia baru berangkat ke Singkawang. Dia saat ini bergabung dengan salah satu perusahaan perminyakan tingkat dunia yang berpusat di Houston, Texas. Pulang kampung dalam rangka cuti tahunan. Aku semakin kagum padanya, karena meskipun domisilinya di Houston, Texas, namun tentang hiruk-pikuk politik lokal Kalimantan Barat dia masih mengikutinya via internet. Salut, atas perhatian pada tanah kelahirannya.

Maka ketika aku tahu dia baru datang dari Texas, pembicaraan kemudian beralih ke Benteng Alamo, dengan seribu kisah heroiknya. Juga tentang Lembah Rio Grande yang kaya akan jeruk (menduduki peringkat ketiga setelah Florida dan California), tentang Llano Estacado, dan lain-lain. Bahkan kemudian melebar ke badai Katrina yang menghempaskan New Orleans, Louisiana, negara bagian tetangga Texas. Asyiklah pokoknya.

Diskusi terakhirku dengan dia kemudian beralih ke teman-temannya yang masih di Singkawang, yang masih sering menjadi head-line di sejumlah media, yang masih belum seberuntung dirinya. Dia sampai saat ini masih prihatin untuk itu.

Malam itu, dari dia aku mengenal beberapa kata atau kalimat dalam bahasa Khek Singkawang (untuk membedakannya dengan Khek Pontianak dan Khek Bangka), serta Tiociu. Keduanya bukan Bahasa Mandarin atau Hokkian, namun konon masih lebih dekat ke Cantonese.

Hotel Santika, ie li kuan ho nyia……li ha si. sip nyip tiam am le, oi em moi ngai sien se mu la ho?

Dari Merry juga aku mendapat bekal, jika ingin berkenalan dengan amoy dari Singkawang, aku dapat menyapanya dengan Bahasa Khek Singkawang : tui em chu.. nyi ma ai miang ..? na bui hiet to? Atau dalam Bahasa Tiociu : tui em cu. le me e mia?? ti ko hia?

(Catatan : Maafkan jika salah, karena aku belajar secara cepat dan instan. Mohon anggota milis yang lebih tahu dapat memberikan koreksi jika salah).

ooOoo

Cau sin!” (Note : “Cau an” untuk Bahasa Mandarin, atau “Me ca” untuk Bahasa Tiociu), sapaku pagi itu sengaja dalam Bahasa Khek Singkawang, ketika kebetulan aku jumpa Merry di meja breakfast. Benar-benar kebetulan, karena aku tidak merencanakan untuk dapat jumpa kembali dengannya. Aku sengaja breakfast jam 6 pagi, karena harus segera ke lapangan. Meskipun tidak sengaja, ada rasa senang yang menggeliat di dada, yang membuatku terbuai, ketika melihatnya sudah duduk di meja menikmati santap paginya. Rasanya ada yang masih kurang yang aku bincangkan dengannya tadi malam. Ngobrolku tadi malam serasa terinterupsi atau bahkan teramputasi. Tadi malam kami berpisah sekitar jam dua belas, hampir dini hari, di lobby hotel, karena dia mendapat kamar di lantai tiga sementara aku di lantai lima. Li ha si. sip nyip tiam am le, oi em moi ngai sien se mu la ho?

Mendengar sapaku yang sangat singkat, dia menyahutku dengan Bahasa Khek juga, yang aku tidak tahu artinya, karena tadi malam dia belum sempat mengajarkannya padaku. Aku tentu saja terbengong-bengong, dan dia tahu persis kenapa aku seperti itu. Ada senyum yang mengembang, yang bagiku seperti senyum untuk mengolok-olokku. Dan kamipun kemudian duduk berhadapan dengan breakfast kami masing-masing.

Sebenarnya kalau tidak ada tanggung jawab yang harus kuselesaikan, maulah rasanya hari ini aku pergi ke Singkawang untuk menemaninya pulang.

“Kapan ke Singkawang?” tanya Merry sambil menikmati santap paginya. Aku tidak tahu, apakah pertanyaan itu hanya basa basi untuk breaking the ice, memecah kebisuan, atau memang pertanyaan yang benar-benar serius. Namun tentu saja aku harus menjawabnya. Yang pasti, sejak ngobrol yang intens tadi malam, tidak ada rasa canggung lagi di antara kami berdua. Semacam sahabat, begitulah. Tidak lebih daripada itu. Keterbatasan yang aku miliki menyebabkan sulit untuk berkembang lebih jauh. Meskipun kalau aku boleh jujur, aku agak tergoda. Perlu perjuangan yang kuat untuk menampik kehadirannya. Kehadiran yang lebih daripada sekedar sebagai sahabat. Maklum, pesonanya enggan untuk tidak selalu bertabik pada hasratku. (He…he…he…bahasa inilah yang paling pantas untuk kutulis! Rasanya meskipun aku sering membuat kalimat-kalimat yang indah, kalimat inilah kalimat terindah yang pernah kutulis sepanjang perjalananku menulis).

Kembali aku jadi ingat salah satu lagu yang pernah kami tulis dan nyanyikan bersama teman-teman grup vokal musikalisasi puisi CEMARA TUJUH dari UGM Yogyakarta, semasa kuliah dulu, yang nampaknya cocok untuk merepresentasikan dirinya saat itu, yang selalu aku nyanyikan dengan iringan petikan-petikan klasik dari piano atau gitar akustik serta biola dan klarinet dengan apiknya :

Perempuan

Memang engkau perempuan

Citramu sepertanyaan dengan pelangi

Syarafmu peka bagaikan senar

Yang terpetik jari angin

Yang bergetar mendesah pada gitar

Dalam hati dan dada segala ingin

Karena kodratmu memang rahim

Dalam rindu fajar pagi, dalam dekapan mesranya punagi

(Dan seterusnya…!)

Tiba-tiba aku sadar, bahwa aku harus menjawab ajakannya, maka kemudian aku menjawab :

“Entahlah, yang pasti aku harus selesaikan urusanku dulu, baru ke Singkawang…” jawabku pasti, meskipun harus melewati pergulatan keinginan yang berat, baik di benak maupun di hati. Maklum kesempatan sulit untuk datang dua kali. Beruntung naluri kelaki-lakianku kalah oleh nilai etika dan adab yang seharusnya selalu aku jadikan sikap dalam kondisi apapun. Termasuk dalam kondisi tersulit seperti saat itu. Kesempatan akan selalu sukses menjadi kinerja atau prestasi jika berpadu dengan persiapan yang matang. Masalahnya persiapan untuk menyambut kesempatan itu belum ada.

“Apa tidak terbalik, ke Singkawang dulu, baru kerja,” sahut Merry menggoda, sambil menebarkan senyumnya, senyum yang tadi malam sempat kunikmati ketika berbincang tentang Austin, Dallas, Houston, Teluk Mexico, musik mariachi, musik Latin, dan tentang indahnya Texas yang lain. Sikapnya mencerminkan proyeksi pergaulan internasional yang diperolehnya di Texas lebih dari lima tahun. Ada sisi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat yang lebih menonjol, meskipun bayang-bayang budaya timur masih tersisa, yang tidak begitu kental lagi mewarnai sikapnya.

“Maunya, sih demikian, apalagi ada teman baru yang dapat menjadi guide di sana,” sahutku pelan.

“Jangan khawatir, nanti kuantar ke Wisata Agro Pantai Gosong, atau Wisata Pantai Batu Payung, atau Wisata Pantai Pasir Panjang,” ajaknya menegas.

Dalam hati tentu saja aku senang berwisata dengan gadis cantik, tanpa harus kesulitan mencari guide. Ku tatap wajahnya yang lembut, yang mengingatkanku pada perpaduan wajah Gong Li ketika muda dulu dengan Betty Ting Pei. Sekilas ada debar misterius yang terbit. Akh, apakah amoy Singkawang memang semuanya seperti dia? (Di kemudian hari aku baru tahu, bahwa karena tingkat ekonomi yang rendah, banyak sekali amoy Singkawang yang berpendidikan rendah, dan banyak di antaranya yang hanya bisa berbahasa Khek saja. Konon ada yang terjebak dalam praktek-praktek prostitusi. Namun tentang yang terakhir ini aku kira hanyalah kabar burung, karena aku tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, aku tidak percaya sama sekali, karena aku bayangkan setiap amoy Singkawang adalah seperti yang telah terproyeksikan dalam diri Merry), atau menjalani kawin kontrak dengan pria-pria asing dari Taiwan, Hong Kong, China, dan Serawak. Beruntung aku mengenal Merry Han, dengan tingkat pendidikan tinggi yang diperolehnya di suatu perguruan tinggi swasta di Jakarta, dan kini memiliki kehidupan mapan di Texas. Aku seperti mendapat durian runtuh. Sayang, dia masih lajang, yang itu membuatnya lebih mudah untuk mendapatkan perhatian dari seorang pria. Kalau dia sudah married, pastilah ada kegamangan dariku, atau sekurang-kurangnya ada semacam police line yang membuatku untuk selalu menjaga jarak, suatu sikap yang seharusnya aku tunjukkan sebagai pria yang sudah terikat perkawinan. Namun ambiguitas sulit aku tolak. Itulah masalahnya. Untung aku masih dapat menggunakan otak dan hatiku secara sadar dan benar, meskipun dengan susah payah sulit untuk mempertahankan naluri laki-lakiku yang ingin lepas mengumbar perasaan, ketika jumpa dengan gadis cantik.

“Bagaimana, jadi ke Singkawang?” sergapnya, yang membuyarkan lamunanku.

“Eh…nanti saja jika aku selesai, aku akan sempatkan ke Singkawang. Nanti aku kontak jika sampai di sana,” tukasku setengah grogi.

Sebenarnya ada sisi yang aneh, yang aromanya sempat aku tangkap dari penampilan Merry, meskipun aku baru mengenalnya beberapa jam. Ada semacam kegalauan yang sulit disembunyikannya dariku. Senyumnya, meskipun lepas, ada yang mengganjal jika dinikmati. Semoga saja hospitality-nya kepadaku bukan dibuat-buat. Mungkin saja kegalauan masa lalunya. Atau capek karena perjalanan jauh yang ditempuhnya?

Pagi itu dengan perasaan yang berat, aku hantar kepergian Merry di lantai dasar hotel untuk kepergiannya, menengok tanah kelahirannya di Singkawang. Ada kesan positip yang kudapat darinya. Gadis yang sangat menarik itu melangkah pelan dengan anggunnya, diliputi senyum menawan yang sulit untuk dilupakan. Perkenalan atau pertemuan yang singkat, namun sarat dengan pergumulan pemikiran yang cerdas, serta padat dengan memori. Meskipun akrab, tetap saja ada batas-batas yang memisahkanku dengannya. Karena bagaimanapun, ada jarak yang mesti dipahami sebagai bagian dari citra diri atau sebagai jalan terbaik karena kesadaran sebagai mahluk Illahi, yang harus selalu akrab dengan pengendalian diri.

ooOoo

Kota Pontianak, sering juga disebut dengan nama Khuntien ( 坤甸), atau nama lainnya The Land of Equator, atau Bumi Khatulistiwa, karena memang dilalui oleh garis Lintang Nol Derajad Bumi. Untuk itu terdapat monumen berupa tugu setinggi lebih kurang 25 meter (?), dengan empat kaki yang menopang bola dunia, dengan sebatang anak panah yang menunjukkan arah garis lintang nol derajad. Letaknya di Siantan, 4 km dari pusat kota.

Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia, dengan panjang 1143 km, membelah kota ini dengan anggunnya, yang merupakan urat nadi perekonomian di Kalimantan Barat, karena dapat dilayari sampai ke hulu, tepatnya sampai Putussibau ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu. Belum ada data yang kuperoleh tentang besarnya peran atau kontribusi sungai tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Barat. Yang jelas, pastilah merupakan soko guru perekonomian atau lebih tepatnya sumber kehidupan bagi wilayah tersebut.

Pagi ini hampir seluruh kota Pontianak dan sekitarnya dipadati oleh arak-arakan kampanye dari salah satu Calon Gubernur Kalimantan Barat. Rencananya tanggal 15 November 2007 akan dilaksanakan Pilkada secara serentak di bumi Kalimantan Barat. (Yang di kemudian hari hasilnya sangat mengejutkan, karena analisis Merry ternyata benar. Calon No. Urut 4 memenangkan Pilkada di 8 Kabupaten, sementara saingan-saingannya hanya menang di 3 dan 1 Kabupaten. Padahal yang sangat dijagokan, terutama oleh para petinggi partai di Jakarta, adalah calon dengan nomor urut 1, yaitu incumbent, dan penantangnya, calon nomor urut 2, yang popularitasnya tidak diragukan lagi. Sehingga pemeo yang mengatakan jika dua gajah bertarung, maka pelanduk akan mati di tengah, tidak berlaku di Bumi Kalimantan Barat. Karena ketika dua gajah bertarung, ternyata si pelanduk malah jaya, dengan menangguk kemenangan yang luar biasa. Mungkin karena si pelanduk piawai dalam meloncat-loncat atau berkelit.. Atau karena beruntung? Atau di tengah gajah yang sedang bertarung itu bukan pelanduk, tapi binatang lainnya yang lebih cerdas? Atau yang bertarung bukan dua gajah? Entahlah! Faktanya yang menang adalah si kuda hitam, bukan seeded-candidate.

Sejak hari pertamaku mengelilingi Kalimantan Barat ini tidak banyak yang dapat kuceritakan. Semuanya dipenuhi oleh aktifitas penelitian dan survey detail tentang kondisi fisik lapangan, yang berkaitan dengan pelaksanaan Proyek PLTU Pontianak. Juga berbagai kunjungan ke institusi-institusi yang terkait. Semuanya terlalu rinci, khususnya yang berkaitan dengan detail Engineering and Construction, sehingga pastilah tidak akan menarik bagi anggota milis. Dan semuanya itu berlangsung selama beberapa hari, yang dimulai dari jam 6 pagi sampai jam 10 malam tiap harinya. Oleh karena itulah untuk yang satu ini aku tidak akan bercerita banyak, biarlah untuk konsumsiku sendiri saja.

Selama beberapa hari, semua tanggung jawab yang harus kuselesaikan nampaknya tidak ada yang terlalu berat membebaniku, kecuali satu hal, yaitu tentang perencanaan soil solidification untuk luasan rawa gambut yang tingkat daya dukung tanahnya sangat kecil, sampai kedalaman tiga puluh lima meter. Maklum lokasi proyek di Wajok Hilir, sekitar 16 kilometer arah utara dari kota Pontianak, terletak dekat sekali dengan muara Sungai Kapuas. Muara sungai biasanya selalu dipenuhi sedimen yang sangat lembek, dengan tingkat kelembutan butiran tanah mendekati dimensi colloid. Sangat berbeda dengan kondisi tanah untuk PLTU di Jawa, yang rata-rata memiliki tingkat daya dukung tanah yang tinggi. Seperti di Paiton dan Rembang yang tanah dasarnya limestone atau karang, atau Suralaya yang tanah dasarnya clayly sand atau silty sand. Tanah gambut biasanya mengandung banyak kandungan bahan organik, bukan oksida-oksida silika dan alumina seperti di Jawa, yang akan dengan mudahnya bereaksi dengan oksida calsium.

Apakah akan dilakukan pendekatan seperti Proyek Perluasan Bandara Juanda yang baru saja selesai dengan Calcium-based treatment? Aku belum yakin, karena jenis tanahnya berbeda. Belum lagi kalau bicara masalah biaya. Maklum untuk mendatangkan calcium dengan kadar kemurnian lebih dari 85% harus didatangkan dari Jawa, pastilah menelan biaya yang besar sekali. Belum lagi beberapa equipment khusus yang harus dipesan, yang harganya sangat mahal. Ya, bagaimana lagi, PLTU memang kebanyakan harus berdiri di tepi laut, atau tepi sungai yang besar. Yang untuk lokasi Kalimantan harus berhadapan dengan tanah rawa gambut yang ganas. Aku harus segera mengambil kesimpulan untuk dijadikan keputusan, karena harus segera kupresentasikan. Yang pasti, apakah akan dilakukan solidification berbasis kimia atau fisik-mekanik, yang paling menentukan nanti adalah cost-nya. Rasanya lebih enjoy mengatasi masalah-masalah manajemen daripada masalah-masalah detail design dari suatu proses engineering. Salah sendiri, kenapa menekuni kedua-duanya. Maunya sih berusaha perfect di segala bidang…supaya layak untuk dapat disebut multi-spesialis, yang tahu banyak dan detail, bukan generalis, yang tahu banyak namun sepotong-sepotong. Namun semuanya berpulang pada kapasitas otak, kan? Mau menjadi spesialis, generalis, atau multi-spesialis, semuanya tergantung kemauan hati, kecocokan nurani, kemampuan benak, kemantapan jiwa, dan kesiapan raga. Juga tergantung dari tujuan hidupnya. (Eh,…malah ngelantur!!!). Yang pasti adalah harus ada ridho dariNya, dan ada manfaatnya bagi kehidupan.

(Setelah waktu berlalu selama beberapa hari, tidak terasa keberadaanku di Kalimantan Barat sudah mendekati saat-saat akhir).

Pagi itu aku merencanakan untuk pergi mencari oleh-oleh atau cindera mata yang benar-benar khas Kalimantan Barat, karena esok hari aku harus kembali ke Surabaya. Karena tinggal satu malam di Bumi Khatulistiwa, maka malam itu aku merencanakan untuk bermalam di Singkawang yang berjarak 145 kilometer arah utara Pontianak. Besok pagi dari Singkawang langsung ke Airport, karena aku mengambil flight jam 14.00 WIB. Hanya saja rencanaku untuk pergi ke Kuching, Serawak, terpaksa aku tunda untuk kesempatan berikutnya. Padahal ketika berangkat, itulah yang menjadi trip favoritku.

Aku harus memenuhi pemeo kedua dan ketiga, yaitu pergi ke Monumen Tugu Khatulistiwa dan ke Singkawang, supaya benar-benar dianggap sudah pernah sampai di Kalimantan Barat (baca lagi seri satu serial tulisan ini).

Sebagai propinsi yang sering disebut Propinsi Seribu Sungai yang selalu mempromosikan lidah buaya, oleh-oleh yang khas adalah segala jenis makanan berbahan baku lidah buaya. Aku memborong sirup lidah buaya, manisan lidah buaya, dodol lidah buaya, teh lidah buaya, dan lain-lain. Tentu saja tidak ketinggalan lempok durian, yang sampai dengan saat ini masih tetap sebagai makanan favoritku selama dua puluh tahun terakhir ini. Semuanya dapat aku peroleh di Central Business District (Pusat Kota), di Jalan Sisingamangaraja, tepat dekat pertigaan yang berpotongan dengan Jalan Patimura. Sementara souvenir juga dapat kuperoleh di dekatnya. Souvenir berupa kerajinan tangan suku Dayak seperti mandau, perisai Dayak, songket Dayak, bulu burung enggang, manik-manik,dan lain-lain. Yang rasanya beda dengan kawasan Kalimantan yang lain, di Pontianak ada satu souvenir berupa miniatur Tugu Khatulistiwa dengan warna-warni lampu yang indah.

Karena pagi itu aku menginap di Hotel Kapuas (maklum, seperti aku sampaikan sebelumnya, selama beberapa malam di Pontianak aku harus menikmati pelayanan beberapa hotel sekaligus, sekalian survey tingkat keamanan dan kenyamanan hotel. Sehingga tiap malam selalu berpindah hotel). Hotel Kapuas memang lumayan nyaman, namun terlalu sibuk dengan aneka program entertainment. Rate-nya cukup murah untuk ukuran hotel berbintang tiga.

Untuk berbelanja menuju pusat kota, aku tinggal lurus melewati Jalan Gajah Mada, yang setelah memotong perempatan dilanjutkan ke Jalan Patimura, sampai memotong Jalan Sisingamangaraja.

Sengaja kendaraan sewa kali ini aku tinggal di hotel. Aku mencoba untuk menyelami kehidupan masyarakatnya dengan memakai angkutan kota. Wah, ternyata beda sekali dengan angkutan kota di Surabaya. Pengemudinya sangat ramah, sopan, tidak terburu-buru, dan disiplin dalam berlalu lintas. Nampaknya polisi tidak perlu bekerja keras menilang angkutan kota yang melanggar rambu-rambu lalu lintas.

Yang lebih menyenangkan lagi, penumpang yang menggunakan jasa angkutan umum-kota adalah amoy-amoy Pontianak yang cantik-cantik dengan kulit putih-mulus, yang terpelajar, yang hampir semuanya ramah dan menawan dan indah dipandang mata, yang berbicara satu sama lain dengan Bahasa Khek (Hakka) dialek Pontianak, yang sedikit berbeda dengan Khek Singkawang. Khek Pontianak terdengar di telinga lebih tidak ada dengungnya, seperti halnya Khek Singkawang. Apalagi jika dibandingkan dengan Khek Bangka-Belitung. Suku Hakka atau yang berbahasa Khek, di tanah aslinya di China Daratan merupakan suku minoritas. Di Indonesia hanya ada di Kalimantan Barat, dan Bangka-Belitung. (Artis Sandra Dewi adalah contohnya).

Kondisi ini jelas berbeda dengan angkutan umum di Surabaya. Mana ada gadis dari etnis Tionghoa yang mau naik angkutan kota. Tentu saja hal itu adalah karena perbedaan tingkat keamanan dan kenyamanan yang dirasakan amat timpang antara kedua kota tersebut.

Rasanya mirip dengan angkutan kota di Bandung yang isinya mahasiswi-mahasiswi yang cantik-cantik juga. Hanya saja tingkat keamanan, kenyamanan dan disiplin berlalu lintas masih kalah jauh jika dibandingkan dengan yang ada di Pontianak.

Karena tidak membawa kendaraan sewa yang sewanya Rp 300.000,- per hari di luar biaya sopir dan BBM, maka pulangnya aku terpaksa naik becak, karena beban bawaan yang sangat menyengsarakan punggung. Dari Pusat Perbelanjaan sampai kembali ke hotel ditarik biaya Rp 10.000,- sementara angkutan kota tarifnya Rp 2.000,- sekali jalan. Lengkaplah sudah aku menyelami kehidupan warga Pontianak kali ini. Sementara kehidupan malamnya yang sangat variatif, aku nyatakan off the record. Aku tidak akan menceritakannya, meskipun aku tahu secara dalam.

Chek out dari Hotel Kapuas jam 11.00 siang, untuk kemudian menuju Singkawang, yang biasanya jika harus ditempuh secara langsung akan memakan waktu 3 jam.

Di Siantan, yang berjarak lebih kurang 5 kilometer dari pusat kota Pontianak, aku mampir ke Monumen Tugu Khatulistiwa. Di dalam monumen yang terletak di bawah Tugu Khatulistiwa, tersaji berbagai macam informasi yang berkaitan dengan data-data sejarah Tugu, data geografis bola dunia, foto-foto aktifitas seni suku Dayak, dan lain-lain (mirip situasinya dengan Monas, Jakarta, yang di bawahnya terdapat diorama dan aneka informasi tentang sejarah bangsa Indonesia). Aku sempat berfoto di dalam dan di luar monumen. Juga aku mendapatkan sertifikat pelintasan Khatulistiwa yang ditandatangani oleh Walikota Pontianak. Suatu upaya di bidang pariwisata yang sangat inovatif. Ada rasa aneh di sini, yang membuat perasaan seperti terbuai. Padahal beberapa kali aku melintasi garis Khatulistiwa, namun tidak pernah aku merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan di Pontianak. Kalau ke Bontang dari Samarinda, atau ke Sipirok dari Bukittinggi, atau ke Ternate dari Ambon, atau berada di kepulauan Raja Ampat di Papua Barat, pasti melewati garis Khatulistiwa, namun perasaanku biasa-biasa saja. Itulah pesona Tugu Khatulistiwa di Pontianak.

Beruntunglah Indonesia, karena merupakan satu-satunya negara di Asia yang dilalui Garis Khatulistiwa. Di dunia ini hanya ada sepuluh negara yang dilaluinya. Tiga di Amerika Selatan, yaitu Brazil, Columbia dan Equador. Enam di Afrika, yaitu Somalia, Kenya, Uganda, Zaire, Congo, dan Gabon.

Yang pasti pemeo kedua sudah aku tunaikan. Tinggal pemeo ketiga, yaitu mengunjungi Singkawang. Tentu saja aku akan berusaha memenuhi harapan Merry untuk memenuhi undangannya. Sejak berpisah dengannya di pagi hari lima hari yang lalu di ground floor Hotel Santika, aku tidak tahu beritanya. Aku sama sekali tidak sempat menghubunginya karena kesibukanku. Dalam benakku terbayang betapa indahnya menyusuri pantai dengan meninggalkan jejak-jejak kaki di putihnya pasir diiringi senyumnya yang ranum dan celotehnya yang lincah, serta menapaki pegunungan atau memelototi kehidupan kota Singkawang bersamanya. Singkawang memang terletak di lereng gunung sekaligus di tepi pantai yang indah. Seindah pantai di Honolulu, Hawaii. Terlebih-lebih jika disaksikan waktu sunset.

Aku lebih suka menyebut si cantik Merry sebagai guide, untuk tidak terlalu naif dengan menyebutnya sebagai lady escort. Aku ingin menikmati makan malam bersama dengannya di Pasar Hong Kong, salah satu pusat wisata kuliner di Jalan Bawal. Juga aku ingin tahu kenapa sampai ada istilah Kopi Pangku.

Singkawang, Kota Amoy, kota seribu kelenteng, kota seribu kuil, San Kheu Jong, San Kew Jong, atau seribu nama lainnya, telah menantiku 145 km di sebelah utara Pontianak. Merry, telah mengingatkanku pada satu baris laguku yang kutulis ketika mahasiswa dulu : There’s nothing as beautiful as the days I spent with you. Aku belum tahu terjemahannya dalam Bahasa Khek Singkawang, namun aku berharap dia dapat menterjemahkannya untukku. Truly Inspiring!!!

(BERSAMBUNG)

Ratmaya Urip

ooOoo

CATATAN RINGAN DARI KOTA AMOY, SINGKAWANG

Oleh: Ratmaya Urip

= = = = = = = = = = =

BAGIAN 4

Selepas Tugu Khatulistiwa, atau ketika mulai memasuki garis lintang utara, aku susuri jalan yang meskipun tidak begitu lebar seperti jalan di Jawa, namun cukup mulus untuk membuat perjalananku menjadi nyaman. Apalagi tingkat kepadatan lalu lintas sangat rendah. Aku hanya sesekali saja berpapasan atau disalip oleh kendaraan lain. Meskipun demikian aku memilih untuk mengemudi secara safe, dengan kecepatan rata-rata 60 sampai 70 km/jam. Hal tersebut aku lakukan sambil menikmati indahnya panorama di kiri kanan jalan, yang dipenuhi oleh perkebunan kelapa ataupun perkebunan pisang yang luas, di samping tumbuhan pantai lainnya seperti mangrove dan nipah. Menurut beberapa teman, jika lebih ke pedalaman kita dapat menikmati indahnya perkebunan kelapa sawit maupun perkebunan karet.

Sesekali aku lihat rumah-rumah panggung di tepi jalan, dengan petunjuk khusus yang ada di bagian depan rumah, yang mengindikasikan bahwa rumah-rumah tersebut milik saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa, khususnya suku Hakka yang berbahasa Khek, bukan Mandarin, atau Cantonese. Sesekali aku lihat amoy-amoy bercengkerama di depan rumah panggung mereka yang sederhana, sementara orang tua mereka berkebun, bertani, mencari ikan, dan melakukan aktifitas harian lainnya, seperti halnya aktifitas warga miskin di Jawa. Itu masih di Pontianak, belum memasuki kawasan Kabupaten Bengkayang, apalagi masuk Singkawang.

Sesekali aku berpapasan dengan bus-bus dari Sambas via Singkawang, ataupun dari Kuching, Sarawak, Malaysia. Jarak Pontianak-Sambas sekitar 225 kilometer, sementara jarak Pontianak-Kuching sekitar 415 kilometer, dengan rincian, Pontianak-Entikong (perbatasan) 315 kilometer dan Entikong-Kuching sekitar 100 kilometer, yang biasanya ditempuh dengan bus selama 7 sampai 8 jam. Jarak Pontianak ke Kuching adalah jarak yang sama dengan jarak Surabaya-Tegal, atau Jakarta-Tegal, Tuban-Banyuwangi, atau Surabaya-Purworejo via Yogyakarta, atau Surabaya-Denpasar jika jarak dan waktu penyeberangan antara Ketapang-Gilimanuk diabaikan

Ada yang membuat benakku bekerja, ketika sebuah bus dari arah Kuching di sisi kanan bus tertulis sederet kata : BUS ANTARNEGARA. Ini dia, mungkin ini satu-satunya trayek bus di Indonesia yang mengambil jalur ANTARNEGARA. Di Kalimantan Timur rasanya aku belum pernah melihatnya. Seluruh kawasan Indonesia tidak ada bus ANTARNEGARA, selain di Kalimantan Barat.

Juga jika di bagian lain dari wilayah Indonesia ada trayek bus ANTAR KOTA ANTAR PROPINSI, di Kalimantan Barat sama sekali tidak ada lintas tersebut, karena Kalimantan Barat sangat terisolir dalam transportasi jalan raya dengan propinsi-propinsi lain di Pulau Kalimantan. Sehingga tidak mungkin ada trayek antarpropinsi. Trayek dalam propinsi saja sangat kesulitan. Ini adalah fakta. Jalan Trans Kalimantan belum menyentuh wilayah tersebut. Seandainya aku diijinkan untuk berandai-andai, maka aku lebih suka mengandaikan seluruh Pulau Kalimantan, atau bahkan kawasan Indonesia Timur, sudah memiliki infrastruktur yang memadai, sehingga dapat memacu aktifitas ekonominya untuk menjadi lebih bergairah. Tapi mengingat kajian antropologisnya, nampaknya hal itu sulit terlaksana. Kenapa demikian? (Silakan baca tulisan saya yang berjudul : Kontribusi Antropologi Ekonomi-Bisnis dalam Peningkatan Kemampuan Bersaing)

Sekedar bocoran untuk tulisan saya perihal topik tersebut di atas, maka perlu sedikit saya sampaikan hal-hal sebagai berikut :

Kenapa Amerika Serikat, Jepang, Eropa Barat, dan China dapat begitu maju, dengan kemampuan bersaing yang tinggi?

Orang sering lupa, bahwa Amerika Serikat dipenuhi dan dibentuk oleh imigran-imigran Irish, Jews, Scottish, Bavarian, Sicilian, Spanish-Basque, yang di tempat asalnya dulu, sangat menderita secara ekonomi. Irish terpaksa pergi dari Ireland menuju tanah baru di Amerika karena kelaparan, penyakit, panen yang gagal, dan sebagainya. Sementara Scottish meninggalkan Scotland karena tanahnya yang gersang berbukit-bukit, tidak bisa ditanami, sehingga mereka yang kelaparan juga menuju tanah baru di Amerika. Bavarian yang berasal dari Bavaria yang terletak di Jerman Selatan demikian juga. Sementara Jews terlunta-lunta karena ketika itu tidak mempunyai negara dan benar-benar stateless, pokoknya sangat teraniaya. Itulah yang kemudian menyebabkan dorongan kuat untuk survive di tanah baru. Kondisi lingkungan fisik yang serba penuh tantangan di tempat asal, secara evolusioner membentuk sikap dan perilaku suatu etnis untuk menuju suatu stereotip tertentu. Mereka kemudian mempunyai etos kerja yang sangat positip. Yang pasti mereka sudah kebal terhadap suatu penderitaan. Ketika mereka menjumpai tanah baru dengan sumber daya alam yang melimpah, yang amat sangat berbeda dengan tanah leluhurnya, mereka menjadi terlalu bergairah dan bernafsu untuk segera menghempaskan penderitaannya. Mereka kemudian haus untuk menjadi pioner, untuk menjadi pemenang terhadap penderitaan, untuk selalu menang jika harus bersaing, dan sebagainya.

Tentang Jepang, Eropa Barat, dan China, lain lagi tantangannya. Semua tantangan itu akan aku kupas di tulisan berikutnya (tentu saja jika sempat… he…he…he…!)

Yang pasti ada 5 model kemampuan bersaing (competitiveness) berbasis kajian antropologi ekonomi-bisnisnya, yaitu model Amerika Serikat, model Eropa Barat, model Jepang, model China, dan model lainnya (termasuk India). Model kemampuan bersaing Indonesia belum pernah ada, he…he…he…! Tapi optimis sajalah, pasti ada jalan untuk itu. Asal………!? (baca serial tulisan dengan judul berbeda berikutnya!).

Yang pasti, 5 model kemampuan bersaing di atas, sangat berbeda jika disandingkan dengan stereotip orang-orang Indonesia yang malas, suka jalan pintas, suka pamer kekayaan, cengeng, suka menimbun kekayaan sampai tujuh turunan, dan sederetan sifat-sifat antropologis yang negatip lainnya (meskipun banyak pula sifat-sifat positipnya), yang menyebabkan kita tidak pernah dapat maju atau memenangkan persaingan (ini otokritik, lho!). Aku selalu berpendapat, bahwa penyebabnya adalah karena selama ini kita tidak pernah ada tantangan. Kita terlalu terninabobokan oleh jargon-jargon gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bukan lautan hanya kolam susu, negara zamrud khatulistiwa, alon-alon waton kelakon, biar lambat asal selamat, dan jargon-jargon lain yang menyebabkan kita malas, cengeng, dan tidak mau mengambil resiko meski kecil sekalipun. Apakah jargonnya yang salah atau cara kita menerjemahkan jargonnya yang salah? Atau jargon memang ada batas waktunya, dalam arti jargon-jargon tersebut memang cocok pada masa lalu, namun tidak cocok lagi di masa sekarang dan akan datang?

Juga sejak awal kita selalu dicekoki dengan kepentingan-kepentingan politik penguasa, yang homogen, yang menyebabkan kreatifitas menjadi mandul. Semoga dengan krisis ekonomi yang belum pernah selesai saat ini, kita dapat berubah! Dan itu menjadi shock-therapy untuk dapat menemukan cara terbaik dalam memenangkan persaingan, untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Semoga saja keterpurukan negara dan bangsa ini bukan karena ada kencan buta dengan takdir. Amin!

Mendekati km 45 atau memasuki kawasan Sungaipinyuh, kawasan rawa gambut dengan deretan pepohonan mangrove, nipah, perkebunan kelapa, dan pisang, serta deretan rumah-rumah panggung sederhana, yang semula selalu mengawal perjalananku di sisi kanan dan kiri jalan, mulai berubah menjadi kawasan dengan tanah yang lebih keras dengan jenis clay, atau pasir berlempung (clayly sand). Beberapa bukit kecil yang terbentuk oleh batuan beku andesit, yang nampak subur dengan rimbunnya vegetasi yang berbeda dengan kawasan sebelumnya, nampak memperindah pemandangan.

Situasinya memang sangat kontras. Perlu diketahui, bahwa secara geologis, kawasan Sungaipinyuh memang kawasan akhir dari tanah rawa gambut yang menghampar mulai ujung selatan Kalimantan Barat, atau tepatnya mulai Kabupaten Ketapang. Dengan kata lain, di sebelah selatan Sungaipinyuh adalah kawasan rawa gambut dengan vegetasi mangrove, nipah, kelapa, pisang, dan tanaman hutan hujan tropis lainnya, sehingga kandungan tanahnya dipenuhi dengan bahan-bahan organik. Sementara di sebelah utara Sungaipinyuh didominasi oleh tanah non-organik, dengan kandungan dominan adalah silika, dan alumina, yang penuh ditumbuhi vegetasi tanaman holtikultura, meskipun perkebunan kelapa masih sangat mendominasi, di samping tanaman jeruk. Kelapa memang tanaman yang dapat tumbuh di aneka tanah.

Di kilometer lima puluh, atau memasuki wilayah keramaian kota kecamatan Sungaipinyuh yang pusat kotanya ada di persimpangan jalan berupa pertigaan. Jika lurus atau tetap ke arah utara, kita menuju ke Mempawah, ibukota Kabupaten Pontianak (bukan Kota Pontianak), kemudian ke Singkawang dan terus ke Sambas. Jika ke kanan atau ke timur, kita menuju Ngabang, Sekadau, Sintang, terus ke Putussibau atau ke selatan ke Nangapinoh. Jika ingin ke Kuching, Sarawak atau Brunei Darussalam, maka setelah Ngabang dan sehabis melewati kota kecamatan Sosok di Kabupaten Sanggau maka kita harus belok ke kiri atau ke utara menuju perbatasan Sarawak, Malaysia. Pos perbatasan di wilayah Indonesia adalah Entikong, sementara pos perbatasan Malaysia adalah Tebedu. Di samping itu jika memang ingin berwisata secara komplit, setelah mengunjungi Kuching dan Brunei Darussalam, aku sarankan untuk terus ke Sandakan atau Kota Kinabalu di negara bagian Sabah. Pulangnya lewat Tawao dan Tarakan, Kalimantan Timur.

Karena aku memang mau ke Singkawang, maka setelah sampai Sungaipinyuh aku meneruskan perjalananku ke arah Mempawah ibukota Kabupaten Pontianak, atau terus ke arah utara. Jarak yang aku tempuh masih 95 kilometer lagi.

Oh, ya…sebelum lupa, tadi ketika sampai di kilometer 30 atau tepatnya di Sei Burung, desa Peniti Luar, aku sempat istirahat makan siang, meski terlambat, sekaligus sholat dhuhur dan ashar, dengan di-jamak dan di-qasar. Di tempat tersebut ada tempat untuk berwisata kuliner, karena ada semacam rumah makan yang bernama Pondok Pengkang dan Kepah.

Pengkang, adalah makanan dari ketan yang dimasak dengan dijepit bambu, kemudian dibakar. Cara makannya adalah dengan diberi tambahan saus sambal khusus. Sementara Kepah adalah sejenis kerang yang besar. Karena memang kelaparan, maka semuanya menjadi begitu lezat. Apalagi ditambah kepiting, yang semuanya memang banyak ditangkap oleh nelayan Tionghoa yang merajai pesisir Pontianak, Bengkayang, Singkawang dan Sambas.

Kota Mempawah, ibukota Kabupaten Pontianak yang berjarak 67 km dari Pontianak atau 78 km menuju Singkawang nampak sepi, apalagi hujan mulai turun. Ketika aku berkeliling kota untuk menambah premium, ternyata tidak ada satupun stasiun pengisian BBM ada di kota Kabupaten tersebut. (Tips untuk yang akan ke Singkawang : Sebaiknya kondisi tangki bahan bakar selalu penuh, karena stasiun pengisian bahan bakar antara Sungaipinyuh sampai Singkawang yang berjarak hampir seratus kilometer, jumlahnya terbatas, itupun kalau malam tutup). Aku akhirnya menambah premium dengan membeli secara eceran dari sejumlah pengecer yang memang banyak jumlahnya di Mempawah.

Selepas Mempawah, pemandangan yang indah berupa pantai pasir putih sudah menunggu. Pasir putih yang menghampar di tepian Selat Karimata, ujung selatan dari Laut China Selatan. Bibir pantai hanya berjarak sekitar tiga puluh meter dari sisi kiri jalan. Pantai dengan rimbunnya kebun kelapa dan jeruk. Di bibir pantai, kalau tidak salah mulai dari Sungaikunyit, sampai belasan kilometer, nampak breakwater yang terbuat dari beton melindungi pantai (atau melindungi jalan?) dari ancaman gempuran ombak. Breakwater tersusun dari kubus-kubus beton yang ditumpuk secara memanjang yang panjangnya aku tidak tahu persis. Yang pasti sangat panjang, karena baru berakhir setelah aku mulai masuk wilayah Singkawang.

Memasuki kawasan gunung kecil yang indah dengan Agrowisata Pantai Gosong di kilometer 114 dari Pontianak, yang secara administratip masuk Kecamatan Sei Raya Kepulauan, yang kemudian dilanjutkan dengan kawasan Wisata Pantai Batu Payung di kilometer 116, aku merasakan ada sesuatu yang aneh, karena aku merasa tidak berada di Indonesia. Rumah-rumah dengan arsitektur China dan sejumlah kelenteng nampak berjajar di pinggir jalan. Rasanya aku seperti berada di suatu negeri asing, tepatnya suatu wilayah pedesaan di Anhui, Hebei, Hunan, Shanxi atau Jiangxi, atau di tepian Danau Mulan di pedalaman China. Oh…betapa kaya dan indahnya negeriku.

Pemandangan tersebut berlanjut terus ketika memasuki kawasan wisata lainnya yang dikenal dengan sebutan Pantai Pasir Panjang (kilometer 132), pantai dengan latar belakang gunung yang indah pula.

Yang sempat menjadi tanda tanya bagiku adalah banyaknya perkebunan jeruk (di samping kelapa), sejak dari Mempawah tadi. Jeruk-jeruk yang kemudian dikenal sebagai Jeruk Pontianak itu konon memang berasal dari daerah tersebut di samping dari Sambas. Sehingga sebenarnya pemberian nama Jeruk Pontianak tidaklah tepat, karena asalnya dari Bengkayang, Singkawang dan Sambas. Seperti fenomena pemberian nama Restoran atau Rumah Makan Padang di seluruh Indonesia, meski sebenarnya, banyak di antara pengelolanya yang berasal dari Payakumbuh, Bukit Tinggi, Agam, Lima Puluh Koto, dan lain-lain, bukan hanya yang berasal dari Padang. Rasanya hanya ada di kota Bandung sajalah selama ini yang dapat aku lihat, adanya Rumah Makan Bukittinggi, Rumah Makan Singkarak, Rumah Makan Sawahlunto, dan penamaan lainnya yang bukan menggunakan nama Rumah Makan Padang. Di Bandung, nampaknya sentimen wilayah agak tinggi ekspresinya.

ooOoo

Memasuki perbatasan kota Singkawang ada degup yang aneh yang tiba-tiba saja muncul di dada. Ya, karena untuk waktu yang tidak terlalu lama aku akan berjumpa dengan Merry. Ada perasaan senang, karena akhirnya aku memasuki gerbang kota yang selama ini hanya aku kenal di media. Kali ini aku benar-benar berada di Singkawang, truly Singkawang. Kota terbesar kedua di Kalimantan Barat setelah Pontianak. Amazing! The famous city with full fascinating Chinese ladies, exciting beach and interesting night life.

Jam empat lebih lima belas menit ketika itu. Yang penting aku harus cari hotel dulu, baru nanti menelepon Merry dari hotel. Malamnya bisa jalan-jalan di pantai atau makan malam di Pasar Hong Kong.

Memasuki mulut Jalan Diponegoro, tepat di sudut pertigaan, kami masuki hotel terbesar di Singkawang. Hotel Mahkota. Hotel yang indah dan asri, dengan arsitektur tradisional yang memukau. Meskipun aku akhirnya harus memendam rasa kecewa, karena ternyata seluruh kamar sudah full booked.

Ternyata sudah beberapa hari ini kota Singkawang menjadi ajang pertarungan antarkandidat Gubernur Kalimantan Barat dan juga antarkandidat Walikota Singkawang. Ada perhelatan akbar kampanye Pemilihan Gubernur dan sekaligus juga pemilihan Walikota. Maka tentu saja seluruh hotel di Singkawang penuh dengan para petinggi-petinggi partai dan para pendukungnya. Apalagi Hotel Mahkota adalah milik salah satu kandidat Gubernur, dalam hal ini kandidat nomor urut 2.

Hampir 3 jam aku menyusuri kota, dengan keluar masuk hotel, mulai dari hotel yang berbintang sampai hotel klas melati, namun upayaku untuk mendapatkan kamar sia-sia saja. Benar-benar situasi yang sangat tidak terduga, dan tidak aku bayangkan sebelumnya. Sebenarnya sih kalau sebelumnya ketika masih di Pontianak aku reserve dulu, mungkin masih ada kamar.

Aku akhirnya mencoba menghubungi Merry ke ponselnya. Setelah beberapa kali aku coba kontak, ternyata kesialan kedua menimpaku, ponselnya tidak aktif. Sayang ketika bertemu di Pontianak beberapa hari yang lalu aku tidak sempat meminta alamatnya, dan atau nomor telepon rumahnya di Singkawang. Aku pikir dengan mengetahui nomor ponsel-nya sudah cukup. Dan, kecewa itu kemudian dengan pekatnya menghantam dada (Di kemudian hari aku mendapatkan informasi darinya, bahwa waktu itu dia sedang berada di Sambas, mengunjungi salah satu kerabatnya untuk beberapa hari).

Tentu saja tanpa hotel untuk beristirahat, sulit bagiku untuk tetap berada di Singkawang.Waktu itu jam sudah menunjukkan angka tujuh lewat empat puluh lima menit. Punah sudah harapanku untuk menikmati kehidupan malam di Singkawang, meskipun hanya sekedar menyaksikan saja, just window shopping not truly shopping or real buying. Pastilah tak akan aku lihat amoy-amoy yang konon cantik-cantik. Juga hilanglah rencana investigasiku tentang kopi pangku, yang konon ceritanya tentang kenikmatan surgawi yang fana, di legamnya kopi sekaligus dalam putihnya pangkuan amoy. Meskipun aku tidak percaya, karena di benakku terprovokasi penampilan Merry yang anggun, santun, smart dan menawan. Juga tentang Pasar Hong Kong, kehidupan kuliner waktu malam yang konon mirip dengan suasana di Hong Kong. Tentu saja aku tidak dapat menyalahkan rangkaian acara kampanye yang silih berganti untuk pemilihan Gubernur dan Walikota, yang telah membuat seluruh hotel di Singkawang penuh, sehingga aku menjadi telantar. Yang muncul kemudian adalah penyesalan, kenapa mengabaikan ajakan Merry untuk pergi ke Singkawang bersamanya beberapa waktu yang lalu.

Malam itu akhirnya aku kembali ke Pontianak tepat jam delapan malam. Dalam kekecewaan penuh yang terbit di bayang-bayang Gunung Pasi, Gunung Sakok, Gunung Poteng dan Laut Natuna/Selat Karimata, aku tinggalkan Singkawang, kota yang ketika menyebutnya saja sudah menimbulkan kesan eksotis dan romantis. Kota yang memiliki daya magnetis dan magis. Kota yang jika dibayangkan saja membuat sebagian lelaki mengernyitkan dahi dan memanjakan dukana maupun libidonya, meski imajiner. Sekurang-kurangnya aku sudah sampai di kotanya, yang itu berarti telah memenuhi pemeo ketiga, atau pemeo terakhir.

Tentang amoy, sekurang-kurangnya ketika aku sibuk mencari kamar hotel dengan menyusuri jalan-jalan kota Singkawang tadi, banyak aku peroleh informasi tentang amoy dari petugas hotel yang banyak di antaranya memberiku nomor ponselnya, namun aku pikir, apa peduliku. Dan lagi pula apa perlunya?

Tiba di Pontianak lagi sekitar jam 11 malam. Beruntung aku masih dapat kamar di Hotel Kapuas. Di lobby hotel nampaknya baru saja ada rombongan tiba dengan dua bus. Suatu kejutan bagiku, karena ternyata rombongan yang baru saja tiba adalah rombongan para pengelola Program Pascasarjana dari Universitas dan atau Perguruan Tinggi seluruh Indonesia. Ada beberapa yang aku kenal, di antaranya Prof. Dr. Yulilah dan Dr. Sekartejo dari Magister Manajemen Teknologi ITS. Juga dari UI, ITB, dan yang mengagetkanku adalah aku bertemu salah seorang pengurus AMA Lampung, yang juga kebetulan adalah pengelola Program Pascasarjana Universitas Lampung, Bapak Asep. (Bagi para anggota AMA Indonesia yang sempat menghadiri Munas AMA di Batam pasti tahu beliau, karena beliau adalah salah satu pimpinan sidang dalam Munas Batam yang lalu).

Ternyata rombongan tersebut baru datang dari studi banding di Intitut Teknologi MARA di Kuching, Serawak, Malaysia Timur.

Malam itu aku langsung istirahat malam, karena memang benar-benar capek luar biasa, setelah pergi pulang ke dan dari Singkawang, yang total jaraknya hampir tiga ratus kilometer. Mungkin rasa capek itu akan hilang dengan sendirinya, seandainya malam itu aku menyusuri keindahan kota Singkawang dengan segala ragam kehidupannya. Memang hanya secuil experience yang aku dapatkan, namun itu sudah cukup bagiku untuk mengambil kesimpulan, bahwa segala hal yang ditulis oleh media massa, blog-blog atau milis-milis tentang Singkawang, ternyata ada yang memang benar, namun juga ada yang kurang tepat.

Singkawang, kota legendaris yang akhirnya hanya sekejap aku dapat nikmati keindahannya. Di suatu saat nanti, aku akan kembali berada di kotamu untuk lebih bercengkerama dengan keindahanmu, keeksotisanmu, dan keromantisanmu. Karena julatan, lambaian, dan tarikan magnetismu masih tersimpan pekat di hatiku, untuk mendapatkan kembali pesonamu, untuk memenuhi rinduku.

Hanya secuil catatan ringan yang aku peroleh, namun itu sudah cukup bagiku untuk menjadi bekal bagi pengetahuanku tentangmu. Secara lembut, yang hampir mendekati samar-samar, kudengar dari langit-langit kamar hotel, lagu Cik-cik Periuk, lagu asli daerah Kalimantan mengalir lembut di telingaku. Ketika melodi lagu masuk ke bagian refreinnya yang mendayu-dayu, membuat angan dan jiwaku jadi terlena. Karena sekejap kemudian mengantarku menuju kantukku untuk menikmati lelapnya letihku. Yang pasti aku tidak mau kehilangan tidurku, apalagi harus berpisah dengan mimpi-mimpi indahku.

TAMAT

Ratmaya Urip

Sidoarjo, 9 Desember 2007jam 16.00 WIB

One Response to “Catatan Ringan dari Kota Amoy, Singkawang”

  1. wisata medan says:

    numpang lewat yaa… mau jalan-jalan ke medan? atau mau wisata kuliner di medan? jangan lupa mampir di blog http://www.indrahalim.com ya. Blog kuliner top kota medan. Situs yang lengkap reviewnya tuk resto or kedai yg menyediakan makanan enak di medan.

Tidak ada komentar: