Minggu, 01 Februari 2009

KEUNGGULAN BERSAING BANGSA


KEUNGGULAN BERSAING BANGSA

DALAM PERSPEKTIP ANTROPOLOGI BISNIS

Ratmaya Urip Hadjadsantosa *)

Indonesia dikenal memiliki keunggulan komparatif berupa sumber daya alam yang melimpah yang terkandung di bumi, laut dan udaranya, dengan kekayaan tanah yang subur yang membentang bak zamrud yang membentang di khatulistiwa, subur makmur, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharjo, bukan lautan hanya kolam susu, dan lain sebagainya, namun kesejahteraan yang didambakan seluruh rakyatnya tak juga kunjung tiba.

Selepas dari penjajahan politik, sejak jaman kemerdekaan, khususnya setelah era orde baru, bahkan era orde reformasi, bangsa Indonesia harus kembali dalam cengkeraman penjajah, meski dalam bentuk yang baru, yaitu penjajahan ekonomi. Setelah 63 tahun kemerdekaan, modal-modal asing menguasai hampir seluruh lini ekonomi bangsa. Itu semua karena bangsa Indonesia tidak memiliki kemampuan bersaing dalam percaturan bisnis dunia, sehingga keterpurukan sangat akrab dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesejahteraan (welfare) dan kemakmuran (prosperity), semakin menjauh dari bangsa Indonesia. Sangat paradoks, karena miskin di negara yang kaya raya, seperti tikus mati kelaparan di lumbung padi.

Menarik sekali apa yang telah disampaikan oleh Menkominfo Mohammad Nuh di kota Pasuruan, ketika menyerahkan santunan dari pemerintah sebesar Rp 2,5 juta/keluarga yang tewas saat pembagian zakat pada tanggal 15 September 2008 lalu. Seolah menepis pendapat Ketua PB NU KH Hasyim Muzadi sebelumnya, yang menyampaikan bahwa tragedi maut itu merupakan bukti nyata makin parahnya kemiskinan, Menkominfo mengatakan bahwa penduduk miskin justru turun dari 38,4 juta jiwa (16 persen) pada tahun 2007 menjadi 36 juta jiwa (15 persen) pada tahun ini.

Menariknya adalah, bahwa silang pendapat tentang angka kemiskinan yang dipicu oleh Jenderal (purn) Wiranto, yang kebetulan berbeda dengan angka-angka pemerintah tersebut sampai sekarang belum juga ada muaranya. Bola liar angka kemiskinan yang beredar di blog-blog internet malah lebih dahsyat lagi, karena dihitung berdasar ukuran Bank Dunia, yang menggunakan ukuran US$ 2-PPP (purchasing power parity)/kapita/hari, yang pada tahun 2007 mencapai 105,3 juta jiwa (43,87% jika penduduk Indonesia 240 juta jiwa). Nampaknya angka kemiskinan telah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politis bagi masing-masing pihak, untuk popularitas masing-masing, dengan merekayasa apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Terlepas dari silang pendapat yang telah terjadi, nampaknya kemiskinan memang semakin berat dirasakan. Menurut penulis itu tugas setiap pemimpin yang sedang berkuasa, siapapun dia. Nampaknya dalam jangka pendek masih sulit untuk dapat diselesaikan, mengingat ada beberapa kajian yang terlupakan.

Untuk mengurangi kemiskinan memang diperlukan action plan jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek pemerintah telah meluncurkan BLT, program-program padat karya, dll. Sementara untuk jangka panjang, nampaknya belum ada blueprint yang dipublikasikan secara luas.

Menghapus kemiskinan yang pada hakekatnya adalah bertujuan untuk terciptanya kemakmuran (welfare) atau kesejahteraan (prosperity) memang tidak dapat diselesaikan dalam jangka pendek, karena masalahnya sangat kompleks.

Untuk menciptakan kemakmuran tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur yang bersumber dari modal dan biaya yang bersifat fisik (physical infrastructure), namun juga infrastruktur sosial (social infrastructure), yang tentu saja harus bersumber dari modal sosial (social capital) dan biaya sosial (social cost).

Membangun infrastruktur sosial (social infrastructure), berarti membangun para pengelola pembangunan dari aspek kemanusiaannya, humaniora, atau aspek yang harus dipenuhi dari dirinya sendiri, supaya benar-benar siap untuk membangun dan memenangkan persaingan.

Competitive advantage tidak cukup hanya diperoleh dari keunggulan-keunggulan yang bersifat fisik yang kasat mata, namun juga harus dibarengi dengan keunggulan-keunggulan sikap dan perilaku manusianya.

Mengupas sikap, perilaku, atau bahkan budaya manusia Indonesia secara individu maupun kelompok yang sesuai atau cocok untuk memenangkan persaingan, erat kaitannya dengan ilmu antropologi terapan, dalam hal ini Ilmu Antropologi Ekonomi atau Ilmu Antropologi Bisnis. Kajian ini khusus memberi masukan bagaimana cara meningkatkan kemampuan bersaing bangsa (competitive ability of nation) dari sudut pandang antropologi, khususnya antropologi ekonomi atau antropologi bisnis.

Kajian atas kemampuan atau daya saing bangsa (national competitiveness) yang merupakan bagian dari nation & character building, jarang sekali yang membahas dan meninjaunya dari perspektip antropologi ekonomi (economic anthropology) atau lebih spesifik penulis lebih suka menyebutnya sebagai antropologi bisnis (business anthropology).

World Competitiveness Index 2008 yang surveinya dilakukan oleh International Institute for Management Development (IIMD) menempatkan kemampuan bersaing bangsa Indonesia yang diartikulasikan sebagai Indonesian Competitiveness Index 2008 pada level 51 dari 55 negara yang disurvei. Level ini adalah peningkatan dari tahun sebelumnya yang masih berada di level 54.

Karena itulah sangat wajar jika tingkat kesejahteraan atau kemakmuran masih belum juga sesuai dengan harapan semua pihak, yang tercermin dari pencapaian Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang sejak tahun 2000 sampai sekarang masih berkutat di sekitar peringkat 110 (sekitar 0,710 point), yang berada di bawah negara-negara Asean lainnya.

Korelasi antara pencapaian Human Development Index dengan tingkat kemakmuran suatu bangsa sudah lama diketahui.

Seperti diketahui, kemiskinan kini memperoleh pemaknaan baru, bukan sekadar pengertian konvensional, yakni pendapatan rendah.

Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) mendefinisikan kemiskinan sebagai capability deprivation, yang jauh lebih fundamental daripada sekadar pendapatan rendah yang bersifat instrumental..

Perjuangan menghapus kemiskinan sejatinya merupakan ikhtiar untuk meningkatkan human capability. Itu adalah satu upaya membuka jalan bagi setiap orang atau kelompok agar mampu memberdayakan diri sendiri dengan cara menghilangkan berbagai kendala dan hambatan. Menurut penulis, human capability yang merupakan integrasi dari human creativity (ability of human to creat inovation & invention), human integrity/credibility serta human acceptability, tidak boleh lepas dari human culture, dengan kata lain harus dikaji dan diapresiasi dalam perspektip antropologi, khususnya antropologi ekonomi atau antropologi bisnis, supaya dapat dengan tepat mendiagnosis masalah kemiskinan yang bersumber dari ketidakmampuan bersaing bangsa. Ketidakmampuan bersaing bangsa yang acute, yang bermuara pada ketidakmakmuran atau ketidaksejahteraan bangsa, pada gilirannya nanti akan menyebabkan konflik internal dan keterpurukan harga diri bangsa, yang saat ini sudah diawali dengan konflik-konflik horisontal maupun vertikal, serta pelecehan atas bangsa Indonesia di negara jiran, Malaysia, dengan sebutan Indon untuk para TKI dan komponen bangsa yang lain yang mengunjungi negara tersebut.

KAJIAN ANTROPOLOGI BISNIS

Antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata. Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan perilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakatnya sendiri.

Antropologi ekonomi atau antropologi bisnis adalah antropologi terapan yang lebih menekankan pada kajian antropologis yang berkaitan dengan manusia dalam upayanya untuk menggali dan mengelola aktifitas ekonomi-bisnisnya, dalam rangka kelangsungan hidupnya secara berkesinambungan.

Kebudayaan sebagai sebuah konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan seperangkat sistem pengetahuan atau sistem gagasan yang berfungsi menjadi blue print bagi sikap dan perilaku manusia sebagai anggota atau warga dari kesatuan sosialnya, tumbuh, berkembang, dan berubah sesuai dengan kebutuhan hidup manusia.

Dari pengamatan penulis, terdapat 2 (dua) kutub utama yang merupakan pilar penting dalam memenangkan persaingan atau memperoleh keunggulan bersaing, khususnya persaingan bisnis, jika dikaitkan dengan antropologi bisnis, yaitu :

· Keunggulan bersaing berbasis pada keinginan untuk tetap atau selalu dapat hidup (survival-based competitiveness), dan

· Keunggulan bersaing berbasis pada kegairahan yang menggebu, atau semangat besar untuk selalu menjadi pemimpin, menjadi nomor 1 (satu) atau menjadi juara atau memperoleh kekuasaan tertinggi (hegemony-based competitiveness).


Keunggulan Bersaing Berbasis Survival

(Survival-based Competitiveness)

Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Macan-macan Asia, telah lama dikenal sebagai basis kekuatan ekonomi dan perdagangan dunia, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi pendapatan global secara agregat (global GDP). Sementara China, setelah lepas dari cengkeraman komunisme menyusul berakhirnya revolusi kebudayaan, memiliki pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan dan sangat fenomenal.

Kenapa Amerika Serikat, Jepang, Eropa Barat, dan China dapat begitu maju, dengan kemampuan bersaing yang tinggi? Masing-masing memiliki karakter survival dengan type atau model yang berbeda.

1. Model Amerika Serikat (Periode Abad 16 s/d Tengah Abad 20)

Orang sering lupa, bahwa Amerika Serikat dipenuhi dan dibentuk oleh imigran-imigran Irish, Jews, Scottish, German, Bavarian, Sicilian, Spanish-Basque, yang di tempat asalnya dulu, sangat menderita secara ekonomi, atau karena tekanan lingkungan yang tidak tertahankan lagi di tempat asalnya. Irish terpaksa pergi dari Ireland menuju tanah baru di Amerika karena kelaparan, penyakit, panen kentang yang gagal, dan sebagainya. Sementara Scottish meninggalkan Scotland karena tanahnya yang gersang berbukit-bukit, tidak bisa ditanami, sehingga mereka yang kelaparan juga menuju tanah baru di Amerika. Spanish datang ke Amerika karena lapar akan emas, sementara Jews terlunta-lunta karena ketika itu tidak mempunyai negara dan benar-benar stateless, serta sangat teraniaya. Itulah yang kemudian menyebabkan dorongan kuat untuk survive di tanah baru. Kondisi lingkungan fisik yang serba penuh tantangan di tempat asal, secara evolusioner membentuk sikap dan perilaku etnis menuju suatu stereotip atau bahkan prototip tertentu. Mereka kemudian mempunyai etos kerja yang sangat positip. Yang pasti mereka sudah kebal terhadap segala penderitaan hidup. Ketika mereka menjumpai tanah baru dengan sumber daya alam yang melimpah, yang amat sangat berbeda dengan tanah leluhurnya, mereka menjadi terlalu bergairah dan bernafsu untuk segera menghempaskan penderitaannya. Mereka kemudian haus untuk menjadi pioner, untuk menjadi pemenang terhadap penderitaan, untuk selalu menang jika harus bersaing, dan sebagainya.

Mereka adalah type pekerja cerdas (baca : bukan pekerja keras) yang jauh dari rasa malas, memiliki entrepreneurship yang tinggi, hemat, cermat, berani, sehingga memiliki human capability yang tinggi. Spirit of Diaspora, apakah itu Irish Diaspora, German Diaspora, Spanish Diaspora, Italian Diaspora, dan sejumlah diaspora lainnya membawa etnis-etnis tersebut menjadi lebih bersatu untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan di tempat asalnya. Semangat untuk dapat tetap survive dalam kondisi serba kekurangan, dalam perjalanan waktu kemudian bermetamorfosa menjadi semangat untuk hidup lebih berkecukupan, yang kemudian merujuk teori Maslow, mereka akhirnya menggapai level tertinggi dalam hierarki Maslow.

Beruntunglah Amerika Serikat menerima imigran-imigran miskin namun mempunyai semangat hidup tinggi seperti imigran-imigran Jerman, Irish, English, Spanish, Italian, Jews, dan lain-lain, yang hampir semuanya memiliki etos kerja yang tinggi dengan jiwa entrepreneurship bawaan atau yang sudah mendarah daging.

Keunggulan Bersaing Berbasis Survival (Survival-based Competitiveness) pada periode abad 16 sampai dengan pertengahan abad 20, kemudian dilanjutkan secara estafet dengan pencapaian Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni (Hegemony-based Competitiveness), pada periode pertengahan abad 20 sampai awal abad 21 di milenium ketiga ini, atau setelah kondisi survival bangsa secara agregat dapat terlewati.

2. Model Jepang

Keunggulan Bersaing Berbasis Survival type Jepang muncul karena kondisi fisik lingkungan yang miskin sumber daya alam, dan selalu didera bencana alam berupa gempa bumi dan topan, yang secara terus menerus menerpanya.

Berbeda dengan Amerika Serikat yang etnisnya sangat heterogen, etnis Jepang lebih homogen. Kekuatan survivalnya terpacu oleh beratnya kondisi lingkungan yang kemudian terakumulasi menjadi resistensi berujud kekuatan untuk selalu unggul dalam menghadapi tekanan lingkungan, yang kemudian bermuara pada keunggulan untuk selalu memenangkan pertarungan dengan ganasnya kekuatan alam, dan ketiadaan sumber daya alam.

3. Model China

Setelah berakhirnya Revolusi Kebudayaan, yang kemudian membuka isolasi yang mengungkungnya, potensi kemampuan bersaing yang sebelumnya tersembunyi menjadi muncul ke permukaan.

Keunggulan Bersaing Berbasis Survival Model China muncul karena dorongan untuk dapat hidup di tengah kompetisi antar-mereka karena tekanan jumlah penduduk yang berat sekali bebannya. Tekanan itulah yang menyebabkan adanya Chinese Diaspora, yang menyebar ke berbagai belahan Asia dan lain-lain, dengan meninggalkan penderitaan di tanah leluhur. Seperti fenomena Yahudi dan Irish, mereka berusaha untuk tetap hidup meski dalam tekanan yang berat dari lingkungan yang baru. Sementara di tanah leluhur, etnis China yang tinggal juga tetap mengais-ngais kehidupan.

Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni

(Hegemony-based Competitiveness)


1. Model Amerika Serikat (Periode Tengah Abad 20 s/d Sekarang).

Keunggulan Bersaing Berbasis Survival yang terjadi di Amerika Serikat berakhir setelah berakhirnya krisis Depresi Besar tahun tiga puluhan. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, kemudian berubah menjadi Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni. Hal tersebut terjadi karena setelah tidak ada musuh bersama, kekuatan sekutu terpolarisasi menjadi Blok Barat yang diketuai oleh Amerika Serikat yang didukung Inggris, Perancis, Jerman Barat dan kekuatan NATO. Sementara Blok Timur dengan Pakta Warsawa dipimpin oleh Uni Soviet (pada waktu itu), dengan didukung oleh negara-negara komunis Eropa Timur. Perang Dingin yang terjadi telah memaksa kedua belah pihak untuk berlomba memenangkan persaingan, untuk memperebutkan hegemoni. Inovasi-inovasi banyak dilakukan yang dimulai oleh pihak militer, yang dibiayai dengan anggaran yang seolah tidak terbatas. Selanjutnya di kalangan industri yang melayani keperluan militer berkreasi dan menciptakan keunggulan-keunggulan baru yang terinspirasi dan terimbas oleh keperluan-keperluan militer. Dengan kata lain perebutan hegemoni telah membawa Amerika Serikat menuju tingkat kemampuan bersaing yang baru, setelah kemampuan bersaingnya berbasis survival pada era sebelum Perang Dingin.

2. Model Eropa Barat

Sejak Abad 16, bangsa-bangsa di Eropa Barat khususnya Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Italia, Portugis, dan Belanda berlomba-lomba untuk memenangkan hegemoni global. Karena mereka termasuk bangsa-bangsa yang makmur, maka tahapan survival untuk mencapai keunggulan bersaing sudah terlampaui. Mereka kemudian ingin menjadi nomor satu dalam hal kekuatan angkatan lautnya, jumlah koloninya, penyebaran budaya khususnya penguasaan bahasa, dan lain-lain. Mereka berlomba-lomba menguasai jajahan, sementara angkatan lautnya saling berperang untuk meraih kemenangan di laut. Negara-negara tersebut akhirnya memang menguasai banyak koloni di belahan dunia lainnya, bahasanya juga menyebar di koloninya. Kulminasinya terjadi pada Perang Dunia I dan II, yang berawal dari tekad Hitler untuk menjadikan Jerman sebagai Deutche Uber Alles. Perebutan hegemoni yang berlangsung selama berabad-abad ini berdampak pada perilaku dan sikap antropologis mereka yang ingin selalu menjadi nomor satu, atau memegang hegemoni dan tidak mau mengalah, baik di bidang militer, bidang bisnis, bidang sains dan teknologi, bidang olah raga, dan lain-lain. Itulah yang kemudian menciptakan keunggulan bersaing di masing-masing negara tersebut.

3. Model Belgia

Belgia merupakan negara padat penduduknya namun kecil wilayahnya karena dapat dilintasi dengan pesawat udara hanya dalam waktu 20 menit saja. Merdeka sejak tahun 1830, dengan tingkat industrialisasi dan perdagangan yang tinggi, didukung oleh tingkat pertanian yang tinggi pula.

Berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa Barat lainnya yang perebutan hegemoninya adalah hegemoni eksternal atau hegemoni antarbangsa, maka Belgia perebutan hegemoninya adalah hegemoni internal. Belgia adalah kekuatan Eropa Barat yang warganya kurang suka beremigrasi ke luar negeri karena tingkat kemakmuran yang tinggi di negara tersebut.

Kemakmuran didapatkan karena tingginya kemampuan bersaing bangsa yang terjadi karena sejarah persaingan dramatik dan frontal selama berabad-abad antara dua etnis utama di Belgia, yaitu etnis Fleming yang berbahasa Belanda dan mendiami Flanders, bagian utara dari negara tersebut, dengan etnis Walloon yang berbahasa Perancis, dan mendiami Wallonia, bagian selatan negara tersebut. Persaingan tersebut telah bermuara pada perebutan hegemoni antara kedua etnis tersebut, untuk menjadi yang terbaik, menjadi nomor satu, atau memenangkan persaingan.

Dengan modal budaya yang secara antropologis memiliki prototip hemat, praktis, suka bekerja keras, berani, dan dapat dipercaya, menjadikan bangsa Belgia sangat disegani oleh bangsa-bangsa lain di Eropa, sehingga “ibukota” Eropa ditempatkan di Brussel, Belgia. Mulai dari Masyarakat Batubara dan Baja Eropa, Masyarakat Tenaga Atom Eropa, Uni Eropa, dan lain-lain. Bangsa Belgia, baik Fleming maupun Walloon beranggapan, bahwa kemalasan dan hasil kerja yang buruk adalah kejahatan. Itu semua adalah cikal-bakal keunggulan bersaingnya.

INDONESIA

Prof Koentjaraningrat (Bpk. Antropologi Indonesia) dalam tulisannya, Hambatan-hambatan Mental terhadap Pembangunan, mengatakan :

Bangsa Indonesia terutama orang Jawa mengidap mentalitas priyayi :

· Mereka menghindari kerja keras

· Menikmati statusnya

· Berusaha menjadi kaya dengan cara yang halus

· Percaya pada ramalan mistik

Maka pembangunan ekonomi jelas akan terhambat oleh rintangan ini (Niels Murder, 2007)

Sementara Potret manusia Indonesia menurut budayawan Mochtar Lubis (1977) yang sangat sulit dipungkiri yang merupakan warna dasar budaya kehidupan aktual dan perilaku kerja sehari-hari adalah :

· Munafik atau hipokrit

· Enggan bertanggung jawab

· Berjiwa feodal

· Percaya takhyul

· Artistik

· Berwatak lemah

Menurut penulis, apa yang telah dilontarkan oleh Prof. Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis di atas harus diakui dan diartikulasikan, bahwa secara antropologis bangsa Indonesia terindikasi tidak memiliki kepekaan untuk tercapainya keunggulan bersaing, karena tidak adanya sense of competitiveness , spirit of competitiveness atau soul of competitiveness. Itulah sebabnya meskipun sudah merdeka hampir 63 tahun masih juga belum beranjak dari kemiskinan.

Pemeo atau ungkapan nrimo ing pandum, alon-alon waton kelakon, mangan ora mangan kumpul, bukan lautan hanya kolam susu, tongkat kayu jadi tanaman, negara bak zamrud khatulistiwa, rayuan pula kelapa dan pemeo-pemeo atau ungkapan-ungkapan lain telah meninabobokan bangsa Indonesia selama berabad-abad, yang mungkin itu sengaja dikondisikan oleh penjajah, sehingga fighting spiritnya padam. Pemeo-pemeo atau ungkapan-ungkapan tersebut tentu saja masih diperlukan dalam konteks , fungsi dan zaman yang berbeda, untuk kepentingan yang berbeda pula. Dengan kata lain, pemeo-pemeo tersebut masih diperlukan dalam konteks yang lain, atau diberi interpretasi yang lain.

Kondisi subur makmur, tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi, memang telah membawa bangsa untuk malas, tidak mau berusaha mendapat lebih, karena sudah serba cukup, dan tidak perlu bersusah payah untuk survive, sehingga tidak ada persaingan untuk tetap survive karena semuanya sudah disediakan oleh alam. Sehingga Keunggulan Bersaing Berbasis Survival (Survival-based Competitiveness) tidak mendapat tempat yang layak dan terhormat untuk muncul sebagai kekuatan dalam memenangkan persaingan.

Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni (Hegemony-based Competitiveness) sempat tumbuh ketika Mahapatih Gajah Mada mengikrarkan Sumpah Palapa, dengan tekad dan semangat yang besar untuk menjadi kekuatan besar dengan menguasai Nusantara, dalam hal ini tentu saja harus bersaing dengan kekuatan-kekuatan lain pada zaman tersebut. Semangat Sumpah Palapa sebenarnya adalah cikal bakal Keunggulan Bersaing Berbasis Hegemoni (Hegemony-based Competitiveness). Sayang kemudian padam oleh waktu.

Beruntung (dengan tanda kutip) kemudian terjadi krisis ekonomi sejak tahun 1997, yang telah menyadarkan bangsa akan arti survive, sehingga kemudian spirit of competitiveness mulai tumbuh, meski belum kolosal dan massal atau belum menjadi budaya, atau masih jauh untuk menuju bentuk stereotip bahkan prototip antropologis bangsa. Memang tidak mudah mengubah budaya bisnis bangsa dalam waktu yang singkat. Upaya untuk itu sempat dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengusung Bersama Kita Bisa (dalam peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional), yang menurut penulis itu mirip dengan slogan perjuangan orang Wales selama berabad-abad : Together We Are Strong!).

Melakukan deployment atau cascading atas visi Bersama Kita Bisa, memerlukan kemampuan manajerial di atas rata-rata. Penjabaran visi, misi dengan strategi yang tepat menuju action plan dalam rangka pencapaian goal dan objective, memerlukan ketajaman analisa dan evaluasi. Stereotip atau bahkan prototip antropologis bangsa perlu diubah secara revolusioner, supaya speed and power of competitiveness dapat berpacu dengan waktu. Kalau perlu harus lebih cepat dari kecepatan cahaya, untuk tercapainya kemakmuran bangsa.

Tidak ada yang tidak bisa, asal soul, sense and spirit of competitiveness telah tertanam dalam benak, hati, dan perilaku setiap komponen bangsa, atau syukur jika saat ini sudah dapat dimulai dan tercermin dalam peri kehidupan riil dalam kehidupan sehari-hari seluruh komponen bangsa.

------------------------------------------------------

Ratmaya Urip Hadjadsantosa, adalah pemerhati, pelaku serta konsultan manajemen dan konstruksi. Saat ini adalah Fungsionaris Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia), Quality Network, Ikatan Ahli Beton Pracetak-Prategang Indonesia, Host untuk weekly program (Sabtu pagi jam 10.00 WIB sejak 14 tahun yang lalu): SOLUSI MANAJEMEN BISNIS

di Radio Suara Surabaya 100 FM yg dapat disimak secara on-line and on-demand di www.suarasurabaya.net

ooOoo


Tidak ada komentar: