Minggu, 31 Juli 2011

Politik Ideologi

Oleh: Ratmaya Urip


Dear All,

Bicara masalah pertentangan ideologi yang terjadi di masa lalu, saat ini tinggal sejarah. Mengapa tinggal sejarah? Ya karena saat ini seluruh kekuatan sosial politik berideologi pada uang dan pragmatisme, serta koncoisme, golonganisme, dan individualisme.

Politik ideologi yang menjunjung tinggi pada idealisme, kini tinggal kenangan.

Terus terang saya rindu pada friksi ideologis di masa lalu krn meskipun saya dibesarkan di lingkungan militer, saya selalu melihat persoalan bukan pada subyek atau siapanya, namun pada obyek atau apanya.

Pada apa yg disampaikan dan dikerjakan, bukan pada siapa yang menyampaikan atau mengerjakan.

Memang friksi ideologis khususnya di masa lalu, banyak bermuara pada kekejaman dan pembantaian, daripada politik uang yang terjadi saat ini. Karena rendahnya kedewasaan berpolitik dan belum hidupnya demokrasi di masa itu. Namun perlu dicatat, bahwa politik ideologi sulit dibeli dengan uang, karena militansi yg tinggi yang ada dalam politik ideologi sulit ditembak dengan uang.

Rindu saya pada politik ideologi pada era ini adalah kerinduan pada hasrat yang menggebu untuk tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dengan militansi yang tinggi yang dapat dicapai tidak harus selalu dengan uang atau materialisme absolut.

Tapi rasanya itu kini semua tinggal mimpi, karena materialisme absolut telah meracuni bangsa ini, sehingga ketidakpercayaan yg akut antar-anak bangsa telah membuat bangsa ini semakin tercabik-cabik. Fragmentasinya bukan krn ideologi, namun karena uang.

Sekarang setiap komponen dan eksponen bangsa selalu melihat SIAPA (yg punya uang), bukan pada APA (yg telah dikontribusikan dalam pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran bangsa).

Demokrasi yang tumbuh subur dengan santun ditambah politik ideologi yang penuh idealisme mungkin hanya mimpi, karena kekuasaan materialisme yg egois, telah menyandera bangsa ini menjadi bangsa konsumtif, yang selalu tergantung, dan sulit untuk produktif dan inovatif.

Selama bangsa ini dikendalikan hanya oleh politisi, bukan oleh negarawan, maka mimpi-mimpi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa akan semakin melelapkan tidur yg sulit dibangunkan.

Wass. WW

Ratmaya Urip

Puisi-puisi Ratmaya Urip

Jika Aku Dapat Memilih Rahimku


(Tangis pilu bangsaku untuk Ruyati binti Saboti, yang terenggut nyawanya bukan karena kehendaknya. Meski berjuang demi hidupnya dan devisa bagi negara, namun tak ada budi dari negaranya, sehingga maut menjemputnya)

Jika aku dapat memilih rahimku

Pasti kan kupilih yang kuasa membekali cita dan cinta

Atau yang menjamin asa ‘tuk hidup bahagia

Jika aku dapat memilih rahimku

Kan kupilih yang dapat membekali hari esok

Untuk hidup penuh seronok

Dengan tembang yang indah penuh cengkok

Dan tentu saja yang bukan olok-olok

Jika aku dapat memilih rahimku

Tak ingin ku dapat bara panas menyengat

Yang membuat hidupku kesrakat atau sekarat

Dan membawa jiwa ragaku menjadi kiamat

Jika aku dapat memilih rahimku

Kan kupilih bukan penuh hari yang selalu gopoh

Yang terbirit kecut dari yang tak senonoh

Bukan pula yang merogoh goroh

Apalagi yang secuilpun tak menyisakan seloroh

Jika aku dapat memilih rahimku

Aku tak ingin hidup selalu bongkok atau bengkok

Apalagi berlumur borok yang bosok yang membuatku bonyok

Juga tak mau hidup terseok-seok

Nyatanya sejak pagi ayam berkokok sampai dini hari lagi masih terpojok

Tak peduli meski wedok atau denok

Di negeri orang yang meski penuh seronok

Namun penuh tohok, dan tonjok

Serta golok yang selalu siaga untuk menggorok

Jika aku dapat memilih rahimku

Kan kupilih yang membawaku hidup damai dan sejahtera

Yang setiap asa dapat bertabik mesra

Pada limpahan tahta dan harta

Yang dapat kutebarkan ke seluruh jelata

Supaya nestapa mereka menjadi sirna

Baka mereka menjadi fana

Jika aku dapat memilih rahimku

Pasti kupilih untuk fana dengan kereta, harta dan tahta

Yang selalu dijalanNYA

Yang nyata dan kebak pesona

Di tengah lambaian jelata yang ceria sepanjang masa

Dipeluk bahagia yang sejahtera

Jika aku dapat memilih rahimku

Tak ada benakku tuk mengutil uang negara

Atau korupsi dan merampok seperti yang kini merajalela

Pesta pora mengajak dosa mengundang laranganNYA

Menghardik perintahNYA

Namun rahimku adalah rahimNYA

Jalanku adalah jalanNYA

Untuk memilih pasti ku tak kuasa

Dan rahimku kini mengantarku ke gerbang baka

Rahimku telah membawaku tak pernah ada kidung

Karena selalu tertatih murung penuh busung dari kampung ke kampung

Dan terjerembab menuju pentung, pasung dan gantung

Yang bermuara pada kejamnya pancung

= == = = = = = == = =

Sidoarjo, 21 Juni 2011


ooOoo

Perkembangan Industri Korupsi di Indonesia

Oleh: Ratmaya Urip *)

Era Orde Lama dikenal dengan kredo “Politik adalah Panglima”. Era Orde Baru dikenal sebagai era “Ekonomi sebagai Panglima”. Sedangkan konon, era Orde Reformasi ingin menegakkan hukum di atas segala-galanya, sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Maka dapat pula disebut dengan jargon “Hukum adalah Panglima”.

Dalam setiap era, menarik untuk dicermati perilaku korupsi yang ada, khususnya jika hal itu dikaitkan dengan pemahaman, bahwa korupsi dalam perjalanannya sudah menjelma menjadi suatu industri tersendiri.

Kosakata “industri” memiliki banyak definisi dan arti yang dapat disimak dari berbagai macam kamus dan textbook. Namun pemahaman yang paling mudah dimengerti oleh kalangan bawah, atau paling awam atau paling generik tentang industri adalah upaya mengolah input dalam suatu proses untuk mendapatkan output yang bermanfaat bagi kehidupan. Bisa juga disebut, bahwa industri adalah aktifitas mengolah atau memroses input untuk menjadi output, dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah revenue atau omzet, dengan tujuan akhir adalah untuk mendapatkan profit secara materiil. Itu jika kita mau jujur. Identik dan sejalan dengan ketentuan tersebut, maka aktifitas korupsi tujuan akhirnya adalah mendapatkan profit. Sehingga sah-sah saja jika aktifitas korupsi juga dapat disebut sebagai aktifitas industrial. Dalam hal ini saya lebih suka menyebutnya sebagai “Industri Korupsi”. Bedanya adalah jika industri dalam pengertian umum selalu saja diinginkan untuk selalu tumbuh dan berkembang atau menggurita, supaya dapat memberikan kontribusi kepada kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dari sektor riil, maka Industri Korupsi diinginkan untuk segera mati. Karena Industri Korupsi yang tumbuh, berkembang dan bahkan menggurita, akan membuat bangsa dan negara menderita dan menumpulkan atau bahkan mematahkan keunggulan bersaing. Yang mengakibatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa sulit digapai. Tetapi di Indonesia, ternyata Industri Korupsi malah semakin tumbuh, berkembang dan menggurita, yang nampaknya sudah menyalip kinerja industri-industri konvensional. Sehingga kemakmuran dan kesejahteraan bangsa sulit untuk terwujud.

Perjalanan Industri Korupsi

Baik di era Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, ternyata Industri Korupsi, menyajikan fakta yang sangat menarik untuk dicermati.

Di era Orde Lama, fenomena korupsi jarang sampai muncul ke permukaan. Ketatnya sensor pemerintah waktu itu, membuat pers tidak berkutik. Era yang membawa kehidupan ke alam Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin, dengan Manipol-USDEK membuat semuanya serba homogen. Era “Asal Bapak Senang” membuat korupsi sulit dideteksi, dikritisi, dan diungkap, apalagi diberitakan secara luas. Tidak ada yang berani mengungkapnya. Juga lembaran pemberitaan didominasi oleh berita-berita politik, sehingga tidak ada tempat lagi bagi berita tentang korupsi. Apalagi suhu politik, mulai dari saat terbentuknya Konstituante sampai menjelang diberlakukannya Dekrit Presiden 1 Juli 1959, serta saat-saat akan meletusnya G30S di Akhir September 1965, sangat panas dengan adanya pergumulan-pergumulan politik pada waktu itu. Berita tentang politik benar-benar menjadi news, sehingga banyak dinanti oleh para pembacanya sebagai issue yang paling digandrungi. Sehingga perilaku korup jarang diungkap oleh pers. Apalagi memang uang pada waktu itu tidak banyak yang dapat dikorupsi, karena modal asing belum masuk secara frontal dan simultan seperti halnya pada saat ini. Ingat jargon “Go to Hell with Your Aid”.

Banyak sekali pers yang menjadi corong pemegang ideologi, dalam hal ini partai-partai politik, sehingga mereka lebih gencar menjual propaganda politik ideologinya, daripada menjual berita tentang korupsi. Media sebagai corong informasi waktu itu baru media cetak yang ada. Sedangkan media elektronik hanya ada RRI dan TVRI (sejak tahun 1962). Di samping itu program-program pembangunan yang biasanya menjadi sasaran empuk untuk tindak korupsi besarannya tidak sebesar seperti yang ada pada saat ini. Partisipasi publik lebih menonjol, terutama jika dikaitkan dengan kepentingan dan orientasi ideologis-politis. Bukannya tidak ada korupsi, namun korupsi tidak mendapat tempat yang layak untuk tampil sebagai issue yang layak dibaca atau dikritisi. Atau industri korupsi belum secara riil diperhitungkan oleh banyak pihak. Korupsi masih dapat dikatakan lebih sebagai seni daripada sebagai industri

Di era Orde Baru, modal asing mulai banyak menyerbu Indonesia dengan kebijakan pemerintah untuk memasukkan modal-asing sebanyak-banyaknya, yang konon akan diperuntukkan bagi pembangunan nasional. Widjojonomics yang sering disebut sebagai cikal bakal kebijakan para Mafia Berkeley, telah membuat bumi pertiwi berlumur “gula”. Tentu saja “gula” yang mulai melimpah, membuat “semut” pada berdatangan. Pelahan namun pasti, kebocoran-kebocoran semakin membesar. Hanya karena pada waktu itu kendali pemerintahan dilakukan secara sentralistik, maka “bocoran-bocoran” yang kemudian menjadi “banjir” itu membuat “basah kuyup” hanya pada sejumlah aparat di tingkat pusat. Korupsi lebih banyak di sekitar lingkaran kekuasaan. Berita-berita miring dari mulut ke mulut tentang hal tersebut banyak bermunculan pada waktu itu. Namun seperti pada era Orde Lama, tidak ada yang berani mengungkapnya. Kekuasaan dengan tangan besi yang otoriter tidak dapat membuat perilaku korupsi menjadi “bintang kehidupan” atau “news” bagi pers nasional. Meskipun media cetak dan media elektronik semakin banyak. Sehingga tidak banyak nama-nama yang dapat hadir bak meteor sebagai aktor korupsi.

Kroni-kroni yang melingkari pusat kekuasaan beserta keluarganya seolah tak henti menjadi buah bibir pembicaraan masyarakat, namun hanya sebatas pembicaraan di warung kopi dan gunjingan antar tetangga dekat. Pers tidak berani untuk mengungkapkannya secara terbuka. Kendali pemerintahan dengan menggunakan tangan besi dan kontrol penuh, membuat 32 (tiga puluh dua) tahun masa pemerintahan nyaris tanpa gejolak tentang korupsi yang berarti, kecuali Malari, dan saat-saat menjelang kejatuhan rezim di bulan Mei tahun 1998. Era ini korupsi sudah memasuki babagan baru, karena dari semula “hanya” sebagai “seni” di era Orde Lama, kemudian berubah menjadi “industri”. Namun yang berkembang adalah “industri besar korupsi” bahkan dapat disebut “konglomerasi industri korupsi”. Karena memang yang bermain lebih banyak di tingkat pusat daripada di daerah. Juga nominalnya sangat besar.

Bagaimana halnya dengan Industri Korupsi di era Orde Reformasi?

Era Orde Reformasi, konon mengusung jargon “Hukum sebagai Panglima”. Namun kenyataanya yang berkuasa tetap saja Politik, bukan Hukum. Penulis lebih suka menyebut hiruk pikuk perpolitikan nasional saat ini telah memasung “Kekuasaan Hukum” menjadi semu (pseudo-law), karena faktanya yang berkembang adalah “Industri Politik”. “Industri Politik” di era ini kemudian menjadi mata air bagi hadirnya “Industri Korupsi”. Tatanan hukum juga akhirnya tergerus mengikuti eranya, karena tidak mau kalah untuk ikut bermetamorfosis menjadi “Industri Hukum”, namun omzetnya mungkin saja masih berada di bawah omzet “Industri Politik”.

Di era Orde Reformasi ini, jika penulis berada di titik manapun di bumi Nusantara, khususnya jika sedang berlangsung kontes politik untuk perebutan pimpinan negara maupun wilayah, baik Presiden, Gubernur maupun Bupati, selalu saja rimba baliho, spanduk, dan pamflet mewabah di seluruh pelosok kawasan. Mulai dari yang bertengger di seluruh tempat-tempat strategis di perempatan-perempatan jalan di kota besar, di pucuk-pucuk pohon, di kendaraan-kendaraan umum maupun kendaraan pribadi, di tembok-tembok rumah, di gerbang-gerbang perbatasan wilayah antara dua kabupaten atau propinsi, di pelosok-pelosok kampung dan desa, sampai di tengah-tengah hutan yang masih dapat didatangi manusia. Yang terakhir ini saya jumpai di jalan-jalan setapak yang biasa dilewati oleh teman-teman kita dari Suku Dayak Maanyan, Dayak Dusun, dan Dayak Bakumpai, di tengah rimba Kalimantan Tengah. Jalan setapak yang menjadi nadi bagi lalu lintas para penyadap karet alam, yang biasanya pohon karetnya berada di sela-sela rimbunnya belantara Kalimantan Tengah. Tidak ketinggalan baliho-baliho raksasa yang mencolok dengan tidak santun juga men-distorsi keindahan daerah-daerah wisata, seperti yang saya lihat di Bali, di Yogyakarta, di Danau Singkarak, maupun di gapura perbatasan yang memisahkan Kabupaten Enrekang dengan Kabupaten Tana Toraja.

Fenomena di atas adalah fenomena politik kontemporer Indonesia masa kini.

Ironisnya, fenomena politik tersebut yang dalam perjalanan panjangnya kerap kali berakibat pada ekses hukum sehingga menciptakan fenomena hukum yang sarat dengan masalah, muaranya selalu kembali ke penyelesaian politik, di tengah upaya-upaya untuk terciptanya law enforcement di republik ini, yang konon mengusung jargon “Hukum adalah Panglima”. Macan atau Singa Hukum menjadi ompong. Fenomena yang terjadi tetap saja politik-lah yang dikedepankan, bukan hukum. Buktinya banyak sekali kasus tentang adanya pengayom dan pelayan masyarakat yang terjerat masalah korupsi, namun kemudian menguap begitu saja kasusnya. Yang mungkin saja karena adanya political bargaining.

Diakui atau tidak jualan politik telah menuju ambang inflasi politik, yang bermuara pada kepentingan-kepentingan politik sesaat yang sering kali hanya bermuatan sektoral atau partisan, jauh dari tujuan untuk perbaikan nasib bangsa. Hal itu terjadi karena tingginya penawaran politik yang nampaknya tidak di-response secara baik oleh permintaaan politik yang memadai. Masing-masing calon menjajakan dirinya untuk dipelototi para pengguna jalan. Penulis memroyeksikan, bahwa meletusnya economical bubble beberapa saat yang lalu akan segera diikuti meletusnya political bubble. Entah apa wujudnya Karena kedua aktifitas tersebut, baik politik maupun ekonomi telah masuk secara dalam ke aktifitas semu, maya dan baka, pseudo activity.

Di bidang ekonomi sektor finansial semakin jauh meninggalkan basic-nya yaitu sektor riil. Aktifitasnya semu, karena seluruh aktifitas ekonomi mendewa-dewakan sektor finansial dan moneter saja, tanpa didasarkan pada pencapaian keunggulan aktifitas di sektor riil. Apalagi diperburuk oleh perilaku para pengambil keputusan dalam menyikapi kebijakan dan aplikasinya di sektor fiskal dan sektor riil. Padahal logikanya, prestasi sektor finansial adalah cermin prestasi sektor riil.

Sementara aktifitas politik juga semu, karena politik telah menjadi sangat pragmatis, tidak santun, meninggalkan kejujuran, yang semuanya diukur dengan materi atau uang, yang mengabaikan sama sekali ideologi atau idealisme, yang biasanya merupakan mata air bagi semangat kebangsaan dan persatuan untuk tercapainya kesejahteraan bangsa. Karena politik sudah dijadikan lahan garapan untuk hidup atau sebagai mata pencaharian. Politik hanya kendaraan untuk mencapai kekuasaan, untuk memperkaya diri. Kekuasaan yang diperolehpun dianggap sebagai kedudukan bukan sebagai tindakan atau program. Bagi mereka, Power is a position, not an action. Juga kekuasaan selalu dianggap sebagai kedudukan atau jabatan bukan sebagai tanggung jawab. Power is a position not a responsibility. Padahal, sebaiknya semuanya harus proporsional, profesional ataupun balance. Itulah mungkin yang kemudian membuat Industri Korupsi di era Orde Reformasi ini lebih bergema dan menjadi lebih menggurita, yang mungkin saja secara aggregat sudah jauh melewati besaran yang ada jika dibandingkan dengan industri korupsi di era sebelumnya. Dari hiruk pikuknya dan membanjirnya pengungkapan korupsi yang enggan untuk berhenti, yang ditopang secara kuat dan masiv oleh kebebasan berpendapat yang ada, membuat Industri Korupsi lebih membahana dan menggelegar.

Apakah itu berarti Industri Korupsi di era Orde Reformasi memang jauh lebih besar daripada Industri Korupsi di era-era sebelumnya? Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Karena jika tokh ada data yang dapat dikumpulkan dari sidang-sidang pengadilan atau dari lembaga-lembaga lainnya, itu hanyalah semacam fenomena gunung es saja. Namun yang pasti, jika pada era yang sentralistik dan otoriter sebelumnya yang kesempatan korupsinya lebih banyak berada di pusat pemerintahan, maka di era ini kesempatan tumbuh-kembangnya “Industri Korupsi” menjadi lebih besar dan lebih luas lagi. Karena menjangkau tingkat yang paling bawah dari level kehidupan ini, karena adanya pengukuhan otoritas di tingkat yang lebih bawah lagi, dengan desentralisasi atau otonomi.

Realitas lapangan yang dapat dirasakan adalah, bahwa semakin lama rakyat semakin merasakan beban yang lebih berat bagi kehidupannya, yang jauh lebih berat daripada era sebelumnya. Meskipun penyelenggara negara selalu saja berkilah dengan membeberkan angka-angka keberhasilan pembangunan, namun di atas kertas. Atau datanya masih mudah untuk diperdebatkan.

Konklusinya ternyata adalah, bahwa setiap era ternyata sami mawon alias sama saja bagi bahagian terbesar dari bangsa ini. Yang berbeda adalah besaran atau omzet industri korupsinya. Semakin besar industri korupsinya akan semakin miskin dan menderitalah bangsa ini. Dengan kata lain akan semakin jauh dari cita-cita untuk menggapai bangsa dan negara yang makmur dan sejahtera. Diakui atau tidak nampaknya era yang sekarang ini secara riil kehidupan rakyat menjadi semakin berat dibanding era sebelumnya.

Benarkah bahwa sejak negara ini berdiri sampai dengan saat ini selalu saja terjadi miss-management? Karena negeri yang gemah ripah loh jinawi dan lautannya penuh kolam susu yang membentang hijau bak zamrud di khatulistiwa ini tokh sampai sekarang masih menyandang kemiskinan yang enggan beranjak untuk pergi. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh Peter Drucker yang mengatakan, bahwa “tidak ada kemiskinan, yang ada adalah miss-management.

Ratmaya Urip.

Senin, 18 Juli, 2011 02:24

ooOoo

Artikel Ringan yg Ditulis di Saat Jenuh Menunggu Delay Pesawat (Suatu Kajian Antropologi Bisnis)

Oleh: Ratmaya Urip

Dear Managers,

Sudah lama sekali benak ini dijejali dengan banyak pertanyaan. Di antaranya adalah, mengapa ya banyak teman-teman Madura yang tacit dalam jual beli besi tua? Mengapa pula teman2 dr Padang piawai dalam berdagang? Sedang kawan2 dari Bali sangat intens menggeluti pariwisata. Teman-teman Batak saya banyak yg menjadi penyanyi dan pengacara, teman-teman Melayu di Riau senang berpantun,
sementara teman2 Tionghoa banyak yg merajai bisnis

Di kesempatan lain saya coba cermati, mengapa orang-orang Jawa. Khususnya Jawa dr sub etnis Mataraman tekun dalam bertani atau selalu ingin jadi priyayi (baca: birokrat).
Sedang sama-sama dari Jawa Sub Etnis Mataraman, namun asalnya dari Wonogiri, Gunung Kidul, Pacitan, Trenggalek dan Tulung Agung ternyata perilaku atau stereotip antropologisnya berbeda dengan main stream Jawa-Mataraman pada umumnya, krn yg terakhir ini gemar merantau? (Catatan: Etnis Jawa terbagi dlm berbagai sub etnis, yaitu Jawa Mataraman, yg mendiami wilayah dengan Plat Nomor Polisi dengan huruf Ganda: AA, AB, AD, AE dan AG. Di Jawa biasanya No. Polisinya adalah huruf tunggal seperti: B, D, H, L, M, dll, kecuali wilayah
Jawa-Mataraman. Di samping Jawa Mataraman ada Jawa-Banyumasan, Jawa-Tegal, Jawa-Semarangan atau orang Jatim menyebutnya sebagai Jawa-Kulonan, Jawa-Arek, Jawa-Tengger, Jawa-Osing, dan Jawa-Cirebon. Setelah coba saya pelototi, ternyata masing2 memiliki stereotip antropologi bisnis yg berbeda.

Belum lagi jika dihadapkan pada fenomena, mengapa orang Jawa Mataraman kok suka masakan yang manis, Jawa-Arek suka petis atau yg asin, orang Sunda suka lalapan, orang Padang suka pedas, dan sebagainya.

Di Jawa Timur, teman2 dr Coca Cola, harus bisa menyikapi, mengapa di Madura lebih banyak Sprite yg terjual. Di kota2 besar yang laku adalah Coke atau Cola, sementara di daerah Mataraman (Kediri, Blitar, Madiun, Ponorogo, dan sekitarnya) lebih laris Fanta.

Setelah itu saya mencoba untuk mengembangkan dengan mencari tahu, mengapa ya, di daratan Cina, terdapat perbedaan yg cukup signifikan antara yang tinggal di sebelah utara yg sehari2 memang sdh berbahasa Mandarin, dengan yang di sebelah selatan, yg lebih sering menggunakan Cantonese, Hokkian, atau Khek.
Di samping itu ternyata beda pula jenis2 masakannya.

Benang merah yg menghubungkan antropologi dengan bisnis, semakin terkuak setelah saya memelototi perilaku bisnis dari berbagai etnis
yang membentuk Amerika Serikat menjadi seperti sekarang ini.

Amerika Serikat, dibentuk oleh para imigran dari belahan dunia yg lain dengan etos antropologis yg berbeda.

Orang Amerika Serikat keturunan Jerman yg merupakan etnis terbesar jumlahnya, lebih suka bisnis di sektor riil, seperti manufaktur, jasa, dan farming serta menjadi militer.
Mereka tidak suka menjadi birokrat, maka dari 44 Presiden Amerika Serikat mulai dari George Washington sampai Barack Obama hanya berkontribusi dengan 2 Presiden saja, yaitu Hoover dan Eidenhower. Sebagai etnis terbesar di Amerika Serikat, etnis Jerman beda dengan etnis Jawa yg merupakan etnis terbesar di Indonesia, yg menempatkan 5 dari 6 Presiden di Republik Indonesia. Meskipun Presiden Soekarno ada darah Bali-nya.

Di Amerika Serikat, justru etnis Irish yang memberikan kontribusi terbesar bagi Presiden Amerika Serikat. Karena lebih dari 50 persen dr 44 Presidennya adalah keturunan Irish. Nama2 beken Kennedy, Clinton, Reagan, Bush, Nixon, dll adalah marga atau fam dr Irish. Bahkan Presiden Obama juga berdarah Irish dari ibunya.

Etnis Jews meskipun jumlahnya hanya sekitar 7,5 juta jiwa dari total penduduk Amerika Serikat yg jumlahnya 311,8 juta jiwa menguasai Finance, Science, IT, Media and Entertainment. Keturunan Eropa Timur dan Spanish menguasai Pertanian, etnis Afro-American mendominasi olah raga dan hiburan, dan sebagainya.

Rahasia mengapa Cina dapat menguasai Amerika Serikat dalam persaingan bisnis, itu karena mereka cerdik dalam memanfaatkan antropologi untuk keperluan bisnis. Mereka tahu jika bisnis di bidang manufaktur mereka berhadapan dengan etnis Jerman. Di bidang IT, Finance, Media, dan Science mereka berhadapan dg etnis Jews. Olah raga dengan etnis Afro-American. Di bidang pertanian dg etnis Eropa Timur dan Spanish. Cina mempelajari stereotip antropologis masing2 etnis di Amerika Serikat, untuk menaklukkannya. Strategi tersebut juga diterapkan untuk menginvasi seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia.

Khusus Indonesia, mereka tahu, bahwa stereotip antropologis orang2 Indonesia relatif suka barang murah, suka nawar, dan tentu saja tdk begitu berorientasi pada kualitas. Maka barang2 yg masuk ke Indonesia ya sesuai dengan stereotip tsb.

(BERSAMBUNG)

Ratmaya Urip

Senin, 25 Juli, 2011 10:48

============= ==========

Diskusi & Opini:

Artikel Juli-15

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-14

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-13

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-12

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel- Juli-11

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-10

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-9

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-8

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-7

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-6

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-5

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-4

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-3

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-2

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip

Artikel Juli-1

Mohon maaf, Artikel ini masih dalam proses penyuntingan.Mohon ditunggu terbitnya.

Terima kasih

Ratmaya Urip