Rabu, 16 Mei 2012

Antologi Puisi Ratmaya Urip (Lanjutan)



Tragedi

(Sepotong Puisi Duka untuk Korban Sukhoi dan Korban Bencana Lainnya Termasuk Korban Keganasan Korupsi yang Tak Pernah Berhenti Mengoyak Negeri )

Oleh: Ratmaya Urip*)

Satu lagi tragedi mengoyak hari dan mencabik negeri

Karena kembali mengorbankan anak bangsa ini

Kali ini tentang petaka angkasa Sukhoi si burung besi

Menyusul seribu duka petaka transportasi

Yang selalu melenggang di hari kemarin, kini dan mungkin esok hari

Karena semua serba tak pasti

Bencana di marga raya, kereta api dan jalur bahari

Yang selalu enggan atau abai ‘tuk bertabik pada henti

Rentetan panjang serial bencana yang melengkapi banjir, gempa, longsornya bumi dan hantaman tsunami

Juga amuk gunung berapi

Atau bom Bali yang ancamannya masih latent sampai kini

Belum lagi nestapa para TKW dan TKI yang hanya dapat bersikap pasrah diri

Dalam derita yang tak pernah mati hanya ‘tuk sesuap nasi

Yang kadang bermuara di ujung cemeti bahkan hukuman mati

Sementara berang anak nusa yang garang di media massa yang penuh emosi

Menggelegarkan demonstrasi yang kebak caci maki

Menenteng lidah yang penuh sumpah serapah bertubi-tubi

Karena muak pada serial korupsi yang berpesta di seantero negeri

Belum lagi gejolak dan friksi berdarah di jalanan karena tak ada keadilan yang hakiki

Juga letupan sporadis fragmen anarki berbalut surgawi

Yang hiruk pikuknya selalu antri tak pernah sepi menghantam negeri

Yang kadang hanya karena nasi

Atau kebutuhan ragawi yang insani namun penuh esensi

Yang selalu membawa jutaan nyawa beranjak pergi

Menyisakan serpihan debu ragawi yang teronggok dan tercabik layu dan basi

Menghadirkan papa, nestapa dan derita yang tak ada henti

Yang bermuara pada tersungkurnya harga diri, jati diri apalagi bestari

Karena penguasa dan regulasinya sering berperan banci

Apakah tragedi dan bencana layak untuk merampok negeri ini?

Seperti halnya korupsi yang semakin congkak dan tamak mengoyak nurani dan menjajakan diri?

Bencana telah akrab berbagi

Itu bukan punagi dini hari

Karena hari-hari yang tertiti selalu menolak sepi

Berkawan dengan gegapnya perih dan nyeri

Dalam banjirnya air mata negeri

Yang selalu beranak ngeri dan berkalang tragedi

Apakah tragedi memang sudah menjadi harga mati bagi negeri ini?

Yang membatu karena telah menjadi prasasti?

Apakah negeri tak boleh ada tawa penuh seri?

Apakah anak nusa memang tak layak untuk berbagi?

Dalam canda ria penuh bahagia ragawi, duniawi maupun surgawi?

Apakah negeri memang kurang introspeksi atau kurang berserah diri keharibaan Illahi?

Karena pekat dan pengapnya munafik yang pongah menjajakan diri?

Mungkinkah itu karena azab atas perilaku nurani dan ragawi yang tak terpuji?

Sehingga Tuhan melumuri dengan kentalnya daki dan menghancurkan hari?

Bukannya bahagia yang esensi, azasi dan abadi?

Apakah gempita doa-doa padaNYA

Tak pernah cukup membasuh dosa-dosa

Karena terlalu patuh pada munafik yang sembunyi dalam baka

Sehingga yang bertengger di mata adalah ritual kosong belaka

Karena tak pernah benar menapak jalanNYA

Atau tak pernah belajar pada azabNYA yang tak henti mendera dengan fana

Sehingga yang abadi dan hakiki meniti hari adalah tragedi dan bencana

Bukannya esensi tuk membangun prasasti bagi negeri bahagia dan sejahtera

Sidoarjo, 12 Mei 2012

= = = = =

Tidak ada komentar: