Selasa, 02 Oktober 2018

KLINIK MANAJEMEN Diasuh Oleh: Ratmaya Urip*) Sekali lagi tentang : Dikotomi PROSES Vs PRODUK


KLINIK MANAJEMEN

Diasuh Oleh: Ratmaya Urip*)


Sekali lagi tentang :
Dikotomi PROSES Vs PRODUK

============ ====


Dunia tersentak dengan adanya recall  atas 2,5 juta unit  produk Samsung Galaxy Note 7, yang konon  ongkos penarikannya menelan biaya 1 Miliar USD, atau sekitar 13 Triliun Rupiah. Recall  besar-besaran yang dipicu oleh performa batere yang mudah meledak, sehingga sangat menyibukkan keamanan dunia penerbangan ini tentu saja sangat menyesakkan bagi Samsung.

Maaf, kali ini penulis tidak akan membahas secara mendalam tentang hal ini. Karena penulis lebih tertarik untuk mengupasnya dari perspektif Manajemen, khususnya  QSHE Management (Quality-Safety-Health & Environment Management).

Karena 5-R (Rework-Reject-Repair-Return-Recall), adalah “hantu” bagi dunia industri, yang kali ini kembali terjadi dan menimpa dunia elektronik, setelah selama ini recall  lebih akrab dialami oleh dunia otomotif, seperti yang dialami oleh TOYOTA MOTOR, GENERAL MOTOR, VW, dan lain-lain.

Masalahnya selama ini perusahaan-perusahaan-perusahaan tersebut telah memiliki sitem manajemen branded, dengan tight process-based orineted.

Beberapa tahun yang lalu saat penulis masih mengasuh rublik KLINIK MANAJEMEN,dalam hal ini  rublik atau desk SOLUSI MANAJEMEN BISNIS di suatu  Radio paling populer di Surabara (sebagai  penjaga gawangi desk selama 16 tahun), dan juga sebagai pengasuh rubrik serupa di suatu milis kala itu,  ada seseorang yang menyampaikan hal sebagai berikut, yang menyikapi adanya dikotomi antara PROSES Vs PRODUK, dengan komentar atau opini sebagai berikut:

“Dalam pendekatan management seringkali orang selalu menikmati proses.... Tapi saya paling gak pernah urus proses. Proses boleh indah atau berantakan. End of the day...terpenting result”…begitu komentar yang sekaligus opininya.

Mendengar atau membaca opininya, saya kemudian coba menyampaikan respons sebagai berikut:

================= ==


RATMAYA URIP menjawab:

Dikotomi PROSES VS RESULT adalah issue klasik.
Saya sebenarnya tidak begitu nyaman dengan opini  "menikmati proses". Karena saya menikmati baik input/raw/resource , process maupun output/result, secara balance.

Dari experiences saya yang panjang, akhirnya saya cenderung balancing atau, dengan menarik matriks dari PROSES dan RESULT sekaligus INPUT/RAW/RESOURCES.
Dengan kata lain, tiga-tiganya penting, namun dapat memilih salah satu yg dipentingkan case by case.

Mendahulukan Proses, sering "wasting time" sehingga kurang efektif dan tidak efisien.

Mementingkan Result juga tidak efisien. Karena sering terjadi 5-R (rework, repair, reject, return dan recall). Sehingga "cost of quality" menjadi besar.

Kasus penarikan (recall) puluhan ribu produk otomotif TOYOTA, VW, General Motor, yg sudah beredar di customer beberapa tahun yg lalu misalnya, adalah contoh recall yg riil.
Keruntuhan jembatan Mahakam di Kalimantan Timur beberapa saat yang lalu, juga menurut saya karena kurangnya perhatian pada Proses.

Sementara OM Management di BUMN dan pelayanan publik oleh government terlalu berat ke Proses.
Sehingga sering tidak efektif maupun tidak efisien.

Menurut saya pilihan "Result Oriented" ataukah "Process Oriented" tergantung dari:

1. Dengan siapa kita berbisnis,
2. Skala bisnis,
3.Sistem atau management style,
4. Jenis bisnis, dan
5. Posisi seseorang dalam manajemen.

Coba kita amati satu per satu;

1
. Dengan Siapa Kita Berbisnis.

Bisnis untuk Keperluan Ekspor :

Bisnis dengan orang Jepang dan Amerika atau Eropa kita dituntut dengan urusan Proses yang memusingkan. Perlu banyak requirements seperti ISO Series, lolos FDA, dll. Juga sering terjadi assessment atau audit atas Proses.

Contoh riil:
Mataram Garment di Yogya yang 100% produknya impor ke USA utk supply ke Walmart, audit proses sangat ketat. Bahkan jumlah WC yang ada di pabrik saja mesti sesuai dengan rasio kecukupunnya. 1 WC utk 25 orang. Maka untuk pabrik dengan 2 ribu karyawan hitung saja berapa WC yg harus disediakan. Kalau tidak dipenuhi, maka mereka akan menolak barang. Belum lagi urusan PROSES yang lain.
Karena mementingkan Proses dan lebih "quality oriented", baik quality of management maupun quality of process, faktor "cost" sering tidak penting bagi mereka. Result bagi mereka adalah nomor dua.


Contoh lain:
Product CPO, dan olahan kelapa sawit, saat ini mengalami kendala berat, karena negara tujuan ekspor memberlakukan ecolabelling yang ketat. Banyak resistensi dari mereka. Karena produk CPO dan derivative-nya yang dari Indonesia, oleh mereka dianggap membahayakan lingkungan. Kelapa sawit ditanam dengan membakar hutan, sehingga emisi karbonnya membahayakan lingkungan. Juga, perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dianggap merusak keanekaragaman hayati. Karena membakar hutan yang penuh dengan keanekaragaman hayati, mebjadi monokultur (satu jenis kehidupan), yaitu hanya kelapa sawit saja. Belum lagi pembantaian orangutan karena dianggap hama bagi perkebunan kelapa sawit. Maka boikot CPO dari Indonesia menjadi issue besar. Ini karena Proses dan bahkan INPUT-nya dipermasalahkan. Mereka tidak mengutik-utik Result-nya sama sekali.

Berbisnis dengan BUMN & Pemerintah:

Berbisnis dengan BUMN & Pemerintah berorientasi ke Proses.

Contoh:
Ketika Pak Dahlan Iskan masih sebagai Dirut PLN, terpaksa mengambil alih tanggung jawab bawahannya di Nusa Tenggara Barat, karena bawahannya tidak berani mengambil keputusan untuk menyewa pembangkit listrik swasta (generator) dari swasta, karena harganya jauh di atas yang ditetapkan oleh pemerintah per kwh-nya. Padahal Visi Pak Dahlan Iskan adalah memenuhi target agar setiap wilayah di Indonesia secara bertahap harus bebas mati listrik. Dengan kata lain Pak Dahlan berani mengambil risiko untuk berhadapan dengan sistem yg ditetapkan regulator, demi mengamankan visi-nya. Dan seperti diketahui pelanggaran prosedur sebagai bagian dari sistem/proses di BUMN, akan berhadapan dengan KPK. Meski murni "kebijakan" bukan korupsi, ini sering menjadi dilema di BUMN. Pejabat lain mungkin tidak berani.

Contoh Lain:
Beberapa saat ini terjadi malpraktek di dunia konstruksi. Telah terjadi 5 peristiwa jatuhnya girder (balok penyangga) pada konstruksi ruas jalan tol. Kejadian ini terjadi di ruas-ruas tol di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan terakhir di ruas tol Depok-Antasari, di Jabodetabek.
Dari 5 kejadian terakhir, penulis memilik opini, bahwa itu karena pelaksana proyek lebih ke result-based erection, bukan ke process-based erection.
Menurut penulis, ini terjadi karena masalah SOP, bukan pada kurang perhitungan pada saat pengangkutan dan kekuatan alat angkut/angkat, seperti yang ada di viral yang beredar di media massa.

Seharusnya setiap  girder yang sudah berhasil diereksi/dipasang, diikat/dikunci secara masif terlebih dahulu dengan bracing dan diafragma, sehingga posisinya kuat dan stabil serta tidak dapat bergerak. Setelah itu baru diereksi/dipasang girder berikutnya secara beruratan dengan metode konstruksi yang sama, begitu seterusnya.

Penulis menduga, pelaksana proyek ingin menghemat biaya dan waktu pelaksanaan proyek, karena harga penawaran dan waktu pelaksanaan yang sangat ketat. Dalam hal ini juga untuk menghemat biaya dan waktu sewa crane (alat angkat) girder yang biasanya memiliki kapasitas angkat yang sangat besar, karena girder memiliki bobot yang sangat besar, sehingga biaya per-jam sangatlah mahal. Sehingga pelaksana proyek melakukan ereksi girder demi girder tanpa melakukan perkuatan atas stabilitas girder yang sudah terpasang. Tanpa pengikatan atau perkuatan tersebut tentu saja girder yang sudah terpasang menjadi labil, dapat tergeser atau terjatuh. Dengan senggolan yang tidak sengaja dari boom alat angkat, akan membuat girder tersebut bergeser atau bergerak, yang kemudian menyenggol girder-girder lainnya seperti efek-domino, sehingga semua girder terjatuh dan rusak.

Di sini nampak, bahwa telah terjadi malpraktek pada girder erection, karena pelaksana lebih kepada result oriented, bukan kepada process oriented. Di sini keduanya sangat dipentingkan.

2. Perspektif Skala Bisnis

Bisnis dengan skala yg besar dengan kompleksitas yang tinggi memerlukan OM Management dengan pendekatan Proses, untuk self-manage. Skala bisnis kecil lebih baik dengan orientasi Result, meskipun untuk ekspor, sering diwajibkan adanya Ecolabelling.

Di Jepang dengan TQC/TQM Toyota Way, Lean Manufacturing, dll menunjukkan mereka concern ke Proses. Itupun masih terjadi ada 5 R (rework, repair, reject, return, dan recall).

Bagaimana dengan China? Mereka itu cerdik dan luwes. Ke negara dengan tujuan ekspor yg "Process Oriented" seperti negara2 Barat, mereka bisa melakukan dengan baik. Sehingga produk mereka bisa masuk dengan kemampuan daya saing tinggi yg tanpa mengabaikan Proses. Sementara ke negara2 dengan orientasi Result, seperti Indonesia dan negara dunia ketiga, lebih mudah.
Saya sebut China melakukan balancing atau matriks atas Result and Process. Maka mereka dapat menggurita di seluruh dunia.

3. Sistem atau Management Style

Japanese style, maupun Western Style lebih ke Process-oriented. TQC/TQM with 7-Tools, 4S, Lean Manufacturing, Toyota Way, yg dikenal sebagai Japan Styles, jelas berbasis Proses.
Sementara ISO Series, MBNQA, GCG, ABM, Six-Sigma, dll, yg dikenal sebagai Western Style juga berbasis Proses.

Faktanya selama puluhan dasawarsa, bisnis mereka menguasai bisnis global. Yang tercermin dalam Fortune 500 Global Annual Report, sebelum diganyang China yang menganut balancing atau matriks antara Result - Process.


4. Jenis Bisnis

Bisnis dengan risiko tinggi, seperti Oil Gas, Engineering-Procurement-Construction-Commissioning, Power Plant, Transportation (Sea, Air, Land), lebih berorientasi Process. Tentu saja tanpa mengabaikan Result.

Sedang bisnis dengan risiko rendah sering berorientasi Result.

Kalau Finance Business, seperti Banking, Stock Obligation, Insurance, kira2 dengan orientasi Result atau Proses ya?

Sementara untuk Bisnis Hukum (pengacara, notaris) saya kira berorientasi pada Process dan Result sekaligus. He.he.he.. Untuk yg ini, Bro Iming bisa menambahkan atau mengoreksinya jika saya salah.

5. Posisi seseorang dalam Manajemen

Seorang Owner atau CEO atau Top Management lebih ke Result-based. Sementara Middle Management lebih balance. Sedang Front Liner sering dituntut untuk Process oriented.

Dalam manajemen dikenal ada proses yg saya sebut sebagai 3 I (Implementation, Improvement, Innovation).

Level FrontLiner, berkutat dengan "Implementation", dan wajib bekerja sesuai standar, atau Process. Middle Manager dituntut untuk melakukan lebih banyak "Improvement". Sehingga orientasinya sering balance antara Result and Process. Sedang Top Manager, sebaiknya berkutat pada "Innovation" yg lebih berorientasi pada Result.

Demikian, sharing saya.

Terima kasih.
Salam Manajemen.

Ratmaya Urip

Tidak ada komentar: