Sabtu, 21 Juni 2008

SOSOK (Mereka yang Berhasil):
PAK NYOMAN YANG AKU KENAL
Oleh : Ratmaya Urip


Tanggal 25 Juni 2008 ini, Pak Nyoman, atau lebih lengkapnya Prof. Ir. I Nyoman Pujawan, M.Sc, Ph.D akan dikukuhkan sebagai Guru Besar ITS, pada usia 39 tahun (sementara SK Pengangkatan Guru Besar pada usia 38 tahun), yang menurut catatanku adalah Guru Besar ilmu exacta termuda atau termuda kedua dari seluruh science, dari seluruh perguruan tinggi di Jawa Timur (atau mungkin juga Guru Besar exacta termuda di Indonesia???). Apalagi gelar tertinggi dalam dunia pendidikan tersebut diperoleh hanya dalam rentang waktu sangat pendek, yaitu 13 tahun mengajar di ITS. Termasuk rentang waktu pencapaian sangat pendek di Indonesia. Suatu prestasi yang sangat membanggakan. (Catatan : Guru besar termuda di Jatim masih dipegang oleh Prof Zudan Arif Fakrulloh dalam Ilmu Hukum yang diperoleh dalam usia 35 tahun pada thn 2004 di Untag)

Aku mengenal Pak Nyoman adalah dari Ibu Janti Gunawan (yang kebetulan anggota milis AMA-Surabaya juga, yang waktu itu Ibu Janti masih mengejar Ph.D di New Zealand. Apa khabar Bu Janti?). Kalau tidak salah kira-kira tiga tahun yang lalu. Ketika aku mohon bantuan kepada Bu Janti untuk menjadi narasumber dalam program reguler SOLUSI MANAJEMEN BISNIS di Radio Suara Surabaya yang kebetulan aku gawangi, beliau merasa kurang pas untuk bicara, karena beliau lebih concern ke International Business, bukan ke Supply Chain Management, yang waktu itu akan kujadikan topik bahasan. Bu Janti kemudian memperkenalkan Pak Nyoman kepadaku.

Perlu diketahui dalam mengasuh program bisnis mingguan (weekly program) SOLUSI MANAJEMEN BISNIS di Radio Suara Surabaya hampir 14 tahun ini, aku selalu mengundang narasumber 1 orang dari praktisi dan 1 orang dari akademisi, supaya balance. Sebab aku selalu berprinsip, bahwa :

teori tanpa praktek adalah omong kosong, sementara praktek tanpa teori adalah ngawur.

Itulah mungkin yang menyebabkan program tersebut bertahan, tanpa terdepak, hampir 14 tahun dengan rating tinggi dari AC Nielsen, konsultan pemeringkat untuk lembaga siaran bertaraf internasional yang juga memberi rating pada televisi nasional. Dalam hal ini Pak Nyoman aku undang mewakili unsur akademisi.

Pertama kali mengenal Pak Nyoman, aku sangat kurang yakin akan kemampuan beliau, meskipun sebagai dosen ITS yang waktu itu sudah menyandang Ph.D dari salah satu perguruan tinggi di Inggris, pastilah beliau memiliki sesuatu. Penampilan beliau seperti layaknya mahasiswa saja. Jawa Pos saja lebih menilai Pak Nyoman seperti mahasiswa S2.

Dalam penampilan perdana di SOLUSI MANAJEMEN BISNIS hampir tiga tahun yang lalu, beliau sangat solutip dan ekspresif, sehingga pendengar begitu antusias menyambutnya. Dalam menyikapi masalah-masalah bisnis, beliau tidak hanya analitik namun juga intuitip. Analitik adalah sikap dan perilaku yang biasanya banyak dilakukan oleh para akademisi, sementara intuitip adalah sikap dan perilaku yang sering dilakukan oleh para pelaku bisnis. Aku lebih suka menyebut beliau sebagai sosok yang dalam menyikapi masalah apapun selalu intuitip , namun tetap didasarkan pada kajian-kajian analitik, karena intuisi beliau didasarkan pada experiences yang analitik. Dipadu dengan kesantunan yang prima namun cepat dalam pengambilan keputusan, membuat aku menilai beliau lebih pas sebagai pelaku bisnis, bukan pemerhati atau pengamat bisnis.
Itulah sebabnya setelah itu aku sering kali mengundang beliau dalam program-programku.

Gaya bicaranya tidak meledak-ledak, bersuara tenor, nyaris dalam dinamika yang monoton, dengan rentang nada yang mungkin kurang dari 2 oktaf, namun memiliki romantika dan dialektika yang khas, phrasering yang sempurna, cepat akrab, dan tentu saja sangat mudah dalam sosialisasi. Sifat beliau sangat terbuka, dan selalu memandang mahasiswa sebagai teman diskusi. Menurut mahasiswanya, beliau benar-benar sebagai idola. Itulah mungkin sebabnya beliau terpilih sebagai Dosen Teladan ITS pada tahun 2007.

Kesantunan, keramahan, dan kerendahhatian beliau terbukti, ketika beliau sendiri yang mengantar Undangan untuk Pengukuhan Guru Besar beliau kepada Pengurus AMA-Surabaya ke Hotel NOVOTEL, Jl. Darmo Kali pada hari Sabtu, tgl 21 Juni 2008, padahal saat itu AMA-Surabaya sedang Muscab ke VI di Hotel tersebut, untuk pemilihan Pengurus baru AMA-Surabaya. Tanpa kurir beliau mengirim Undangan sendiri, padahal beliau sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk Pengukuhan sementara Ucapan Selamat sedang bertubi-tubi meluncur ke beliau dari berbagai kalangan. Terima kasih banyak Pak Nyoman!

Sebagai pribadi dengan sosok dan latar belakang Bali, beliau merepresentasikan secara antropologis seluruh budaya Bali, dengan kekhasan yang sulit untuk menghilangkan sifat-sifat dan perilaku budaya Bali secara umum. Termasuk sulit untuk melafazkan huruf "t" ketika berbicara.

Secara antropologis, budaya Bali memiliki stereotip berupa sifat terbuka, gampang beradaptasi, cukup tekun dalam berusaha, dan suka kompromi. Seperti halnya budaya Tionghoa, Jews, Irish, dan Bavarian, secara antropologi bisnis, budaya Bali membawa sifat tekun dalam suatu bidang bisnis tertentu. Jika dia sudah concern ke pariwisata, pasti tekun di situ. Jika menekuni pertanian, pasti total di situ, jika sudah concern ke pendidikan pasti digelutinya sampai mati. Itulah budaya Bali.

Bawaan antropologi bisnis Bali itulah mungkin yang telah membawa Pak Nyoman menjadi seperti sekarang ini.

Kadang aku berpikir, kenapa ya, budaya Jawa dapat berbeda dengan Budaya Bali? Padahal menurut hikayat orang Bali konon adalah pelarian orang Jawa yang terpaksa ke Bali pada zaman Majapahit. Apalagi lingkungannya sama. Teori-teori antropologi mengajarkan, bahwa perilaku dan sikap atau budaya dibentuk oleh lingkungannya.

Sebagai otokritik, orang Jawa (khususnya Jawa Mataraman, yang juga merupakan tempatku berasal), mempunyai stereotip seperti apa yang terproyeksikan dalam pemeo-pemeo :

"bukan lautan hanya kolam susu", "gemah ripah loh jinawi", "mangan ora mangan kumpul", "bak zamrud khatulistiwa", "sluman slumun slamet", "biar lambat asal selamat", dll.

Semuanya dianggap stereotip yang dituduh sebagai selalu ingin "safe", kurang tekun, atau tidak mau mengambil resiko, sifat yang kadang disebut tidak cocok untuk bisnis. Sementara stereotip Bali lebih cocok untuk melakukan kegiatan bisnis atau kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik dan tekun lainnya.

Kembali ke Pak Nyoman. Beliau sebenarnya bukan type kutu buku, karena menurut beliau, kuliah beliau dari S1 sampai S3 dilakoni sebagai layaknya “ordinary student”. Beliau juga pacaran sambil kuliah. Beliau suka kumpul-kumpul dengan mahasiswa lain ketika kuliah, tidak eksklusif, namun mungkin beliau memiliki sesuatu yang lain yang tidak aku miliki. Rasanya sangat pantas bagi Pak Nyoman untuk menyandang gelar tersebut di atas.

Selamat dan Sukses untuk Pak Nyoman. Tetaplah membantu AMA-Surabaya dalam SOLUSI MANAJEMEN BISNIS, dan program-program lainnya, meski sekarang sudah semakin sibuk.

Insya Allah, beberapa Pengurus AMA-Surabaya akan hadir untuk memenuhi Undangan Bapak, menghadiri Pidato Pengukuhan Bapak sebagai Guru Besar ITS, pada tanggal 25 Juni 2008.

Salam selalu.

Ratmaya Urip

Catatan : Ulasan tentang Bapak di Jawa Pos, 22 Juni 2008 patut untuk kami kliping sebagai dokumentasi

.
.

1 komentar:

Kunarso mengatakan...

KANDUNGAN CERITA HONOCOROKO
(Penjaga dan Pembawa Pesan yang Menjadi Korban)
Oleh : Kunarso *)

KANDUNGAN cerita dalam kaitan nama Aksara Jawa yang sering disebut sebagai “HONOCOROKO”, memiliki makna yang bernilai tinggi, mengingatkan kita semua untuk selalu membangun dan memelihara komunikasi agar terhindar dari salah persepsi dalam memberi, menjaga dan membawa pesan sehingga dapat dicegah dan dihindari adanya pertengkaran dan permusuhan yang dapat merugikan berbagai pihak.
Nama Honocoroko sendiri diambil dari baris pertama dalam deretan Aksara Jawa, yang lengkapnya adalah sebagai berikut :

HO NO CO RO KO
DO TO SO WO LO
PO DHO JO YO NYO
MO GO BO TO NGO

Dua puluh Aksara Jawa yang tersusun dalam empat baris itu dalam sejarahnya memiliki muatan cerita :
Ono Caroko = ada utusan (abdi setia)
Doto Sawolo = saling berseteru
Podho Joyonyo = sama-sama sakti
Mogo Bothongo=Keduanya jadi bangkai

Dalam cerita adalah seorang Satria namanya Ajisaka yang tinggal di sebuah pulau terpencil bersama dua orang abdi setianya, yaitu Dora dan Sembodo. Pada suatu hari Ajisaka bertekad untuk memperbaiki hidupnya dengan hijrah pergi ke ibukota kerajaan. Dora diajak ikut, sedangkan Sembodo tetap ditinggal di pulau dengan dititipi sebuah keris. Ajisaka berpesan agar keris tersebut dijaga dan disimpan, jangan sampai diberikan kepada orang lain. Sebagai abdi yang setia, maka pesan itupun diterima dan disanggupinya dengan tekad akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kemudian setelah sekian lama, berbagai liku-liku perjalanan hidup dilaluinya, Ajisaka sukses menjadi Raja. Ketika itu, Ajisaka memerasa perlu untuk mengambil kerisnya, maka diutuslah Dora untuk menemui Sembodo guna meminta kembali keris yang dititipkan.

Apa yang terjadi kemudian, sungguh diluar dugaan, kedua abdi yang setia, thaat dan sangat hormat itu merasa berada pada posisi yang berseberangan. Masing-masing abdi tidak ingin melanggar dan mengabaikan pesan Ajisaka. Sulitnya, kondisi pada saat itu tidak memungkinkan untuk berkomunikasi kembali sehingga masing-masing tetap berpegang teguh pada pesan awal yang diterimanya.

Ketika Dora datang menyampaikan pesan Ajisaka yang mengutusnya untuk mengambil keris, maka Sembodo tidak mau menyerahkan keris tersebut. Sikap ini adalah sesuai dengan pesan yang diterima sebelumnya. Kedua Abdi setia itupun saling bersikukuh melaksanakan pesan Ajisaka, yang satu tidak mau memberikan keris yang dititipkan Ajisaka kepadanya, sementara itu yang satu lagi bertekat tidak akan kembali kepada Ajisaka yang kini menjadi Raja sebelum keris dibawa serta.

Pertengkaranpun terjadi tak terhindarkan lagi. Kedua abdi saling memperebutkan keris dengan mengeluarkan tenaga, kemampuan dan kesaktian yang dimilikinya untuk merebut dan membela diri. Kekuatan keduanya berimbang, tidak ada yang mau mengalah dan akhirnya keduanyapun jadi korban, tewas menjadi bangkai tertusuk keris. Adapun pelajaran berharga dari cerita yang penuh makna itu adalah betapa penting dan perlunya membangun serta memelihara komunikasi antar berbagai pihak sejak dini secara rutin maupun berkala, terus-menerus dan tidak terhenti.

Lebih-lebih pada era modern seperti sekarang ini, ketika alat komonikasi sudah semakin canggih dan hampir tak terhalangi, sungguh amat sayang jika masih ada pihak yang belum paham, tidak mengerti dan tidak mau belajar teknologi informasi.

Penegakan disiplin kehadiran pegawai yang belakangan ini menggunakan alat deteksi sidik jari sebagai perekam data kehadiran pegawai, tidak mustahil pada saatnya nanti dapat menimbulkan perbedaan persepsi. Apalagi jika petugas yang menangani kurang memahami makna hakiki dari penggunaan alat pendeteksi yang masih perlu dikonformasi dengan fakta sebenarnya yang terjadi. Bisa jadi, ada pegawai yang pada suatu hari sudah hadir dan bekerja tetapi karena sesuatu hal baik karena lupa atau karena ada hal lain tidak atau terlambat menempelkan jari. Jika hanya mengandalkan data mati dan tidak disertai komunikasi, maka keputusan salah akan dapat terjadi, yaitu memotong uang insentif pegawai yang dianggapnya mangkir atau terlambat tidak permisi.

Begitu pula, ketika Gubernur Kaltim menaruh perhatian besar dalam penegakkan hukum berkaitan dengan pemberantasan korupsi, bersamaan dengan itu juga menghendaki adanya suasana kondusif bagi pegawai dalam melaksanakan tugas sehari-hari, maka dibentuklah KORMONEV (Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi). Wakil Gubernur sebagai ketua Kormonev dengan beberapa anggotanya bertugas untuk mengawasi, mencermati, meneliti, mendalami semua laporan yang masuk terkait korupsi. Laporan akan dievaluasi, jika memang ada bukti kuat maka akan ditindak lanjuti. Apabila terbatas pada administrasi akan ditindak lanjuti Bawasprov, sedangkan yang memang benar ada tindak pidana maka ditindak lanjuti oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan atau KPK.

Gubernur berpesan agar pegawai yang dipanggil KPK, Kejaksaan atau Polisi mendapatkan ijin dari Gubernur. Yang diperlukan kemudian adalah kejelasan aturan agar tidak terjadi salah persepsi bagi aparat pelaksananya. Intinya, komunikasi perlu diperjelas, terus berlanjut, tidak terhenti.

InsyaAllah dengan komunikasi yang terus berlanjut dipelihara dan diperbaharui, dapat dicegah jatuhnya korban yang merugikan berbagai pihak, baik pemberi, penjaga, penerima dan pembawa pesan, termasuk aparat penegak hukum yang mendapat pesan dan bertugas mengamankan pelaksanaan aturan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

*) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur.
http://loabakungceria.blogspot.com