Jumat, 17 September 2010

Refleksi Hari Olah Raga Nasional (9 September)



Refleksi Hari Olah Raga Nasional (9 September):

Dibutuhkan Sejuta Azrul Ananda Baru

Oleh: Ratmaya Urip*)

Azrul Ananda, anak muda ganteng dengan tinggi badan 176 cm dan berat badan 74 kg yang lahir pada 4 Juli 1977, alumnus Ellinwood High School, Kansas, USA dan California State University Sacramento, 1999 itu benar-benar telah mengalihkan perhatian saya. Betapa tidak, dalam usianya yang masih sangat muda (33 tahun), telah mengukir prestasi di bidang pembinaan olah raga yang tidak ada duanya, khususnya di cabang olah raga bola basket. Tidak banyak anak muda seusianya yang dapat menyamai prestasinya.

Setiap anak muda, khususnya para pelajar di seluruh Indonesia, pasti tidak asing lagi dengan kiprahnya dalam membina olah raga basket. Development Basketball League (DBL) Youth Events telah bermetamorfosa menjadi Indonesia’s Biggest Student Basketball Competition, secara cepat dan mencengangkan, di tengah dahaganya talenting atau pembinaan atlit muda di Indonesia. Bayangkan, kompetisi yang dimulai dari tahun 2004, atau tahun yang sama dengan tahun ketika Mark Zuckerberg memperkenalkan Facebook pertama kali, kompetisi bola basket anak muda itu kini telah menjadi events olah raga yang paling ditunggu-tunggu oleh anak muda Indonesia.

Seperti halnya Facebook, DBL Youth Events dibidani dan diorganisir oleh anak-anak muda, dimulai dari waktu yang bersamaan, dan sama-sama meraih prestasi di bidangnya masing-masing dalam waktu yang singkat dan spektakuler. Hanya kalau Facebook merajai dunia informasi dan komunikasi global, DBL Youth Events merajai dunia olah raga basket tanah air. Keduanya memperoleh apresiasi dan penghargaan, meskipun berbeda level. Facebook di tingkat dunia, sementara DBL di tingkat nasional. Meskipun DBL kini juga mulai berani merambah dunia dengan kerja sama yang dijalin dengan NBA. Saya tidak tahu, apakah kesuksesan DBL diilhami oleh keberhasilan Facebook. Semoga saja tidak. Dengan cakupan penyelenggaraan DBL yang menjangkau 21 kota di 18 provinsi, yang melibatkan lebih dari 1000 tim dan 25.000 partisipan adalah buktinya. Apalagi setelah keberhasilan-keberhasilannya tersebut kemudian mulai tahun 2010 DBL dipercaya untuk melakukan take over atas pelaksanaan kompetisi bola basket profesional Indonesia, Indonesian Basketball League (IBL).

Terlepas dari tangan dingin yang dilakukan oleh Azrul Ananda, nampaknya peran publikasi atau media adalah kontributor utama kesuksesan acara ini. Tentu saja tanpa mengabaikan profesionalisme individu maupun profesionalisme institusi penyelenggara, serta peran sponsor maupun para partisipan. Gegap gempita pemberitaan media, dalam hal ini Jawa Pos Group yang tersebar di seluruh Indonesia membuat kompetisi ini menjadi semarak, menggairahkan, membanggakan, menjulat keinginan untuk berprestasi dan sexy. Benar-benar exciting and fascinating competition.

Besarnya peran media inilah yang mengusik perhatian saya, mengapa ya, sampai saat ini tidak ada lagi anak-anak muda seperti Azrul Ananda yang kebetulan memiliki modal media Jawa Pos Group untuk mengikuti jejaknya? Seandainya ada sepuluh orang saja anak muda yang memiliki visi yang sama dan yang kebetulan memiliki media yang berpengaruh, apakah itu media cetak atau elektronik mengikuti jejaknya, pastilah ada sepuluh cabang olah raga yang dapat dikembangkan. Apalagi kalau ada sejuta Azrul Ananda baru. Mungkin saja prestasi olah raga kita tidak seburuk saat ini. Mengapa media nasional lebih disibukkan dengan berita-berita konsumtif di bidang olah raga, sementara yang produktif diabaikan. Banyaknya media yang hanya memberitakan atau melakukan publikasi berita atau tayangan olah raga asing, tanpa diimbangi dengan upaya-upaya yang lebih produktif seperti memfasilitasi bergulirnya kompetisi olah raga nasional, itulah salah satu biang keterpurukan olah raga Indonesia. Jawa Pos Group sudah on the right track, dengan memberikan porsi yang seimbang antara pembinaan olah raga yang bersifat konsumtif dengan yang bersifat produktif, meskipun baru sebatas olah raga bola basket.

Ketika di suatu kesempatan coba saya tanyakan kepada Azrul Ananda, mengapa tidak memperluas cakupan pembinaan ke cabang olah raga lain? Selalu dijawab, hanya ingin membina bola basket saja, supaya fokus. Tokh, cabang olah raga lain sudah ada pembinanya masing-masing. Namun menurut saya, pola pembinaan seperti yang dilakukan Azrul Ananda, akan sangat tepat jika juga diaplikasikan ke cabang olah raga lain. Menurut saya, paling tidak ada 1 (satu) lagi cabang olah raga individual, bukan olah raga beregu yang masih dapat dibinanya tanpa kehilangan fokus. Apakah itu cabang olah raga renang, atletik, tinju atau lainnya. Cabang olah raga yang disebut terakhir ini memiliki kemungkinan berprestasi yang lebih baik di level regional maupun global. Alasan supaya fokus menurut saya kurang relevan jika dikaitkan dengan rendahnya prestasi olah raga kita saat ini. Tambahan satu cabang olah raga untuk dibina oleh Azrul Ananda, khususnya cabang olah raga yang lebih berpotensi untuk mendulang medali emas di tingkat regional dan global, saya kira masih dapat dilakukan oleh seorang Azrul Ananda. Apalagi jika lebih dari satu cabang olah raga. Karena sampai saat ini saya belum melihat adanya Azrul Ananda baru. Padahal untuk mendongkrak prestasi olah raga nasional masih diperlukan sejuta Azrul Ananda baru. Ini adalah langkah terobosan (bukan jalan pintas) bagi Azrul Ananda untuk mendunia seperti Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa selama ini pembinaan olah raga nasional selalu melibatkan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung, dengan berjubelnya para birokrat, baik yang masih aktif apalagi yang sudah pensiun dalam pembinaan olah raga nasional. Peran birokrat yang berlebihan akan kontra produktif, karena mereka sulit untuk fokus, ditengah upayanya untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat di bidang lainnya. Karena tugas dan kewajiban mereka sudah sangat banyak. Namun di sisi yang lain, penguasaan dana yang masih bersumber dari anggaran belanja negara dan anggaran belanja daerah tentu saja tidak dapat mengabaikan peran birokrat, khususnya dalam kelancaran pendanaan.

Maka saya menjadi lebih terkagum-kagum lagi, setelah mengamati bahwa DBL diorganisir secara profesional oleh pihak swasta, dengan meminimumkan peran birokrat (baca: pemerintah) dalam pelaksanaannya. Apalagi pola pembinaan yang selama ini melibatkan sponsor dari produsen rokok atau minuman beralkohol amat sangat ditentang oleh Azrul Ananda. Menurutnya, ke depan peran sponsor dari industri rokok atau minuman beralkohol pasti akan berkurang karena ketatnya regulasi dan isu lingkungan. Hal tersebut sudah dirasakan di tingkat global, sementara di level nasional belum banyak yang menyadarinya. Apalagi olah raga seharusnya tidak boleh dikonotasikan dengan produk-produk yang bertentangan dengan kesehatan, karena kesehatan adalah modal dalam pencapaian prestasi tinggi di bidang olah raga.

Saya punya mimpi, seorang Azrul Ananda suatu saat nanti akan dinobatkan sebagai pembina olah raga terbaik tingkat nasional atau bahkan tingkat global, asal berani melakukan gebrakan-gebrakan pembinaan olah raga tidak hanya bola basket, dan berani meninggalkan alasan “supaya fokus”. Infrastruktur dan modal untuk itu sudah ada, tinggal keberaniannya saja.

Mengurai benang kusut keterpurukan prestasi olah raga nasional memang tidak mudah. Memerlukan waktu, dana, profesionalisme, dan tingkat fokus yang lebih tinggi, yang lebih besar daripada yang ada sekarang. Namun satu contoh pola pembinaan sudah nyata diaplikasikan dalam DBL dan cukup berhasil. Salah satu benih prestasi sedang ditebar, marilah kita tunggu panennya.

ooOoo

*) Ratmaya Urip, pemerhati masalah-masalah manajemen dan olah raga.

Saat ini fungsionaris Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia), Quality

Network, dan Ikatan Ahli Pracetak-Prategang Indonesia

Rabu, 04 Agustus 2010

Ibu Kota Negara Mesti Pindah?

Sekali Lagi: Ibu Kota Negara Mesti Pindah?

Oleh: Ratmaya Urip*)


Wacana lama yang pernah menyeruak di era Presiden Soekarno kembali muncul (Jawa Pos, Sabtu, 27 Februari 2010 di halaman utama dan Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010 di Kolom Mr Pecut). Di era Presiden Soekarno memang pernah muncul gagasan untuk memindah ibu kota negara ke Palangkaraya, Kalteng atau Purwokerto, Jateng. Di era Presiden Soeharto pun pernah muncul gagasan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Jonggol, Jabar, yang membuat harga-harga tanah di wilayah tersebut melonjak secara drastis, namun sampai akhir masa pemerintahannya gagasan tersebut menguap begitu saja. Di zaman awal kemerdekaan, sebenarnya ibu kota negara sempat pindah ke Yogyakarta, namun sifatnya darurat karena situasi pada waktu itu memang mengharuskan demikian.

Dalam konteks kekinian, nampaknya gagasan tersebut perlu benar-benar didalami dan dicermati. Sebagai wacana atau boleh disebut sebagai embrio program jangka panjang, gagasan tersebut cukup mengurangi kedahagaan akan hadirnya mimpi tentang akan terciptanya tata ruang dan tata wilayah yang mendekati ideal di republik ini. Jika dapat disejajarkan, maka jika gagasan tersebut dapat terlaksana, ini identik dengan apa yang telah dilakukan oleh Daendels ketika membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan di abad 19 yang lalu, atau gagasan untuk membangun Jembatan Selat Sunda, karena sangat spektakuler dan monumental.

Sejak lama dalam benak penulis memang telah pekat dengan pertanyaan, kenapa ibukota negara atau ibukota politik dari Indonesia tidak dipisahkan dengan ibukota bisnis atau ibukota ekonominya, seperti Inggris, Jerman, Italia, Rusia, Australia, China, India, Canada, atau Amerika Serikat, dan lain-lainnya, sehingga hiruk-pikuk politik tidak berimbas ke hiruk pikuk bisnis, dan sebaliknya, atau bencana tidak selalu menghantamnya. Supaya nilai tambah yang direncanakan tidak terdistorsi oleh hal-hal yang tidak perlu, dan supaya kemampuan bersaing bangsa menjadi semakin tinggi?

Semua orang tahu bahwa ibu kota politik Inggris adalah London, sementara ibukota bisnisnya di Liverpool dan Manchester. Ibukota politik Jerman adalah Berlin, sementara ibu kota industrinya Frankfurt, Hamburg, dan Stuttgart. Ibukota politik Italia ada di Roma, sementara ibukota bisnisnya ada di Milan dan Turin. Ibukota politik Rusia di Moskow, sementara ibukota bisnisnya di wilayah Caucasus. Ibukota politik Australia adalah Canberra, sementara ibukota bisnisnya adalah Sidney dan Melbourne. Ibukota politik China ada di Beijing, namun ibukota bisnisnya ada di Shanghai dan Guangzhou. Ibukota politik India ada di New Delhi, sementara ibukota bisnis ada di Mumbai. Ibukota politik Canada ada di Ottawa, sementara ibukota bisnisnya ada di Montreal dan Toronto. Juga ibukota politik Amerika Serikat adalah Washington DC, sementara ibukota bisnisnya sudah terspesialisasi yang menyebar ke seluruh negara bagian. Ibukota perdagangan dan keuangan di New York, ibukota otomotif di Detroit, ibukota penerbangan di Seattle, ibukota minyak di Houston, ibukota hiburan di Los Angeles (baca: Hollywood) dan Las Vegas, ibukota wisata di Miami, ibukota pertambangan di Appalachia, ibukota pendidikan di Boston dan New England, ibukota pertanian di California dan Pennsylvania, ibukota maritim di San Diego, dan sebagainya.

Melihat ibukota politik atau pusat pemerintahan seperti Cairo, Roma, Washington DC, Beijing, Canberra, London, Paris, Berlin, Ottawa, Kualalumpur, New Delhi, Beijing, Riyadh dan lain-lain yang semuanya nyaman, tenang, serba disiplin, serba teratur dan jauh dari hiruk pikuk bisnis (karena memang ibukota bisnis tidak di situ), maka pastilah pemimpin-pemimpin politik dapat lebih berpikir tenang, lebih dapat mencurahkan tenaganya untuk kemakmuran rakyat, kemajuan bangsa dan semua hal yang positip lainnya. Jauh dari godaan untuk berkolusi dengan para pebisnis (?). Mereka lebih dapat meng-upgrade atau mentransformasikan dirinya untuk menjadi negarawan, tidak hanya sekedar politisi. Presidennya tidak perlu menyusuri jalan busway karena kebanjiran, seperti di Indonesia. Mungkin karena ibu kota politiknya terdistorsi oleh aktifitasnya sebagai ibu kota ekonomi, maka para pemimpin bangsa jadi bising dan senewen, sehingga peri lakunya menjadi seperti sekarang ini. Korup, narsistis, mendahulukan kepentingan diri sendiri dan golongan, serta sering arogan.

Juga patut untuk dicermati, tidak seperti halnya dengan Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, yang semuanya menempel di bibir pantai, hampir seluruh negara maju memiliki ibukota politik yang berada di pedalaman, atau jauh dari garis pantai, bahkan di pegunungan, untuk memudahkan sistem drainasi. Ingat, seluruh ibukota politik ini semuanya jauh dari garis pantai, seperti London (Inggris), Paris (Perancis), Madrid (Spanyol), Berlin (Jerman), Moskow (Rusia), Roma (Italia), Beijing (China), Riyadh (Arab Saudi), New Delhi (India), Ottawa (Canada), Mexico City (Mexico), dan lain-lain. Bahkan ibukota negara tetangga dekat kita, Putra Jaya sebagai pengganti Kuala Lumpur-pun tidak berani terlalu dekat dengan garis pantai.

Pengalaman telah memberikan data dan fakta, bahwa letak kota di tepi pantai, telah menyebabkan sejuta masalah antri atau malah secara frontal menghantam kehidupan kota, dan selanjutnya menjadi bencana kemanusiaan. Contohnya adalah banjir. Banjir terjadi karena daya tampung lahan berkurang karena padatnya pemukiman yang menyebabkan resapan air berkurang karena padatnya bangunan. Banjir juga terjadi karena letak kota di pesisir yang nota bene daerahnya rendah, sehingga membuat air hujan atau banjir sukar untuk run-off karena muka air laut sama dengan muka air di darat. Juga air banjir sulit untuk infiltrasi ke dalam tanah, karena muka air tanah sangat tinggi dan sudah jenuh air. Masalah lain di kota yang letaknya di tepi pantai adalah banyaknya penyakit malaria, demam berdarah, dan muntaber. Ini terjadi karena letak kota di pesisir telah menyulitkan drainasi, sehingga nyamuk sebagai penyebab penyakit mudah berkembang biak. Drainasi dapat juga menyebabkan banjir karena seringnya saluran drainasi tertutup sampah. Belum lagi masalah kemacetan lalu lintas, karena semakin berkurangnya daya tampung dan daya dukung kota karena kepadatan dan hiruk pikuk kota yang terjadi yang diakibatkan campur-aduknya fungsi kota sebagai ibu kota politik dan ibu kota bisnis. Infrastuktur kota, khususnya jalan dan drainasi sering rusak karena tingkat keasaman yang tinggi serta ketidakmampuan menanggung beban yang lebih besar daripada kapasitasnya, dan sebagainya.

Faktanya, upaya apapun untuk mengatasi banjir, kemacetan lalu lintas, menghambat laju serangan penyakit, mengurangi laju urbanisasi dan lain-lain sulit untuk berhasil, meskipun seluruh daya dan dana sudah dikerahkan. Bahkan semakin berat saja masalahnya. Khusus upaya mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan pembangunan busway, ringroad, kereta jabotabek, kawasan khusus untuk lalu lintas dengan tiga penumpang atau lebih, bahkan dengan pembangunan subway, MRT, pengenaan retribusi bagi kendaraan yang lewat di jalan protokol, maupun double deck traffic, nampaknya akan sia-sia saja

Kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota besarnya memang rakus. Semuanya ingin berpolitik sekaligus berbisnis di segala bidang, sehingga aktifitasnya menumpuk di satu kota, tanpa ‘core competency’, sehingga wajarlah jika kesemrawutan dan ketidaknyamanan kota, termasuk banjir, kemacetan lalu lintas, demo-demo politik maupun buruh, wabah-wabah penyakit memorakporandakan sendi-sendi ekonomi dan kehidupan. Dengan memilih core competency-nya sendiri seperti Bali, atau Yogyakarta, maka kemakmuran akan lebih mudah tercapai, karena fokus.

Mendengar atau menyimak adanya kota di Indonesia, yang ingin mengangkangi seluruh aktifitas kehidupan, seperti industri, pariwisata, perdagangan, maritim, budaya, dan lain-lain, penulis merasa geli, karena menunjukkan bahwa kota tersebut tidak fokus.


Bagaimana dengan Ibu Kota Propinsi?


Tulisan di atas baru tinjauan antarnegara. Bagaimana dengan tingkat propinsi atau negara bagian? Contoh yang mudah adalah Amerika Serikat (Maaf, penulis hanya menyampaikan contoh yang baik-baik saja dari negara adidaya tersebut, sementara yang kontroversial, seperti invasi ke negara berdaulat Irak, serta sikap ambivalensi di Palestina, serta rasialisme yang masih ada, dan lain-lain, penulis tidak begitu menyukainya).

Di Amerika Serikat, hampir seluruh ibukota politik negara bagian, yang penulis identikkan dengan propinsi di Indonesia, ternyata juga terpisah dengan ibukota bisnis negara bagian tersebut.

Contohnya, ibukota bisnis negara bagian New York adalah New York City, sementara ibukota politik (pusat pemerintahan) adalah Albany. Ibukota bisnis California adalah Los Angeles, San Fransisco dan San Diego, sementara ibukota politik (pusat pemerintahan) di Sacramento, (bukan San Fransisco seperti yang disampaikan Ibu Sirikit Syah dalam tulisan beliau “Sepuluh Kebutuhan Warga Surabaya” di Jawa Pos, Selasa, 23 Februari 2010), yang “hanya” kota terbesar ke tujuh di California. Ibukota bisnis Texas ada di Houston, sementara ibukota politik ada di Austin. Juga negara bagian Florida, bukannya Miami atau Key West sebagai pusat pemerintahan, tapi malah kota yang lebih kecil, Tallahassee. Semuanya ada di pedalaman, bukan di bibir pantai. Demikianlah, banyak negara bagian yang jumlahnya 50 (lima puluh) itu ternyata tidak memilih ibukota politiknya sama dengan ibukota bisnisnya, dengan kata lain pusat pemerintahan bukan di kota terbesar di wilayahnya, atau banyak kota-kota besar di setiap negara bagian yang bukan menjadi ibukota politik negara bagian tersebut. Dari 50 negara bagian, mungkin kurang dari 10 negara bagian yang “terpaksa” menempatkan ibu kota pemerintahan di kota-kota terbesar di wilayahnya, di antaranya Alaska di Juneau, Georgia di Atlanta, Hawaii di Honolulu, Colorado di Denver, Massachusetts di Boston, Oklahoma di Oklahoma City, dan Utah di Salt Lake City. Ini berbeda dengan Indonesia, yang dapat dipastikan, bahwa ibukota politik dari suatu propinsi pasti dikangkangi oleh kota-kota besarnya, yang sekaligus sebagai ibukota bisnis/ekonomi, dan ibukota seluruh aktifitas. Maka tentu saja segudang masalah pasti akan muncul, termasuk Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, dan sebagainya. Bagaimana dengan kota-kota tersebut? Apakah sebagai ibu kota propinsi dengan segala permasalahannya yang kompleks saat ini sudah saatnya dipindahkan ke tempat lain?

Apresiasi perlu penulis sampaikan kepada PT Telkom Tbk, PT Kereta Api (Persero), PT Pos Indonesia, yang sudah sejak lama memusatkan aktifitas bisnisnya di Bandung, meskipun nampaknya masih setengah hati karena akhirnya tidak dapat dihindari bahwa pada kenyataannya pemusatan aktifitas masih di Jakarta, karena ketergantungan dengan regulator, konsumen maupun bisnis-bisnis lain yang masih berpusat di Jakarta. Juga penghargaan kepada Jawa Pos yang telah memusatkan aktifitas bisnisnya tidak di Jakarta, meski menurut penulis sebaiknya juga jangan di Surabaya. Juga apresiasi kepada Citilink (Surabaya) dan PT Merpati Nusantara (Makassar) yang mulai memindahkan pusat pengendalian bisnisnya ke luar Jakarta.

Jika menyimak fakta, memang hanya sedikit negara yang pernah memindahkan ibu kota negaranya karena alasan tertentu, seperti Pakistan yang pernah memiliki kota-kota Karachi dan kemudian Rawalpindi sebagai ibukota sebelum Islamabad, ibu kota yang sekarang. Juga Brazil yang pernah memiliki Rio de Janeiro sebelum pindah ke Brasilia. Namun gagasan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke tempat lain yang lebih representatif nampaknya perlu dicermati sebagai alternatif untuk meninggalkan segala masalah. Juga gagasan untuk memindahkan sejumlah ibu kota propinsi, khususnya yang masalahnya semakin berat.

Biarlah Jakarta menjadi ibukota bisnis seperti New York, Los Angeles, Frankfurt, Shanghai, Sidney, Liverpool, Mumbai, Toronto, dan lain-lain, yang hiruk pikuk dengan aktifitas bisnisnya, sementara ibukota negara atau ibukota politik, kita pilih yang damai dan santun, seperti Beijing, Washington DC, Canberra, London, Paris, Ottawa, Kuala Lumpur, Riyadh, New Delhi, Cairo, dan lain-lain, yang semuanya berada jauh di pedalaman, bukan di bibir pantai.

Barangkali banyak yang mencibir tulisan ini, mengingat bahwa tulisan ini telah mengabaikan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Namun orang sering lupa bahwa ketika Daendels membangun Jalan Pos Anyer-Panarukan sepanjang 1000 km lebih dari satu abad yang lalu, yang ketika itu yang melewatinya mungkin hanya satu kuda atau satu pedati per minggu (karena waktu itu belum ada mobil), akan menjadi seperti sekarang ini, menjadi jalan paling padat se Indonesia, atau bahkan jalan paling padat se Asia.

Orang juga sering lupa, wilayah wild-wild west atau pantai barat Amerika Serikat, satu setengah abad yang lalu adalah wilayah tempat jin buang anak, namun dengan keberanian yang luar biasa, relatif tanpa biaya (karena pada waktu itu semua orang tertarik pindah ke wilayah barat yang kosong secara swakarsa), maka kemudian dapat berdiri kota-kota San Diego, Los Angeles, San Fransisco, Las Vegas, Denver. Portland, Seattle, dan lain-lain.

Juga orang lupa kalau Ir. Ciputra tidak menyulap kawasan rawa-rawa Ancol yang angker, mungkin sampai sekarang kita tidak akan pernah merasakan serunya naik Gondola dan Tornado, atau merasakan indahnya Pantai Festival.

Jadi kuncinya adalah kemauan dan keberanian, yang kemudian di-cascade atau di-deploy, menjadi lebih operasional dan transaksional, serta dijalin secara transformasional. Karena keberanian dan kemauan hanyalah budaya atau lebih tepatnya sikap mental yang menjadi dasar dalam menjabarkan strategi untuk tercapainya tujuan.


ooOoo


*) Catatan:

Tulisan ini telah dimuat oleh harian Jawa Pos edisi, Senin, 1 Maret 2010, rubrik Opini halaman 4 bawah, maupun di cyber newspaper-nya. Namun pemuatan dengan banyak editing dari Redaksi Jawa Pos, telah mengurangi pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Tulisan ini adalah tulisan asli sebelum proses penyuntingan. Terima kasih.


Senin, 28 Juni 2010

Serial Manajemen Birahi 3

Prolog:

Di tengah-tengah kesibukan Musyawarah Nasional Asosiasi Manajemen Indonesia VII (MUNAS AMA VII) di Malang dan Batu, tanggal 4 sampai 6 juni 2010, saat sedang jedah di suatu Villa di kota apel Batu, beberapa Pengurus Cabang dari Surabaya, Malang, dan Jakarta sempat diskusi dan saling berbagi pengalaman. Aku masih ingat, ketika itu dari tuan rumah Malang, ada Ibu Irene, Ibu Cenny Tan, Ibu Dewi, dari Surabaya ada saya sendiri, Bpk Chris Susanto, Bpk Tiantoro, Bpk Samsu Hadi, dari Jakarta ada Bpk Hendry dan P. Jimmy. Dari Pengurus Pusat yang ketika itu sudah demisioner ada Bpk Ketika mendengar masukan saya, mereka sangat tertarik. Malah P. Hendri sebagai penerbit mengatakan bahwa cerita saya itu dapat dibukukan, karena P. Hendry mencium bau bisnis. Apalagi judulnya sangat menjual, yaitu “Serial Manajemen Birahi” (Serial Pengelolaan Birahi secara sehat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal dan moral).

Meskipun judulnya “serem” namun justru unsur pengelolaannya atau manajemen-nya yang ditonjolkan, mengingat banyaknya penyalahgunaan Birahi tidak pada tempatnya dan tidak berdasar pada akal dan moral.

Ketika itu Pak Hendry dari Jakarta siap menerbitkan, sementara Ibu Dewi dari Malang atau tepatnya Gramedia Malang mempertimbangkan akan menjadi motornya. Nah, untuk pengenalan pertama serial tersebut, maka berikut ini saya “launching” sebagian kecil dari tulisan dimaksud. Namun maaf tulisan ini masih belum benar-benar tersunting secara baik dan benar, karena masih bahan mentah. Ini hanya test pasar saja. Laku apa tidak?! He.he.he…!


Terima kasih.

ooOoo

Serial Manajemen Birahi 3:

(Serial Pengelolaan Birahi secara sehat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal dan moral)

Luna yang tidak Maya

Oleh: Ratmaya Urip

Kota Buntok, sepenggal wilayah di jantung Provinsi Kalimantan Tengah, menurut sebagian besar penghuninya adalah akronim dari “BUNtu dan menTOK”, karena secara geografis memang demikian adanya, jauh dari sana sini, namun ternyata menyimpan potensi. Aku lebih suka menjadikan kota Buntok sebagai akronim dari “keBUN TOK” yang artinya kebun semuanya, atau seluruhnya berupa kebun. Perpanjangan akronim “Buntok” menjadi “keBUN TOK”, menurutku lebih membangun dan optimistik daripada BUNtu dan menTOK. Karena ternyata isinya memang dipenuhi dengan kebun karet rakyat, suatu komoditas perkebunan yang saat ini sedang menjadi primadona ekspor sekaligus sumber penghasilan rakyat yang menggiurkan, karena harga karet dunia yang sedang melambung tinggi. Di tingkat petani harganya sampai sebelas ribu per kilogram, sementara harga ekspor konon sampai 3,2 sampai dengan 3,3 US Dollar per kilogram. (Catatan: tentang harga ekspor ini dikutip dari KB Antara, yang di-released pagi ini bersamaan dengan saat tulisan ini sedang dalam proses penyuntingan, Jum’at, 18 juni 2010 jam 17:54 WIB). Ini karena dipicu oleh naiknya harga karet sintetis di pasar internasional, yang seperti diketahui sebagai akibat dari tingginya harga bahan bakunya yaitu minyak bumi, yang naik sampai 70%. Tentu saja para stakeholders komoditas karet sekarang beralih ke karet natural atau karet alam. Padahal 2 tahun yang lalu ketika krisis ekonomi, harga karet alam sempat jatuh sampai “hanya” Rp 2.500,- per kilogram di tingkat petani, yang di sekitar kota Buntok banyak diusahakan oleh teman-teman kita dari suku Dayak Manyaan, Dayak Bakumpai dan Dayak Dusun, khususnya di sekitar Kecamatan Gunung Bintang Awai, Kecamatan Dusun Utara, dan Kecamatan Dusun Selatan.

Perjalananku ke Buntok, Kalimantan Tengah, yang juga ibu kota Kabupaten Barito Selatan kali ini adalah untuk yang kedua kalinya, menyusul sekaligus melengkapi perjalananku beberapa pekan sebelumnya, Rasanya pemeo kuno yang selama ini berkibar di seluruh bumi Borneo kembali menemukan buktinya. Pemeo kuno yang selalu hadir dalam perjalanan hidupku. Ya pemeo yang berujar: “Sekali minum airnya pasti kan kembali ke tepiannya” kali ini kembali sangat manjur menjeratku. Selama hidupku, jika aku ke bumi Kalimantan, aku pasti tidak pernah hanya sekali mengunjunginya. Aku pasti selalu kembali dan kembali ke tempat yang sama, minimal kembali satu kali. Apakah itu di tepian Sungai Mahakam di Kalimantan Timur membaur dengan masyarakat suku Dayak Kenyah, Dayak Benuaq, dan Dayak Putuq, di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, dengan suku Dayak Iban, tepian Sungai Barito, di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, dengan Suku Banjar, Bugis dan Madura, tepian Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah, dengan Dayak Maanyan, Dayak Bakumpai, Dayak Dusun, dan Dayak Kapuas.

Yang membedakanku kali ini dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya adalah kali ini aku menemukan pengalaman yang sangat berharga…yang benar-benar exciting, interesting, and fascinating. Sebagai manusia yang dilahirkan dan dibesarkan di luar Pulau Borneo, tentu saja aku wajib bersyukur dan berbahagia, karena untuk pertama kalinya aku dapat melihat atau lebih tepatnya menemukan tanaman khusus yang selama ini telah menjadi simbol atau bahkan mitos tentang keperkasaan lelaki, yang konon sering disebut sebagai biang untuk pencapaian kejantanan prima seorang pria sekaligus kebahagiaan wanita (He.he.he…mohon dicatat, itu “konon” ya?! Kebenarannya silakan dicoba! Karena ada yang mengatakan bahwa tanaman itu, karena sangat natural, jika diminum akan lebih baik hasilnya, atau lebih berefek depan daripada berefek samping, dibandingkan jika “hanya” minum Viagra, Cialis, Tripoten, Bluemoon, Pasangma, maupun EverJoy). Tanaman itu benar-benar dengan kelima inderaku aku temukan di sela-sela lebatnya dan pengapnya belantara di jantung Borneo. Kalau menemukan tanaman itu dalam keadaan sudah diolah dan langsung dapat dikonsumsi, dan dapat diperoleh dari oleh-oleh kerabat, atau dibeli di pasar-pasar, atau di apotik, atau di beberapa counter Bandara Sepinggan, Syamsudin Noor, Supadio, Tjilik Riwut, dan Sanggu, sudah sering aku mendapatkannya. Namun kali ini aku menemukan di tengah-tengah lebatnya hutan, di sela-sela hutan sekunder dengan vegetasi tinggi yang terdiri dari berbagai jenis vegetasi hutan seperti Meranti Merah (Shorea leprosula), Keruing (Dipterocarpus tempehes), Geronggang (Cratoxylon sp), Pelawan (Tristania maiganyi), Bangkirai (Shorea leavifolia), Senduduk (Acrositicum specolsum), Cengal (Hopea sangal), Pitaruk (Eugenia Sp), Jabon (Authocephalus cadamba), Alabon (Vitex Pubesceus), dan Rasak (Hidnocarpus), dan juga di antara buah-buahan hutan seperti cempedak (Artocarpus integer merr), nangka (Artocarpus integra), rambutan (Nephelium lappaceum), dan durian (Durio zibhetinus).

Ya, tanaman yang masih dalam bentuk aslinya, atau masih tertanam di atas tanah di tengah hutan itu adalah “Pasak Bumi”. Belum lagi penemuanku secara alami atas apa yang disebut “Sarang Semut”, dalam tiga bentuk, yaitu yang menggantung di pepohonan seperti benalu, yang tertanam di atas tanah, dan yang berujud seperti tanah. Yang di sebut terakhir ini bahkan di samping mempunyai khasiat lebih manjur dari Pasak Bumi, juga konon mempunyai keunggulan lain, yaitu dapat mengobati penyakit kanker, tekanan darah tinggi, dan lain-lain. Tentang kebenarannya, tentu saja aku belum tahu, karena aku belum pernah mencobanya, baru menemukannya dalam hutan secara alami. Namun jika para pembaca berburu kedua materi tersebut, baik “Pasak Bumi” maupun “Sarang Semut” di GOOGLE, pasti akan lebih banyak tahu.

(Bersambung)

Catatan: Maaf Luna-nya, belum Maya, apalagi Kasat Mata. Tapi faktanya, sesuatu yang seharusnya Maya yaitu kehidupan intim pribadi ternyata harus Kasat Mata seperti halnya Luna (baca Lunar : Bulan) yang ketika tulisan ini diunggah masih beujud sabit di ufuk barat.

Tunggu di serial berikutnya.

Buntok-Kalteng, Jum’at, 18 Juni 2010 jam 22:35 WIB


Selebriti atau Selebritas?


Selebriti atau Selebritas ?

Oleh : Ratmaya Urip*)

“Selebriti”, kosakata ini sekarang banyak sekali dipakai sebagai kosakata tulis maupun kosakata tutur dalam berbagai kesempatan. Hampir seluruh media menulisnya seolah sebagai kosakata baku Bahasa Indonesia. Contoh yang paling nyata, ada media elektronik yang memberi nama program acaranya dengan judul “Investigasi Selebriti (Insert),” dan juga “Selebrita-Selebriti”.

Maaf, saya sangat awam dalam berbahasa Indonesia, jauh dari predikat ahli Bahasa Indonesia, dan tidak bermaksud untuk memosisikan diri menjadi pakar Bahasa Indonesia, namun kosakata “selebriti” yang sekarang sudah menjamur (dan mungkin juga akan mengakar) yang telah dipakai sebagai kosakata Bahasa Indonesia selama beberapa tahun ini, telah membuat dahi saya mengernyit dan berombak, benak saya bergejolak, hati saya penuh onak, nyali saya berkelopak, sementara hasrat untuk segera mendiskusikannya menjadi beranak pinak.

Menilik apa yang sedang terjadi ini, saya mencoba untuk menganalisisnya dari apa yang selama ini terjadi dalam proses bentukan kata yang bersistem. Dengan kata lain, apakah kata “selebriti” ini sudah memenuhi kaidah-kaidah dalam proses bentukan kosakata Bahasa Indonesia baku, yang dapat disebut sebagai hasil bentukan kosakata yang bersistem.

Dalam sejarahnya, Bahasa Indonesia tidak akan pernah lepas dari serapan bahasa-bahasa asing maupun bahasa-bahasa daerah. Khusus serapan dari bahasa asing, pada awalnya banyak sekali serapan-serapan dari Bahasa Belanda, namun sejak kemerdekaan, dan terlebih-lebih pada era Orde Baru, kiblat serapannya lebih banyak ke Bahasa Inggris. Hal ini seiring dengan surutnya peran Bahasa Belanda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan semakin menonjolnya peran Bahasa Inggris. (Peran Bahasa Arab juga semakin menonjol mengimbangi peran Bahasa Inggris, dengan semakin besarnya peran negara-negara Arab dan relasinya dengan Bangsa Indonesia dan dunia internasional di bidang-bidang keagamaan, ekonomi, bisnis, politik, sosial dan budaya. Namun dalam konteks tulisan ini kebetulan tidak ada relevansinya).

Contoh-contoh serapan dari Bahasa Inggris yang kini sudah menjadi kosakata baku Bahasa Indonesia adalah, quality menjadi “kualitas” (dulu ditulis “kwalitas”, karena ketika itu masih berbasis Bahasa Belanda), quantity menjadi “kuantitas” (dulu ditulis “kwantitas” karena alasan yang sama), productivity menjadi “produktivitas”, integrity menjadi “integritas”, capability menjadi “kapabilitas”, capacity menjadi “kapasitas”, acceptability menjadi “akseptabilitas”, electability menjadi “elektabilitas”, stability menjadi “stabilitas”, priority menjadi “prioritas”, liquidity menjadi “likuiditas”, rentability menjadi “rentabilitas”, solvability menjadi “solvabilitas”, dan masih banyak lagi serapan-serapan lain yang senada.

Dari proses terjadinya bentukan, nampak sekali bahwa sistemnya adalah, bahwa setiap kosakata dalam Bahasa Ingris yang diakhiri dengan huruf “...ty”, selalu diserap dalam Bahasa Indonesia, dan berubah menjadi “...tas”. Dengan kata lain kosakata dalam Bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari Bahasa Inggris “...ty” bentukan yang seharusnya mengikuti, atau sistemnya adalah menjadi “...tas”.

Bagaimana dengan kosakata “selebriti” yang merupakan serapan dari Bahasa Inggris celebrity yang sekarang sedang menjadi kosakata yang populer di berbagai kesempatan dan kepentingan? Menurut saya, sejalan dengan sistem bentukan kosakata yang selama ini dijadikan acuan untuk menjadi bentukan kosakata yang bersistem, maka kosakata celebrity dari Bahasa Inggris, serapan bakunya adalah “selebritas” bukan “selebriti”. Karena di atas sudah diuraikan sistemnya. Jika kosakata “selebriti” masih diinginkan sebagai kosakata yang dapat dipakai sebagai kosakata Bahasa Indonesia, dapat disebut sebagai kosakata bukan baku. Dengan demikian, sejalan dengan sistem bentukan kata yang bersistem, seperti diuraikan di atas, maka kosakata “polibriti”, sebutan untuk para “politisi” yang telah menjadi “selebriti” bukanlah kosakata yang baku. Adapun yang lebih baku untuk ditulis dan ditutur adalah kosakata “polibritas”, karena merupakan bentukan kosakata yang bersistem.

Bentukan kosakata yang tidak bersistem, sering terjadi dalam berbahasa Indonesia. Contoh lain adalah kosakata “santriwan” atau “santriwati”. Menurut saya kosakata tersebut bukan hasil bentukan kosakata yang bersistem. Akhiran “wan” atau “wati” dan “man” mempunyai fungsi “meng-orangkan”, atau menjadikan orang suatu kosakata yang bukan orang. Sehingga “pahala” menjadi “pahlawan”, “warta” menjadi “wartawan”, “seni” menjadi “seniman”, “rela” menjadi “relawan”, dan sebagainya. Kosakata “santriwan” atau “santriwati” berasal dari kosakata dasar “santri”, dan kosakata “santri” itu adalah orang, sehingga jika ditambah dengan “wan” atau “wati” akan mubazir, karena arti dan pengertiannya sama atau tidak mengubah arti apapun kecuali menambah huruf, dan bukan merupakan bentukan kosakata yang bersistem.

Pada awal berdirinya TVRI, dulu pernah dipopulerkan kosakata “pirsawan” oleh pihak TVRI, namun karena ternyata kemudian kosakata tersebut juga bukan kosakata yang berasal dari bentukan kosakata yang bersistem, maka akhirnya kosakata tersebut lenyap dari Bahasa Indonesia, dan diganti menjadi yang lebih tepat, yaitu “pemirsa” atau “penonton”. “Pirsawan” berasal dari kosakata dasar “pirsa” ditambah akhiran “wan”. Sistem yang ada untuk akhiran “wan”, “man” dan “wati”, di samping sistem yang diuraikan di atas adalah tidak dapat ditambahkan pada kata kerja. Oleh karena “pirsa” adalah kata kerja, maka jika ditambah “wan”,”man” atau “wati” tidak ada sistemnya dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, “pirsawan” bukan merupakan bentukan kosakata yang bersistem.

Contoh lain tentang bentukan kosakata yang tidak bersistem adalah sederetan kata yang melengkapi waktu, yaitu “Bagian Barat Waktu Indonesia (BBWI)”, yang sampai saat ini masih sering ditulis dan ditutur sebagai varian atas penulisan “Waktu Indonesia Barat (WIB)”. Contoh yang sering terjadi, adalah seringnya ditulis dalam undangan, yang menyampaikan bahwa rapat atau acara dimulai pada jam 09:00 BBWI.

Bahasa Indonesia menganut hukum DM (Diterangkan-Menerangkan). Istilah yang awalnya diperkenalkan oleh Prof. Dr. St. Takdir Alisjahbana dalam bukunya “Tatabahasa Baru Melayu Indonesia”. Dalam konteks penulisan “Bagian Barat Waktu Indonesia (BBWI)”, jelas, bahwa kata-kata tersebut telah ingkar dari Hukum DM. Karena “Waktu” yang seharusnya diterangkan, malah berada di bagian belakang dari sederetan kata majemuk tersebut. Penjelasannya adalah, dari kata majemuk tersebut dapat diurai menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu “Bagian Barat”, “Waktu” dan “Indonesia”. Dari ketiga kosakata tersebut, urutan penulisan atau penuturan dimulai dari yang paling diterangkan, dalam hal ini “Waktu”, kemudian “Indonesia”, baru kemudian “Bagian Barat”. Karena harus merujuk pada Hukum DM, maka penulisan atau penuturan yang baku wajib dimulai dari yang paling diterangkan terlebih dahulu, baru kemudian diikuti sampai yang paling menerangkan. Maka penulisan yang sesuai dengan kaidah-kaidah bentukan kata yang bersistem adalah “Waktu Indonesia Bagian Barat”. Supaya lugas, dan tidak ada pemborosan dalam berbahasa, dan karena sudah dapat dicerna secara tepat, maka kata “Bagian” dihilangkan, atau lebih tepat kalau ditulis dengan “Waktu Indonesia Barat (WIB)”. Dalam hal ini “Waktu” adalah yang diterangkan, sementara yang menerangkan adalah “Indonesia”, sementara kosakata “Barat” menerangkan kosakata “Indonesia”, jika Indonesia berfungsi sebagai “yang diterangkan”. Maka letaknya ada dibelakangnya. Penulisan ini sudah baku, karena sudah memenuhi kaidah-kaidah Hukum DM, mengapa ada saja yang mencoba untuk “kreatif” dengan mengubahnya dalam bentuk lain, yang justru malah bukan bentukan kosakata yang bersistem?

Apakah akan kita biarkan ketitakbakuan ini selalu terjadi? Jawabannya ada pada diri setiap manusia Indonesia. Karena yang dapat “nguri-uri” bahasa Indonesia adalah kita sendiri. Jika kita ingin agar Bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa modern yang dapat dipakai sebagai bahasa lisan maupun bahasa tutur yang terhormat, yang tentu saja termasuk di dalamnya dapat menjadi sarana untuk penulisan ilmiah dan sastra, dan dapat diakui eksistensinya oleh masyarakat internasional, maka satu-satunya cara adalah dengan selalu memberikan atensi, koreksi dan apresiasi, untuk tercapainya akurasi dan presisi dalam berbahasa Indonesia. Bagaimana pendapat para ahli Bahasa Indonesia?

ooOoo

*) Ratmaya Urip, pemerhati Bahasa Indonesia. Saat ini fungsionaris Asosiasi

Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia)