Minggu, 01 Februari 2009

Yang Terlewat dari “Bersama Kita Bisa”

(Kajian dari Perspektif Manajemen)

Ratmaya Urip Hadjadsantosa *)

Empat bulan setelah berakhirnya gegap gempita yang spektakuler Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke 100, penulis mencoba untuk menelusuri slogan “Bersama Kita Bisa” yang telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui mesin pencari Google. Penulis mendapatkan 31.100 item hasil pencarian tentang slogan itu yang bertengger di situs pencari tersebut, setelah menulis kata kunci berupa slogan tersebut di atas.

Yang membuat penulis mengernyitkan dahi dan terperangah, adalah komentar-komentar miring yang bernada pesimis dan sinis di item-item awal dalam situs tersebut, contohnya : “Bersama Kita Bisa” korupsi, “Bersama Kita Bisa” apa?, “Bersama Kita Bisa” kena tipu, “Bersama Kita Bisa” wuahaha..sby banget sih lu sus, “Bersama Kita Bisa” hidup tapi tanpa minyak tanah, dan lain-lain.

Terlepas dari pro-kontra, dan optimisme-sinisme yang kemudian menyeruak, penulis mencoba untuk mengkajinya dari perspektip manajemen, khususnya Strategic Management dan Quality Management System, tanpa berpretensi untuk optimis maupun sinis, tanpa kepentingan politik secuilpun. Semata-mata masalah manajemen, karena penulis bukan politikus.

“Bersama Kita Bisa” menurut penulis adalah suatu visi. Karena “hanya” visi, maka sah-sah saja jika digelorakan oleh seorang Presiden, yang itu tentu saja sebaiknya ditindaklanjuti dengan adanya misi, strategi, SWOT Analysis, dan yang terpenting adalah action plan yang rinci, jika diinginkan tercapainya goal atau objective. Belum lagi kesiapan, ketersediaan, dan alokasi resources, business process maupun business plan serta time frame-nya. Tanpa itu semua, maka visi hanyalah tinggal wacana. Tugas aparat di bawahnya yang seharusnya melakukan cascading atau deployment atas visi tersebut. Mulai menteri, dirjen, gubernur, bupati, camat, lurah, dan kalau perlu sampai RW dan RT. Penulis tidak tahu apakah itu dilakukan atau tidak. Jika hanya berhenti sampai visi, tentu saja akan mubazir. Faktanya sampai sekarang slogan tersebut mulai kehilangan gaung. Belum ada action plan, business process, business plan, time frame, maupun alokasi resources yang nyata. Penulis berharap, semoga saja itu hanya karena kekurangtahuan penulis saja.

Aparat-aparat di bawah Presiden mengetahui atau tidak kalau harus melakukan cascading atau deployment atas visi tersebut. Tentu saja Presiden tidak harus detail menjabarkannya. Yang paling berkepentingan dalam penjabarannya adalah menteri-menteri sesuai bidangnya, dirjen, direktur, gubernur, dan bupati/walikota.

Itu baru bicara masalah visi, misi, strategi, SWOT Analysis, action plan, goal, objective, time frame, resources, business process dan business plan, yang kalau merujuk pada Quality Management System, dalam hal ini P-D-C-A dari Deming Circle, masih dalam kerangka perencanaan atau Plan (P) atau huruf awal dari Deming Circle. Belum masuk dalam Do (D), Check (C), maupun Action (A). Atau kalau merujuk sistem manajemen yang lain, baru dalam tahapan Planning (P) dari Planning-Organizing-Actuating-Controlling (P-O-A-C).

Masalahnya, sebagian besar aparat-aparat di bawah Presiden adalah politisi bukan atau belum negarawan, sehingga tentu saja kepentingan-kepentingan politik lebih menonjol daripada kepentingan yang lebih besar, yaitu tercapainya visi bangsa (yang kemudian diturunkan sebagai visi Presiden), yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang salah satunya secara tersirat mengamanatkan pencapaian kesejahteraan (prosperity) dan kemakmuran (welfare) bangsa Indonesia. Visi Presiden “Bersama Kita Bisa” menurut penulis merupakan cascading atau deployment dari visi bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Presiden dengan para menteri mungkin bisa sejalan, karena menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden (meskipun oleh Ka Bakin ada menteri yang dituduh menteri sontoloyo), walaupun penulis tidak tahu apakah para menteri cukup sadar bahwa dia wajib untuk melakukan cascading atau deployment atas visi Presiden tersebut. Tapi gubernur dan bupati/walikota banyak sekali yang berseberangan secara politik dengan Presiden. Faktanya banyak gubernur dan bupati/walikota yang lebih mendahulukan kepentingan diri maupun kelompoknya, daripada kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Nah, di sinilah mungkin potensi terbesar akan terjadinya distorsi dan deviasi atas visi tersebut. Padahal di tingkat Gubernur dan Bupati/Walikota inilah aktifitas-aktifitas operasional wajib dilakukan jika visi ingin tercapai. Sementara Presiden, para menteri dan dirjen secara manajerial lebih banyak melakukan aktifitas-aktifitas stratejik dan taktikal.

Penulis masih berharap, bahwa pencanangan “Bersama Kita Bisa” didasari pada akumulasi dari pengumpulan data yang bottom up, dengan mendasarkannya dari ketersediaan seluruh resources dan time frame yang riil ada. Karena jika sifatnya top down, tanpa pengkajian dan analisis yang detail, malah akan menjadi boomerang. Apalagi kalau hanya berbasis intuitif.

Khusus untuk resources, yang salah satunya adalah bersumber dari APBN-APBD yang alokasinya masih berat ke alokasi-alokasi rutin, nampaknya berat untuk dijadikan modal dasar pencapaian visi tersebut. Belum lagi kalau kita bicara human resource-nya, yang dari segi kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, kreatifitas dan akseptabilitasnya masih banyak yang bermasalah. Contohnya, budaya korupsi masih enggan enyah dari perilaku stakeholder pembangunan nasional, serta tingkat inovasi yang sangat rendah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menurut penulis, kreatifitas dan atau inovasi adalah salah satu cikal bakal tercapainya keunggulan bersaing bangsa, yang ujung-ujungnya nanti adalah kesejahteraan (prosperity) dan kemakmuran (welfare) bangsa.

Terlepas dari kepentingan tersembunyi dan kepentingan tertentu yang mungkin ada, niat baik yang tersirat dalam “Bersama Kita Bisa” (yang menurut penulis slogan tersebut sangat mirip dengan slogan yang telah berabad-abad menjiwai etnis Wales di Britania Raya : “Together We are Strong”), pantas untuk didukung, hanya perlu ditindaklanjuti dengan aktifitas-aktifitas riil yang bukan hanya bersifat stratejik, namun juga taktikal dan operasional, yang berbasis pada action plan, resources dan time frame yang riil. Masalahnya, apakah itu sudah dilakukan? Ingat, bahwa slogan itu masih dalam tataran Perencanaan (Plan = P), itupun baru sebatas visi, belum masuk pada tataran Do (D), Check (C), dan Action (A), jika merujuk pada Deming Circle. Supaya tidak hanya sekedar slogan kosong yang numpang lewat, yang kemudian hanya pantas untuk kampanye politisi saja. Kalau tokh dikatakan bahwa itu sudah dilakukan dan terproyeksi dalam APBN-APBD dan realisasinya, mari kita tunggu hasilnya.

------------------------------------------------------

Ratmaya Urip Hadjadsantosa, adalah pemerhati, pelaku serta konsultan manajemen dan konstruksi. Saat ini adalah Fungsionaris Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia), Quality Network, Ikatan Ahli Beton Pracetak-Prategang Indonesia, Host untuk weekly program (Sabtu pagi jam 10.00 WIB sejak 14 tahun yang lalu): SOLUSI MANAJEMEN BISNIS

di Radio Suara Surabaya 100 FM yg dapat disimak secara on-line and on-demand di www.suarasurabaya.net, dll.


ooOoo


Tidak ada komentar: