Senin, 29 Oktober 2018

Serial Filosofi Manajemen (1):


FILOSOFI MUSIK
Aplikasinya di Dunia Manajemen

(Pendekatan Musik dalam Manajemen)

Oleh: Ratmaya Urip *)


                                       
                                                                                

Setiap orang boleh memiliki pendapat yang berbeda tentang definisi musik. Namun jika kita jeli, dari sejuta perbedaan dan cara pandang dalam bermusik atau menyelami musik, ada satu esensi dasar yang menurut penulis patut untuk dicermati, yaitu: musik adalah suara yang tercipta karena adanya satu atau sederet bauran frekuensi yang berbeda, yang pada umumnya menumbuh-kembangkan harmoni. (Maaf, jika esensi ini berbeda dengan anda, maupun berbeda dengan beberapa textbook).

Ya benar, jika kita merujuk pada esensi musik secara umum, termasuk musik sebagai hiburan, baik yang bemata air dari tangga nada diatonik berbasis solmisasi do, re, mi, fa, sol, la, si do, maupun berbasis chord C, D, E, F, G, A, B, C dan juga yang berbasis pentatonik dengan ji, ro, lu, mo, nem, ji, semuanya adalah deretan frekuensi yang membaur. Tidak peduli itu berasal dari suara kucing mengeong, suara ayam berkokok, suara ikan paus yang melengking mencari pasangannya, suara serigala kutub di tengah hutan tundra di padang salju pada malam hari, suara gelegar bongkahan gunung es yang terjatuh ke laut karena longsor, suara gesekan bambu yang saling bergesek karena tiupan angin, suara rumput yang bergoyang, suara ranting terinjak kaki, suara jengkerik di ladang jagung dan kacang, suara manusia yang berujud acapella, maupun suara alat musik modern yang membuncah, mendayu dan menggelora dari alat musik yang dikelompokkan sebagai perkusi (saron, peking, gambang, kenong, bonang, gong, drum, gendang, rebana, dll), brass (clarinet, saxophone, trombone, dll), alat gesek (biola, cello, rebab, dll), dentingan dawai yang dipetik (gitar, sasando, siter, dll), maupun alat musik yang dipencet atau keyboard (piano, organ, dll).



Untuk memudahkan pengertian, sebenarnya musik adalah sesuatu yang sangat sederhana atau sangat generik, karena esensinya ”hanya” bauran dari 7 (tujuh) nada dasar yang sebenarnya adalah bauran dari 7 (tujuh) frekuensi yang berbeda, jika kita mengkajinya dari ilmu fisika, yaitu..do..re..me..fa..sol..la..si..do!!! Masing-masing memiliki nilai hertz yang berbeda yang membentuk tangga frekuensi atau tangga nada. Namun jika dari yang sangat sederhana tersebut kemudian jatuh dalam pelukan jiwa, genggaman raga, serta sentuhan benak dan hati, ditambah bekal berupa imajinasi, kreatifitas, inovasi, relasi, eksperimen dan referensi, semua dapat berubah menjadi indah dan berarti, yang dapat merungkas onak dan duri, menguatkan nyali dan membesarkan hati, sehingga dapat menghasilkan simpati, empati, maupin rizki dan baiduri. Karena kita dapat menjadikan setiap nada dasar yang merupakan tangga nada tersebut naik atau turun setengah nada dengan kres atau mol, dapat menambah atau menurunkan oktafnya, atau memberi diksi menjadi seperdelapan, seperempat atau setengah ketukan, dan juga dapat membuatnya bertempo allegro, moderato dan lain-lain.

Ya, dari "hanya" sekedar 7 (tujuh) frekuensi berbeda dapat menggemparkan dunia dengan kekuatannya. "The Power of Music" dapat menggalang dana untuk bencana, dapat menjadi alat kritik atau satire bagi tiran dan diktator, dapat menjadi penawar dahaga bagi yang sedang mabuk cinta, dapat menjadi sarana upacara maupun ritual, dapat menggelorakan semangat perjuangan termasuk perjuangan olah raga, dapat membela kebenaran, dapat menyuarakan ketidakadilan, dan lain-lain. Asal aplikasi musik disampaikan secara tepat, benar, jujur, adil, terbuka, dan dilakukan oleh mereka yang seharusnya bermusik. Karena jika tidak, musik akan menjadi bumerang dan bernada sumbang jika disampaikan oleh mereka yang bukan seharusnya menyampaikan, atau bukan ahlinya.

Dengan kata lain, jika aplikasi musik disampaikan oleh orang yang tidak tahu musik, akan membuat kegaduhan dan kehirukpikukan yang tidak perlu, yang sering mencipta bias. Saran penulis, sebaiknya yang tidak tahu tentang musik (baca: manajemen) lebih baik mendengarkan saja (atau syukur kalau bersedia belajar tentang musik), supaya tidak semakin membikin keruh suasana, yang biasanya menjadi kontra produktif dan berujung pada gagalnya pencapaian goal & objective.

Di tangan ahlinya, musik dapat dikemas secara solo, duo, trio, kuartet, choir, maupun orkestra yang membahana. Di tangan ahlinya musik dapat meniti nada-nada secara crescendo, decrescendo, maupun meza-divorce. Di tangan ahlinya musik dapat menggabungkan sopran, mezzo-sopran, alto, tenor, bariton dan bas menjadi harmoni dan paduan yang indah. Di tangan ahlinya, musik dapat dibawakan mulai dari attack, intro, interlude dan codanya secara mengena. Di tangan ahlinya musik dapat diberikan persepsi dan intrepretasi dengan intonasi, artikulasi, phrasering, dan teknik pernafasan yang prima. Di tangan ahlinya musik dapat menggelorakan dinamika mulai dari forte, mezzo-forte sampai fortíssimo, meski dapat pula berubah menjadi selembut piano, mezzo-piano bahkan sampai pianissimo. Itulah "The Power of Music".

Sebagaimana halnya dengan musik, maka manajemen memiliki esensi dan makna yang sama dengan musik. Karena dapat berupa solo, duo, trio maupun orkestra. Namun harus diartikulasikan, dipahami, dan diimplementasikan secara berbeda. "The Power of Music" identik dengan "The Power of Management”" karena esensi atau hakekatnya sama-sama berazas pada "The Power of Implementation".

Dalam manajemen yang "paling generik", kita "hanya" dibekali dengan esensi berupa 4 (empat) "nada dasar" dengan frekuensi atau nilai hertz berbeda, yaitu: Planning-Organizing-Actuating-Controlling (P-O-A-C), atau Plan-Do-Check-Action (P-D-C-A) yang dikenal sebagai Deming Circle, dan lain-lain. Itu malah kurang dari 7 (tujuh) nada dasar dalam musik dengan sistem diatonik, atau 5 (lima) nada dasar musik dengan sistem pentatonik. Kalau tokh kemudian kita dijejali dengan sistem manajemen yang "branded" dan mutakhir seperti TQM, ISO Series, GCG, BSC, MBNQ, Toyota Way, Lean Manufacturing, Six-Sigma, Performance Management System, Prism, Key Performance Indicator Manual, Activity Based Management, Knowledge Management, Tacit Management, CBHAMS, Analytical Hierarchy Process (AHP), Analytical Network Process (ANP), Service Excellence, Primavera, dan lain-lain, itu sebenarnya memiliki esensi yang sama dengan sistem manajemen yang paling generik sekalipun. Yang penting ádalah bagaimana "The Power of Implemention" dapat menjadi infrastruktur atau kapital bagi manajemen. Asal "The Music of Managementt" memperoleh pemain musik dan/atau conductor yang tepat. Supaya harmoni dan keindahan yang ingin dicapai dapat menjadi nyata dan bermakna.

Sebagai contoh, sudut pandang atau ilustrasi lain, DNA boleh beda dengan struktur atau sistem yang kompleks, namun esensinya polimer DNA memiliki tiga komponen utama yang sama, yaitu: gugus fosfat, gula deoksiribosa dan basa nitrogen. Di samping itu sangat jelas, bahwa DNA terdiri dari dua rantai, rantai yang satu merupakan konjugat dari rantai pasangannya. Dengan mengetahui susunan satu rantai, maka susunan rantai pasangannya akan mudah dibentuk. (Aplikasinya dalam Manajemen, silakan baca: Filosofi DNA dan Filosofi Atom).

Kembali ke topik bahasan. Di dunia musik (baca: manajemen) kita wajib mengetahui apa, siapa, untuk apa & siapa, kapan, dimana, bagaimana dan mengapa kita harus bermusik (baca: mengelola). Kapan kita mengelola secara crescendo, kapan harus decrescendo atau meza-divorce. Dimana kita harus acapella, mengapa harus diiringi orkestra atau harus solo atau trio. Juga dalam manajemen kita harus mengetahui bagaimana caranya meniti deretan nada dengan pitch control atau intonasi yang prima, supaya memenuhi standar yang ditetapkan.

Dalam manajemen, seperti halnya musik kita harus pandai menyuarakan nada-nada dengan penuh harmoni, tidak fals atau sumbang yang dapat membuat pendengarnya menjadi tersiksa. Kapan, dimana, mengapa, bagaimana dan dengan siapa kita perlu sopran, mezzo-sopran, alto, tenor, bariton dan bas, serta membuat warna suara atau timbre yang berbeda tersebut menjadi harmoni yang indah, penuh keseimbangan yang benar-benar tanpa cela. Kapan, dimana, mengapa, bagaimana dan dengan siapa kita dapat memberikan artikulasi, intonasi dan phrasering yang tepat. Apakah kita harus meniru Bimbo, Opick, Ernie Johan, Engelbert Humperdinck, Andy William, ST 12, D'Massive, Kris Dayanti, Siti Nurhaliza, Whitney Houston, Shania Twain, Josh Groban, Christopher Abimanyu, Luciano Pavaroti, Shaggy Dog, John Lennon, atau Mick Jagger? Apakah anda akan mendendangkan lagu cengeng mendayu-dayu, atau lagu berirama cadas, semuanya tergantung anda, karena tergantung dari kemampuan anda. Termasuk jika anda hanya dapat menyanyikan lagu anak "Bintang Kecil" dan "Balonku" atau menyanyi rap. Syukur jika anda memiliki teknik vokal atau teknik bermain musik yang unggul, gaya yang khas, dan kemampuan pendukung lainnya, yang dapat menjadi personal brand anda, sebab itu akan lebih dapat memberikan banyak keuntungan bagi anda. Yang juga patut dicatat, dalam bermusik anda wajib mengetahui dan menelaah, apakah musik yang anda sajikan sesuai atau tidak dengan keinginan dan kedahagaan audiences anda. Jika anda bermusik hanya untuk diri anda, tentu saja berbeda jika anda harus bermusik dengan audiences yang memiliki selera atau warna musik tertentu. Anda tentu saja tidak boleh lepas dari cengkeraman selera mereka, jika ingin mendapatkan apresiasi atau “standing ovation”.

Dalam manajemen juga ada frekuensi atau nilai hertz yang berbeda, yang dituntut untuk dapat saling memberikan harmoni atau dapat menciptakan interferensi yang positif sehingga tercipta sinergi dari energi dan nurani yang tersaji. Dalam manajemen, pandai-pandailah kita untuk memilih kapan, dimana, mengapa, bagaimana dan dengan siapa kita dapat bermusik secara minor, mayor, atau kombinasi keduanya. Juga kita harus pandai melakukan atau menikmati salah satu atau lebih dari jenis-jenis musik reggae, jazz, blues, country, rock ’n roll, keroncong, dangdut, melayu, stambul, gambus, maupun jenis musik lainnya.

Seandainya anda hanya dapat bermusik (baca: mengelola) yang paling generik dengan hanya mampu meniti nada-nada..do..re..mi..fa..sol..la..si..do, lakukanlah itu dengan cara dan gaya anda. Asal jangan sampai sumbang dalam menyajikannya. Karena anda telah benar-benar bermusik. Daripada anda menyanyikan lagu seriosa yang menguras kemampuan teknik vokal berupa interpretasi, dinamika, artikulasi, intonasi, tempo, teknik pernafasan, dan phrasering yang prima, namun bernada sumbang. Lebih baik anda berteriak ...aaa..uuu..ooo, seperti Tarzan sambil bergelayutan di akar yang menjulur di antara pepohonan di lebatnya belantara, karena itu ternyata secara efektif dan efisien dapat sampai pada tujuan untuk memanggil sahabat-sahabat binatangnya, karena akhirnya semua binatang sahabatnya di seluruh belantara dapat mendengar suaranya dan dapat hadir untuk berkumpul merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sesuatu. Karena teriakan aaa...uuu...ooo, dari Tarzan adalah musik generik paling alami dalam kehidupan, seperti halnya suara deburan ombak yang memecah di pantai, kicau paksi di antara embun pagi, desiran pawana siang di antara rumput sabana, kepak sayap burung pemakan bangkai di padang prairi, suara katak ketika hujan atau senja tiba, suara perkutut dan cucak rawa di pendapa atau pringgitan kabupaten maupun rumah gedongan, atau suara tangis bayi ketika baru lahir.

Demikian juga dalam manajemen, jika anda hanya mampu melakukan aktifitas manajerial secara generik, atau juga hanya yang alami, lakukanlah itu secara benar dan benar-benar dilakukan, daripada anda memilih sistem manajemen yang "branded", namun anda lakukan tanpa pemahaman yang benar, sehingga banyak disturbsi, distorsi dan deviasi.

Berlakukan sistem manajemen yang "branded" jika leadership dan kemampuan anda sudah cukup untuk mengajak orang-orang anda dalam organisasi untuk melaksanakan variasi atau kombinasi dari largo, adagio, moderato, vivace maupun presto. Dan akan lebih baik lagi jika anda mampu untuk membawa organisasi anda menuju con amore, con brio, con fiesto, con espressione, con dolore maupun con maestoso. Juga kapan harus legato, marcato, staccato, atau rubato.Sementara untuk mencapai nada tinggi (target yang tinggi), sementara anda tidak mampu, pilihlah falcetto. Jika anda memang benar-benar mampu bermusik (baca: mengelola) pastilah anda tahu caranya untuk melakukan transposisi atau modulasi, serta memanfaatkan resonansi. Pastikan anda mengambil keputusan untuk melakukan ritenuto, accelerando atau tempo primo.

Lakukan semuanya dengan menggunakan keseimbangan antara teori dan praktek. Jangan dewa-dewakan teori, jangan lecehkan praktek. Karena teori tanpa praktek itu omong kosong, sementara praktek tanpa teori itu ngawur. Karena pada dasarnya teori itu bermata air dari proyeksi empiris banyak praktek. Bermusik (baca: mengelola) hanya dengan teori tanpa praktek tidak akan dapat dinikmati, sementara bermusik dengan praktek saja tanpa teori tidak akan pernah membuat kita lebih maju karena tanpa continual improvement, yang akan dapat membawa kita memenangkan persaingan.

Semuanya semata-mata untuk membangkitkan seluruh pantat penonton beranjak dari kursinya untuk memberikan ”standing ovation” bagi musik anda. Yang terpenting, jangan sampai orang mengatakan: "Wah...ternyata suara atau permainan musik anda merdu, indah atau luar biasa sekali...! Namun akan lebih merdu lagi jika anda ...bersedia untuk DIAM!!!" Karena suara atau permainan musik yang fals atau sumbang anda, akan membuat orang-orang mengernyitkan dahi, bahkan mungkin muak, mencemooh, atau mengganggu anda dengan suitan-suitan panjang melecehkan. Beruntunglah anda jika tidak disuruh turun dari panggung musik anda. Anda mungkin saja berpedoman, biar saja anjing menggonggong, kafilah tetap akan berlalu. Namun bagaimana jika anjingnya menggigit, tidak hanya menggonggong? Tanpa anda sadari jika anda fals atau sumbang akan membikin kegaduhan manajerial, yang akan menggerogoti kapitalisasi manajerial anda, yang dapat bermuara pada kegagalan pencapaian goal dan objective anda.Yang terpenting dan patut dicatat: "suara fals atau sumbang anda, tidak akan pernah lebih merdu atau lebih enak didengar daripada seandainya anda DIAM !!!"

Namun semuanya itu adalah pilihan! Tergantung mana yang akan dipilih! Yang pasti semuanya memiliki jalan masing-masing.

Yang pasti, musik sulit dan tidak akan pernah menjadi lampau, bahkan akan semakin tumbuh dan berkembang seperti halnya manajemen. Karena musik merupakan bagian dari seluruh masa, termasuk masa depan. Demikian juga halnya dengan manajemen yang wajib ada di seluruh masa. Untuk itu bertabiklah pada masa, supaya anda tidak dicerca oleh masa atau waktu. Juga bertobatlah untuk tidak bermusik secara fals atau sumbang, supaya harmoni yang prima tetap ada dan berada di jalurnya. Sehingga tepuk tangan yang membahana di tengah-tengah jutaan manusia yang tiba-tiba bangkit dari duduknya, berdiri, untuk memberikan apresiasi atas musik anda, menggelegar di setiap wahana dimanapun anda berada. Karena bagaimanapun juga, cara anda bermusik identik dengan cara anda mengelola.

Bagaimana caranya melakukan aktifitas manajerial dengan pendekatan pada filosofi musik? Ikutlah workshop-nya untuk 5 (hari) hari pelaksanaan! Karena yang tertulis di atas hanyalah kulitnya, yang "hanya" setara dengan 1 (satu) hari seminar. Juga karena manajemen adalah seni untuk dapat diaplikasi dan dinikmati, bukan hanya ilmu atau pengetahuan an sich yang berujud teori maupun aplikasi. Yang pasti keduanya memang wajib untuk bertabik pada apresiasi meski tanpa atau dengan audisi. Bukan hanya baka, namun juga fana. Karena baik musik maupun manajemen sama-sama universal. Yang seharusnya bebas dari belenggu apapun, jika tidak ingin ditinggal oleh ruang dan waktu, serta dimensi lain di atasnya, jika memang masih ada.

Terima kasih.
Salam Manajemen.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ratmaya Urip
= = = = = = = = = = = = 


https://www.smule.com/p/1009333135_2497506554

Catatan:
Sedang dalam antrian untuk diunggah di blog: a). Filosofi Tanaman b). Filosofi Makanan c). Filosofi Benang Kusut d). Filosofi Tukang Kayu e). Filosofi Layang-layang f). Filosofi DNA g). Filosofi Atom h). Dll. Semuanya dalam relasi dan atau aplikasinya di dunia Manajemen

SERIAL KLINIK MANAJEMEN: Diasuh Oleh: Ratmaya Urip


SERIAL KLINIK MANAJEMEN:

Diasuh Oleh: Ratmaya Urip
(Jakarta 30 Oktober 2012)
============



TANGGAPAN  ATAS  MASUKAN  DARI SEORANG SAHABAT

(Sebagai ungkapan rasa terima kasih dari RATMAYA URIP buat Bang Harry "Uncommon" Purnama):



Bang Harry,

Saya tidak mengira jika Bang Harry dapat menarik benang merah atas artikel saya tentang "5C- SEBAGAI SOLUSI KOMPREHENSIF DAN HOLISTIK" yang lalu. Artikel saya tersebut sebenarnya berangkat dari pertanyaan Bpk. Henry Tan Lie Kwang, yang mempertanyakan tentang pilihan atas masalah klasik dan akut: “ISI  VS  KEMASAN”

Lengkap sudah kini kelengkapan atas artikel saya, karena jika merujuk pada teori & aplikasi musik, telah ada INTRO, ada PROSES  bermusik termasuk INTERLUDE-nya dan ada CODA.
INTRO  dari Bapak Henry Tan Lie Kwang berupa pertanyaan klasik akut tentang ISI  VS  KEMASAN, kemudian saya jawab sebagai PROSES termasuk INTERLUDE-nya, kemudian dilengkapi dengan CODA, oleh Bang Harry “Uncommon” Purnama.


Untuk itu response Bang  Harry “Uncommon” Purnama di bawah ini akan saya sampaikan lagi, untukdapat dicermati dengan lebih intens sebagai berikut:


Dear Managers,

Bersyukur dan berterima kasih, saya dapat "pencerahan manajemen 5C" ala Mas RATMAYA URIP  sing URUP ["nyala terang," bhs Javasche]. Jadi tambah lagi tabungan “wisdom of management”, karena ulasannya benar-benar tidak “technical”, tapi “philosophical view” dan “idiological view” yang amat luas lebar panjang, mulai dari "Warmo di Tebet Raya," Mie Yogya s/d Starbucks Amerika. Semua sudut jalan di Tebet sudah ke sorot tajam oleh analisis kontekstual "ISI  VS  KEMASAN" ala Mas RATMAYA URIP  yang BEGAWAN MANAJEMEN.


Untungnya, saya tidak keburu-buru cepat “jump” ke "judgment" kontroversial "ISI  VS  KEMASAN."

Setelah mendapat umpan bola lambung dari Mas Ratmaya Urip, ternyata bolanya harus diolah dulu, agar jadi bola mateng untuk ditembakkan ke gawang lawan. "Jangan buru-buru membuat judgment”, main tendang bola dari jarak terlalu jauh ke gawang lawan, pastilah banyak melesetnya...hmmm" alias ketangkap kiper ahli dengan mudah, kecuali yg nembak juga begawan olahraga sepakbola, kayak Ronaldo atau Messi.

Saya hanya tergelitik & tergoda membuat kesimpulan sementara [bukan judgemental],
hanya buat saya melakukan latihan/exercise atas diskusi "isi vs kemasan" yg mulanya ditanyakan oleh Tan Lie Kwang kepada publik TMI, hari jumat 26 oct. Mas Urip lantas membantu sharing dengan analisa/ulasan semi-lesson serius buat S2 manajemen marketing, hmmm.....

1. Isi vs kemasan, tidak perlu dipertentangkan, dua-duanya hadir di dunia, karena sama-sama dibutuhkan/penting, tergantung 3 K, Kepentingan, Konteks dan Kebutuhan, dari mana asalnya si pengambil keputusan [di warmo=warteg mojok, ada persaudaraan antara sayur tahu, tempe orek dan ada kopi kapal api atau teh botol sosro, yang semuanya menyatu di meja makan konsumen, enak disantap bersama-sama].

2. Isi vs kemasan, oleh karenanya tidak perlu dituliskan memakai "versus" [lawan],
sebaiknya memakai "dan," egaliter, equal, sejajar, semitra, menjadi "isi DAN kemasan."
Lalu tidak ada musuh, semuanya jadi kawan [di dalam mobil honda brio yg baru diantarkan ke halaman rumah konsumen, ada bonus tempat sampah tanpa brand dan payung tanpa brand,
komoditas biasa, maksimal di sablon logo Honda, padahal yg memproduksi bukan Honda,
ia cuma komoditas per-gimik-an ala bonus bagi pembeli baru].

3. Isi dan kemasan, ada untuk saling melengkapi, ditumbuhkan bersama-sama dan jika mau dibuang, harus dibuang bersama-sama [komoditas tetap perlu packaging kalau tidak khan berantakan kocar-kacir, packaging juga perlu isi, kalau tidak khan pepesan kosong, janji/promis yg tidak ada deliverynya. Warmo jadi terkenal, karena proses panjang mengemas kemasan dan isi yg enak harmonis dengan selling-point murah dan nyaman untuk segala segmen level ekonomi, usia dan tempat tinggal, sejak th 1970-an plus layanan yg ramah. Karena antara janji dan delivery KLOP, maka Warmo hari ini meraup omset yg melambung antara Rp 1.5jt s/d 2.5 jt/hari, yang menurut draft perda DKI akan kena pajak restoran 10% karena omsetnya diatas 60jt/thn. Brand apalagi, ia perlu perangkat system yang dikemas dengan passion dan innovation, agar tetap jadi brand yg sustainable, growing dan profitable baik longterm dan short term.

Starbucks, menurut saya, 80% adalah kemasan dan 20% adalah isi, i.e. komoditas kopi arabica a.l. dari Aceh dataran tinggi Gayo. Delapan puluh % kemasan, saya maksudkan adalah kopinya sama saja dengan yg di warmo, yg beda kalau minum kopi di Starbucks adalah design cafenya ala Eropa, lokasinya prime, lightingnya cozy, baristanya menarik pintar, utensilnya mahal, aromanya terasa hmmm di ruangan ber-AC dingin, ada free hotspot, sofa yg empuk, bisa mojok berjam-jam, bisa kerja bawa laptop atau ipad, tamunya bersih dan wangi hmmm....

Starbucks yg dijual adalah lingkungan, nice environment, aroma kehangatan dst.

Dan itulah magic/sihirnya kemasan, tapi tanpa kopi arabica, Starbucks gak ada...!].
Terima kasih banyak Mas Ratmaya Urip yang "urup."

Karena ini bukanlah "judgment", bolanya masih liar kemana-mana, feel free to kick the ball again, maka silahkan DILANJUTKAN saja....sampai terus mengalir ke Sungai bengawan Solo...

Disana kita akan ketemu bahwa ada wisdom of management yang menunggu dipinggiran kalinya.
have a blessed rest..

Salam Balanced,

Harry "uncommon" Purnama
MATURE LEADERSHIP CENTER [MLC]

=================


KEMASAN ATAU ISI?

Dear All,

Untuk menjawab pertanyaan yang sangat klasik ini, saya sengaja menulis artikel seperti tersebut di bawah ini:

5C- SEBAGAI SOLUSI KOMPREHENSIF DAN HOLISTIK
Oleh: Ratmaya Urip*)



Dalam aktifitas operasional, manajerial, maupun visioner di dunia manajemen, pilihan atas manakah yang lebih penting, "Isi versus Kemasan", adalah issue klasik, seperti halnya pilihan atas "Produk versus Proses". Untuk yang terakhir ini sudah beberapa kali saya sampaikan ulasannya di milis atau Blog ini (lihat rangkumannya di Blog The Managers Indonesia (TMI) http://themanagers.org). Maka berikut ini saya akan mencoba menggali, apa saja yang dapat disajikan untuk membahas masalah "Isi versus Kemasan".

Sebenarnya menganalisis materi yang hanya dihadapkan pada 2 (dua) pilihan berupa "Isi" dan "Kemasan" saja tidaklah cukup, untuk lebih memaknainya. Diperlukan hal-hal yang lain sesuai konteks-nya. Berikut analisis saya dalam perpektif operasional dan manajerial:

Teori lama pemasaran mengatakan, bahwa "komoditas" adalah kasta terbawah suatu barang yang diperjualbelikan dalam perpektif pemasaran. Beras, jagung, kedelai, garam, buah, sayuran, kue dan sebagainya yang dijual secara "bulk" maupun eceran di pasar, dengan tanpa memperhatikan kemasan lebih sering disebut sebagai "komoditas".

Demikian juga teh panas atau es teh yang dijual baik secara curah maupun sudah di taruh dalam suatu gelas di Warteg Marmo, warteg yang konon sering dikunjungi para artis, di salah satu sudut yang mempertemukan Jalan Tebet Timur Raya dengan Jalan Tebet Raya, atau di warung-warung lain di seluruh pelosok Nusantara, boleh juga disebut sebagai "komoditas" .

Sementara di warung yang sama dijual pula tidak hanya "komoditas" namun juga "produk" (kasta yang lebih tinggi daripada "komoditas"), karena teh dijual juga dalam bentuk kemasan, dan memiliki "brand", yaitu "Teh Botol" dan "Freshtea".

 Ternyata dari pengamatan saya, untuk sekelas warteg, baik "komoditas" maupun "produk" sama-sama laku terjual. sementara untuk yang lebih besar dari warteg, seperti halnya di Rumah Makan "Ikan Bakar RASANE" yang berlokasi di sudut pertemuan Jalan Tebet Timur Dalam dan Jalan Tebet Timur Dalam II, teh dalam kemasan (baca: "produk"), lebih laku terjual.

Demikian juga halnya di "Ikan Bakar Mas Mono" maupun di "Bakmi Jogja" di Tebet Raya di dekat pertemuan jalan dengan Tebet Utara Dalam.
 
Kasta kedua yang juga sering diperjualbelikan di pasar, yang konon lebih sering disebut sebagai "produk", sering dianggap sebagai kasta yang lebih tinggi daripada "komoditas". Dengan kata lain persepsi yang telah ditanamkan adalah, "produk" lebih tinggi derajadnya jika dibandingkan dengan "komoditas".

Secara materi, "komoditas" dan "produk" sebenarnya memiliki "content" yang sama. Yang membedakan adalah, "komoditas" belum diberi kemasan, atau kalau diberi kemasan sifatnya kemasan instan yang sering tanpa identitas. (Ingat, "komoditas" seperti beras, gula pasir, kedelai, tepung, tempe, tahu dan sejenisnya, sebenarnya tetap memerlukan "kemasan". Tanpa kemasan, karena bentuknya yang berupa curah, jika tanpa kemasan akan terburai kemana-mana). Sementara "produk" dalam arti harfiah maupun dalam arti kiasan sudah diberi kemasan, bahkan kemudian ditingkatkan kastanya dengan diberi "brand". Belum lagi jika kita bicara masalah "after sales service", "education", dan seterusnya atas "produk" kita, yang merupakan kasta yang lebih tinggi lagi. Contohnya: Beras Cianjur yang dijual di pasar tradisional dalam bentuk curah yang dibeli secara langsung oleh pembeli dari penjual adalah bentuk "komoditas". Sementara beras Cianjur lain yang sudah dikemas dalam karung khusus dan ada "brand" "TAWON", "PUTRI BIRU" atau "PELANGI" termasuk sebagai "produk".

Dari sini sebenarnya jika kita dihadapkan pada suatu tantangan untuk memilih apakah " isi atau kemasan", jawabannya adalah tergantung dari kepentingan. Tidak dapat di-generalisir. Terlebih-lebih jika kita bicara "segmentasi, targeting dan positioning".
 
Jika kita dihadapkan pada struktur dan kondisi pasar yang memang hanya memerlukan "komoditas" sebagai strategi penjualan tentu saja pilihan kita adalah pada "isi". Sementara jika struktur dan kondisi pasar yang kita hadapi memerlukan suatu "produk", maka di samping "isi"-nya kita juga memerlukan "kemasan".

Perlu diingat dalam perspektif pemasaran, dikenal apa yang disebut sebagai pelanggan yang "rasional", "emosional" dan "spiritual". Keinginan untuk membeli, sering dihadapkan pada situasi pelanggan dengan kondisi psikologis seperti tersebut di atas. Pelanggan akan lebih "rasional" jika ingin mendapatkan "komoditas" (tanpa kemasan hanya mementingkan isi). Mereka menghitung secara "njelimet" dan analitis secara detail, sebelum mengambil keputusan untuk membeli. Apakah harga sudah rasional dan dapat diterima akal. Sehingga perilaku "tawar-menawar" sering terjadi.

Sementara perilaku "emosional" akan lebih mudah muncul, jika kita sudah mengemas "komoditas" menjadi "produk" (sudah diberi kemasan) dan sudah diberi "brand". Orang tidak akan menghitung-hitung lagi uang yang akan dibelanjakannya ketika dihadapkan pada suatu "Brand" (sebagai salah satu bentuk lebih dalam dan canggih dari "kemasan"). Lebih sedikit "tawar menawar" yang terjadi. Orang tidak akan berpikir banyak, atau menghitung berapa uang yang harus dikeluarkan ketika dia berada digerai "Starbukcs" atau di gerai "Mc D" atau di gerai "Alfamart" atau "Indomart". Demikian juga ketika dia ingin membeli sepatu "Bally" atau "Adidas", atau ingin mampir di "Ayam Bakar Mas Mono" atau "Bakmi Jogja" di Tebet Raya. Juga ketika pelanggan berada di "Gudeg Djuminten" di Jogja, atau "Soto Bangkong di Semarang, atau "Rawon Setan" di Surabaya. Ingat bahwa "kemasan" tidak terbatas hanya pada pembungkus yang melekat pada suatu "komoditas", namun juga dapat lebih luas lagi, yaitu sistem yang melingkupinya.

Perilaku psikologis terhadap "produk" ini dapat lebih "gawat" lagi. Karena pelanggan, dapat memasuki tahapan pasca-emosional yang disebut sebagai "spiritual", dimana pelanggan merasa lebih baik tidak membeli, jika tidak ada "brand" tertentu yang digandrunginya. Pelanggan tidak mau merokok jika bukan "Dji Sam Soe", atau tidak mau minum kopi jika bukan kopi "Kapal Api", atau "Kopi Toraja", atau "Kopi Loewak". Atau tidak akan membeli bakpia Pathook, jika bukan yang memiliki "brand" "75", atau tidak akan menikmati gethuk Magelang jika bukan gethuk "Trio", atau tidak mau menikmati bandeng jika bukan bandeng Pandan Aran "Joewana". Ini tentu saja memerlukan "kemasan", berupa sistem, tidak sekedar "brand", apalagi hanya "komoditas" (baca: "isi"). Yang pasti, baik "komoditas" maupun "produk" memiliki pasarnya masing-masing. Jadi tidak perlu diperdebatkan, dalam konteks apapun.

Nah, di sini lebih jelas lagi dan apa alasannya jika kita dihadapkan pada dua pilihan, apakah "Isi" atau "Kemasan".

Masalah pilihan antara "Isi" atau "Kemasan" dalam perpektif manajemen (operasional, manajerial dan visioner) seperti yang telah diuraikan di atas, tentu saja akan sama kajiannya jika kita menganalisisnya dari perspektif yang lebih filosofis dan ideologis. Karena pada hakekatnya yang bersifat operasional, manajerial, dan visioner itu berinduk dari apa yang bersifat filosofis dan ideologis.


5C- APAKAH ITU?

Jika kita hanya bicara masalah "Isi" atau "Kemasan" maka sebenarnya belumlah lengkap. "Isi" (CONTENT) dan "Kemasan" (CONTAINER), hanyalah bahasan yang bersifat "GENERIK". Seperti halnya jika kita hanya berdebat mana yang lebih penting, antara "Produk" versus "Proses", yang telah mengabaikan "Raw Material" sebagai INPUT. "Padahal kita tidak akan dapat melakukan "Proses" apapun untuk menjadi "Produk" tanpa INPUT berupa "Raw Material".

CONTENT (Isi) dan CONTAINER (kemasan), ini baru 2 (dua) C. Untuk memberikan solusi yang lebih baik, atau solusi yang lebih komprehensif dan holistik bagi permasalahan yang terjadi, paling tidak diperlukan 5C terlebih dahulu, sebelum kita sampai ke tahapan 12-C. Namun untuk kali ini saya hanya akan membahas tentang 5C saja dulu, seperti tertulis di bawah ini:


1. CONTENT

Secara hierarkis dan tidak boleh dibolak balik, untuk memberikan solusi, pertama kali kita harus tahu CONTENT-nya terlebih dahulu. Kita harus memahami apa yang kita hadapi, upayakan supaya kita benar-benar dapat duduk di atas persoalan. Jika kita tidak tahu atau tidak mau tahu CONTENT apa yang kita hadapi atau kita jual, yang dilanjutkan dengan pemahaman yang lebih dalam lagi yang menyangkut 5W + 1H dari CONTENT yang kita hadapi, maka kita seolah tidak memiliki bekal "knowledge" sama sekali. Padahal tuntutan untuk semakin "tacit" yang tidak sekedar hanya "product knowledge" di era "unpredictable"dan "uncountable" seperti saat ini, sangat wajib untuk dipenuhi. Era "business running as usual" sudah lewat, karena kini sudah memasuki era "business running un-usual". Jika itu menyangkut "product and/or service", kita harus benar-benar mengetahui secara dalam tentang hal ini. Tuntutannya tidak sekedar "product knowledge" yang hanya melibatkan "knowledge management", namun sudah harus benar-benar "tacit" yang melibatkan juga "tacit management" dan "talent management". Jika tidak, maka kita tidak akan percaya diri, dan akan mudah tergelincir dalam masalah.

2. CONTEXT

Jika kita sudah memahami CONTENT-nya, maka hierarki selanjutnya adalah CONTEXT. Jika kita mengetahui relasi-relasi yang sudah, sedang, dan akan terjadi terhadap CONTENT kita, termasuk di dalamnya tentang struktur pasar (apakah monopoli, oligopoli, full competition, monopsoni, oligopsoni). Demikian juga tentang segmentation, targeting, positioning (STP), demografi, dan sebagainya, maka akan mempermudah kerja kita. Karena dengan mengetahui CONTEXT-nya akan memperluas cakrawala pandang kita terhadap dan untuk CONTENT kita.

3. CONTAINER

Saya menyebut "kemasan" dengan CONTAINER semata-mata untuk memudahkan dalam memahami masalah 5C ini. Dengan menulis CONTAINER bukan "packaging", akan lebih mudah mengintegrasikannya dengan yang lain, karena CONTAINER berawal dengan huruf "C", sementara PACKAGING berawal dengan huruf "P". Jika saya memilih "C" bukan "P" akan mempermudah saya dalam membentuk akronim-nya. Dengan CONTAINER maka lebih singkat karena saya hanya memerlukan 2 kata saja yaitu "5C" bukannya "4C + 1P". Padahal baik CONTAINER maupun PACKAGING fungsinya sama, bahkan CONTAINER dipandang kemasan yang lebih kuat, dipandang dari bahan pembuatnya.

Tentang fungsi CONTAINER, sebagian sudah saya sampaikan di atas.

4. CONSTRAINT

Hierarki ke-empat dari "5C" adalah CONSTRAINT. Dalam hal ini kita wajib memahami secara benar CONSTRAINT kita atas CONTENT yang telah kita pahami benar CONTEXT-nya dan telah kita beri CIONTAINER dengan aman dan baik. Tanpa mengetahui CONSTRAINT, kita akan salah langkah. Kita harus tahu, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Kita harus tahu regulasi-regulasi, juga harus tahu keinginan customer secara benar yang tertuang dalam technical specification, dan sebagainya.

5. COMMUNICATION

Meskipun kita sudah benar-benar menguasai CONTENT, CONTEXT, CONTAINER dan CONSTRAINT kita, namun tanpa didukung dengan COMMUNICATION yang yang baik dan benar, maka dapat terjadi distorsi atau deviasi bahkan "failure". Sehingga masalah COMMUNICATION merupakan "mandatory". Dalam perpektif "marketing" saya kira "communication" akan lebih berperan besar, di samping pada saat "selling" juga pada saat "after sales service", "education" dan seterusnya, jika ingin pelanggan tidak hanya "rasional" namun juga "emosional", bahkan "spiritual".

Konsep 5-C ini juga dapat dijadikan formula yang solutif untuk hal-hal yang lain di tataran konseptual, operasional, manajerial, maupun visioner, apalagi jika sudah sampai ke tataran 12-C. Misalnya dalam "operation & maintenance", "public speaking, public hearing, maupun public writing", QSHE, "Human Capital Management", dan sebagainya.

Terima kasih dan SALAM MANAJEMEN

Kredo:


1. "Teori tanpa Praktek itu Omong Kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori itu Ngawur. Apalagi tanpa Teori dan Praktek"


2. "Urip iku Urup" (Hidup itu Nyala). Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi yang membutuhkan. Semakin besar manfaat yang kita berikan akan semakin baik. 


Ratmaya Urip

==========


Pada hari Jum'at, 26/10/12, Henry Tan Lie Kwang menulis:



Dari: Henry Tan Lie Kwang
Judul: [The Managers] Kemasan atau isi?


Kepada: themanagers_indonesia@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 26 Oktober, 2012, 7:59 AM

Hi Managers,

Tergelitik ingin bertanya,
Mana yang paling berkenan? Isi atau kemasan?

Kemasan mungkin kurang pas, tapi isinya bagus.
Atau kemasan bagus, tapi isi jelek.

Harap bantuan share

Tan Lie Kwang