Rabu, 16 Mei 2012

Antologi Puisi Ratmaya Urip (Lanjutan)



Tragedi

(Sepotong Puisi Duka untuk Korban Sukhoi dan Korban Bencana Lainnya Termasuk Korban Keganasan Korupsi yang Tak Pernah Berhenti Mengoyak Negeri )

Oleh: Ratmaya Urip*)

Satu lagi tragedi mengoyak hari dan mencabik negeri

Karena kembali mengorbankan anak bangsa ini

Kali ini tentang petaka angkasa Sukhoi si burung besi

Menyusul seribu duka petaka transportasi

Yang selalu melenggang di hari kemarin, kini dan mungkin esok hari

Karena semua serba tak pasti

Bencana di marga raya, kereta api dan jalur bahari

Yang selalu enggan atau abai ‘tuk bertabik pada henti

Rentetan panjang serial bencana yang melengkapi banjir, gempa, longsornya bumi dan hantaman tsunami

Juga amuk gunung berapi

Atau bom Bali yang ancamannya masih latent sampai kini

Belum lagi nestapa para TKW dan TKI yang hanya dapat bersikap pasrah diri

Dalam derita yang tak pernah mati hanya ‘tuk sesuap nasi

Yang kadang bermuara di ujung cemeti bahkan hukuman mati

Sementara berang anak nusa yang garang di media massa yang penuh emosi

Menggelegarkan demonstrasi yang kebak caci maki

Menenteng lidah yang penuh sumpah serapah bertubi-tubi

Karena muak pada serial korupsi yang berpesta di seantero negeri

Belum lagi gejolak dan friksi berdarah di jalanan karena tak ada keadilan yang hakiki

Juga letupan sporadis fragmen anarki berbalut surgawi

Yang hiruk pikuknya selalu antri tak pernah sepi menghantam negeri

Yang kadang hanya karena nasi

Atau kebutuhan ragawi yang insani namun penuh esensi

Yang selalu membawa jutaan nyawa beranjak pergi

Menyisakan serpihan debu ragawi yang teronggok dan tercabik layu dan basi

Menghadirkan papa, nestapa dan derita yang tak ada henti

Yang bermuara pada tersungkurnya harga diri, jati diri apalagi bestari

Karena penguasa dan regulasinya sering berperan banci

Apakah tragedi dan bencana layak untuk merampok negeri ini?

Seperti halnya korupsi yang semakin congkak dan tamak mengoyak nurani dan menjajakan diri?

Bencana telah akrab berbagi

Itu bukan punagi dini hari

Karena hari-hari yang tertiti selalu menolak sepi

Berkawan dengan gegapnya perih dan nyeri

Dalam banjirnya air mata negeri

Yang selalu beranak ngeri dan berkalang tragedi

Apakah tragedi memang sudah menjadi harga mati bagi negeri ini?

Yang membatu karena telah menjadi prasasti?

Apakah negeri tak boleh ada tawa penuh seri?

Apakah anak nusa memang tak layak untuk berbagi?

Dalam canda ria penuh bahagia ragawi, duniawi maupun surgawi?

Apakah negeri memang kurang introspeksi atau kurang berserah diri keharibaan Illahi?

Karena pekat dan pengapnya munafik yang pongah menjajakan diri?

Mungkinkah itu karena azab atas perilaku nurani dan ragawi yang tak terpuji?

Sehingga Tuhan melumuri dengan kentalnya daki dan menghancurkan hari?

Bukannya bahagia yang esensi, azasi dan abadi?

Apakah gempita doa-doa padaNYA

Tak pernah cukup membasuh dosa-dosa

Karena terlalu patuh pada munafik yang sembunyi dalam baka

Sehingga yang bertengger di mata adalah ritual kosong belaka

Karena tak pernah benar menapak jalanNYA

Atau tak pernah belajar pada azabNYA yang tak henti mendera dengan fana

Sehingga yang abadi dan hakiki meniti hari adalah tragedi dan bencana

Bukannya esensi tuk membangun prasasti bagi negeri bahagia dan sejahtera

Sidoarjo, 12 Mei 2012

= = = = =

Senin, 07 Mei 2012

PERIBAHASA


Oleh: Ratmaya Urip*)

Dalam kehidupan sering kita jumpai Peribahasa. Banyak di antaranya yang masih relevan untuk disandingkan dengan kekinian, namun banyak pula yang nampaknya perlu disesuaikan.

Artikel ini terinspirasi dari munculnya beberapa peribahasa yang disampaikan oleh salah satu anggota milis The Managers Indonesia (TMI), yang kembali ditampilkan dalam suatu diskusi tentang suatu topik diskusi yang menarik.

Peribahasa dimaksud adalah: "air beriak tanda tak dalam" dan "tong kosong nyaring bunyinya". Di samping itu juga ada beberapa peribahasa lain di luar kedua peribahasa tersebut yg dapat dijadikan bahan telaah.
Adapun Peribahasa tersebut adalah:


1. Air Beriak Tanda Tak Dalam

Dalam perspektif kekinian, peribahasa ini perlu analisis yg lebih tajam, apakah masih relevan atau tidak.

Dulu ketika peribahasa tersebut muncul, mungkin karena lahir dari fenomena visual, dimana "riak" sering muncul di sungai ketika aliran sungai memasuki wilayah yang dangkal, atau "riak" yang muncul dari ombak yang memecah di pantai, di mana pantai adalah wilayah dengan kedalaman yang rendah.

Jika kita lebih teliti, "riak" yang muncul di tepi pantai, yang nota bene dangkal, ternyata sering membahayakan, karena sering ada pusaran ombak di pantai yg menghanyutkan orang dan membawa kematian.

Begitu juga ada "riak" di sungai yang disebabkan oleh siklon air (kedung sungai) yang berada di wilayah yang sangat dalam, yang sering membuat nyawa melayang.

Di samping itu "riak" sering muncul jika terjadi turbulensi air, seperti jika dalam kondisi banjir. Mungkin saja air tidak dalam, tapi dapat membawa bencana.

"Riak" juga muncul ketika aliran sungai memasuki tikungan, khususnya di tikungan luar. Justru tikungan luar tersebut adalah tempat yang terdalam dari tikungan sungai tersebut. Sedangkan tikungan dalam yg tenang dan tidak ada "riak" justru sangat dangkal, bahkan sering muncul "gosong", atau endapan2 sedimentasi.

Semua kajian ini disampaikan berbasis Ilmu Mekanika Fluida atau Hidrolika, atau Pengairan.

Di sini saya hanya mengajak untuk berpikir "out of the box".

2. Tong Kosong Nyaring Bunyinya.

Dalam perspektif kekinian, Peribahasa ini perlu didalami lebih lanjut.

Ketika Peribahasa tersebut muncul, mungkin orang hanya fokus pada media "udara" saja jika konteks-nya adalah rambatan dari "sumber bunyi".

Di udara memang suara tong kosong amat nyaring. Tergantung bahan tong-nya. Namun biasanya dalam koridor frekuensi Sopran atau Tenor.

Jika Tong Kosong dipukul dalam air, tak akan pernah nyaring bunyinya. Koridor frekuensinya biasanya Bass atau Alto, kadang Bariton.

Nah, tidak selalu tong kosong itu nyaring bunyinya tergantung media untuk rambatan frekuensinya.

3. Biar Lambat Asal Selamat

Dalam konteks kekinian peribahasa ini perlu diubah menjadi: "CEPAT DAN SELAMAT".

Dalam persaingan yang semakin tajam, kelambatan akan menjadi mata air bagi ketidakmampuan bersaing.

Supaya "cepat" dalam hal ini salah satu contohnya adalah "cepat" dalam pengambilan keputusan, dapat dilakukan secara INTUITIF maupun ANALITIS. Dengan catatan, INTUITIF sebaiknya dilakukan oleh mereka yang sudah memiliki banyak jam terbang, sehingga experiences-nya dapat dijadikan references dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, INTUITIF-nya sebenarnya adalah ANALITIS juga, namun dilakukan dengan sangat cepat, sehingga seolah INTUITIF semata.

Maka saya sempat heran, jika seseorang sudah memiliki banyak jam terbang, dengan kata lain very experienced. Tapi masih selalu ragu2 dalam pengambilan keputusan, sehingga momentum-nya selalu lewat. Dengan alasan kehati-hatian yg orang lain sering menafsirkannya sebagai keraguan.
Berarti orang tersebut tidak mau belajar dari experiences-nya. Mungkin saja dia berkilah masalahnya adalah baru, belum ada experience-nya. Kenapa tidak dilakukan pendekatan2 masalah?

Experiences adalah bekal dan bekal adalah persiapan. Untuk terjadinya LUCK atau WINDFALL, rumus matematisnya sangat sederhana karena linier, tidak kompleks, yg sdh saya sampaikan di banyak kesempatan puluhan tahun yg lalu, yaitu:

L = W = P + O

L = Luck, W = Windfall. P = Preparation, O = Opportunity

Preparation, tidak berasal dari Experiences semata.

Ingat, Luck tidak akan maksimal tanpa Preparation. Luck juga tidak akan jadi kenyataan tanpa Opportunity.

4. Telaah atas Peribahasa Lain menyusul.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip

Jumat, 4 Mei, 2012 02:09

"PROFESIONAL"-APA PULA ITU?


Oleh: Ratmaya Urip*)

Menyimak diskusi untuk thread ini, saya tergelitik untuk beropini seperti apa yang tertulis di bawah ini.

Membahas tentang topik Profesional, kita wajib berangkat dari standar yg telah ditetapkan untuk itu. Itu jika merujuk pada Quality Management System maupun Performance Management System. Jika memenuhi requirements dalam hal ini memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan sebagai standar untuk disebut sebagai Profesional, maka sah-sah saja jika disebut sebagai Profesional.

Bicara tentang standar, kita bicara tentang definisi dan atau requirements minimum yg dibutuhkan untuk meet with the requirements.

Bicara tentang definisi, banyak sekali yang mendefinisikannya. Di kamus-kamus, pendapat atau opini para pakar, tulisan-tulisan di media-media, saling mengemukakan pendapat. Saya sendiri selalu memberikan definisi tentang "Profesional" adalah:

"Sikap,perilaku, dan kinerja dari individu maupun peran (role) maupun institusi, yang secara riil menunjukkan kinerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan, atas kemauan dan kemampuannya dalam perspektif fisik/mental, teknikal, manajerial, visioner, dan ideologis".

Khusus untuk Profesional yang bersifat Individual (bukan Profesional dlm hal peran atau role dan profesional yg institusional), definisi di atas masih harus di tambah: "sesuai dengan posisi atau jabatannya atau peran-nya (bagi yg berkutat dalam jabatan struktural)", atau sesuai dengan kepakaran teknis-manajerialnya, (bagi yg berkutat di fungsional).

Sebelum beranjak lebih jauh, saya perlu tegaskan bahwa Profesional itu dapat melekat pada sosok Individu, Peran atau Role (marketing, operation/maintenance, finance, process, HCGA, dll) maupun Institusi.

Secara terminologis, ada yg sifatnya fungsional, ada yang struktural. Sehingga penjelasan di atas diperlukan.

Tentang urutan yg disebutkan dalam definisi versi saya tersebut di atas, dalam hal ini kata-kata: "kemauan dan kemampuan dalam perspektif fisik/mental, teknikal, manajerial, visioner dan ideologis, merupakan urutan hierarkis yang tidak boleh dibolak-balik. Ini untuk menunjukkan urutan bahwa semakin tinggi jam terbangnya (yg seharusnya berkorelasi pada kedudukannya atau strukturalnya atau fungsionalnya), semakin banyak yg dijadikan standar keprofesionalan.

Seorang operator tentu saja beda dengan teknisi, Foreman, Supervisor, Superintendant, Manajer dan seterusnya. Seorang Operator wajib mampu fisik/mental dan mampu teknikal saja. Tidak perlu mampu manajerial, mampu visioner, apalagi mampu ideologis.

Sedangkan seorang Manajer, mungkin kemampuan teknis-nya sudah lewat. Dituntut lebih mampu secara manajerial, visioner dan ideologis, tergantung posisinya, apakah di Lower Manager, Middle Manager, atau Top Manager.

Di samping itu, tuntutan sebagai Profesional juga harus memenuhi requirements 3 (tiga) dimensi dari Human Capital Management, yang sering saya sampaikan di forum ini. Saya sengaja tidak menjelaskan secara rinci, karena sudah terlalu sering saya sampaikan di sini.

Jika ternyata standar sudah ditetapkan sesuai masing2 fungsi atau strukturnya, untuk scope Individual, Role maupun Institusionalnya, sementara kinerja dari masing2 Individu, Role, dan Institusi sudah sesuai standar, dapat disebut Profesional.

Jika kinerjanya tidak memenuhi standar sebagai Profesional, itupun perlu dievaluasi. Karena di jaman yg unpredictable, uncountable, di era business running unusual (bukan as usual) ini banyak faktor eksternal yang mempengaruhi. Seperti kondisi sosial politik yg berimbas pada ketidakstabilan ekonomi, juga kondisi fisik geografis lingkungan seperti terjadinya force majeure, dll. Untuk itu kapan dan dimana dapat diberikan "excuse" atas kinerja yang di bawah requirements, wajib diperhatikan.

Demikian sharing saya.

Salam Manajemen.

Ratmaya Urip

Kamis, 3 Mei, 2012 23:27
============ =====

RESPONS:


Harry Sutanto:


Apakah profesional ada standard bapak/ibu? Bagaimana dengan pendapat "the false of measurement", pengukuran seringkali keliru?

============== ==

TANGGAPAN:


Ratmaya Urip:


Dear Pak Harry Sutanto,

Standar adalah suatu nilai atau bakuan yg menjadi kesepakatan bersama yang telah diyakini kesahihannya oleh seluruh stakeholders yang terkait.

Dalam Manajemen paling generik dikenal 3P (People-Process-Product). Untuk Proses dan Produk jelas2 ada standarnya. Contohnya SNI, ISO, ACI, ASME, ASTM, JS, BS, dan lain2.

Untuk People (Profesionalitas) juga wajib ada standardisasinya. Untuk itulah diperlukan Sertifikasi dan juga lembaga Sertifikasi perlu di-Akreditasi.

Memang kalau bicara Serifikasi Keahlian (yg kemudian direprentasikan dengan Sertifikasi Keahlian) di Indonesia, masih sangat mengerikan. Beda dengan negara2 yg maju. Banyak Sertifikat Keahlian yg dapat diperoleh dengan sangat mudah, baik karena uang, KKN, dll. Itulah mengapa manusia Indonesia banyak yg tidak memenuhi requirements.

Tergantung masing2 institusi, apakah mau berkinerja baik atau tidak. Mau merekrut People yg baik atau tidak.

Meskipun demikian, banyak bidang keahlian dari Indonesia yg memenuhi Standar Internasional. Seperti di Bidang Pariwisata dan Perhotelan, Pelayaran, Perikanan, Keperawatan, welder, fitter, ahli konstruksi, pertambangan dan perminyakan, dll. Indikasinya, banyak tenaga ahli di bidang2 tersebut yg berkewarganegaraan Indonesia yang bekerja di manca negara dengan keahliannya tersebut.
Bukan hanya TKW atau TKI yg unskilled.

Pada prinsipnya untuk People (baca: profesionalitas), wajib ditera ulang dan dikalibrasi secara periodik. Tidak hanya untuk Process dan Product. Apa kita percaya pada keahlian seorang dokter atau insinyur yang puluhan tahun menggeluti bidang politik, tanpa pernah praktek? Atau bisa percaya pada keahlian seorang ahli pertanian yang puluhan tahun menggeluti perbankan? Tanpa tera ulang atau kalibrasi?

Maka tidak hanya alat, keahlian suatu profesi juga perlu ditera ulang dan dikalibrasi secara periodik.

Kalau standarnya adalah seperti yg saya sampaikan sebelumnya. Yaitu mau, mampu dan berkinerja sesuai dengan perspektif fisik/mental, teknikal, manajerial, visioner, dan ideologis, sesuai struktur jabatan, fungsi, dan rolenya. Baik itu individual, role maupun institusional.
Itupun masih ditambah wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan yg ditetapkan sebagai 3(tiga) Dimensi dari Human Capital Management, yaitu: Ability/Capacity (Skill & Knowledge), Moral (Attitude & Behavior) dan Arts (Creativity/Innovation, acceptability/electability, flexibility/adabtability). Supaya kita mendapatkan Human recognizibility, Human honorability) yg tujuannya adalah Human Value.

Tentang "the false of measurement", saya yakin sering terjadi. Itu untuk 3P tersebut. Khususnya jika Quality Management System, Knowledge Management System, Tacit Management System, Human Capital Management System dan Performance Management System tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kontrolnya adalah dengan tera ulang atau kalibrasi dengan mengacu pada standar yg sudah disepakati bersama oleh stakeholders sebagai acuan resmi. Di samping itu "the false of measurement" juga banyak terjadi dalam mengukur kemampuan (profesionalitas) PEOPLE. Untuk itu, senada dengan kalibrasi dan tera pada peralatan dan proses, diperlukan pula Kalibrasi dan tera pada profesionalitas Individu, Role maupun Institusi, yang mengacu pada Standar Baku dan Resmi yg disepakati oleh Stakeholders yang terkait.

Selama standarnya dipenuhi, dan mengacu pada standar baku dan resmi, yang secara periodik ditera ulang dan dikalibrasi, kita telah memenuhi aturan main. Itu untuk 3P (People, Process, Product), tanpa kecuali dan harus konsisten.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip

Kredo: Teori tanpa Praktek itu Omong Kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori itu Ngawur. Apalagi tanpa Teori dan Praktek).


Jumat, 4 Mei, 2012 03:10

Selasa, 01 Mei 2012

 
DIKOTOMI GENERASI TUA VS GENERASI MUDA DALAM PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN BANGSA 
 
 Oleh: Ratmaya Urip*)
 
 

        Dikotomi generasi tua versus generasi muda dalam kepemimpinan bangsa, adalah issue klasik, yang menurut penulis berpulang pada kepentingan.

         Secara teoritis, Generasi Muda, dipandang secara umum masih memiliki idealisme yang tinggi, diharapkan mampu untuk tidak tercemar oleh polusi kepentingan sempit yang pragmatis. Sehingga diharapkan, idealismenya dapat mampu membawa visi berbangsa dan bernegara menjadi lebih akurat dan presisi. Kelemahan generasi muda hanyalah jiwa mudanya yg kadang meledak-ledak dan emosional-nya masih sering terbawa-bawa. Wajar saja karena kadang itu karena jam terbang yg masih harus ditambah lagi. Itu teorinya. Prakteknya, kepentingan praktis pragmatis mulai menginkubasi mereka. Sehingga kasus2 korupsi, narkoba, dll mulai menyerang mereka. 

         Sementara generasi tua secara teori biasanya terkesan ortodoks, lamban, kurang mengikuti jaman, tidak dapat mengikuti perubahan, penuh dengan vested interest. Kelebihannya adalah dalam hal jam terbang, baik untuk yang positip maupun yang negatip. Prakteknya, sering tidak jauh dari teori. Hanya perlu ditambahkan, suka melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara. Menumpuk tahta, harta dan wanita. Masalah korupsi sih saat ini sama dengan generasi muda. Tergantung posisi, kesempatan dan kemauan untuk melakukannya. 

         Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, menurut saya yang penting, adalah siapapun dapat memimpin bangsa ini, asal memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai negarawan, serta memenuhi kriteria 3 dimensi dalam Human Capital Management, yaitu: 

         Dimensi 1: Ability/Capacity (skill knowledge) dalam memimpin bangsa. 

        Yang mencakup kemampuan fisik/mental, kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan visioner dan ideologis berbangsa bernegara. Sesuai dengan tingkat atau hierarki kepemimpinannya 

         Dimensi 2: Moral (attitude behavior)

        Dalam hal ini memiliki integrity, accountability, credibility, honestability, fairness, etc) 

         Dimensi 3: Arts (creativity/innovation,acceptability/electability, adabtability/flexibility (dalam menghadapi perubahan), etc. 

        Karena apa? Karena semua itu tergantung orangnya. Biarlah generasi tua maupun generasi muda bersaing dalam mendapatkan legitimasi memimpin bangsa ini. Dalam kelompok Generasi Muda maupun Generasi Tua masing2 ada yang baik dan ada yang kurang baik. Itu manusiawi dan alamiah. Generasi muda jaman sekarang yang hidup dalam era persaingan yg super ketat, dengan lingkungan yang konsumtif bukan produktif, cenderung mudah mengambil jalan pintas. Namun banyak yang kreatif dan inovatif, baik untuk tujuan2 positip maupun negatip. 

         Generasi tua yang terlalu lama mendominasi kepemimpinan bangsa, akan tergoda nafsu kuasa yg tidak pada tempatnya. Yang muaranya adalah penyalahgunaan kekuasaan. 

         Definisi Generasi Muda di Indonesia ini untuk membedakannya dengan Generasi Tua masih sangat absurd. Ada yang memberi batasan Umur di bawah 40 tahun, ada yang di bawah 35 tahun. Ada yg sudah 45 tahun namun masih menganggap dirinya Generasi Muda. 

         Ketidaksabaran Generasi Muda terhadap Generasi Tua yang memunculkan dikotomi, patut dimengerti. Hanya yg patut dicatat, adalah jangan sampai Generasi Muda tampil ke puncak hanya untuk kembali menjadi budak politik, pekerja politik atau buruh politik sesaat. Apalagi kalau hanya untuk nebeng urip pada figur dengan elektabilitas yg tinggi yg kebetulan dimiliki seorang tokoh. Karena jika demikian inilah yg disebut sebagai kutu loncat politik, yg hanya memanfaatkan arah angin politik untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. 

         Generasi Tua yg sudah terbukti tidak memiliki akseptabilitas yg cukup sebaiknya tahu diri. Generasi Tua yg telah memimpin bangsa ini selama 66 tahun namun ternyata tak jua sampai ke kemakmuran dan kesejahteraan bangsa sebaiknya memang wajib introspeksi diri. Menurut saya carut marut yg terjadi selama bangsa ini berdiri tak dapat dilepaskan dari rekrutmen pemimpin bangsa yg tidak semestinya. Saya yakin semua orang tahu itu. Mayoritas adalah politisi karbitan yang numpang hidup sebagai pekerja politik atau buruh politik. Bukan negarawan. Bukan pula yg memiliki visi dan ideologi berbangsa dan bernegara yang bermuara pada keadilan, kebenaran, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang berkesinambungan dan lestari. 

         Politik tidak selamanya jelek asal dilakukan oleh negarawan, bukan politikus karbitan yang rekrutmennya karena uang bukan karena kapabilitasnya. Generasi tua dan muda sama saja saat ini perilakunya. Yang tua haus kuasa, yg muda banyak terkontaminasi oleh pendahulunya. Ditambah lagi lingkungan kompetitif yang konsumtif bagi generasi muda, membawa ke arah pola pikir dan pola tindak yg lebih egois dan pragmatis. Apalagi persaingan semakin tajam antar generasi muda, dalam lingkungan yg sangat konsumtif, sehingga sering mengundang ke arah perilaku yg berbahaya. Kasus korupsi dan narkoba pada generasi muda adalah buah dari kepentingan egois dan pragmatis yg nyata. 

         Tidak semua Generasi Tua dan Generasi Muda kita berperilaku yg tidak semestinya. Hanya mereka tidak atau belum mendapat kesempatan untuk tampil. Masalahnya, sistem rekrutmen politik yang ada tidak dapat mengakomodasi mereka karena pekatnya KKN dan maraknya materialisme absolut atau doku-isme serta premanisme. 

         Sebagai referensi, berikut ini saya sampaikan data Kepala Negara dan atau Kepala Pemerintahan, dari negara maju berdasar usianya. Apakah itu dianggap generasi muda atau generasi tua, silakan dianalisis. 

         Sengaja saya pilih negara yg saat ini menjadi barometer ekonomi dan politik serta budaya dunia, yaitu Amerika Serikat dan China. Sementara Eropa, Jepang, Korea relatif didominasi generasi tua. Jika batas usia generasi muda dianggap tidak boleh lebih dari 45 tahun. Apalagi jika batasnya 40 tahun. 

1. Amerika Serikat 

        Dari 44 Presiden mulai George Washington sampai Barack Obama, berdasar usia saat inagurasi pelantikan sebagai Presiden: 

Usia 40 thn dan di bawahnya: Tidak Ada 

Usia 41-45 tahun: 2 orang Usia 46-50 tahun: 9 orang 

 Usia 51-55 tahun: 15 orang Usia 56-60 tahun; 9 orang 

 Di atas 60 tahun: 9 orang Yang termuda adalah Theodore Roosevelt, usia 42 tahun. John Kennedy 43 tahun. Yang tertua Ronald Reagan, usia 69 tahun dan W.H Harrison usia 68 tahun. 

 2. China  

(Sejak menjadi Republik Rakyat China 1 Oktober 1949, mulai Mao Zedong sampai Hu Jintao, baru ada 6 Presiden) - Mao Zedong Pada waktu RRC berdiri usianya 56 tahun. Waktu itu belum ada jabatan Presiden (Zhuxi), namun Ketua. - Liu Shaoqi Sebagai Ketua pada usia 61 tahun - Li Xiannian Jabatan Ketua mulai diganti dengan nama Presiden. Usianya 74 tahun - Yang Shangkun Presiden ke-4 ini menjabat pada usia 81 tahun - Jiang Zemin Menjabat sebagai Presiden ke-5 pada usia 67 tahun - Hu Jintao Menjabat sebagai Presiden ke 6 pada usia 61 tahun. Di samping itu banyak tokoh2 tua yg tidak menjabat Presiden namun memiliki posisi strategis dalam pengambilan keputusan, yaitu; - Deng Xiaoping Ketika memenangkan pertarungannya dengan Kelompok-4 pada usia 72 thn - Zhou Enlai Perdana menteri Pertama pd usia 51 tahun - Zhao Ziyang, yang menjabat Sekjen Partai pada usia 61 thn. Justru pada era Komunis, pemimpin2 China didominasi Generasi Tua sampai sekarang. Sementara di era Kuomintang relatif dipimpin Generasi Muda. Seperti Dr. Sun Yat Sen pd usia 45 thn. Chiang Kai-shek pada usia 41 tahun.  

 3. Negara-negara Maju Lainnya (Eropa, Jepang, Korea) 

Relatif dipimpin generasi tua