Senin, 29 Oktober 2018

SERIAL KLINIK MANAJEMEN: Diasuh Oleh: Ratmaya Urip


SERIAL KLINIK MANAJEMEN:

Diasuh Oleh: Ratmaya Urip
(Jakarta 30 Oktober 2012)
============



TANGGAPAN  ATAS  MASUKAN  DARI SEORANG SAHABAT

(Sebagai ungkapan rasa terima kasih dari RATMAYA URIP buat Bang Harry "Uncommon" Purnama):



Bang Harry,

Saya tidak mengira jika Bang Harry dapat menarik benang merah atas artikel saya tentang "5C- SEBAGAI SOLUSI KOMPREHENSIF DAN HOLISTIK" yang lalu. Artikel saya tersebut sebenarnya berangkat dari pertanyaan Bpk. Henry Tan Lie Kwang, yang mempertanyakan tentang pilihan atas masalah klasik dan akut: “ISI  VS  KEMASAN”

Lengkap sudah kini kelengkapan atas artikel saya, karena jika merujuk pada teori & aplikasi musik, telah ada INTRO, ada PROSES  bermusik termasuk INTERLUDE-nya dan ada CODA.
INTRO  dari Bapak Henry Tan Lie Kwang berupa pertanyaan klasik akut tentang ISI  VS  KEMASAN, kemudian saya jawab sebagai PROSES termasuk INTERLUDE-nya, kemudian dilengkapi dengan CODA, oleh Bang Harry “Uncommon” Purnama.


Untuk itu response Bang  Harry “Uncommon” Purnama di bawah ini akan saya sampaikan lagi, untukdapat dicermati dengan lebih intens sebagai berikut:


Dear Managers,

Bersyukur dan berterima kasih, saya dapat "pencerahan manajemen 5C" ala Mas RATMAYA URIP  sing URUP ["nyala terang," bhs Javasche]. Jadi tambah lagi tabungan “wisdom of management”, karena ulasannya benar-benar tidak “technical”, tapi “philosophical view” dan “idiological view” yang amat luas lebar panjang, mulai dari "Warmo di Tebet Raya," Mie Yogya s/d Starbucks Amerika. Semua sudut jalan di Tebet sudah ke sorot tajam oleh analisis kontekstual "ISI  VS  KEMASAN" ala Mas RATMAYA URIP  yang BEGAWAN MANAJEMEN.


Untungnya, saya tidak keburu-buru cepat “jump” ke "judgment" kontroversial "ISI  VS  KEMASAN."

Setelah mendapat umpan bola lambung dari Mas Ratmaya Urip, ternyata bolanya harus diolah dulu, agar jadi bola mateng untuk ditembakkan ke gawang lawan. "Jangan buru-buru membuat judgment”, main tendang bola dari jarak terlalu jauh ke gawang lawan, pastilah banyak melesetnya...hmmm" alias ketangkap kiper ahli dengan mudah, kecuali yg nembak juga begawan olahraga sepakbola, kayak Ronaldo atau Messi.

Saya hanya tergelitik & tergoda membuat kesimpulan sementara [bukan judgemental],
hanya buat saya melakukan latihan/exercise atas diskusi "isi vs kemasan" yg mulanya ditanyakan oleh Tan Lie Kwang kepada publik TMI, hari jumat 26 oct. Mas Urip lantas membantu sharing dengan analisa/ulasan semi-lesson serius buat S2 manajemen marketing, hmmm.....

1. Isi vs kemasan, tidak perlu dipertentangkan, dua-duanya hadir di dunia, karena sama-sama dibutuhkan/penting, tergantung 3 K, Kepentingan, Konteks dan Kebutuhan, dari mana asalnya si pengambil keputusan [di warmo=warteg mojok, ada persaudaraan antara sayur tahu, tempe orek dan ada kopi kapal api atau teh botol sosro, yang semuanya menyatu di meja makan konsumen, enak disantap bersama-sama].

2. Isi vs kemasan, oleh karenanya tidak perlu dituliskan memakai "versus" [lawan],
sebaiknya memakai "dan," egaliter, equal, sejajar, semitra, menjadi "isi DAN kemasan."
Lalu tidak ada musuh, semuanya jadi kawan [di dalam mobil honda brio yg baru diantarkan ke halaman rumah konsumen, ada bonus tempat sampah tanpa brand dan payung tanpa brand,
komoditas biasa, maksimal di sablon logo Honda, padahal yg memproduksi bukan Honda,
ia cuma komoditas per-gimik-an ala bonus bagi pembeli baru].

3. Isi dan kemasan, ada untuk saling melengkapi, ditumbuhkan bersama-sama dan jika mau dibuang, harus dibuang bersama-sama [komoditas tetap perlu packaging kalau tidak khan berantakan kocar-kacir, packaging juga perlu isi, kalau tidak khan pepesan kosong, janji/promis yg tidak ada deliverynya. Warmo jadi terkenal, karena proses panjang mengemas kemasan dan isi yg enak harmonis dengan selling-point murah dan nyaman untuk segala segmen level ekonomi, usia dan tempat tinggal, sejak th 1970-an plus layanan yg ramah. Karena antara janji dan delivery KLOP, maka Warmo hari ini meraup omset yg melambung antara Rp 1.5jt s/d 2.5 jt/hari, yang menurut draft perda DKI akan kena pajak restoran 10% karena omsetnya diatas 60jt/thn. Brand apalagi, ia perlu perangkat system yang dikemas dengan passion dan innovation, agar tetap jadi brand yg sustainable, growing dan profitable baik longterm dan short term.

Starbucks, menurut saya, 80% adalah kemasan dan 20% adalah isi, i.e. komoditas kopi arabica a.l. dari Aceh dataran tinggi Gayo. Delapan puluh % kemasan, saya maksudkan adalah kopinya sama saja dengan yg di warmo, yg beda kalau minum kopi di Starbucks adalah design cafenya ala Eropa, lokasinya prime, lightingnya cozy, baristanya menarik pintar, utensilnya mahal, aromanya terasa hmmm di ruangan ber-AC dingin, ada free hotspot, sofa yg empuk, bisa mojok berjam-jam, bisa kerja bawa laptop atau ipad, tamunya bersih dan wangi hmmm....

Starbucks yg dijual adalah lingkungan, nice environment, aroma kehangatan dst.

Dan itulah magic/sihirnya kemasan, tapi tanpa kopi arabica, Starbucks gak ada...!].
Terima kasih banyak Mas Ratmaya Urip yang "urup."

Karena ini bukanlah "judgment", bolanya masih liar kemana-mana, feel free to kick the ball again, maka silahkan DILANJUTKAN saja....sampai terus mengalir ke Sungai bengawan Solo...

Disana kita akan ketemu bahwa ada wisdom of management yang menunggu dipinggiran kalinya.
have a blessed rest..

Salam Balanced,

Harry "uncommon" Purnama
MATURE LEADERSHIP CENTER [MLC]

=================


KEMASAN ATAU ISI?

Dear All,

Untuk menjawab pertanyaan yang sangat klasik ini, saya sengaja menulis artikel seperti tersebut di bawah ini:

5C- SEBAGAI SOLUSI KOMPREHENSIF DAN HOLISTIK
Oleh: Ratmaya Urip*)



Dalam aktifitas operasional, manajerial, maupun visioner di dunia manajemen, pilihan atas manakah yang lebih penting, "Isi versus Kemasan", adalah issue klasik, seperti halnya pilihan atas "Produk versus Proses". Untuk yang terakhir ini sudah beberapa kali saya sampaikan ulasannya di milis atau Blog ini (lihat rangkumannya di Blog The Managers Indonesia (TMI) http://themanagers.org). Maka berikut ini saya akan mencoba menggali, apa saja yang dapat disajikan untuk membahas masalah "Isi versus Kemasan".

Sebenarnya menganalisis materi yang hanya dihadapkan pada 2 (dua) pilihan berupa "Isi" dan "Kemasan" saja tidaklah cukup, untuk lebih memaknainya. Diperlukan hal-hal yang lain sesuai konteks-nya. Berikut analisis saya dalam perpektif operasional dan manajerial:

Teori lama pemasaran mengatakan, bahwa "komoditas" adalah kasta terbawah suatu barang yang diperjualbelikan dalam perpektif pemasaran. Beras, jagung, kedelai, garam, buah, sayuran, kue dan sebagainya yang dijual secara "bulk" maupun eceran di pasar, dengan tanpa memperhatikan kemasan lebih sering disebut sebagai "komoditas".

Demikian juga teh panas atau es teh yang dijual baik secara curah maupun sudah di taruh dalam suatu gelas di Warteg Marmo, warteg yang konon sering dikunjungi para artis, di salah satu sudut yang mempertemukan Jalan Tebet Timur Raya dengan Jalan Tebet Raya, atau di warung-warung lain di seluruh pelosok Nusantara, boleh juga disebut sebagai "komoditas" .

Sementara di warung yang sama dijual pula tidak hanya "komoditas" namun juga "produk" (kasta yang lebih tinggi daripada "komoditas"), karena teh dijual juga dalam bentuk kemasan, dan memiliki "brand", yaitu "Teh Botol" dan "Freshtea".

 Ternyata dari pengamatan saya, untuk sekelas warteg, baik "komoditas" maupun "produk" sama-sama laku terjual. sementara untuk yang lebih besar dari warteg, seperti halnya di Rumah Makan "Ikan Bakar RASANE" yang berlokasi di sudut pertemuan Jalan Tebet Timur Dalam dan Jalan Tebet Timur Dalam II, teh dalam kemasan (baca: "produk"), lebih laku terjual.

Demikian juga halnya di "Ikan Bakar Mas Mono" maupun di "Bakmi Jogja" di Tebet Raya di dekat pertemuan jalan dengan Tebet Utara Dalam.
 
Kasta kedua yang juga sering diperjualbelikan di pasar, yang konon lebih sering disebut sebagai "produk", sering dianggap sebagai kasta yang lebih tinggi daripada "komoditas". Dengan kata lain persepsi yang telah ditanamkan adalah, "produk" lebih tinggi derajadnya jika dibandingkan dengan "komoditas".

Secara materi, "komoditas" dan "produk" sebenarnya memiliki "content" yang sama. Yang membedakan adalah, "komoditas" belum diberi kemasan, atau kalau diberi kemasan sifatnya kemasan instan yang sering tanpa identitas. (Ingat, "komoditas" seperti beras, gula pasir, kedelai, tepung, tempe, tahu dan sejenisnya, sebenarnya tetap memerlukan "kemasan". Tanpa kemasan, karena bentuknya yang berupa curah, jika tanpa kemasan akan terburai kemana-mana). Sementara "produk" dalam arti harfiah maupun dalam arti kiasan sudah diberi kemasan, bahkan kemudian ditingkatkan kastanya dengan diberi "brand". Belum lagi jika kita bicara masalah "after sales service", "education", dan seterusnya atas "produk" kita, yang merupakan kasta yang lebih tinggi lagi. Contohnya: Beras Cianjur yang dijual di pasar tradisional dalam bentuk curah yang dibeli secara langsung oleh pembeli dari penjual adalah bentuk "komoditas". Sementara beras Cianjur lain yang sudah dikemas dalam karung khusus dan ada "brand" "TAWON", "PUTRI BIRU" atau "PELANGI" termasuk sebagai "produk".

Dari sini sebenarnya jika kita dihadapkan pada suatu tantangan untuk memilih apakah " isi atau kemasan", jawabannya adalah tergantung dari kepentingan. Tidak dapat di-generalisir. Terlebih-lebih jika kita bicara "segmentasi, targeting dan positioning".
 
Jika kita dihadapkan pada struktur dan kondisi pasar yang memang hanya memerlukan "komoditas" sebagai strategi penjualan tentu saja pilihan kita adalah pada "isi". Sementara jika struktur dan kondisi pasar yang kita hadapi memerlukan suatu "produk", maka di samping "isi"-nya kita juga memerlukan "kemasan".

Perlu diingat dalam perspektif pemasaran, dikenal apa yang disebut sebagai pelanggan yang "rasional", "emosional" dan "spiritual". Keinginan untuk membeli, sering dihadapkan pada situasi pelanggan dengan kondisi psikologis seperti tersebut di atas. Pelanggan akan lebih "rasional" jika ingin mendapatkan "komoditas" (tanpa kemasan hanya mementingkan isi). Mereka menghitung secara "njelimet" dan analitis secara detail, sebelum mengambil keputusan untuk membeli. Apakah harga sudah rasional dan dapat diterima akal. Sehingga perilaku "tawar-menawar" sering terjadi.

Sementara perilaku "emosional" akan lebih mudah muncul, jika kita sudah mengemas "komoditas" menjadi "produk" (sudah diberi kemasan) dan sudah diberi "brand". Orang tidak akan menghitung-hitung lagi uang yang akan dibelanjakannya ketika dihadapkan pada suatu "Brand" (sebagai salah satu bentuk lebih dalam dan canggih dari "kemasan"). Lebih sedikit "tawar menawar" yang terjadi. Orang tidak akan berpikir banyak, atau menghitung berapa uang yang harus dikeluarkan ketika dia berada digerai "Starbukcs" atau di gerai "Mc D" atau di gerai "Alfamart" atau "Indomart". Demikian juga ketika dia ingin membeli sepatu "Bally" atau "Adidas", atau ingin mampir di "Ayam Bakar Mas Mono" atau "Bakmi Jogja" di Tebet Raya. Juga ketika pelanggan berada di "Gudeg Djuminten" di Jogja, atau "Soto Bangkong di Semarang, atau "Rawon Setan" di Surabaya. Ingat bahwa "kemasan" tidak terbatas hanya pada pembungkus yang melekat pada suatu "komoditas", namun juga dapat lebih luas lagi, yaitu sistem yang melingkupinya.

Perilaku psikologis terhadap "produk" ini dapat lebih "gawat" lagi. Karena pelanggan, dapat memasuki tahapan pasca-emosional yang disebut sebagai "spiritual", dimana pelanggan merasa lebih baik tidak membeli, jika tidak ada "brand" tertentu yang digandrunginya. Pelanggan tidak mau merokok jika bukan "Dji Sam Soe", atau tidak mau minum kopi jika bukan kopi "Kapal Api", atau "Kopi Toraja", atau "Kopi Loewak". Atau tidak akan membeli bakpia Pathook, jika bukan yang memiliki "brand" "75", atau tidak akan menikmati gethuk Magelang jika bukan gethuk "Trio", atau tidak mau menikmati bandeng jika bukan bandeng Pandan Aran "Joewana". Ini tentu saja memerlukan "kemasan", berupa sistem, tidak sekedar "brand", apalagi hanya "komoditas" (baca: "isi"). Yang pasti, baik "komoditas" maupun "produk" memiliki pasarnya masing-masing. Jadi tidak perlu diperdebatkan, dalam konteks apapun.

Nah, di sini lebih jelas lagi dan apa alasannya jika kita dihadapkan pada dua pilihan, apakah "Isi" atau "Kemasan".

Masalah pilihan antara "Isi" atau "Kemasan" dalam perpektif manajemen (operasional, manajerial dan visioner) seperti yang telah diuraikan di atas, tentu saja akan sama kajiannya jika kita menganalisisnya dari perspektif yang lebih filosofis dan ideologis. Karena pada hakekatnya yang bersifat operasional, manajerial, dan visioner itu berinduk dari apa yang bersifat filosofis dan ideologis.


5C- APAKAH ITU?

Jika kita hanya bicara masalah "Isi" atau "Kemasan" maka sebenarnya belumlah lengkap. "Isi" (CONTENT) dan "Kemasan" (CONTAINER), hanyalah bahasan yang bersifat "GENERIK". Seperti halnya jika kita hanya berdebat mana yang lebih penting, antara "Produk" versus "Proses", yang telah mengabaikan "Raw Material" sebagai INPUT. "Padahal kita tidak akan dapat melakukan "Proses" apapun untuk menjadi "Produk" tanpa INPUT berupa "Raw Material".

CONTENT (Isi) dan CONTAINER (kemasan), ini baru 2 (dua) C. Untuk memberikan solusi yang lebih baik, atau solusi yang lebih komprehensif dan holistik bagi permasalahan yang terjadi, paling tidak diperlukan 5C terlebih dahulu, sebelum kita sampai ke tahapan 12-C. Namun untuk kali ini saya hanya akan membahas tentang 5C saja dulu, seperti tertulis di bawah ini:


1. CONTENT

Secara hierarkis dan tidak boleh dibolak balik, untuk memberikan solusi, pertama kali kita harus tahu CONTENT-nya terlebih dahulu. Kita harus memahami apa yang kita hadapi, upayakan supaya kita benar-benar dapat duduk di atas persoalan. Jika kita tidak tahu atau tidak mau tahu CONTENT apa yang kita hadapi atau kita jual, yang dilanjutkan dengan pemahaman yang lebih dalam lagi yang menyangkut 5W + 1H dari CONTENT yang kita hadapi, maka kita seolah tidak memiliki bekal "knowledge" sama sekali. Padahal tuntutan untuk semakin "tacit" yang tidak sekedar hanya "product knowledge" di era "unpredictable"dan "uncountable" seperti saat ini, sangat wajib untuk dipenuhi. Era "business running as usual" sudah lewat, karena kini sudah memasuki era "business running un-usual". Jika itu menyangkut "product and/or service", kita harus benar-benar mengetahui secara dalam tentang hal ini. Tuntutannya tidak sekedar "product knowledge" yang hanya melibatkan "knowledge management", namun sudah harus benar-benar "tacit" yang melibatkan juga "tacit management" dan "talent management". Jika tidak, maka kita tidak akan percaya diri, dan akan mudah tergelincir dalam masalah.

2. CONTEXT

Jika kita sudah memahami CONTENT-nya, maka hierarki selanjutnya adalah CONTEXT. Jika kita mengetahui relasi-relasi yang sudah, sedang, dan akan terjadi terhadap CONTENT kita, termasuk di dalamnya tentang struktur pasar (apakah monopoli, oligopoli, full competition, monopsoni, oligopsoni). Demikian juga tentang segmentation, targeting, positioning (STP), demografi, dan sebagainya, maka akan mempermudah kerja kita. Karena dengan mengetahui CONTEXT-nya akan memperluas cakrawala pandang kita terhadap dan untuk CONTENT kita.

3. CONTAINER

Saya menyebut "kemasan" dengan CONTAINER semata-mata untuk memudahkan dalam memahami masalah 5C ini. Dengan menulis CONTAINER bukan "packaging", akan lebih mudah mengintegrasikannya dengan yang lain, karena CONTAINER berawal dengan huruf "C", sementara PACKAGING berawal dengan huruf "P". Jika saya memilih "C" bukan "P" akan mempermudah saya dalam membentuk akronim-nya. Dengan CONTAINER maka lebih singkat karena saya hanya memerlukan 2 kata saja yaitu "5C" bukannya "4C + 1P". Padahal baik CONTAINER maupun PACKAGING fungsinya sama, bahkan CONTAINER dipandang kemasan yang lebih kuat, dipandang dari bahan pembuatnya.

Tentang fungsi CONTAINER, sebagian sudah saya sampaikan di atas.

4. CONSTRAINT

Hierarki ke-empat dari "5C" adalah CONSTRAINT. Dalam hal ini kita wajib memahami secara benar CONSTRAINT kita atas CONTENT yang telah kita pahami benar CONTEXT-nya dan telah kita beri CIONTAINER dengan aman dan baik. Tanpa mengetahui CONSTRAINT, kita akan salah langkah. Kita harus tahu, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Kita harus tahu regulasi-regulasi, juga harus tahu keinginan customer secara benar yang tertuang dalam technical specification, dan sebagainya.

5. COMMUNICATION

Meskipun kita sudah benar-benar menguasai CONTENT, CONTEXT, CONTAINER dan CONSTRAINT kita, namun tanpa didukung dengan COMMUNICATION yang yang baik dan benar, maka dapat terjadi distorsi atau deviasi bahkan "failure". Sehingga masalah COMMUNICATION merupakan "mandatory". Dalam perpektif "marketing" saya kira "communication" akan lebih berperan besar, di samping pada saat "selling" juga pada saat "after sales service", "education" dan seterusnya, jika ingin pelanggan tidak hanya "rasional" namun juga "emosional", bahkan "spiritual".

Konsep 5-C ini juga dapat dijadikan formula yang solutif untuk hal-hal yang lain di tataran konseptual, operasional, manajerial, maupun visioner, apalagi jika sudah sampai ke tataran 12-C. Misalnya dalam "operation & maintenance", "public speaking, public hearing, maupun public writing", QSHE, "Human Capital Management", dan sebagainya.

Terima kasih dan SALAM MANAJEMEN

Kredo:


1. "Teori tanpa Praktek itu Omong Kosong, sedangkan Praktek tanpa Teori itu Ngawur. Apalagi tanpa Teori dan Praktek"


2. "Urip iku Urup" (Hidup itu Nyala). Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi yang membutuhkan. Semakin besar manfaat yang kita berikan akan semakin baik. 


Ratmaya Urip

==========


Pada hari Jum'at, 26/10/12, Henry Tan Lie Kwang menulis:



Dari: Henry Tan Lie Kwang
Judul: [The Managers] Kemasan atau isi?


Kepada: themanagers_indonesia@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 26 Oktober, 2012, 7:59 AM

Hi Managers,

Tergelitik ingin bertanya,
Mana yang paling berkenan? Isi atau kemasan?

Kemasan mungkin kurang pas, tapi isinya bagus.
Atau kemasan bagus, tapi isi jelek.

Harap bantuan share

Tan Lie Kwang

Tidak ada komentar: