Minggu, 01 Februari 2009

LONDON COURT

LONDON  COURT

Oleh : Ratmaya Urip

Sengaja aku kali ini mengambil hotel di kota pelabuhan Fremantle, di tepian muara Swan River, tepat di tengah-tengah antara abutment dua jembatan utama yang melintang dengan kokoh dan gagahnya di atas Swan River. Jembatan yang sangat anggun, dan megah, karena strukturnya menggunakan sistem free cantilever berupa beton prategang segmental yang dirangkai dengan sistem post tensioned, dengan konstruksi long span bridge atau sering disebut sebagai jembatan dengan bentang sangat panjang. Aku duga masing-masing bentang kedua jembatan tersebut lebih dari dua ratus lima puluh meter. Yang pasti kedua jembatan dengan bentang yang sangat panjang itu memang secara artistik sangat indah, meski kesannya sangat langsing dan memberi kesan minimalis.

Hotelnya sendiri cantik, mungil, murah, dan berlantai empat. Hotel yang sangat feminin, menurutku! Interiornya sarat dengan budaya Aborigin. Dekorasinya dipenuhi dengan lukisan beraliran surrealisme, seperti lukisan Salvador Dali, hanya di sini lebih mengedepankan alam Australia, seperti Kangguru, Koala, dan lain-lain.

Swan River memang pantas untuk menjadi ikon kota Perth, Western Australia. Sungainya yang jernih, bersih dan berwarna biru, mengundang minat siapapun untuk menyentuh airnya. Begitu jernih dan bersihnya, sehingga tak nampak secuil sampahpun yang ada di permukaannya. Begitu biru, sehingga mengundang rasa damai dan tenteram bagi siapapun yang menatapnya. Sungai yang melegenda, yang eposnya sangat fantastis, dan akan aku tulis nanti, tentu saja jika sempat.

Sementara itu Perth, induk dari Fremantle adalah kota yang sangat indah, sensual, dengan iklim yang hampir sempurna. Sering dinamai sebagai Kota Cahaya, nama yang mencuat setelah penerbangan kapal ruang angkasa yang sangat legendaris dari seorang astronot Amerika Serikat John Glenn pada tahun 1962. Seperti telah diatur, seluruh penduduk Perth mengelu-elukan sang astronot dengan cara menyorotkan lampu-lampu ke langit gelap gulita, ketika sang astronot melintas di atas Perth pada ketinggian 241 km dalam pesawat Friendship.

Saat itu musim panas sedang berlangsung. Summer Festival baru saja usai. Yang amat sangat berat bagiku, adalah saat itu bulan Ramadhan. Bayangkan, pada jam setengah empat pagi fajar sudah merekah, sementara jam 9 malam, matahari baru saja tenggelam, sehingga puasaku jauh lebih panjang daripada puasa di negeri sendiri, maklum antara Sahur dengan Buka Puasa sangat panjang waktunya. Namun ibadah adalah ibadah dan itu wajib ditunaikan.

Pagi itu kebetulan aku tidak ada acara khusus. Hampir seluruh urusanku yang membuatku berada kembali di Perth sudah selesai. Urusan bisnis yang melelahkan. Maka ketika Bagas, seorang teman yang kebetulan sedang mengambil Ph.D di University of Western Australia mengajakku jalan-jalan ke Perth, dengan tanpa basa-basi aku menyetujuinya. Dari Fremantle ke Perth memakan waktu tidak sampai empat puluh lima menit, jika lewat freeway.

Sepanjang jalan kulihat banyak sekali pohon eucalyptus, pohon jarrah, dan pohon karri raksasa, yang tumbuh di pasir putih kekuning-kuningan, yang mengawal freeway sejauh mata memandang. Pasir kuarsa yang banyak mengandung silika oksida. Sesekali kulihat ada sejenis burung sebesar burung perkutut namun memiliki penampilan seperti burung beo, dengan warna-warni yang indah terbang dari satu pohon ke pohon yang lain. Luar biasa...entah burung apa namanya, aku belum pernah melihat sebelumnya.

Sayang sekali, musim semi telah lewat, sehingga sepanjang jalan jarang lagi ditemui bunga acre yang sedang bermekaran. Bunga dengan warna kuning atau merah kekuning-kuningan, bunga yang hanya dapat ditemukan di Australia, bunga liar yang menyebabkan Western Australia disebut sebagai Negara Bagian Bunga Liar.

Pagi itu sebenarnya Bagas ingin mengajakku ke Swan Valley, atau tepatnya ke Houghton Winery, suatu perkebunan anggur yang menurut hikayat adalah perkebunan anggur terbesar di Western Australia, dan salah satu perkebunan anggur yang terbaik di dunia. Karena aku tahu beberapa perkebunan anggur di dunia, menurutku sih setiap perkebunan anggur selalu membanggakan diri sebagai perkebunan terbesar dan terbaik di dunia. Perkebunan anggur di Australia sendiri, seperti perkebunan yang terhampar luas sepanjang sisi rel kereta api antara Brisbane dan Cairns, di negara bagian Queensland, yang nama perkebunannya aku lupa, serta perkebunan di perbukitan di luar kota Hobart, Tasmania, nampaknya juga tidak mau
kalah dengan kebanggaan tersebut. Namun bagiku, aku lebih menikmati perkebunan anggur di Cataluna, Spanyol, atau Verona, Italia serta sejumlah perkebunan anggur di Provence, Anjou, Rhone, Loire, Alsace, Champagne, Cognac, Armagnac, yang semuanya sangat indah di Perancis, atau kawasan anggur yang sangat luas di daerah pertanian di California. Maka ketika Bagas mengajakku ke Houghton Winery, aku tidak begitu berminat. (Catatan : Di kemudian hari aku lebih terkesan lagi pada keindahan kebun anggur yang indah yang aku lihat di film Walking in the Clouds yang dibintangi Keanu Reaves).

Kemudian Bagas juga menawarkan kepadaku untuk mengunjungi Coversham, suatu tempat wisata konservasi koala dan kangguru, namun aku pikir itu pastilah semacam dan sejenis dengan tempat konservasi orang utan di Tanjung Puting, Kalimantan. (Di kemudian hari baru aku kecewa kenapa aku tidak mengunjungi kedua tempat yang ditawarkan Bagas tersebut).

Memang meskipun aku sering ke Perth, dan bahkan sempat tinggal cukup lama, namun aku belum sempat mengunjungi tempat yang ditawarkan Bagas. Yang pasti, akhirnya aku memilih ke tempat favoritku, yang ibaratnya sudah seribu kali aku kunjungi, yaitu London Court, kawasan wisata belanja yang cukup legendaris di tengah kota Perth. Tempat aku pernah menghabiskan waktu, di samping King's Park bersama Kumiko Hasegawa.

Sepanjang perjalanan melewati freeway dari kota pelabuhan Fremantle sampai Perth, nampak lengang. Sebab Perth memang kota yang sangat konservatif di Australia. Kegiatan penduduk biasanya berhenti setelah jam 4 sore. Keramaian hanya sering dijumpai jika ada Festival, seperti Summer Festival, atau pertandingan bola Australia, semacam rugby di Amerika Serikat, cricket, konser-konser musik, Race Air, atau event semacam itu. Katanya sih, pernah ada Festival Mardi Grass, namun aku kurang yakin, sebab biasanya Mardi Grass hanya diadakan jika etnis Perancis-nya cukup banyak di suatu wilayah, seperti New Orleans, Loussiana, USA, atau Montreal, Quebec, Canada. Di Australia Barat, nampaknya penduduk keturunan Perancis tidak begitu banyak. Memang cukup heterogen, namun masih didominasi oleh Anglo Saxon, seperti Irish, Welsh, dan Scottish, ditambah Balkanese (khususnya Serbia dan Croatia), Arab, serta beberapa etnis Asia, di samping suku asli Aborigin.

Sesekali kami berpapasan dengan berbagai jenis kendaraan, yang dirajai oleh merk Ford dari berbagai type dan kelas. Sangat jarang aku jumpai mobil-mobil dari Jepang. Sementara Bagas sendiri menjemputku dengan Baby Benz, yang biasa dimiliki oleh warga Indonesia di Western Australia. Mungkin terbiasa dengan kehidupan di Indonesia yang menempatkan Baby Benz dalam posisi terhormat. Malah ada pemeo, jika di jalanan di Western Australia di jumpai Baby Benz atau BMW, pastilah itu milik orang Indonesia, sebab hampir sembilan puluh persen warga Australia Barat mengendarai Ford. Sangat mudah memang untuk memiliki Baby Benz atau BMW yang di tanah air termasuk jenis kendaraan yang berkelas tersebut, karena di Australia harganya hanya sepertiga atau seperempat harga di tanah air, jika di-kurs-kan dalam rupiah. Hal itu dimungkinkan karena sangat rendahnya bea masuk di Australia.

Mendekati London Court, atau tepatnya di kelokan Swan River yang sangat lebar, luas, indah membiru dan bersih, aku sempat melihat sekelompok Aborigin yang
berkulit gelap dengan rambut keriting, duduk-duduk santai di bawah sederetan pohon sejenis palm tua. Sementara anak-anak mereka bermain di lapangan yang menghampar luas dengan rumputnya yang hijau dan subur, meskipun saat-saat itu sedang berada di puncak musim panas.

Sekejap aku luangkan pandanganku ke kiri jauh, ke arah birunya bukit di jauh sana, tempat King's Park berada. Tempat yang selalu menghuni salah satu sudut hatiku, tempat aku selalu menikmati canda, tawa, tangis dan sendu seseorang di masa lampau. Seringkali aku ingat saat-saat aku berfoto bersama di samping meriam tua,
atau menatap kerlap-kerlip lampu kota Perth yang dilingkari Swan River, di waktu malam yang sepi. Itu memang sudah lama, namun sangat sulit menjadi lampau!

Kawasan wisata belanja London Court yang dibangun pada tahun 1937, berbentuk semacam cluster dengan sedikit gerbang masuk, dan dirancang khusus untuk pedestrian, atau lebih dikenal dengan retail walkway, yang terletak antara Hay Street dan St George's Terrace. Tidak ada high rise building di area ini, semuanya terbagi dalam blok-blok yang indah, bersih, dan tertata rapi dengan exterior design kelas dunia yang mempesona. Dengan aksitektur gaya Elizabethan yang sangat unik dan spesifik, yang merupakan kombinasi dari peruntukan bagi area residensial sekaligus komersial, London Court ingin mengangkat kembali simbol kesejahteraan para penambang emas di masa jayanya.

Di luar London Court dikelilingi banyak jalan satu arah, yang relatif sempit, dengan beberapa high rise building yang mengingatkanku pada Ginza di Tokyo atau Orchard Road, khususnya yang dekat dengan Takashimaya atau Lucky Plaza, Singapore. Hanya bedanya di Perth lebih sepi, mengingat seluruh penduduk Western Australia hanya berjumlah satu juta jiwa lebih sedikit. Padahal luasnya sama dengan luas beberapa negara Eropa dijadikan satu sekaligus, yaitu luas dari Perancis, Spanyol, Jerman, Italia, Norwegia, dan Swedia. Dari satu juta jiwa penduduk Western Australia, sekitar sembilan puluh persen mendiami Perth dan sekitarnya.

Selepas memarkirkan mobil di parking area, dan setelah berjalan melewati gerbang London Court aku sempat mampir ke post office kecil yang ada di sisi kiri koridor utama, yang tidak jauh dari gerbang. Aku membeli sejumlah postcard bergambar keindahan alam, fauna dan flora Western Australia, untuk dikirim ke beberapa kerabat dekat, sekaligus sebagai kartu lebaran, mengingat Idul Fitri tinggal sepuluh hari lagi. Dengan air-mail aku harapkan dapat sampai di Indonesia sebelum Lebaran tiba. Sebenarnya lebih tepat kalau aku kirim Kartu Lebaran seperti yang ada di Indonesia, yang ada gambar ketupatnya, dengan ucapan minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin yang sudah tercetak langsung di kartunya, namun tentu saja tidak mungkin aku mendapatkannya di Perth. Maka aku memilih beberapa postcard bergambar dingo, emu, dan lyrebird, sebab kalau yang bergambar koala dan kanguru sudah terlalu umum, kelihatan generik atau klise, meskipun itu merupakan ikon Australia. Aku hanya ingin sesuatu yang lain, namun tetap dalam koridor Australia.

Dingo adalah sejenis binatang yang gagah dan kuat, yang biasanya berkulit cokelat dengan ekor bagaikan semak. Binatang yang mirip serigala namun bukan serigala. Emu adalah burung Australia yang terbesar, yang seperti halnya kasuari yang lebih kecil, tidak bisa terbang, tetapi kalau sudah berlari, kata orang kencangnya melebihi angin. Sementara lyrebird adalah burung beo yang terbesar di dunia, yang dikenal dapat bernyanyi dalam 40 jenis nyanyian yang berbeda dalam satu pergelaran. Sebenarnya aku menginginkan juga gambar semacam angsa hitam, yang aku tidak tahu nama binatang tersebut, namun stock-nya tinggal satu, yang tidak boleh dibeli karena untuk contoh atau iklan. Di samping itu aku juga membeli postcard bergambar anak-anak Aborigin yang sedang berburu kepiting, atau sedang melempar boomerang, senjata kebanggaan mereka. Juga ada yang bergambar grazier, peternak biri-biri, yang sedang menggembalakan biri-biri di prairie.

(Catatan : Waktu itu telepon seluler dan email belum populer. Salah satu sarana komunikasi yang tercepat adalah air-mail, tentu saja di samping telepon internasional)

Agak lama aku di post-office, karena sekitar dua puluh lima postcard yang aku kirim. Sebenarnya, lamanya waktu yang kuperlukan lebih banyak karena aku harus mengingat-ingat siapa saja yang harus kukirimi kartu lebaran, sampai-sampai Bagas meninggalkanku sendirian karena tidak sabar menungguku, meski sebelum berpisah sempat mengatakan padaku untuk bertemu lagi di Muzz Buzz langgananku dulu, tepat waktu lunch nanti, atau jam 12.00 siang waktu Western Australia (yang sama dengan Waktu Indonesia Tengah, seperti halnya waktu Singapore). Aku kangen pada the freshest premium espresso coffee, atau finest hot chocolate, mocca frappes, ice coffe granita, chocolate milano, hazelnut, Irish cream, English toffee dan raspberry.

"Are you Indonesian?" tiba-tiba seseorang mengagetkanku dari samping kiri, ketika aku masih asyik menulis.

Seorang gadis bule berambut pirang sebahu, berwajah oval, menatapku dengan senyum penuh binar. Tingginya sekitar seratus tujuh puluh centimeter, cukup langsing meski ada kesan padat berisi. Mungkin karena ketatnya celana jeans dan baju casual merah muda yang membelit tubuhnya, meskipun cukup untuk memberikan kesan cukup sportif padanya. Sepatu sport Puma warna coklat tua membalut kakinya dengan ketat, sementara senyum di wajahnya enggan beranjak untuk pergi. Kutaksir usianya sekitar dua puluh tiga tahun.

"There's something light in her eyes...!" gumamku dalam hati, setelah menatapnya sepintas.

"She's reminding me to someone who's coming to make my life so meaningful and colorful," lanjutku dalam hati.

"Kenalkan aku...Hillary,... Hillary O'Connell," sergapnya tiba-tiba yang sangat mengagetkanku, karena memperkenalkan diri, menawarkan tangannya untuk kujabat, dengan mempergunakan Bahasa Indonesia, dengan lafal yang fasih, meskipun logat Barat-nya masih cukup kenyal dan kental melumuri sapanya. Apakah hanya sepotong kalimat itu yang dikuasainya? Atau dari mana dia belajar, aku belum tahu jawabnya.

Marganya adalah O'Connell, itu fam Irish, fam yang sama dengan tokoh atau patriot Irlandia yang sangat dihormati, sehingga diabadikan sebagai nama jalan utama yang membelah kota Dublin, ibukota Irlandia. Meskipun aku tidak yakin dia pernah pergi ke tempat leluhurnya di Irlandia, aku mencoba untuk membalas keramahannya dengan keramahtamahan gaya Irlandia yang aku kenal :

"Cead mile failte" tukasku tiba-tiba, secara pelan dan sopan, sepotong ungkapan keramahtamahan Irlandia yang cukup terkenal itu. Aku mengatakannya tanpa beban, lepas, dengan senyum yang wajar tanpa dibuat-buat karena tokh dia memang sudah memulainya.

Dia nampak terkejut, mendengar ungkapan keakraban dari moyangnya tersebut. Ada apresiasi yang menyeruak, nampak dari sikapnya yang langsung lebih cair, sementara lelehan keceriaan memendarkan binar wajahnya yang memang sangat cantik tersebut.

Biasanya setelah ungkapan tersebut disampaikan, sebagai tata krama dan sesuai adat kebiasaan Irish yang berlaku, aku sebagai orang yang mengatakan ungkapan itu harus mengajaknya untuk menjamu makan dan minum, dan aku memang siap untuk mengajaknya, meskipun aku tidak ikut makan karena puasa Ramadhan. Rupanya dia tahu apa yang kupikirkan, dan itu berarti memang dia sangat menghargai ungkapan dari moyangnya itu, dan itu adalah bukti utama bahwa dia memang seorang gadis Irish tulen.

”Thank you...!” ucapnya kemudian, sambil memberi isyarat bahwa dia belum siap untuk memenuhi ajakanku untuk menjamunya. Padahal aku memang saat itu tidak mungkin mengajaknya makan siang, karena sedang puasa. sempat secara kilat, aku rencanakan untuk mengajaknya ke Muzz Buzz.

Aku memang cukup banyak mempelajari anthropologi, baik anthropologi dunia maupun Nusantara, anthropologi politik maupun ekonomi, anthropologi sosial maupun ragawi, termasuk tentang Irish. Etnis Irish memang dikenal dengan keramahtamahannya, beda dengan etnis lain yang ada di Britania Raya, seperti etnis English yang terkesan agak kaku, sehingga nampak sombong, angkuh, atau orang Jerman bilang uber alles, juga beda dengan Scottish yang dikenal sangat pendiam, selalu nampak serius, namun ulet dan gigih. Hanya etnis Cornwalish yang dikenal periang, yang agak menyamai sifat-sifat etnis Irish.

Aku tahu banyak hal tentang Irish. Tentang asal kata pub, kedai minum yang semula adalah tempat para petani kalangan bawah di pedesaan Irlandia melepaskan kepenatan dengan cara berkumpul sesamanya, yang kemudian ditiru golongan menengah ke atas dan kemudian mendunia, dan kini juga merambah Indonesia.

Oh, ya...jika aku ingat tentang pub ketika masih dalam nuansa aslinya di Ireland, aku ingat pada nuansa yang nyaris senada dengan fenomena yang ada di Tuban, Jawa Timur. Di Tuban, ada semacam kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang sejumlah tujuh sampai lima belas orang untuk menghabiskan waktu bersama, dengan duduk melingkar langsung di atas tanah, sambil menikmati tuak, yang terbuat dari legen atau nira yang dideres dari pohon siwalan.

Ireland juga tempat asal derby, balap kuda tahunan sepanjang masa, serta tentang Gulliver, cerita fiksi yang melegenda yang banyak disukai anak-anak sedunia, padahal itu adalah dongeng kuno Irlandia. Tentang pemeo keberuntungan Irlandia, yang mirip dengan hoki China.

Juga aku tahu, bahwa lebih dari lima puluh persen Presiden Amerika Serikat berasal dari etnis Irish, di samping Scottish. Lihat saja nama-nama Irish, seperti George W. Bush, Bill Clinton, Ronald Reagan, Richard Nixon, John F. Kennedy, dan lain-lain.

Bahkan sentimen tentang Irish sering dipakai calon Presiden Amerika dalam berkampanye, untuk memenangkan pemilihan, mengingat tiga puluh persen lebih warga Amerika Serikat adalah keturunan Irish.

Etnis Irish memang menggenggam dunia seperti halnya Scottish, Jews, Chinese, Spanish, Bavarian, Sicilian, Indian dan segelintir etnis lainnya

Kembali ke gadis cantik di sebelahku, sebenarnya aku sedang berpikir keras, angin apa yang membawanya secara tiba-tiba ke sisiku saat itu, menyapa ramah, dengan senyum yang lembut manis, sementara bola mata birunya menjulat perhatianku sepenuhnya, dengan binarnya yang suntuk dan lembut. Rasanya aku seperti mendapat durian runtuh, atau kejatuhan bulan. Pastilah ada maunya atau ada sebabnya.

Kemudian untuk sesaat aku memanjakan mataku dengan menatap keindahan yang sayang kalau kulewatkan begitu saja. Laki-laki mana yang kuat untuk melewatkan lukisan empat dimensi yang terpajang indah di gallery alami saat itu.

Jujur saja...aku bukanlah termasuk laki-laki womanizer, dan sebenarnya aku lebih mengagumi keindahan ragawi gadis-gadis Balkan atau Mediterranean. Namun gadis di sampingku ini telah mengubah pandanganku, atau sekurang-kurangnya menambah khasanah referensiku tentang gadis cantik. Ya...ternyata gadis Anglo Saxon, atau lebih dikenal dengan gadis Keltik (Celtic), dalam hal ini etnis Irish, tidak kalah dengan yang lainnya. Sangat pantas untuk dikagumi.

Hillary O'Connell, nama klasik Irish...seklasik Scarlett O'Hara, bintang film favoritku.

Ada rasa akrab yang tiba-tiba mengelayut kental di sikapnya padaku. Akupun merasa bahwa aku pernah lama mengenalnya dulu, entah dimana...seolah dia bukan orang asing bagiku...dan tentu saja aku menikmati perasaanku itu. Tidak ada ruginya berteman dengan gadis secantik dia, pikirku. Maka sambil menyelesaikan sisa postcard yang akan segera kukirimkan, aku berbincang akrab dengannya. Ternyata dia juga mengirim sejumlah postcard, namun kemana tujuannya, aku enggan menanyakannya. Maklum takut dianggap ingin tahu urusan orang lain, atau mengganggu privasi...sesuatu yang tabu dilakukan kepada orang asing dengan budaya Barat.

”Aku sering ke Indonesia, ke Jogja dan Wonosobo...!” kembali dia menebar keakraban.

”Oh, ya...? Seberapa sering?” sergapku penasaran.

”Aku cukup akrab dengan Dieng Plateau, juga dengan candi-candi kecil di dataran agak luas dengan rumput hijau di sekelilingnya, Telaga Warna yang mempesona, juga Kledung Pass yang indah yang membentang di antara dua punggung Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing,” jelasnya, meyakinkanku dengan logat Western yang terasa kental dan khas. Serentetan kalimat yang tidak menjawab pertanyaanku secara langsung, namun cukup bagiku untuk mengindikasikan betapa dalam pengetahuan dia tentang lokasi tersebut. Yang itu menyiratkan adanya informasi, bahwa dia tidak hanya sekali atau dua kali berkunjung ke sana. Apalagi intonasi dan artikulasinya dalam berbahasa Indonesia cukup meyakinkan. Hanya phrasering-nya sajalah yang sering agak kedodoran. Pastilah dia sudah sangat sering menggunakan Bahasa Indonesia dalam setiap kesempatan, khususnya di kawasan di Indonesia yang sering dia kunjungi, seperti yang dikatakannya beberapa detik yang lalu.

Aku cukup paham dengan lokasi yang dia sampaikan, akh mungkin dari sinilah mata air keakraban bermula, pikirku... menuju muara keindahan yang mulai bertabik hangat padaku. Jogja, Magelang, Wonosobo, bukanlah daerah yang asing bagiku. Hampir dua tahun semasa awal kuliah dulu aku sempat memiliki cinta seseorang di Parakan, yang kebetulan sama-sama kuliah di Jogja...sama-sama satu Universitas, namun beda Fakultas. Aku di Fakultas Teknik, dia di Fakultas Pertanian. Hanya sayang hubunganku dengan dia tidak berlanjut, karena setelah berjalan sekian lama, banyak ketidakcocokan di antara kami berdua, sehingga kami sepakat untuk berpisah secara baik-baik.

Namanya Wulan, dan dari dialah aku tahu hampir seluruh sudut kawasan tersebut. Ketika itu aku sangat menikmati bagaimana dan kapan harus menanam tembakau, mengingat ayahnya adalah juragan tembakau yang cukup ternama di kawasan yang memang merupakan daerah perkebunan tembakau rakyat dengan kapasitas dan kualitas yang prima. Di kawasan tersebut sejauh mata memandang hanya ada lautan tanaman tembakau di musim kemarau, sementara di musin hujan dipenuhi tanaman jagung dan tumpang sari tanaman kol, kentang atau tanaman sayuran lainnya. Kecuali dua buah enclave perkebunan teh di Kledung Pass dan di Tambi, yang tentu saja selalu hadir sepanjang musim. Hampir seluruh industri rokok besar di Indonesia mempunyai gudang tembakau yang besar di sana.

Kadang sehabis ujian akhir semester berhari-hari aku menunggu atau membantu para petani tembakau yang sedang memetik daun tembakau, atau sedang ngrawis, atau menyimpan kembali daun tembakau yang sebelumnya dijemur, karena kabut sudah mulai turun menyapu dataran maupun jurang di sela-sela perbukitan. Butiran-butiran halus uap air dari kabut yang sekejap selepas tengah hari pasti turun itu sangat mengganggu dan merugikan kualitas tembakau. Kabut tebal selalu hadir selepas tengah hari sampai dini hari berikutnya, di musim kemarau, dan dapat menutup seluruh kawasan sepanjang hari jika musim hujan tiba. Bahkan di Wonosobo, seperti halnya Bogor, hujan terasa selalu hadir sepanjang tahun. Wonosobo, selalu menyediakan air bagi Kali Serayu, karena dari tempat itulah mata airnya bermula.

Aku sangat menikmati saat-saat panen kol atau kentang kleci atau jagung tiba, juga panen pete dan jengkol atau panen nangka dan durian yang sangat melimpah, atau saat panen madu yang sering sangat wangi semerbak karena aroma bunga klengkeng. Aku juga tidak pernah melewatkan ikut ramai-ramai memanen ikan mas, nila, atau gurami ketika saatnya tiba, dari kolam maupun keramba yang banyak terdapat di daerah tersebut, baik yang dipanen dari kolam konvensional, maupun kolam air deras.

Saat-saat yang sulit kulupakan adalah saat ketika aku bersama beberapa teman dan tentu saja bersama Wulan berburu rusa atau babi hutan di perbukitan atau malah lebih tepat disebut pegunungan dengan hutan yang cukup lebat yang merupakan perpanjangan pegunungan Menoreh, salah satu kawasan pegunungan tempat dimana Borobudur berada, dan sekaligus titik pertemuan atau perbatasan antara empat kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Banjarnegara, tepatnya kawasan Kaliwiro dan Wadaslintang. Di hutan tersebut konon merupakan salah satu habitat harimau Jawa yang sudah langka sehingga masuk dalam daftar binatang yang sangat dilindungi, meskipun aku belum pernah berjumpa sama sekali dengan raja hutan tersebut.

”Aku sering menikmati jahe panas dengan gula aren di gubug mungil indah di tengah perkebunan teh di Tambi, sambil menikmati gebleg. Juga aku suka mi ongklok di pemandian air panas Mangli. Juga buah-buahan yang sampai sekatang menjadi favoritku adalah carica,” tiba-tiba Hillary memulai kembali pembicaraan yang menyadarkanku dari mimpi indah di siang bolong.

Ouw...dia tahu tentang jahe dengan gula aren, gebleg dan mi ongklok, minuman dan makanan khas Wonosobo...pastilah dia bagian dari kawasan tersebut atau sekurang-kurangnya pernah menjadi bagian dari kawasan tersebut. Apalagi dia mengenal carica, semacam buah pepaya kecil, namun cita rasanya sangat jauh berbeda dengan pepaya, karena lebih nikmat dan lebih harum baunya. Buah yang menurutku hanya tumbuh di Wonosobo saja, di lereng Pegunungan Dieng. Aku semakin penasaran dibuatnya.

”Ada urusan apa, di sana?” pikirku

Seolah dia dapat membaca isi benakku. Ini terbukti ketika dia kemudian menukas dengan senyum yang mengentalkan hasratku untuk lebih dekat dengannya :

”Suatu saat kau akan tahu...mungkin kita akan sering melakukan korespondensi, nanti.”

”Oh, ya? Kenapa?” tanyaku menegas

Dia tidak menyahut hanya tersenyum kecil, dan tetap menebar pesona yang prima.

Tiba-tiba dia mencari-cari sesuatu dari tas kecil berbahan kulit dan bermotif batik warna-warni yang dari tadi menyilang dan melingkari tubuhnya yang cukup padat itu, namun luput dari pandanganku. Oh,...tas itu mengingatkanku pada tas-tas yang banyak dijajakan oleh pedagang kaki lima di emperan toko sepanjang Malioboro, Jogjakarta.

”Maaf, aku segera harus pergi...ada yang harus aku selesaikan. Ini business card-ku.

”Kontak aku jika sempat, selama ada di Perth.”

Setelah itu dia pergi begitu saja secara tiba-tiba, persis dengan ketika awal baru bertemu. Aneh memang, dan membuatku kecewa, karena belum ada yang layak untuk dapat kuketahui tentang dia. Blank! Untung ada business card-nya sehingga masih ada harapan untuk lebih dekat dengannya. Memang tidak masuk akal, seseorang dengan budaya barat yang biasanya acuh tak acuh, selalu menjaga privasi, ...secara tiba-tiba bersikap seperti orang dari budaya timur...sangat ramah dan friendly. Malah mengajak berbincang dalam bahasa yang bukan bahasa ibu-nya, yang nampaknya dia sangat menguasainya.

(Catatan : Teka-teki tentang Hillary O’Connell baru kuketahui beberapa bulan kemudian. Itupun karena secara kebetulan aku berjumpa dengan dia di suatu hotel bernuansa klasik di Semarang, tempat yang kebetulan sama-sama kami menginap, yang nanti jika sempat akan aku ceritakan di luar judul tulisan ini).


( BERSAMBUNG )

Tidak ada komentar: