Kamis, 05 November 2009

Anggodo




ANGGODO

.

Oleh : Ratmaya Urip

.

(Catatan: Maaf yang ini bukan tulisan tentang Anggodo Widjojo yang saat ini lagi berada di puncak “popularitas” dalam Kasus Bibit-Chandra, buah pertikaian KPK versus POLRI. Namun Anggodo sepupu Hanoman dalam epos pewayangan Ramayana. Kalau di antara keduanya memiliki kisah yang mirip, menurut saya mungkin bukanlah kebetulan adanya. Bukan maksud penulis untuk menggarami lautan dengan telah berjubelnya jutaan cerita dan resensi di mass media, baik media cetak, media elektronik, maupun dunia maya. Bukan pula untuk menembak bebek yang sudah lumpuh seperti yang dialami si pemuncak cerita dalam epos KPK versus POLRI, atau mengajari bebek berenang bagi para pembaca tulisan ini).

---

Kalau kita sering nonton atau malah penggemar wayang, apakah itu wayang kulit, wayang orang atau wayang klithik, pasti tahu persis siapa itu Anggodo. Ki Anom Suroto, dhalang yang sangat populer dari Surakarta, sering memberikan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan cerita “Anggodo Mbalelo” (Anggodo Memberontak). Demikian juga dhalang-dhalang yang lain.

Dulu, jaman saya masih kecil dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar, ada 2 (dua) grup wayang orang yang saling bersaing, yaitu Ngesti Pandowo yang dipimpin oleh Ki Sastro Sabdo (kakak Ki Narto Sabto) dan Tjipto Kawedar, yang mendirikan “tobong” di Alun-alun Utara Yogyakarta (di depan Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat), yang juga sering mementaskan “lakon” Anggodo Mbalelo. Sehingga saya tahu persis siapa itu tokoh wayang yang dinamakan Anggodo. Biasanya “tobong’ wayang orang didirikan jika ada “sekaten” atau Pekan Raya, atau Pekan Industri.

Ketika itu, hampir tiap malam saya menonton wayang orang, sehingga hampir seluruh “lakon” wayang, saya sampai hafal adegan maupun jalan ceritanya, termasuk pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan perang kembang, “goro-goro”, dan lain-lain. Maklum pecandu berat wayang. Saya kalau menonton wayang orang selalu di samping panggung, atau di sebelah tonil, atau di tempat keluar-masuknya pemain wayang orang ke dalam panggung. Saya tahu persis bagaimana para artis wayang berhias di belakang panggung, bahkan saya sering disuruh para artis yang sedang berdandan untuk mengambilkan sesuatu jika mereka kelupaan membawanya sebagai pelengkap berdandan. Sering juga saya mengambilkan mereka kopi atau “limun” atau “sar-saparila” (Note: dulu belum ada Coca Cola dan minuman-minuman ringan lainnya), jika mereka sedang tidak memerankan adegan di atas panggung, karena menunggu giliran untuk adegan berikutnya. Kadang saya hampir terinjak para petugas penggulung layar-latar atau tonil yang harus kerja keras mengganti layar-latar panggung yang harus selalu sigap menggantinya, menyesuaikannya dengan adegan yang ada di atas panggung. Kadang layar-latar yang bergambar istana, harus segera diubah menjadi hutan belantara, atau bahkan padepokan seorang resi, atau keputren tempat bercengkeramanya putri-putri raja dan para emban. Itu tergantung “lakon” dan adegannya.

Saya kalau menonton wayang orang tidak pernah membayar tiket masuk, karena kebetulan “bulik” (tante) saya membuka restoran di dalam “tobong”. Pasar dari restoran “bulik” adalah para penonton dan para artis wayang. Di samping menonton, saya juga membantu”bulik” menjajakan “limun” atau makanan kecil, bahkan hidangan makan malam di sela-sela penonton wayang, di tengah-tengah deretan kursi penonton, mulai dari kursi kelas utama, kelas 1, kelas2, kelas 3 sampai kelas “gethek” (mohon “e” dibaca sebagai “e” dalam kata “merengek”). Yang disebut kelas “gethek” adalah kelas yang paling murah, biasanya di bagian paling belakang dari “tobong”. Disebut “gethek” karena duduknya tidak di kursi, namun duduk di atas anyaman bambu yang digelar seperti tikar, yang di bawahnya diperkuat potongan-potongan “pring petung” atau “pring ori” yang sudah dihilangkan durinya, supaya tidak “njeblos”. Duduk di kelas “gethek” sangat menyiksa tubuh, khususnya mata. Karena letaknya yang jauh dari panggung pertunjukan, menyebabkan para pemain wayang yang ada di panggung tidak jelas. Sering kali penonton di kelas ini tidak mau duduk namun berdiri, bahkan sering kali mereka merangsek ke dpan panggung, kayak menonton sepakbola di Indonesia sekarang ini. Mereka tidak takut meskipun sering petugas keamanan mengusirnya untuk kembali ke “gethek” mereka. Pada jaman itu penonton selalu penuh menyesaki “tobong”. Maka hampir setiap malam saya lewatkan waktu untuk menonton wayang orang, jika Ngesti Pandowo maupun Tjipto Kawedar buka “tobong” di Alun-alun Utara Yogyakarta. Mulai kelas 2 sampai dengan akhir kuartal kedua kelas enam Sekolah Dasar. Kuartal ketiga dan keempat kelas enam saya terpaksa berhenti nonton wayang orang, karena harus mempersiapkan diri untuk Ujian Akhir Sekolah Dasar. Untunglah, orang tua tidak pernah memarahi, karena saya tidak pernah ketinggalan pelajaran, bahkan sering menduduki ranking atas, atau tiga besar di sekolah. Karena meskipun ayah saya almarhum adalah seorang perwira menengah polisi, beliau kebetulan juga “dhalang”. Sehingga mungkin beliau secara tidak langsung membawa saya pada suatu situasi untuk selalu memahami dan mendalami filosofi wayang. Nampaknya beliau melepaskan saya untuk belajar wayang dan filosofinya dari melihat secara langsung dalam pertunjukan wayang, tanpa beliau mengajarinya. Selepas Sekolah Sekolah Dasar, dan masuk Sekolah Menengah Pertama negeri terfavorit di Yogyakarta, kebiasaan nonton wayangpun terus dilanjutkan.

Kembali tentang Anggodo. Anggodo adalah salah satu tokoh wayang dalam epos Ramayana, bukan Mahabharata. Dalam kisah Ramayana kutub tokoh protagonis adalah Prabu Ramawijaya, raja dari kerajaan Pancawati, sementara tokoh antagonisnya adalah Rahwana, raja dari kerajaan Alengkadiraja. Alkisah, antara kedua kerajaan tersebut saling berperang, karena dipicu oleh ulah Rahwana yang menculik istri Prabu Rama, yaitu Dewi Shinta untuk dijadikan istri. Tentu saja Prabu Rama ingin merebut kembali istri yang sangat dicintainya tersebut (Maaf, pengantar ini perlu disampaikan, karena sekarang banyak sekali di antara para pembaca yang tidak tahu tentang wayang, apalagi generasi muda. Untuk itu bagi para pembaca yang sangat paham tentang wayang, baik itu dari epos Ramayana, Mahabharata, maupun Bharatayudha, mohon kesabarannya. Supaya yang tidak tahu atau belum tahu epos pewayangan mempunyai kesempatan untuk mencerna). Kepada pembaca yang ingin mendalami wayang, namun tidak “telaten” untuk nonton wayang kulit atau wayang orang, sekurang-kurangnya dapat membaca komik wayang lama yang nampaknya kini diterbitkan kembali, yaitu komik wayang serial Mahabharata, Bharatayudha, dan Ramayana oleh RA. Kosasih).

Prabu Rama mempunyai banyak pengikut, diantaranya Laksmana, adiknya, kemudian Gunawan Wibisono, adik Rahwana yang menyeberang ke Prabu Rama karena tidak setuju dengan tindakan kakaknya, Prabu Rahwana yang menculik Dewi Shinta. Di samping itu Prabu Rama juga memiliki ribuan pasukan kera, dengan panglima Subali, Sugriwa, Anggodo (anak Subali), dan Hanoman, si kera putih.

Dalam upayanya untuk merebut kembali Dewi Shinta dari Prabu Rahwana, Prabu Rama sempat mengirim “caraka” atau utusan, yaitu Anggodo. Anggodo, dikisahkan sebagai wayang berujud monyet yang memiliki sikap dan perilaku yang kurang begitu baik. Suka dan selalu menyenangi secara berlebihan keduniawian secara berlebih, atau suka sekali menikmati hidup secara berlebihan. Dia sangat labil dalam hal pendirian, suka mabuk-mabukan, dan suka berkelahi, begitulah konon cerita yang terbangun untuk tokoh yang satu ini.

Prabu Rahwana yang memiliki intelejen yang kuat, tentu saja tahu sifat-sifat buruk Anggodo. Maka ketika menerima Anggodo sebagai utusan Prabu Rama, Rahwana kemudian melakukan tipu daya, yang menyebabkan Anggodo justru berbalik mengambil sikap memusuhi Prabu Rama. Kebencian Anggodo kepada Prabu Rama mencapai puncaknya ketika dihasut oleh Rahwana, bahwa ayahnya, Subali, mati karena dibunuh Prabu Rama, tanpa diberitahu penyebabnya. (tentang cerita yang satu ini dapat disimak pada cerita lain : “Sugriwo-Subali”).

Dengan kebencian penuh, Anggodo kemudian mengobrak abrik pasukan monyet, yang merupakan balatentaranya sendiri, untuk menuntut balas kematian ayahnya, Subali, kepada Prabu Rama. Maka kisah ini kemudian dikenal sebagai “Anggodo Duto”, atau “Anggodo Mbalelo”, atau Anggodo Memberontak. Akhirnya Anggodo dapat dikalahkan oleh Hanoman.

Yang perlu dicatat adalah, biasanya setiap orang tua selalu memberikan nama dengan nama yang secara psychologis dapat memberikan nilai tambah bagi si empunya nama. Dalam hal ini pastilah nama yang dipilih untuk anaknya adalah nama yang harum, yang dapat mencerminkan sikap dan perilaku sesuai dengan nama yang menjadi panutannya. Ada yang memberi nama depan Muhammad, supaya memiliki dan mewarisi sikap dan kebesaran Nabi Muhammad SAW. Ada yang memberi nama Yusuf, supaya memiliki keindahan ragawi seperti Nabi Yusuf AS, ada yang mengambil nama salah satu dari Asmaul Husna, seperti Muhaimin, Khooliq, Bashiir, Aziiz, dan sebagainya. Juga ada yang menamai anaknya dengan nama Bimo, Arjuno, Sadewo, Seto, dan tokoh-tokoh wayang lainnya. Semuanya pastilah nama-nama yang harum, karena memiliki sifat yang mulia. Maka kalau ada seseorang bernama Anggodo, karena saya tahu persis bahwa Anggodo itu dalam dunia pewayangan adalah nama yang sangat antagonis, saya layak dan sah-sah saja untuk heran. Karena nama Anggodo adalah nama yang sangat tidak populer dalam dunia pewayangan, mengingat sifat-sifatnya yang kurang baik, yang masuk katagori musuh-musuh para pemeran protagonis. Ada lagi, nama wayang lain yang pernah saya dengar yang kurang harum di dunia pewayangan, yaitu Banowati, yang pernah saya ketahui dipakai oleh salah satu artis Indonesia. Padahal Banowati itu adalah istri Prabu Suyudono yang dikenal tidak setia, karena sangat mencintai Arjuna. Untung nama artis dimaksud sekarang sudah diubah, mungkin saja dia tahu, bahwa nama Banowati adalah nama yang kurang harum di dunia pewayangan. Untuk nama wanita yang paling favorit jika diambil dari dunia pewayangan adalah Setyowati. Karena Setyowati adalah istri Prabu Salya, yang dikenal sangat setia kepada suaminya. Kecintaannya pada suami diwujudkan sampai ungkapan sehidup semati benar-benar ada, meskipun itu hanya ada di dunia pewayangan. Perlu diketahui, Dewi Setyowati, istri Prabu Salya, akhirnya bunuh diri di dekat jenazah suaminya ketika suaminya gugur di Padang Kurusetra, sebagai martir dalam Perang Bharatayudha. Maka jika ada nama Setyowati yang disandang oleh seseorang, namun sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan Setyowati di dunia pewayangan, saya pastilah akan mengernyitkan dahi, memicingkan mata, menggaruk-garuk kepala (meski tidak gatal) dan bertanya-tanya (dalam hati).

Justru saya pantas untuk salut dan memberikan apresiasi, seandainya ada seseorang yang bernama Banowati, atau bahkan Anggodo (meskipun saya tidak yakin banyak orang yang akan memilih nama-nama tersebut, yang di dunia pewayangan merupakan nama yang tidak populer karena sifat-sifatnya yang kurang baik), jika si pembawa nama itu ternyata dalam kesehariannya dikenal santun, baik, berbudi, dan tidak tercela.

Sedangkan si penyandang nama Anggodo yang kini sedang menjadi “kembang lambe” (buah bibir), kehidupan berbangsa dan bernegara, saya belum tahu dengan persis, apakah termasuk tokoh antagonis atau protagonis, karena masalahnya semakin kompleks, bak bola salju yang menggelinding dengan cepatnya menuruni lembah bersalju yang sangat curam, sehingga bolanya semakin besar dan besar. Ranah hukum sudah lewat karena sudah memasuki ranah politik. Semoga saja kebenaran yang hakiki, tidak hanya kebenaran hitam-putih akan segera tiba.

Yang pasti, kalau Anggodo di dunia pewayangan, saya sudah lama tahu dengan persis, bahwa dia adalah termasuk tokoh antagonis.

SEKIAN

Sidoarjo, 6 November 2009

KOMENTAR PEMBACA SETELAH MEMBACA “ANGGODO” :

Re:ANGGODO (Seri-1)

Jumat, 6 November, 2009 03:52

Dari:

Pengirim ini DomainKeys-nya telah diverifikasi

Tambahkan Pengirim ke Kontak

Kepada:

ratmayaurip@yahoo.com

Pak Rat......mana terusannya.
Segera dimunculkan yah.
Aku termasuk penggemar wayang, mulai dari Ramayana, Ulamsari, Mahabharata sampai Wayang Purwa.

Tak tunggu yah kisah selanjutnya, dan kalau tulisannya sudah jadi semua saya minta dikirimi by email.

Soale aku lupa gimana yah kisahnya Anggodo itu?

Regards,
Yuki Wiyono
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

= = = = = = =

Beri bendera pesan ini

ANGGODO (Seri-1)

Kamis, 5 November, 2009 19:37

Dari:

Pengirim ini DomainKeys-nya telah diverifikasi

Tambahkan Pengirim ke Kontak

Kepada:

ratmayaurip@yahoo.com

pagi om ratmaya...cerita menyenangkan buat menyambut hari-hari yang melelahkan semenjak kasus KPK dan Polri merebak akhir-aknir ini. tidak sabar rasanya menunggu kelanjutan ceritanya..sukses selalu...
brgds..

Tidak ada komentar: