Sabtu, 25 Februari 2012

Elektabilitas Calon Pemimpin dalam Perspektif Antropologi Bisnis dan Antropologi Politik



Oleh: Ratmaya Urip

PROLOG:

1. Liman PAP:

Wow! Sri Mulyani Kuasai 81% Polling Calon Presiden Bank Dunia

Sabtu, 25/02/2012 12:37 WIB
Wahyu Daniel - detikFinance

Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani terus diunggulkan menjadi calon Presiden Bank Dunia menggantikan Robert Zoellick yang bakal mundur akhir Juni 2012. Sri Mulyani menguasai 81% suara polling!

Dalam situs www.worldbankpresident.org, dibuat sebuah polling soal siapa yang bakal menjadi Presiden Bank Dunia selanjutnya. Ada 9 calon dari negara berkembang yang masuk poling tersebut.

Namun polling ini memang tidak bisa dijadikan patokan Sri Mulyani bakal terpilih jadi Presiden Bank Dunia. Apalagi sejak 1944 posisi Presiden Bank Dunia selalu 'dimonopoli' oleh AS.

Hasil sementara poling tersebut, Sri Mulyani menguasai 81% suara polling dengan 6.815 pemilih. Padahal kemarin suara untuk Sri Mulyani baru 3.566 pemilih.

Tempat kedua diikuti Kemal Dervis yang menguasai 13% suara polling dengan 1.078 suara. Situs ini merupakan hasil monitoring soal kandidat yang berpotensi menjadi Presiden Bank Dunia.

Dalam siaran pers Bank Dunia dikatakan, Dewan Eksekutif Bank Dunia telah menyepakati 5 kriteria untuk calon Presiden barunya yaitu:

  1. Terbukti memiliki rekam jejak yang kuat sebagai pemimpin
  2. Berpengalaman memimpin organisasi besar yang aktif di tingkat internasional dan terbiasa bekerja dengan sektor publik
  3. Mampu menjabarkan misi pembangunan Bank Dunia secara jelas
  4. Memiliki komitmen dan apresiasi kuat terhadap kerjasama multilateral
  5. Dapat berkomunikasi secara efektif dan diplomatis, dan menjalani kewajiban seorang Presiden secara imparsial dan obyektif.

Batas waktu pencalonan nama Presiden baru adalah Jumat 23 Maret 2012. Pencalonan dapat dilakukan oleh anggota Dewan Eksekutif, atau anggota Dewan Gubernur melalui Direktur Eksekutifnya.

Seorang calon harus berasal dari salah satu negara anggota Bank Dunia. Setelah proses pencalonan ditutup, Dewan Eksekutif akan membentuk shortlist berisikan maksimum tiga nama, lalu mempublikasikan shorlist tersebut dengan persetujuan ketiga nama yang bersangkutan.

Selanjutnya, Dewan Eksekutif akan mewawancarai ketiga calon dengan harapan bisa mencapai konsensus sebelum 'Spring Meetings' (pertemuan tahunan musim semi) pada April 2012 mendatang.

Jika menjadi Presiden Bank Dunia, Sri Mulyani bakal mendapatkan gaji sebesar US$ 734.707 atau sekitar Rp 6,6 miliar per tahun.

(dnl/dnl)

=============== ==========


DISKUSI & OPINI:

1. Sweetheart (dexter.summer):

Cool.. Semoga ibu dosen itu bs pimpin bank dunia

Sabtu, 25 Februari, 2012 01:35
============= =========

2. rdyan180882

Mantabbbb.....

Sabtu, 25 Februari, 2012 02:50
================= ====

3. Nugroho Setiatmadji

Ibu Sri Mulyani memang putra eh putri terbaik dimiliki negara kita. Beliau adalah sosok ideal untuk memimpin lembaga penuh tantangan namun srikandi secerdas Sri Mulyani menurut hemat saya mampu menjalankan tugasnya.

Sabtu, 25 Februari, 2012 04:51
================ ====

4. ImingTesalonika:

Bro n sister manajer,
Mana lebih bergengsi buat publik Indonesia, presiden world bank or NKRI?

Buat anda, enakkan SMI jadi presiden WB dulu baru NKRI or sebaliknya nih?

Buat Indonesia, lebih strategis SMI jadi presiden WB dulu baru NKRI or sebaliknya nih?

Salam,

Iming

Sabtu, 25 Februari, 2012 05:18
================ =====

5. Emmy Kasim:

Pokonya saya mendukun Sri Mulyani menjadi bank dunia...siapa tahu pooling calon president Indonesia.....

Selamat dan bangga deh sebagi kamum sekaum....

Salam
Emmy
Sabtu, 25 Februari, 2012 08:35
====================== ==

6. Tom_feyhung:

Rasanya berat selain warga negara AS untuk bisa jadi presiden Bank Dunia, karena ini "jatahnya" AS. Sepanjang berdirinya Bank Dunia presidennya selalu warga negara AS, sedangkan IMF selalu dipimpin oleh warga negara2 Eropa. Sepertinya ada perjanjian tidak tertulis antara AS dan Eropa bahwa WB jatahnya AS, sedangkan IMF jatahnya Eropa.

@widodojokoutomo

Sabtu, 25 Februari, 2012 18:48
================ ====

7. Liman PAP:

Salam,

Presiden Bank Dunia sudah di depan mata. Sedangkan tugas dari NKRI masih 2 tahun lagi. Mengabdi pada NKRI bukanlah berarti harus menjadi Presiden RI, tetapi mengharumkan nama NKRI dan menjaga martabat bangsa di forum internasional sangat berarti.

Prabowo adalah calon Presiden NKRI yang ideal juga.

Sabtu, 25 Februari, 2012 19:32
=============== =====


8. Hery Marijanto:

Mending jadi presiden RI saja, kalau tidak ada lagi stok laki laki yg mampu memimpin negeri ini dgn jujur, amanah, cerdas, tegas menyampaikan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Salam hangat.
HMA

Sabtu, 25 Februari, 2012 20:08
============ ====== ===


9. ervan1420:

Kalau memang aturannya presiden WB harus warga negara USA, lebih baik Sri Mulyani pindah warga negara USA aja, untuk apa mempertahankan ke-WNI-an nya kalau dinegeri sendiri aja dia dilecehkan, dihina dina, tidak dihargai dan dibuang.

Saya dukung Sri Mulyani jadi presiden WB dgn pindah warga negara USA dulu.

Salam,
Ervan

Sabtu, 25 Februari, 2012 20:13
=============== =====

10. akbar.faisal:

Pak Iming,

Kalau menurut saya, alangkah baiknya bila menjadi presiden WB. Punya modal yang baik, sehingga ketika terpilih menjadi presiden RI tidak akan mudah disuap. :-)

Rgds,
Faisal A

Sabtu, 25 Februari, 2012 21:35
============== =======


Artikel Ratmaya Urip:

Dear TMI members,

Menyimak diskusi tentang thread ini, khususnya tentang pandangan Pak Liman di bawah ini, saya memiliki pandangan dalam suatu artikel di bawah ini. Kajian saya ini mencoba untuk berbasis pada Ilmu Antropologi Terapan yang sekarang sedang saya kembangkan secara praktis di lapangan. Karena Ilmu Terapan relatif lebih dinamis daraipada Ilmu yang Teoritis.

Yang pasti dalam Perspektif Antropologi, menjadi seorang Pemimpin tidak cukup hanya dengan kapasitas/kapabilitasnya dalam operational, tactical, strategic, and visionary activities maupun leadershipship-nya, namun dalam dunia yang penuh intrik dan banyak kepentingan ini diperlukan pendekatan lain, yaitu Antropologi Terapan, khususnya Antropologi Bisnis dan Antropologi Politik.

Dalam kajian saya ini, saya mencoba untuk obyektif, dan netral, untuk menghindari persepsi negatif. Karena sebagai pribadi maupun keterlibatan saya dalam institusi, saya kebetulan tidak memiliki kepentingan secuilpun dalam case ini.

Kebetulan saya tengah akrab dengan Ilmu ini, khususnya ilmu yang terapan atau praktek-praktek lapangannya. Itu saja latar belakang saya menganalisis thread ini:

Elektabilitas Calon Pemimpin dalam Perspektif Antropologi Bisnis dan Antropologi Politik

(Studi Kasus Elektabilitas Sri Mulyani di Bank Dunia dan Prabowo Subiyanto sebagai RI-1)

Oleh: Ratmaya Urip*)


1. Elektabilitas Sri Mulyani di Bank Dunia

Tidak dapat dipungkiri bahwa Bank Dunia tidak dapat dilepaskan begitu saja dari lobby-lobby Jews. Karena peletak dasar bagi founding history-nya adalah Jews sebagai otoritas keuangan resmi maupun tidak resmi di Amerika Serikat, yang berkolaborasi dengan mayoritas etnis Irish, yang kebetulan banyak mendominasi pemerintahan atau birokrasi Amerika Serikat sepanjang sejarahnya.

Amerika Serikat merupakan tempat pijakan yang kuat, sekaligus sebagai pengawal "Bank Dunia". Kolaborasi historis antara etnis Irish di birokrasi dan Jews di Finance telah membawa Amerika Serikat mewarnai dunia seperti sekarang ini. Apalagi selain Finance, etnis Jews juga mendominasi bidang-bidang Information Technology, Media & Entertainment, Oil Business, Education, Medicine, Surgery, dan lain-lain.

Sementara IMF didominasi oleh kepentingan-kepentingan Eropa. Perebutan hegemoni antara Amerika Serikat dengan Eropa merupakan issue klasik. Khususnya di bidang Keuangan dan Pertanian. Itulah mengapa dalam sidang-sidang WTO maupun ILO maupun FAO sering terjadi perdebatan sengit antara Amerika Serikat dan Eropa. Terakhir yang diperdebatkan adalah masalah subsidi bagi sektor pertanian.

Hal ini karena mereka saling berebut hegemoni, sebagai potensi bawaan yang sudah ada sejak jaman baheula. Karena mereka penuh dengan pola pikir etnis yang berakar pada keunggulan hegemoni ("hegemony-based competitiveness"). Lihat saja perang antarnegara di Eropa antara Inggris dengan Perancis, Inggris dengan Jerman, Inggris dengan Perancis, dan lain-lain yang kemudian berpuncak pada Perang Dunia1 dan ke-2. Perang-perang tersebut pada hakekatnya adalah perebutan hegemoni yang berpuncak pada keinginan menjadi "uber alles", atau yang menjadi No. 1.

Sementara Amerika Serikat sebagai dunia baru bagi imigran miskin dari Eropa, di abad 16 sampai 19 seperti Irish, Scottish, Bavarian, Jews, Sicilian, Spaniard, Poland, dan lain-lain telah menjadi "Eropa Baru" yang penuh perebutan hegemoni. Meskipun semula competitiveness-nya berbasis survival, karena mereka kebanyakan miskin sehingga dapat disebut "survival-based competitiveness" kemudian setelah mulai menjadi kaya, sifat dasarnya muncul kembali, yaitu "hegemony-based competitiveness".

Ingat persaingan seru dalam ajang kontes kecantikan antara "Miss Universe" (Amerika Serikat dalam hal ini Donal Trump) dengan "Miss World" (Eropa/Inggris dalam hal ini Eric Morley). Juga persaingan antara Badan-badan Tinju Dunia, seperti WBC, WBF, IBF, WBA, dll.

Terlepas dari masalah-masalah politik, agama, kepentingan tertentu dan lain-lain yang sering terbawa jika kita membahas etnis Jews, saya mencoba untuk selalu berkiblat pada pemikiran Dr. Mahathir Mohammad, yang mencoba untuk berpikir profesional dan proporsional, dalam menyikapi hal ini (simak artikel saya: "Keunggulan Bersaing Bangsa dalam Perspektif Antropologi Bisnis" di Blog saya: http://ratmayaurip.blogspot.com atau Blog The Managers Indonesia (TMI) http://themanagers.org)

Etnis Jews yang di seluruh dunia jumlahnya "hanya" sekitar 16 juta jiwa, dimana yang sekitar 7,5 juta jiwa bermukim di Amerika Serikat di antara 312.913.872 jiwa penduduknya (Sensus 2010), sangat mendominasi di bidang-bidang IT, Economics & Finance, Education, Media & Entertainment, Surgery, etc.

Sementara etnis Irish mendominasi Presiden Amerika Serikat (simak artikel saya seperti tersebut dalam uraian di Blog). Kolaborasi antara etnis Jews dan Irish kemudian menjadi wajah Amerika Serikat selama ini. Sementara etnis Jerman yang merupakan etnis terbanyak di Amerika Serikat lebih suka bergelut di bidang konstruksi, manufaktur, militer, dan sebagian pertanian. Etnis-etnis lain tacit di bidang-bidang lainnya.

Sejak berdirinya pada tahun 1946, Presiden Bank Dunia hampir seluruhnya dipegang oleh orang Amerika Serikat. Di antara 11 Presiden yang menjabat sejak dari Eugene Meyer (tahun 1946) sampai Robert B. Zoellick (saat ini), hanya pernah 1 (satu) kali dijabat oleh bukan orang Amerika Serikat, namun karena harus menjabat Presiden Bank Dunia kemudian dinaturalisasi menjadi warga negara Amerika Serikat, pada periode ke 9 (sembilan) antara tahun1995-2005. Pada periode tersebut Sir James Wolfensohn dinaturalisasi dari semula warga negara Australia menjadi warga negara Amerika Serikat karena harus menjabat sebagai Presiden Bank Dunia. Apalagi dia menjabat selama 10 tahun.

Jadi betapa kuatnya lobby-lobby Jews dalam peta finansial dunia, tidak ada yang dapat memungkirinya.

Bagi Sri Mulyani, jika ingin medapatkan posisi Presiden Bank Dunia, maka sekurang-kurangnya wajib untuk menarik simpatinya. Atau mungkin saja Sri Mulyani sudah termasuk dalam Ring-1 mereka. Tinggal menaturalisasikan dirinya sebagai warga negara Amerika Serikat. Mengingat salah satu di antara 11 Presidennya kemudian juga harus pindah warga negara dari Australia menjadi Amerika Serikat. Jika tokh karena begitu cinta mereka kepada Sri Mulyani, karena kepentingan-kepentingan mereka terakomodasi, sehingga Sri Mulyani bersedia untuk dinaturalisasi, itu masih merupakan misteri. Misteri lain adalah jika Sri Mulyani tidak bersedia meninggalkan kewarganegaraan Indonesia-nya, atau mereka mau menerima Sri Mulyani apa adanya dengan segala visinya (untuk yang ini kok rasanya berat bagi mereka).

Sri Mulyani konon memang dianggap sebagai penganut ekonomi neo-liberal. Untuk yang satu ini memang sebenarnya sudah cocok sebagai salah satu kriteria menjadi Presiden Bank Dunia. Tinggal mampukah dia menjaga kepentingan-kepentingan Amerika Serikat (baca: Jews), itulah sebenarnya inti pokoknya. Karena untuk sektor "global finance" kepentingan-kepentingan Jews, diakui atau tidak memang sangat dominan. Tentang maukah Sri Mulyani pindah warga negara, itu tergantung dari sikapnya dalam memandang "nasionalisme". Apakah "nasionalisme" kuno atau "nasionalisme" modern.

Bagaimana jika sampai terjadi, bahwa kepentingan Amerika Serikat berbenturan dengan kepentingan Indonesia, itulah PR untuk dapat dijawab. Untuk hal ini, Jews dengan dominasi media-global nya yang sangat interogatif dan spionatif , pastilah mudah untuk menyelidiki sikap Sri Mulyani terhadap kepentingan-kepentingan mereka. Ingat di tataran global, ranking 1 dan 2 media global dipegang oleh Jews, yaitu Walt Disney dari Disney Media Network dan Rupert Murdoch dari NewsCorporation.

Ingat sebagai 1-st rank global media dengan revenue US$ 36,1 billion (2009) Walt Disney menguasai ABC Television, ESPN, Disney Channel, SOAPnet, A&E and Lifetime, 277 radio stations, music and book publishing companies, production companies Touchstone, Miramax and Walt Disney Pictures, Pixar Animation Studios, the cellular service Disney Mobile, and theme parks around the world.

Sedangkan News Corporation dari Rupert Murdoch sebagai 2nd rank global media yang mengantongi revenue US$ 30,4 billion mendominasi dengan Fox Broadcasting Company; television and cable networks such as Fox, Fox Business Channel, National Geographic and FX; print publications including the Wall Street Journal, the New York Post and TVGuide; the magazines Barron’s and SmartMoney; book publisher HarperCollins; film production companies 20th Century Fox, Fox Searchlight Pictures and Blue Sky Studios.

Apalagi jika ditambah bisnis-bisnis mereka yang lain, yang semuanya mendunia.

Dengan kehadiran China sebagai kekuatan ekonomi dunia yang dapat menggoyangkan posisi mereka (konon dalam suatu jajak pendapat, warga Amerika Serikat sendiri menganggap China sebagai kekuatan ekonomi dunia no 1 pada tahun 2013 nanti, mengalahkan Amerika Serikat), maka Sri Mulyani diduga juga harus dapat membendung arus akselerasi kemajuan ekonomi China di pasar global. Ingat dominasi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat meskipun pelan namun pasti sudah tergerogoti secata masif dalam Global 500 Fortune. Masuknya Sinopec Group, China National Petroleum, dan State Grade di 10 Besar menghadapi Walmart, Exxon Mobil dan Chevron dari Amerika Serikat serta Toyota Motor, dan Japan Post Holding dari Jepang, membuat pengamat ekonomi global semakin yakin bahwa China adalah raksasa ekonomi baru yang sudah siap mengambil alih tahta ekonomi dunia. Tentu saja Amerika Serikat (cq. Jews) khawatir tentang ancaman ini. Tindakan dengan menempatkan duta besar baru dari Amerika Serikat untuk China yang beretnis Tionghoa, Gary Locke nampaknya sebagai salah satu cara untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan meredam akselerasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi China. Penampilan duta besar Amerika Serikat untuk China yang berdarah Tionghoa tersebut memang antik, karena kemana-mana sering membawa ransel di pundaknya (yang mengingatkan saya pada penampilan sahabat saya yang juga ekonom Faisal Basri yang lebih suka membawa ransel punggung dan sepatu sandal, meski dalam kesempatan resmi)

Dengan kata lain untuk menjadi Presiden Bank Dunia, maka Sri Mulyani, wanita Jawa kelahiran Bandar Lampung, 26 Agustus 1962, yang juga berpredikat wanita paling berpengaruh di dunia ranking 23 versi Forbes 2008 tersebut wajib untuk dapat mendahulukan kepentingan-kepentingan mereka. Ini adalah bisnis. Bisnis yang kapitalistik. Dalam bisnis global selalu ada politik bisnisnya.

Terlepas dari semua kriteria tersebut di atas, sebenarnya menurut saya, apakah posisinya tersebut menguntungkan atau tidak bagi bangsa dan negara Indonesia. Itulah yang terpenting. Namun jika Sri Mulyani konsisten dengan apa yang ditulis dalam facebook-nya yaitu: "hidup hanya sementara, lakukan yang terbaik dan berikan yang terbaik buat bangsa, negara, agama, dan keluarga", maka nampaknya sulit bagi Amerika Serikat untuk dapat mempengaruhi visinya. Sebab pilihan antara menggadaikan hidup bagi pihak lain yang mungkin berbeda visi, sementara keinginan untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa, negara, agama dan keluarga juga menggebu, seperti tertulis di akun FB-nya tersebut, nampaknya sulit untuk dikompromikan. Meskipun saya tidak begitu yakin akun Facebook-nya adakah akun resmi Sri Mulyani, karena bisa saja digawangi oleh orang lain.

Entah nantinya jika ada sesuatu yang lain yang dapat membuat kedua pilihan tersebut dapat bersinergi.

Bagaimanapun juga, jika Sri Mulyani mampu memenangkan perebutan kursi World Bank-1 itu merupakan suatu anugerah dan kebanggaan tersendiri bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Sementara bagi yang berseberangan mungkin dapat menjadi sandungan.



2. Elektabilitas Sri Mulyani dan/atau Prabowo Subiyanto sebagai RI-1

Sri Mulyani beretnis Jawa, meski kelahiran Bandar Lampung. Sebagai etnis dengan jumlah terbanyak di Indonesia, tentu saja sentimen etnis masih dapat berbicara dalam percaturan perebutan RI-1.

Dalam sejarah modern Republik Indonesia, dari 6 (enam) Presiden dijabat oleh 5 (lima) Presiden dari etnis Jawa. Sedang Pak Habibie (yang bukan etnis Jawa) kebetulan waktu itu karena wajib memenuhi amanat konstitusi menjadi pengganti Presiden ke-2 (Soeharto yang dilengserkan) menjadi Presiden ke-3. Jika waktu itu Wakil Presidennya Umar Wirahadikusumah, atau Adam Malik, atau Sri Sultan HB IX, atau Sudharmono, pastilah lain ceritanya.

Dalam perspektif yang lebih detail, dan jika kita mau jujur, sentimen etnis dimanapun juga sering masih sulit ditinggalkan. Taruhlah sebelum Presiden SBY (yang pemilihan Presiden sebelum tahun 2009) masih dilakukan tidak secara langsung (karena dipilih MPR), tokh dengan suara terbatas di dalam MPR masih saja etnis Jawa mendominasi. Apalagi jika pemilihan dilakukan secara langsung dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Kekuatan etnis Jawa yang konon terbanyak di Indonesia masih sulit ditandingi.

Dalam pemilihan langsung prestasi atau pesona individual lebih mudah dijual, apalagi ditambah asal etnisnya. Krn secara umum etnis2 di Indonesia, mayoritas memiliki emosi melo-dramatis dibanding rasional.

Bagaimana dengan Pemilihan Presiden dari Perspektif Antropologi Politik?

Untuk Pemilihan Presiden apalagi secara langsung, meski ada Partai Politik yg mengusung, tetap saja sentimen etnis sulit dihilangkan selama tingkat pendidikan rata2 masih rendah. Meski juga sekarang lebih cenderung pragmatis.

Dari 6 Presiden selama ini , 4 Presiden dr etnis Jawa-Mataraman, 1 Presiden etnis dari Jawa Arek yang ada Jawa Mataramannya, 1 Presiden lagi dari Sulawesi. Itupun jadi Presiden krn kebetulan Pak Harto lengser, shg sebagai Wakil Presiden mewarisi jabatan Presiden utk mengembang amanat Undang2 Dasar.

Dari calon yg dijagokan bbrp pihak saat ini muncul nama: 1. Sri Mulyani (Jawa Semarangan-H meski kelahiran Lampung). 2. Prabowo Subianto (Jawa- Mataraman-AA). 3. Ibu Ani Yudhoyono (Jawa Mataraman-AA), 4. Anas Ubaningrum (Jawa-Mataraman-AG), 5. Surya Paloh (Manado-Minahasa). 6. Aburizal Bakrie (Lampung) 7. Pramono Edie Wibowo, adik Ibu Negara yg KSAD ( Jawa Mataraman-AA). 8. Dahlan Iskan (Jawa Mataraman-AE), 9. Joko Widodo (Jawa Mataraman-AD). 10. Hatta Rajasa (Palembang). Nama2 lain belum banyak dibicarakan. Catatan: Nama tersebut di atas ditulis tidak berdasar pada hasil survey, namun lebih pada masukan yang ada di sejumlah media.

Terlepas dari fenomena Golput yg semakin membesar, tetap saja sentimen etnis yg mengemuka, meski tidak ditunjukkan secara vulgar.
Nah saya tetap memegang pilihan bahwa etnis Jawa masih memegangnya krn alasan sentimen etnis dan sifat melo-dramatis yg ada.

Kecuali suara etnis Jawa terpecah2 menjadi beberapa pilihan krn calon Presidennya banyak yg dr etnis Jawa. Nah di sini baru calon Presiden dari etnis non-Jawa bisa tampil.

Tapi saya pesimis juga, karena ada teorema, bahwa etnis non-Jawa selalu saling berebut posisi kedua di bawah etnis Jawa, mengingat anggapan, bahwa mengatasi etnis Jawa sangat sulit. Apakah 2014 lain situasinya? Kita tunggu saja. Semoga ada calon dari non-Jawa yang kuat. Saya akan analisis secara antropologi politik setelah calon2nya jelas dan ditetapkan.

Perlu diketahui, data terakhir jumlah etnis di Indonesia sebelum Sensus Penduduk 2010 adalah (saya belum mendapat data terbaru. Mohon masukan dari anggota milis jika ada data terbaru):

1. Jawa: 86 juta atau 41,7%
2. Sunda: 31,765 juta,15,4%
3. Melayu: 8,789 juta, 4,1%
4. Tionghoa: 7,776 juta 3,7% dr sub-etnis Cantonese, Hakka/Khek, Tiociu/Teochews, Hokkien
5. Madura 6,807 juta, 3,3%
6. Batak 6,188 juta, 3%
7. Bugis 6 juta7n 2,9%
8. Minang 5,569 juta, 2,7%
9. Betawi 5,157 juta, 2,5%
10.Arab 5 juta,
11. Dilanjut Banjar, Banten, Aceh, Bali, Dayak, Sasak, Makassar, Cirebon, Ambon, dst.

Dengan kata lain, dari perspektif Antropologi Politik, etnis Jawa hanya dapat dibendung jika calon RI-1 dari etnis Jawa banyak calonnya. Sehingga suaranya akan terpecah-pecah. Dan itu harus 1 (satu) putaran. Jika sampai 2 (dua) putaran dimana dalam pemilihan Putaran ke-2 melibatkan 1 (satu) calon dari etnis Jawa vs 1 (satu) calon dari etnis non-Jawa, banyak kemungkinan etnis Jawa yang akan menang.

Bagi calon-calon dari non-Jawa, saya sarankan agar mengondisikan agar calon-calon dari etnis Jawa banyak jumlahnya, supaya suaranya terpecah-pecah. Sementara dia wajib membuat solid suara seluruh etnis non-Jawa maupun sebagian etnis Jawa.

Dengan kata lain, jika Sri Mulyani maju sebagai calon RI 1, elektabilitas dari perspektif Antropologi Politik dapat bersaing. Demikian juga Prabowo, Dahlan Iskan, Jokowi, dan lain-lain yang ber-etnis Jawa. Namun jika mereka maju secara bersama-sama, suara mereka mungkin akan terpecah-pecah, yang akan menguntungkan calon dari non-Jawa.

Ingat ketokohan dan sifat melodramatis adalah kunci dari keberhasilannya. Bukan karena partai politik yang mengusungnya, atau karena iming-iming sejumlah uang. Visi dan misi yang biasanya sebagai embel-embel dalam pemilihan tidak akan banyak dilirik, terutama oleh pemilih yang kebanyakan masih banyak yang rendah tingkat pendidikannya. Meski dengan politik uang, dengan semakin meleknya warga negara mungkin apa yang saya sampaikan tetap seperti pandangan saya tersebut di atas.

Di Amerika Serikat saja, yang tingkat pendidikan rata-ratanya sangat tinggi, tokh etnis Irish-lah yang mendominasi Presiden Amerika Serikat.Sekitar 22 dari 44 Presiden-nya dari etnis Irish.

Salam,

Ratmaya Urip

Minggu, 05 Februari 2012

Kajian Antropologi Bisnis Etnis Tionghoa di Indonesia



<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Catatan Ringan Menjelang Cap Go Meh

(Kajian Antropologi Bisnis Etnis Tionghoa di Indonesia)

Oleh: Ratmaya Urip*)

(Hiruk pikuk Imlek 2563 telah lewat, sementara Cap Go Meh sedang menjelang di ujung petang. Menyambung tulisan saya “Sisi Lain Imlek” sebelum Imlek yang lalu, maka sebelum Cap Go Meh tiba, kembali saya torehkan sepotong tulisan, seperti di bawah ini. Rasanya momentum antara Hari Raya Imlek dengan Cap Go Meh ini cukup pas untuk meluncurkan tulisan ini. Kebetulan saya terinspirasi untuk itu):

Cap Go Meh selalu mengingatkan saya pada kota Singkawang, Kota Amoy, kota seribu kelenteng, kota seribu kuil, San Kheu Jong, San Kew Jong, atau seribu nama lainnya. Kota indah yang memesona yang bertengger di bayang-bayang Gunung Pasi, Gunung Sakok, dan Gunung Poteng. Kota yang ketika menyebutnya saja sudah menimbulkan kesan eksotis dan romantis. Kota yang memiliki daya magnetis dan magis. Kota yang jika dibayangkan saja membuat sebagian lelaki mengernyitkan dahi dan memanjakan dukana maupun libidonya, meski lebih banyak absurd dan imajiner. Kota yang membangkitkan konotasi kita pada hal-hal yang lebih memanjakan lelaki. Hasrat menjadi lebih berbinar dengan indikasi berupa mata menjadi lebih bersinar, telinga menjadi lebih lebar, hidung menjadi lebih bergerak, benak menjadi lebih mempunyai riak, dan hati serasa ada gelinya onak, sehingga maunya gejolak dukana ingin memilih dobrak. Yang pasti ada rasa enak yang bergelora di dada karena ada gairah yang beranak pinak (he..he..he, kenapa, ya?). Apakah karena keindahan ragawi Amoy-nya? Yang berita tentang ketenarannya telah mengembara dari indra yang satu ke indra yang lainnya via banyak media. Mungkinkah karena julatan kopi pangku-nya? Atau malah karena pesona kuliner Pasar Hongkong-nya setelah senja lewat mengiringi tembang paksi yang luruh terundang kantuk? Bagi saya sih pesona Wisata Agro Pantai Gosong, atau Wisata Pantai Batu Payung, atau Wisata Pantai Pasir Panjang, lebih membuat benak saya berkelana di antara harap dan asa untuk selalu kembali ke tepiannya.

Singkawang, adalah kota yang populasi etnis Tionghoa-nya didominasi oleh suku atau sub-etnis Hakka atau Khek atau Ke, dengan minoritas sub-etnis Tiociu atau Tiochiu atau Tiochew. Kota yang selalu menyambut datangnya Cap Go Meh dengan sangat meriah, penuh hiruk pikuk dan suka cita karena kehadirannya selalu ditunggu dan notable. Ritual mudik yang khas yang hanya ada di kota Singkawang. Pesta yang selalu dimeriahkan barongsai di tengah liuk-liuk naga merah yang menari-nari dalam cengkeraman irama perkusi yang berdentang nyaring dengan riuh rendah yang selalu dikebaki dengan tepuk tangan meriah yang membahana memenuhi seluruh jalanan kota, di tengah sejumlah masalah-masalah kemiskinan yang sering mendera dalam kehidupan sehari-harinya. Karena biasanya, Cap Go Meh banyak dirayakan di tengah-tengah masyarakat Tionghoa yang memang secara ekonomi sangat mapan dan berkecukupan di belahan lain di Indonesia, kecuali komunitas Tionghoa di Singkawang dan Benteng-Tangerang. Di Singkawang perayaan Cap Go Meh selalu dapat mengentaskan kemiskinan yang mendera selama setahun dalam satu hari yang ditunggu itu.

Telah jamak diketahui, sub-etnis Hakka atau Khek di Indonesia banyak mendiami wilayah Kalimantan Barat (di samping Bangka-Belitung), yang berdampingan dengan sub-etnis Tiochew yang lebih minoritas. Sub-etnis Hakka termasuk salah satu sub-etnis dari rumpun etnis Tionghoa (Han) di antara 6 sub-etnis yang berasal dari Tiongkok (China) Bagian Tenggara yang banyak mendominasi etnis atau rumpun Han (Tionghoa) di Indonesia.

Adapun 6 (enam) sub-etnis yang banyak tersebar di Indonesia, yang mayoritas berasal dari Tiongkok Tenggara, khususnya dari Provinsi-provinsi bertetangga Guangdong dan Fujian tersebut adalah sub-etnis Hokkien (Hokkian), Hakka (Khek atau Ke), Cantonese (Punti atau Konghu atau Kongfu atau Hoa), Teochew (Tiociu atau Tiochiu atau dalam dialek Mandarin-nya adalah Chaozhou), Hockchiu, dan Hainan.

Seperti halnya sub-etnis yang ada di Indonesia yaitu Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Bugis, Batak, dan sebagainya, maka masing-masing sub-etnis yang berasal dari provinsi Guangdong dan Fujian tersebut memiliki antropologi bisnisnya masing-masing, dengan stereotype antropologi bisnis yang agak berbeda. Dari 6 (enam) sub-etnis tersebut, hanya 4 (empat) sub-etnis yang banyak dibicarakan di Indonesia, karena populasinya yang lebih dominan. Empat sub-etnis tersebut adalah Hokkien, Hakka, Cantonese, dan Teochew.

Keenam sub etnis tersebut di atas adalah sub-etnis yang pada umumnya tidak menggunakan Bahasa Mandarin sebagai bahasa sehari-hari. Karena Bahasa Mandarin yang berasal dari wilayah China Bagian Utara yang berpusat di Beijing tersebut, baru benar-benar dipelajari secara luas setelah ditetapkan sebagai bahasa resmi Negara China

Sebagai referensi, Wikipedia dalam edisinya yang berbahasa Melayu menyebutkan wilayah-wilayah penyebaran berbagai sub-etnis tersebut di seluruh Indonesia, adalah sebagai berikut:

  • Hakka: Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumsel, Babel, Lampung, Jawa, Kalbar, Banjarmasin, Sulsel, Ambon, dan Jayapura
  • Hokkien: Sumut, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Jawa, Bali (Denpasar n Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulteng, Menado, Ambon
  • Cantonese: Jakarta, Makassar dan Menado
  • Teochew: Sumut, Riau Sumsel dan Kalbar (Khususnya di Pontianak dan Ketapang)
  • Hockchiu: Jawa terutama Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya
  • Hainan: Riau (Pekanbaru dan Batam) dan Menado

ooOoo



1. Hakka (Khek atau Ke)

Situs resmi Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2011/12/21/7541.html ) menyebutkan, bahwa suku Hakka adalah sub-etnis yang merupakan kontributor bagi keberadaan rumpun Han (Tionghoa) yang terbesar di Indonesia Mungkin saja pernyataan tersebut bersumber dari klaim Ketua Umum Perhimpunan Hakka Indonesia Sejahtera, Sugeng Prananto yang juga mengatakan , bahwa mayoritas rumpun Tionghoa adalah sub-etnis atau suku Hakka. Sedangkan Ketua Pembina-nya yaitu Murdaya Poo menambahkan bahwa jumlah populasi sub-etnis Hakka di Indonesia adalah 8 juta jiwa. (http://www.jurnas.com/mobile-news/48544)

Data tersebut membuat saya terheran-heran, karena jika sub-etnis Hakka saja jumlahnya 8 juta, berapa totalnya jika seluruh sub-etnis (Hakka, Hokkien, Cantonese, Teochew, Hockchiu, dan Hainan) dijumlahkan. Rasanya kurang masuk akal. Menurut saya data tersebut masih perlu ditelusuri kebenarannya, karena selama ini belum ada data resmi yang pernah disampaikan, termasuk dari Badan Pusat Statistik. Entah dari mana angka tersebut di peroleh.

Prof Wang Dong, ahli Hakkaology dari Shanghai Huadong University di hal 207 dlm bukunya “Kejiaxue Daolun” (Introduction to Hakkaology), menyebut sub-etnis Hokkien (Hokkian) disebut-sebut sebagai sub-etnis dari rumpun etnis Tionghoa (Han) yang terbesar populasinya di Indonesia. Dalam buku tersebut di sebutkan bahwa sub-etnis Hakka berjumlah “hanya” 1,2 juta di antara 6 juta dari seluruh populasi rumpun Tionghoa di Indonesia. Buku Prof Wang memang terbit tahun 1995, sehingga mungkin saja setelah 17 tahun (karena saat ini tahun 2012), populasi sub-etnis Hakka menyalip populasi sub-etnis Hokkien. Namun jumlah tersebut masih membuat saya mengernyitkan dahi. Taruhlah angka populasi seluruh rumpun Tionghoa (Han) benar 6 juta seperti ditulis Prof Wang Dong, maka tahun ini atau tahun 2012, atau setelah 17 tahun, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun 1,5% (seperti angka yang di-released Badan Pusat Statistik tahun 2010) atau diproyeksikan 2% (angka yang dibuat lebih longgar kemungkinannya) akan diperoleh pertumbuhan penduduk Tionghoa sebesar 1,5 atau 2 x 17 tahun = 25,5% sampai dengan 34%. Sehingga jumlah populasi Tionghoa secara keseluruhan di Indonesia adalah (1 + 0,255) x 6 juta = 7,25 juta sampai dengan (1 + 0,34) x 6 juta = 8,04 juta.

Sementara sumber data lain yang di-released oleh Wikipedia menyebutkan, perkiraan seluruh populasi rumpun Han (Tionghoa) dengan menjumlahkan populasi seluruh sub-etnis Hakka, Hokkien, Cantonese, Teochew, Hainan dan Hockchiu, pada tahun 2006 berjumlah 7.670.000 jiwa. Taruhlah kita pakai laju pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun adalah 1,5% (sedikit di atas laju pertumbuhan penduduk Indonesia periode tahun 2000 s/d 2010 yang telah di-released Badan Pusat Statistik yang “hanya” 1,49 per tahun), maka perkiraan kasar populasi penduduk seluruh rumpun Tionghoa atau Han dari ke-enam sub-etnis adalah 7.670.000(1 + 1,5% x 6 tahun dari tahun 2006 sampai 2012) = 7.670.000 + 690.300 = 8.360.300 jiwa.

Padahal selama ini selalu ada pandangan bahwa antara sub-etnis Hakka dengan sub-etnis Hokkien saling klaim bahwa mereka yang mayoritas. Karena sub-etnis Hakka telah klaim bahwa jumlah mereka adalah 8 juta jiwa seperti yang disampaikan oleh Ketua Pembinanya yaitu Murdaya Poo seperti tertulis dalam situs di atas, maka jika dianggap jumlah sub-etnis Hakka dan Hokkien dianggap populasinya sama jumlahnya, hitungannya sudah 16 juta jiwa untuk kedua sub-etnis tersebut saja. Belum termasuk 4 (empat) sub-etnis lain, meskipun jumlahnya tidak negitu banyak. Itu tidak sesuai dengan hitungan yang telah disampaikan di awal bahwa total penduduk Tionghoa (Han) secara keseluruhan adalah 8.360.300 jiwa pada tahun 2012 ini. Angka terakhir ini lebih masuk akal. Namun yang pasti sub etnis Hakka “hanya” kuat di Kalimantan Barat dan Bangka-Belitung, wilayah di Indonesia dengan tingkat kerapatan penduduk yang rendah di Indonesia. Namun memang ada yang mengganjal, karena konon banyak dari sub-etnis Hakka yang tidak hanya mahir berbahasa ibunya yaiku bahasa Khek, namun banyak juga yang piawai berbahasa Hokkien. Sehingga mungkin saja, karena fasih berbahasa Hokkien, mereka yang dari Hakka dianggap Hokkien. (Catatan lain dari berbagai referensi menyebutkan, Bahasa Hokkien di Indonesia konon hampir punah, karena generasi muda Hokkien sudah banyak yang tidak mempelajarinya, karena lebih suka berbahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarinm).

Berbagai tulisan lain menyebutkan bahwa rumpun atau etnis Tionghoa (Han) di Indonesia sekitar 5% sampai dengan 6% dari seluruh penduduk Indonesia. Ada yang menyebutkan 4% sampai dengan 5%, ada yang menyebut sekitar 3%. Entah dari mana angka tersebut diperoleh. Karena sampai saat ini memang belum ada data resminya, termasuk data dari BPS terbaru Karena Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010-pun tidak melaporkan tentang hal ini. Atau saya yang kurang jeli memelototi datanya? Semoga ada pembaca yang memberi pencerahan karena memiliki datanya secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan

Kalau tokh dianggap bahwa jumlah populasi etnis Tionghoa (Han) adalah sebesar 4 sampai 5% dari seluruh penduduk Indonesia, seperti yang banyak disangkakan beberapa tulisan, maka sekarang populasinya adalah 4% sampai 5% x 242,8 juta jiwa = 9,712 juta sampai 12,14 juta jiwa. Suatu jumlah yang fantastis, meski saya meragukan itu, karena lemahnya sumber data.

Catatan:

  • Sensus Penduduk Indonesia 2010 yang diumumkan secara resmi oleh Presiden di depan Rapat Pleno DPR, 16 Agustus 2010 menyebut jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363 jiwa.
  • Sedang saat tulisan ini disusun sudah lebih dari 1,5 tahun dari pengumuman tersebut, Sehingga saat tulisan ini dibuat, yaitu 4 Februari 2012, jumlah penduduk Indonesia sudah bertambah menjadi 1,5 x 1,49 x 237.556.363 jiwa. (Angka 1,5 adalah 1,5 tahun sejak Sensus Penduduk diumumkan. Angka 1,49 adalah laju pertumbuhan penduduk per tahun. Sementara Angka 237.556.363 adalah jumlah penduduk pada waktu dumumkan, atau pada waktu satu setengah tahun yang lalu).
  • Sehingga saat ini penduduk Indonesia per tanggal 4 Februari 2012 diduga sudah bertambah menjadi sekitar 1,5 x 1,49 x 237.556.363 jiwa = 242.865.747 jiwa.
  • Jika penduduk etnis Tionghoa (Han) diduga sejumlah 4% sampai 5%,seperti yang disampaikan dalam beberapa tulisan yang menurut saya masih disangsikan kebenarannya (karena sumber datanya sulit dilacak), maka jumlahnya menjadi 4% sampai dengan 5% x 242.865.747 jiwa = 9,712 juta sampai 12,14 juta jiwa.

Namun, bagaimanapun juga, saya “terpaksa” memilih angka 8 juta jiwa sebagai populasi sub-etnis Hakka seperti yang disampaikan oleh situs resmi Presiden SBY tersebut di atas. Karena pertimbangan, masak sih data dari situs resmi Presiden tidak akurat? Pastilah data tersebut disampaikan setelah menerima masukan dari ahlinya. Meskipun saya menduga data dari situs tersebut “hanya” mengutip dari statement Ketua Umum Pembina Hakka Indonesia

Sementara saya juga memilih bahwa sub-etnis Hakka adalah sub-etnis terbesar di Indonesia, di atas populasi sub-etnis atau suku Hokkien, Cantonese dan Tiochew. Bukannya suku Hokkien yang menjadi sub-etnis terbesar di Indonesia, seperti disampaikan oleh Prof. Wang Dong, ahli Hakkaology dari Shanghai Huadong University. Meskipun sekali lagi saya masih ragu atau belum yakin benar, bahwa sub-etnis Hakka adalah sub-etnis yang terbesar di antara rumpun Tionghoa (Han) di Indonesia. Yang pasti sub-etnis Hokkien dengan sub-etnis Hakka memang sangat bersaing.

Itulah mengapa saya tidak heran, ketika Hall D Arena Pekan Raya Jakarta, pada hari Rabu, 21 Desember 2011 mulai pukul 19.30 WIB dijejali oleh Sub-etnis atau Suku Hakka dalam Silaturahim Nasional Perhimpunan Hakka Indonesia Sejahtera. Event meriah yang dihadiri langsung oleh Presiden dan Ibu Negara, serta sejumlah pejabat tinggi pemerintah, di antaranya Mensesneg Sudi Silalahi, Men. BUMN Dahlan Iskan, Sekab Dipo Alam,, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kapolri Timur Pradopo, Gubernur DKI Fauzi Bowo, Ketua Pembina Perhimpunan Hakka Indonesia Sejahtera Murdaya Widyawimarta Poo . Ketua Sugeng Prananto, dan lain-lain. Sedangkan pertemuan besar sub-etnis lainnya saya belum pernah mendengarnya.

Saya hanya heran, mengapa hanya suku atau sub-etnis Hakka yang secara eksklusif menyelenggarakan event tersebut dengan mengundang Presiden, bukannya rumpun Tionghoa (Han) secara keseluruhan, termasuk Hokkien, Cantonese dan Teochew.

Mungkin peran suami-isteri Murdaya Poo dan Hartati Murdaya yang berasal dari sub-etnis Hakka sangat dominan di event tersebut. Saya menduga, kehadiran Presiden SBY dalam perhelatan akbar khusus sub-etnis Hakka pada hari Rabu, 21 Desember 2011 tersebut sebagai wujud terima kasih SBY pada sub-etnis Hakka (cq. Khusus yang tergabung dalam Federasi Perkumpulan Hakka Indonesia-FPHI) atas dukungannya dalam Pilpres 2009 yang lalu.

Dari perspektif antropologi, di sini membuktikan, bahwa sub-etnis Hakka telah menancapkan kiprah politik yang lebih menonjol dibandingkan dengan sub-etnis lain yang masih dalam rumpun Tionghoa (Han).

Dalam kajian antropologi bisnis, suku atau sub-etnis Hakka berasal dari wilayah provinsi Guangdong di daerah pedalaman yang berbukit dan bergunung. Tidak seperti suku atau sub-etnis Hokkien atau Teochew yang memiliki badaya maritim atau budaya pesisir, maka suku atau sub-etnis Hakka memiliki kultur pedalaman yang lebih agraris atau kehidupannya lebih ditopang dari kultur kontinen bukan kultur pesisir. Banyak di antara mereka lebih suka di pertambangan. Sehingga suku atau sub-etnis Hakka banyak tersebar di Kalimantan Barat yang dulu ketika jaman penjajahan Belanda banyak sekali yang bekerja di tambang emas. Di samping itu juga menyebar di Kepulauan atau Propinsi Bangka-Belitung sebagai penambang timah. Sesudah itu suku atau sub-etnis Hakka secara atraktif memiliki pertumbuhan yang cepat di Batavia dan Jawa Barat pada akhir abad ke-19.

Sub-etnis Hakka memiliki penyebaran dan memberi pengaruh paling luas di seluruh dunia. Di China sendiri, orang-orang Hakka menyebar sampai ke provinsi-provinsi yang lebih jauh dengan membawa keuletannya sampai di Sichuan, Chongqing dan Guangxi. Di seluruh dunia diasporanya menyebar hampir secara merata.

Secara umum imigran dari sub-etnis Hakka yang berdiaspora di Indonesia adalah imigran yang paling miskin dari seluruh imigran dibandingkan dengan sub-etnis lainnya. Konon di samping paling miskin juga tertindas oleh sub-etnis lain di tempat asalnya. Sehingga mereka sangat hemat, etosnya kerja keras. Mereka termasuk sub-etnis dengan kemauan belajar yang tinggi, sehingga rata-rata mereka termasuk sub-etnis yang cerdas. Padanannya di antropologi bisnis global adalah paduan antara etnis Irish (yang karena kondisi fisik geografis yang tidak ramah terhadap kehidupan terpaksa berdiaspora) dan etnis Jews (yang karena ketertindasannya yang akut membuat mereka berpikir lebih banyak untuk tetap dapat survive), memaksa mereka untuk selalu belajar dari kehidupan dengan berupaya keras untuk mengalahkan kemiskinannya atau menghempaskan penderitaannya. Menurut saya, keunggulan bersaingnya termasuk dalam “survival-based competitiveness” (lihat artikel saya yang berjudul: “Keunggulan Bersaing Bangsa dalam Perspektif Antropologi Bisnis” di Blog: http://ratmayaurip.blogspot.com atau di http://themanagers.org

Memang ada pendapat atau gunjingan yang menyampaikan, bahwa sub-etnis Hakka di Indonesia tidak begitu banyak menelurkan pengusaha-pengusaha dengan skala raksasa, hanya pengusaha-pengusaha kecil sekelas pebisnis kelontong. Meskipun di bidang pendidikan meraka sangat merajai. Sehingga cerdik-cendekiawan banyak didominasi oleh sub-etnis ini.

Termasuk dalam suku atau sub-etnis Hakka yang berprestasi secara internasional adalah Dr. Sun Yat Sen-Presiden pertama Tiongkok, Deng Xiaoping, Lee Kuan Yew dan putranya yaitu Perdana Menteri Singapura yang sekarang-Lee Hsien Loong dan pendahulunya yaitu Goh Chok Tong, bintang film Mandarin Chow Yun-Fat, mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra dan adiknya yang cantik yang menjabat Perdana Menteri wanita pertama Thailand saat ini yaitu Yingluck Shinawatra, Corazon Aquino-Mantan Presiden Filipina. Sedang dari Indonesia dikenal nama-nama Hartati Murdaya, Murdaya Poo, Prajogo Pangestu (Phang Jun Phen), Tommy Winata, penyanyi Indonesian Idol Delon, artis sinetron Sandra Dewi, dll.

Di Indonesia Perhimpunan-perhimpunan Hakka sangat terorganisir di sejumlah kota-kota besar, dengan banyak pertemuan rutin yang selalu meriah dan hangat. Sehingga terkesan “ubber alles” terhadap sub-etnis dari rumpun Tionghoa (Han) yang lain. Secara umum, konon karena berasal dari pedalaman maka suku Hakka memiliki kecenderungan atau stereotip yang relatif cenderung agak tertutup, namun memiliki ikatan emosional yang kuat. Bekerja dengan gigih, ulet, hemat, dan tekun tanpa banyak bicara.

Hakka di Indonesia, di samping menguasai bahasa Hakka/Khek banyak yang menguasai bahasa Teochew, khususnya di Kalimantan Barat

Konon jumlah sub-etnis ini secara total, baik yang berada di tanah leluhur maupun yang berdiaspora ke seluruh dunia mencapai 80 juta jiwa.

2. Hokkien (Hokkian, termasuk Holo atau Hoklo)

Sub-etnis ini berasal dari Provinsi Fujian (Hokkien) dan Guangdong Bagian Utara khususnya daerah pesisir. Sehingga budaya maritim lebih kuat dibanding budaya kontinen. Untuk menyesuaikan dengan lingkungan maritim atau bahari di tempat asalnya, sub-etnis Hokkien mendominasi wilayah pantai di antaranya pantai timur Sumatra, seperti Medan, Bagansiapiapi, Pekanbaru, Palembang, dan lain-lain. Dominasi Hokkien juga nampak di Bagian Timur Indonesia, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta pantai Barat Sumatra. Semuanya berada di pantai.

Sementara di Malaysia banyak mendominasi Negara Bagian Penang.

Budaya maritim ini pulalah yang membawa banyak sub-etnis Hokkien berbisnis restoran. Hokkien Cuisine yang lezat dan spicy sangat terkenal di seluruh dunia. Budaya maritim yang tumbuh di tepi pantai membuat Hokkien lebih terbuka terhadap interaksi dengan dunia luar, sehingga stereotip-nya lebih terbuka. Sehingga gerak bisnis di bidang jasa sangat mendominasi Hokkien, berbekal keterbukaan dan keramahannya.

Hokkien Bagansiapiapi berbeda dengan Hokkien Medan (yang lebih dekat ke Hokkien Penang). Hokkien Bagansiapiapi lebih tradisional atau asli.

Di Malaysia dan Singapura Hokkien merupakan rumpun Tionghoa dengan jumlah terbesar. Sedang di Filipina dan Taiwan merupakan sub-etnis dari rumpun Tionghoa yang mayoritas.

Stereotip antropologis Hokkien yang kenyal dengan budaya maritim yang terbuka, membawa mereka sukses dalam berdagang atau berusaha berbekal hospitality-nya. Namun demikian, konon mereka tidak suka menonjolkan diri, yang berbeda dengan Hakka yang konon lebih “ubber alles”. Konon Hokkien lebih “low profile”.

Hokkien di seluruh dunia, baik yang di Mainland maupun yang berdiaspora ke seluruh dunia, memiliki populasi antara 40 sampai 50 juta jiwa.

3. Cantonese (Punti, Konghu atau Kongfu atau Hoa)

Cantonese masuk ke Indonesia kebanyakan sebagai mineworkers (pekerja tambang). Dalam hal ini sebagaimana Hakka, banyak masuk ke pertambangan timah di Bangka pada abad ke-19.

Cantonese sangat dekat kontaknya dengan European di Guangdong dan Hongkong. Maka mereka sangat banyak belajar tentang mesin dan industri serta manufacturing. Sehingga mereka banyak bergelut di manufacturing. Migrasinya ke Jawa sama dengan Hakka, tetapi berbeda alasan. Di kota2 Indonesia banyak yang menggeluti profesi sebagai “artisans” (pekerja yang memerlukan keterampilan), machine workers, serta menjadi pemilik dari banyak small businesses seperti restoran dan hotel serta dunia hiburan.

Cantonese penyebarannya lebih luas ke seluruh Indonesia daripada Hokkien maupun Hakka, meskipun jumlah populasinya tidak sebanyak Hokkien atau Hakka. Konsekuensi logisnya adalah perannya sangat kurang jika dibandingkan dengan komunitas dari rumpun Tionghoa (Han) yang lain.

Sea food restaurants dari Cantonese sangat digemari di dunia. Dim Sum adalah salah satu jenis Cantonese cuisine yang sangat populer. Sementara dalam dunia hiburan, Cantonese telah melahirkan aktor-aktor Jacky Chan, Bruce Lee, Coco Lee, Andy Lau, Aaron Kwok, Jacky Cheung, Sammi Cheng. Sedang Kung Fu Hustle sangat kental dengan budaya Cantonese.

Karena tingkat penyebarannya sangat luas maka Cantonese juga banyak dijumpai di Singapore, Malaysia, Cambodia, dan Vietnam. Jumlah etnis Cantonese di seluruh dunia saat ini di Mainland dan yang berdiaspora sekitar 66-70 juta juta.

4. Teochew (Tiociu, Tiochiu, DioJiu, Tiochiu, Chaozhou-dialek Mandarin, Chiuchow, Chaosan)

Teochew konon memiliki riwayat diaspora yang lebih lama ke seluruh dunia sejak serangkaian perang saudara selama Dinasti Jin (265-420). Seperti halnya Hokkien, stereotip budaya Teochew merupakan budaya maritim atau budaya bahari. Sikap terbuka, lebih periang dan lebih mudah diajak bersahabat

Di Indonesia saja, Teochew dan Hakka hidup berdampingan di Kalimantan Barat (Pontianak, Singkawang, Ketapang), Hakka sebagai mayoritas di Singkawang. Sementara Teochew sebagai mayoritas di Pontianak dan Ketapang. Banyak Hakka yang berbicara dalam bahasa Teochew, begitu pula sebaliknya. Itulah mengapa meskipun sama-sama berbahasa Khek, Khek Pontianak sedikit beda dengan Khek Singkawang karena pengaruh Teochew yang konon lebih sengau diftong-nya. Itu mirip dengan fenomena perbedaan Hokkien Medan dan Hokkien Penang dengan Hokkien Bagansiapi-api.

Bangkok adalah kota terbesar dengan penduduk Teochew. Sehingga ada yg mengatakan bahwa Thaksin Shinawatra mantan Perdana Menteri Thailand dan Yingluck Sinawatra, adiknya yang cantik dan kebetulan adalah Perdana Menteri wanita pertama di Thailand adalah Teochew. Meskipun klaim sebagai Hakka lebih kuat. Dr Sun Yat Sen di samping di-klaim sebagai keturunan Hakka juga ada yang menyebutnya sebagai keturunan Teochew. Hal ini mirip dengan klaim dari etnis Scottish di Amerika Serikat, yang telah klaim, bahwa sebagian besar Presiden Amerika Serikat adalah keturunan Scot-Irish atau bahkan Scottish, meski lebih banyak yang mengatakan bahwa etnish Irish lah yang lebih dominan. Karena seperti Irish dan Scottish, Hakka dan Tiochew memang kadang sulit dipisahkan kecuali memang keturunan murni.

Bhs Tiochiu (Mandarin: Chaozhou) sebenarnya adalah salah satu logat/dialek bhs Hokkien, namun karena penduduk Tiochiu tersebar di daerah Guangdong Utara, maka bhs Tiochiu kemudian mendapat pengaruh dr bhs Cantonese menjadi logat dalam Bahasa Hokkien yg dekat Cantonese.

Teochew adalah sub-etnik yang terbesar memberikan kontribusi bagi rumpun Tionghoa di Thailand, yang kedua terbesar di Singapura (21%) setelah Hokkien. Tapi anehnya bahasa Mandarin yang merupakan bahasa dari rumpun Tionghoa yang berdiam di China Bagian Utara justru menjadi bahasa paling banyak dipergunakan di Singapura, khususnya oleh generasi mudanya.

Teochew cuisine sangat bernuansa seafood atau vegetarian. Dimana minyak lebih sedikit dipakai dalam masakan. Lebih banyak melakukan poaching, steaming atau braising dalam mengolah makanan.

Jumlah populasi di seluruh dunia sekitar 30 Juta.

===== ===========

Catatan: Penulis adalah pemerhati Antropologi Bisnis Global dan Antropologi Bisnis Nusantara bagi Pencapaian Keunggulan Bersaing

Salam Manajemen dan Bisnis

Ratmaya Urip

============= ==========


Masukan:

1. Indra Muliawan

(dari milis: mailinglistamasby@yahoogroups.com)

Apa ga ada yang ketinggalan, setau saya Fu/Fuk Jing/Hok Jia khan juga ada?

Indra Muliawan

Tue, 14 Feb 2012 23:15:19 -0800

======== ======

Jawaban dari Ratmaya Urip:

Dear Pak Indra,

Fu/Fuk Jing/Hok Jia, itu mengacu pada bahasa tutur, yg dalam kajian etnologi dan bahasa tulis lebih sering atau lebih populer disebut dengan FUQING atau Hok-Chiang, Hokchia, Hokchew, Foochowese, Fuzhounese atau HOKCHIU, sehingga sudah dibahas dalam artikel saya, namun memang tidak dijelaskan secara rinci. Karena yg saya rincikan hanya 4 (empat) sub-etnis saja, yaitu Hakka, Hokkien, Teochew dan Cantonese. Sedangkan sub-etnis Hokchiu atau Hokchia atau Hok Jia atau Fuqing serta sub-etnis HAINAN tidak kami detail-kan karena relatif lebih sedikit jumlahnya.

Hok Jia atau Fuqing atau Fuk Jing atau Hok Chia atau Hokchiu atau Hokchew atau Fuzhounese merupakan nama sub-etnis yang mengacu pada Fuzhou Dialect. Fuzhou adalah salah satu wilayah setingkat Divisi di bagian timur laut dari Provinsi Fujian (memiliki 9 divisi). Divisi Fuzhou terbagi lagi dalam 5 districts (qu), 2 county-level cities (shi) dan 6 counties (xian). Etnis Fuqing atau Hok Jia atau Hokchia atau Hokchiu berasal dari "shi" atau "qu" atau "xian" Fuqing, Gutian dan Pingnan, di tepi laut Tiongkok Selatan, tepatnya selat yg memisahkannya dengan Taiwan sejarak 180 km. Jadi sub-etnis ini secara antropologis memiliki budaya bahari atau budaya maritim. Meski secara umum Provinsi Fujian secara tofografis bernuansa pegunungan.

Sub-etnis ini dikenal ulet, memiliki kekompakan yg tinggi, dengan kata lain saling membantu terutama dalam hal pemberian modal bagi kelompoknya.

Namun sub-etnis ini tidak terlalu mementingkan pendidikan formal. Lebih concern ke otodidak, khususnya dalam berbisnis. Karena keuletannya, maka banyak yg sukses.

Total sub-etnis ini baik yg di mainland maupun yg berdiaspora sekitar 9.700.000 jiwa.

Tokoh di Indonesia yg berasal dr sub-etnis ini adalah Om Liem Soei Liong (Sudono Salim) dan putra2nya.

Di Surabaya dikenal Tjandra Gozali, pemilik Gozco Group (Bank Yudha Bhakti, kelapa sawit, dll), yg juga kakak kandung Henry J. Gunawan, dari Surya Inti Permata Group. Serta besan dari Eddy William Katuari (Wings Groups).

Diaspora sub-etnis ini secara global adalah ke Asia Tenggara, Jepang, Amerika Utara, Australia dan Eropa.

Di Indonesia sub etnis ini banyak menghuni kota Surabaya, Bandung, Cirebon, dan Banjarmasin.

Salam

Ratmaya Urip

Kamis, 16 Februari, 2012 10:55

============ ========

Masukan:

2. Indra Muliawan

(dari milis: mailinglistamasby@yahoogroups.com)

Di Jatim, Surabaya khususnya Gudang Garam & Maspion adalah etnis Fuqing/Hokchia.

Salam,

Indra Muliawan
Fri, 17 Feb 2012 01:55:00 -0800 (PST)

============== ==========

Masukan dari Ratmaya Urip


Pak Indra,

Terima kasih atas masukannya. Saya memang sedang mengumpulkan data tokoh keturunan Tionghoa berbasis sub-etnisnya, utk melengkapi buku saya "Antropologi Bisnis bagi Pencapaian Keunggulan Bersaing"". Jika masih ada informasi mohon disampaikan. Trm kasih sebelumnya.

Selama ini data yg lebih akurat sedang saya teliti, khusus untuk ratusan sub-etnis dr Tiongkok Daratan. Mulai dari Provinsi Zhejiang sampai Xinjiang, atau Provinsi Heilongjiang sampai Hainan. Krn Sub etnis di Tiongkok lebih rumit drpd di Eropa, Amerika, Afrika, dan Nusantara, yg kebetulan sudah saya dalami.

Sekali lagi saya tunggu informasinya. Terima kasih banyak.

Salam

Ratmaya Urip

Fri, 17 Feb 2012 11:08:51 +0000

=============== ========

Masukan


3. Rky Refrinal Patiradjawane:

Mas Ratmaya,

Sepertinya saya tidak sabar ingin membaca buku anda, tentunya akan banyak membuka tabir wawasan.

Saat ini saya juga sedang menyusun buku 'Marketing for Not Marketer' yang telah tertunda hampir 3 tahun dan 'Marketing for Decision Maker'

Sukses sellau Pak Ratmaya..

Sukses Pak...

Rky Refrinal Patiradjawane

Jumat, 17 Februari, 2012, 11:24 PM