FILOSOFI WAYANG
(Monolog dunia manajemen dan bisnis dalam aplikasi) :
Leadership Versus Followership dalam Perspektif Dunia Pewayangan
Oleh : Ratmaya Urip *)
Jansen Hulman S. menyampaikan, bahwa pada tahun 1967 Gerhard Gschwandtber mengadakan riset mengenai kekecewaan dan menemukan bahwa di
Library of Congress terdapat 1.500 judul buku mengenai kesuksesan sedangkan buku mengenai kekecewaan hanya 16 judul saja.
Ini mengherankan Gerhard, karena observasi menunjukkan bahwa kekecewaan sesungguhnya merupakan pengalaman paling akrab dengan manusia ketimbang kegembiraan. Dukacita lebih sering terjadi daripada sukacita. Lalu mengapa topik kekecewaan begitu sedikit dibahas orang? Mengapa sukses dan sukacita yang jarang dirasakan dan dicapai orang mendapat perhatian begitu banyak? Mengapa orang-orang yang sukses saja yang dibahas, sementara orang-orang yang gagal, yang jumlahnya sangat jauh lebih banyak tidak ditonjolkan untuk menggali mengapa kegagalan itu dapat terjadi? Karena kesuksesan itu tidak pernah lepas dari faktor
luck, meskipun tidak boleh melupakan kerja keras, kerja waras dan kerja cerdas.
Demikian juga kalau kita cermati lebih dalam, ternyata dari hasil-hasil penelitian,
textbooks, seminar,
workshop, pelatihan, dan sebagainya, topik mengenai
Leadership lebih banyak diminati (baca : dibahas) daripada topik
Followership. Padahal dalam praktek berorganisasi apapun, baik organisasi bisnis, organisasi publik, maupun organisasi lainnya, jumlah
Follower sangat jauh lebih banyak dibandingkan
Leader.
Seorang
follower lebih suka memahami dan atau menganggap dirinya sebagai
leader (mungkin karena seringnya menerima cekokan konsep-konsep
Leadership). Padahal sebagai
follower tentu saja dia harus menerima lebih banyak konsep-konsep maupun aplikasi tentang
FOLLOWERSHIP, dalam hal ini bagaimana sikap, perilaku, tindakan dan
mindset kita sebagai
follower (yang kebetulan jumlahnya mayoritas). Kalau dia seorang
follower, namun
mindset-nya selalu
leader, ya payah.
Saya kemudian berpikir...itulah mungkin biang dari segala keruwetan bangsa ini, sehingga tidak pernah beringsut dari keterpurukan yang berkepanjangan, karena semua maunya jadi
leader (
follower pun maunya jadi
leader), meskipun itu tidak dilarang, tapi harus menunggu saatnya. Masalahnya, tdk ada yang mau jadi
follower. Padahal yang terpenting sebenarnya adalah seberapa jauh pembagian peran itu dapat terbagi habis secara benar, tepat dan adil, tanpa menyisakan potensi konflik sekecil apapun. Setiap konflik di Indonesia sering berakhir dengan perpecahan, kemudian membentuk organisasi tandingan, yang disebabkan oleh lemahnya
leadership, atau
followership. Itu semakin nampak, ketika organisasi baru sudah terbentuk sebagai tandingan, ternyata hidupnya sering kali tidak lama.
Dalam organisasi apapun, bagaimanapun, dan dimanapun selalu ada fenomena, bahwa
follower ( pengikut ) jumlahnya selalu jauh lebih banyak daripada
leader ( pemimpin ), dan untuk hal yang satu ini tidak akan pernah ada seorangpun yang dapat membantahnya. Namun dalam manajemen, ternyata
leadership lebih sering ditonjolkan daripada
followership, sehingga
training, coaching dan
conselling yang dilaksanakan lebih sering mengakomodasi kepentingan-kepentingan atau cara-cara untuk menjadi seorang
leader (dalam hal ini untuk mencetak
leader yang baik atau mempunyai
leadership yang kuat dan efektif). Jarang sekali ada pembahasan yang
intens ataupun
textbook yang
best-seller mengenai
followership yang mengemuka. Mungkin sekali karena cukup dengan
leadership yang kuat diharapkan organisasi akan dapat meraih
goal atau
objective sesuai dengan yang diharapkan. Atau
followership adalah bagian dari
leadership. Dalam hal ini tentu saja akan beruntung sekali jika suatu organisasi dipimpin oleh seorang
leader dengan kemampuan
leadership yang kuat dan efektif. Namun, bagaimana jika organisasi dinakhodai oleh
leader dengan kemampuan
leadership yang lemah? Yang terakhir ini sangat banyak terjadi dalam organisasi-organisasi di Indonesia, baik organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, bisnis, olah raga, pemerintahan, perwakilan rakyat, maupun organisasi-organisasi yang lain. Faktanya, dan boleh juga disebut sebagai akibatnya, Indonesia sampai sekarang selalu dan selalu ketinggalan dalam segala hal dibandingkan dengan kinerja negara-negara lain, semakin terpuruk dan menderita. Seperti ayam mati di lumbung padi. Dalam bidang ekonomi, Indonesia telah merasakan betapa sakit dan beratnya keterpurukan yang terjadi. Dalam bidang olahraga belum pernah mengenyam prestasi yang membanggakan kecuali bulutangkis, sesekali panahan dan angkat besi. Dalam berdemokrasi kita masih kedodoran. Dalam pengelolaan sumber daya alam, baik pertanian, pertambangan dan lain-lain, prestasi Indonesia sangat jauh ketinggalan. Pastilah ada yang salah dalam mengelola hidup dan kehidupan bangsa ini. Apakah karena masalah
leadership atau
followership yang lemah, atau kedua-duanya lemah, atau masalah-masalah lainnya? Kajian tentang hal ini tentu saja tidak akan pernah ada habisnya, dan akan bias atau tidak fokus ke topik tulisan ini. Ilustrasi di atas hanyalah sebagai referensi
natural semata (sebab ada referensi
artificial). Juga terlalu naïf untuk menuduh faktor
leadership atau
followership sebagai satu-satunya biang kegagalan, sebab masih banyak faktor-faktor yang lain, seperti aplikasi
management system ( baik manajemen generik maupun
branded ),
management style,
organization climate,
ability (skill & knowledge), moral (attitude & behavior),
arts (creativity, adabtability, acceptability, flexibility, durability, etc), bahkan
luck.
Tentang
luck atau ada yang sering menyebutnya dengan
windfall ini juga perlu diperhatikan.
Luck tidak akan dapat terjadi tanpa persiapan dan kesempatan. Luck tanpa persiapan yang baik jarang yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sedang luck jarang yang dapat maksimal didapatkan tanpa kesempatan. Persiapan dan kesempatan merupakan dua sisi mata uang untuk mendapatkan luck atau windfall. Persiapan itu sendiri kadang-kadang tidak kita sadari sudah tersedia sebelumnya dari
personal maupun
institutional experiences kita. Maka pandai-pandailah memanfaatkan persiapan ketika kesempatan tiba, supaya mendapatkan
luck atau
windfall. Contoh paling mudah adalah, ketika harga minyak dunia naik secara fantastik, yang saya sebut itu sebagai kesempatan bagi Indonesia sebagai penghasil minyak yang ketika itu masih anggota OPEC, tidak dapat menikmatimya, karena sudah beberapa tahun produksi minyak Indonesia malah terus merosot. Puncak produksi yang pernah dicapai sebesar 1,4 juta barrel/hari turun menjadi 990 ribu barrel/hari. Itupun Indonesia malah mengalami
nett import. Sehingga kenaikan harga minyak dunia malah menjerat perekonomian Indonesia. Contoh lain adalah ketika harga komoditas dunia juga naik, namun karena tidak ada persiapan, maka kesempatan itu menguap begitu saja. Padahal Indonesia memiliki potensi komoditas yang menggiurkan. Namun karena manusia Indonesia disibukkan oleh perebutan posisi sebagi
leader, tanpa ada yang mau berperan sebagai
follower, atau kalau jadi
follower malah merecoki
leader-nya, maka jadinya ya seperti sekarang ini.
Leadership akan jauh lebih efektif dan kuat pada organisasi yang sistemnya sudah sangat bagus, sehingga tidak akan dapat “diakali” atau “tidak ada celah” untuk memanfaatkan sistem bagi kepentingan pribadi, atau tidak ada “
loop-hole” sama sekali. Karena di organisasi dengan sistem seperti itu roda aktifitas manajerial dan operasional sudah dapat berjalan “
auto pilot”. Sehingga siapapun
leader-nya tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi. Tentu saja harus diimbangi dengan
followership yang kuat dan efektif serta efisien, dan tidak ada goncangan dari luar pesawat yang fatal. Namun organisasi dengan sistem sempurna seperti itu hanya ada di dunia impian (di Ancol?).
Kembali kita fokus ke topik bahasan. Organisasi dengan kemampuan
leadership kuat maupun lemah tentu memerlukan kemampuan dan kontribusi dari
follower untuk tetap dapat menjalankan organisasi
on the right track, supaya
vision, mission, strategy, action plan,
goal ataupun
objective tetap dapat tercapai. Dengan kata lain diperlukan
followership yang kuat pula. Apa dan bagaimana
followership yang kuat dan efektif itu dapat dijadikan kontributor dalam pencapaian kinerja
suatu organisasi? Tentu saja lumayan sulit untuk menjabarkannya, karena praktek lapangannya sangat banyak, namun teori-teori atau
textbooks tentang hal itu sulit dicari, karena kebanyakan mengulas tentang
leadership. Bagaimanapun diharapkan ada benang merah atau
balance antara teori dan praktek, supaya terjadi harmoni yamg komplementer, melengkapi keserbaduaan ( baca : harmoni ) yang telah ada sebelumnya, seperti tua-muda, laki-perempuan, siang-malam, gelap-terang, kaya-miskin, hitam-putih, besar-kecil, dan lain-lain. Jangan sampai terjadi dikotomi.
Berangkat dari keterbatasan teori tersebut, penulis mencoba menggali dari dunia pewayangan, yang kebetulan penulis cukup paham, meskipun hanya secuil. Dari dunia pewayangan penulis mengenal
Ramayana, maupun
Mahabharata dan lanjutannya
Bharatayudha.
1. Ramayana.
Sebagai ilustrasi pertama, dalam Ramayana dikenal seorang raja sebagai
leader bernama Rahwana atau Dasamuka, seorang raksasa yang sangat kejam, lalim dan arogan, yang jika marah kepalanya bisa bertambah menjadi sepuluh kepala. Rahwana adalah
leader dalam hal ini
top management dari para raksasa jahat yang amat sangat antagonis. Bukan kebetulan kalau Rahwana mempunyai
follower, dalam hal ini posisinya
middle management berjumlah 3 ( tiga ) orang, dengan fenomena
followership yang beragam, yang kalau dicermati, fenomena tersebut banyak terjadi dalam dunia manajemen di Indonesia. Ketiga
follower tersebut kebetulan adalah adik-adiknya. Ketiga adiknya, sebagai
midlle manager, memang di samping memiliki
leadership yang kuat dan efektif, karena harus memimpin anak buahnya, mereka juga mempunyai masalah
followership, dalam menyikapi sikap kakaknya yang semau gue. Namun karena
leader-nya adalah sang kakak, yaitu Rahwana, dengan style seperti tersebut di atas, maka fungsi
follower lebih menonjol daripada fungsi
leader, dengan kata lain mereka lebih sering melayani
leader daripada memimpin
lower manager (anak buah-nya) sebagai
follower mereka.
Dalam
epos Ramayana diceritakan, bahwa Rahwana sebagai
leader dari organisasi kerajaan yang bernama Alengkadiraja, mempunyai
instant-goal untuk memperisteri Dewi Shinta, yang kebetulan sudah bersuami Prabu Ramawijaya,
leader dari Kerajaan yang lain. Untuk tercapainya
goal tersebut, Rahwana mempunyai
instant action plan, yaitu merebutnya dari Prabu Ramawijaya, dengan menculik Dewi Shinta yang kebetulan sedang ditinggal berburu suaminya. Dengan strategi yang jitu, berupa tipu daya alih rupa menjadi orang lain sehingga Dewi Shinta terkecoh, akhirnya Dewi Shinta dapat dibawa oleh Rahwana ke istananya. Pada akhirnya, karena adanya benturan kepentingan, dalam hal ini Prabu Ramawijaya tidak rela, maka berusaha untuk merebut kembali Dewi Shinta ke pangkuannya, sementara Rahwana tetap dengan
goal ingin memperisteri Dewi Shinta, maka terjadi perang. Tentu saja dalam perang terjadi adu strategi.
Dalam kajian
Strategic Management maupun
Quality Management System, sebenarnya ulah Rahwana dengan menetapkan
goal dan
strategy secara
instant di luar
Longterm Plan (Rencana Jangka Panjang-RJP) dan
Annual Plan (Rencana Jangka Pendek atau rencana Tahunan-RKAP), tanpa ada
vision, mission, dan
policy adalah kurang tepat. Prosesnya seharusnya ada
vision dulu kemudian
mission dan
policy serta
strategy, baru kemudian ada
deployment atau
cascading dalam
action plan untuk pencapaian
goal. Apalagi tidak ada
corporate culture yang berkembang baik dalam organisasi atau kerajaan Rahwana. Dalam hal ini tiba-tiba ada
goal tanpa sebab dan alasan yang sistematik sesuai
Strategic Management System ataupun
Quality Management System. Berarti jelas ada
Non Conformance dan kelasnya adalah very-very
Major jika rujukannya ISO Series (ISO 9001, ISO 14001, ISO 18001, dll). Apalagi tidak ada
team-work yang baik karena semua dilakukan berbasis keputusan
one man show.
Dalam menyikapi perang yang terjadi ternyata 3 (tiga)
follower Rahwana mempunyai sikap yang berbeda, dengan kata lain
followership style mereka berbeda satu sama lain.
1. Kumbakarna, dikenal sebagai raksasa yang berjiwa ksatria, santun, lemah lembut, arif, adil, dan baik hati, meskipun badannya sebesar gunung dan wajahnya mengerikan, dengan kata lain sangat menakutkan. Ketika dihadapkan pada kelakuan Rahwana, seorang
leader yang sangat antagonis, Kumbakarna diam, namun setelah sebelumnya selalu mengingatkan sang kakak atas perbuatannya yang tidak terpuji. Ketika Kumbakarna menasehati kakaknya supaya mengembalikan Dewi Shinta, Rahwana marah besar, dan mengusir Kumbakarna dari Istana. Kumbakarna akhirnya pergi bertapa, tidak menghiraukan lagi keadaan istana (organisasi). Tidak mau tahu bahwa akhirnya terjadi perang.
2. Sarpakenaka adalah raksasa wanita yang sangat identik dengan kakaknya, buruk rupa, buruk kelakuan, sukanya menggoda laki-laki...pokoknya identik dengan kakak sulungnya, Rahwana. Apa yang diperintahkan Rahwana pasti dilaksanakan dengan suka cita, meskipun itu salah.
3. Gunawan Wibisana, si bungsu yang berwajah manusia, tampan, cukup arif, bijak, selalu bertindak penuh perhitungan, selalu beroposisi (dalam hal ini selalu memberi nasehat) kepada Rahwana agar tidak selalu berbuat buruk. Ketika nasehatnya kepada Rahwana untuk mengembalikan Dewi Shinta kepada Prabu Ramawijaya malah mebuat Rahwana berang, dan mengusirnya dari Istana, Gunawan Wibisana malah memilih bergabung dengan musuh Rahwana atau kompetitornya.
Follower’s type yang manakah anda?
2. Mahabharata- Bharatayudha
Dalam Mahabharata yang kemudian berlanjut dengan Bharatayudha, pengayaan kita tentang
followership lebih lengkap.
Di pihak Astina ada Suyudana atau Duryudana sebagai
leader Kurawa dari Kerajaan Astina, dengan 99 adiknya sebagai
middle manager, yang dikenal sebagai antagonis tulen. Namun di samping itu Astina sebagai organisasi memiliki
middle manager lain di luar Kurawa, atau profesional lain luar Kurawa yang cukup unik.
Prabu Karna dari Awangga, adalah type
middle manager (follower Duryudono), yang bergabung ke Kurawa karena sebagai balas budi, karena sudah diberi pangkat dan jabatan yang tinggi oleh Kurawa. Maka meskipun Pandawa yang sebenarnya adik2nya sendiri satu ibu berperang dengan Kurawa dalam Bharatayudha, Prabu Karna membela mati2an organisasinya tersebut, meskipun akhirnya dengan mengorbankan jiwa raganya. Seperti halnya Fernando Torres yang harus professional membela mati2an klub barunya Chelsea karena dibayar mahal, dalam menghadapi mantan klubnya Liverpool, meskipun akhirnya kalah 0-1, kemarin. (Maaf, dalam konteks Fernando Torres, semata-mata adalah konteks profesionalisme, bukan konteks antagonis-protagonis).
Prabu Salya, lain lagi. Dia sangat membenci sikap dan perilaku Duryudana yang sangat antagonis. Namun karena Astinapura adalah tanah airnya (organisasinya), maka ketika perang Bharatayudha terjadi, dia membela Astinapura sampai titik darah penghabisan. Dia hanya mau mempertahankan kehormatan organisasinya (Astinapura), bukan membela Duryudana,
leader-nya yang antagonis. Setelah kematiannyapun Para Pandawa yang dalam konteks Bharatayudha adalah musuhnya, sangat menghormati Prabu Salya.
Hal serupa juga terjadi pada Resi Bisma, yang mirip dengan Prabu Salya, yang berperang di Pihak Astinapura, yang kebetulan dipimpin oleh Kurawa dengan
leader Duryudana, yang antagonis, karena semata-mata mempertahankan negaranya (organisasinya), bukan membela
leader-nya yang antagonis meskipun hati nuraninya berada di pihak Pandawa, atau musuhnya.
Sementara di Pihak Pandawa, semua
follower sangat mendukung karena sikap dan perilaku kepemimpinan Pandawa yang sangat protagonis, sehingga tidak ada yang aneh di
follower-nya, semua berjalan
on the right track, sesuai sistem. Karena telah memahami esensi
followership secara benar.
Bagaimana dengan organisasi anda, atau negara anda? Jika seandainya anda berada dalam organisasi dengan
leader yang
leadership-nya payah, apalagi antagonis? Apakah sebagai
follower anda akan bersikap seperti Prabu Karna, Prabu Salya, Resi Bisma, atau adik2 Rahwana yang 99 orang tersebut? Beruntunglah jika anda mendapatkan
leader seperti Pandawa. Itu jika berkaca dari epos Mahabharata-Bharatayudha.
Demikian juga jika kita menengok kembali epos Ramayana, apakah jika anda sebagai
follower anda akan bersikap seperti Kumbakarna, Sarpakenaka atau Gunawan Wibisana?
Jika anda bukan
follower, namun
leader, saya yakin,
leadership anda lebih condong ke
leadership yang dimiliki Prabu Ramawijaya atau Pandawa, bukan Rahwana atau Kurawa.
Pesan moral yang ingin disampaikan:
Leadership amat sangat dan begitu penting, khususnya bagi para
leader. Bagi calon-calon
leader (baca:
follower) juga akan sangat menunjang, karena sebagai persiapan menyongsong regenerasi. Apalagi jika posisinya adalah
middle manager, yang harus dapat berperan ganda sebagi
leader maupun
follower. Bagi yang saat ini posisinya masih di
middle manager apalagi yang masih
front-liner, disarankan, disamping harus benar2 memahami
leadership juga untuk benar-benar memahami esensi
followership, karena mereka tidak hanya menghadapi masa depannya sebagai
leader, namun juga masa kini dimana mereka berada sebagai
follower. Masa depan yang cerah tidak akan dapat digapai tanpa masa kini yang baik. Untuk itu, memahami dan mengoperasionalkan
leadership harus
balance dengan pemahaman yang benar tentang
followership, supaya tidak “
nggege mangsa”, belum-belum sudah merasa sebagai
leader, melupakan realitasnya sebagai
follower. Meskipun lebih nyaman sebagai
leader daripada sebagai
follower. Untuk itu raihlah posisi
leader, dengan cara-cara yang cantik, dengan kompetisi yang sehat dan baik, karena memang sudah dibekali
followership yang cukup dan
leadership yang kuat dan efektif, syukur bisa efisien.
Semoga ini dapat sedikit membantu menjelaskan juga tentang fenomena
kutu loncat.
Kalimat kuncinya adalah:
Followership yang masih berkutat hanya pada teori-teori
Five reasons to follow, yaitu tentang relasi antara
leader-follower yang berkaitan dengan
follow, respect, trust, liking, support, dan ideas, tidaklah cukup. Meskipun ditambah dengan teori-teori tentang
exemplary, alienation, conformist, pragmatist, passive (Kelly’s Model, 1992). Karena dalam prakteknya di Indonesia sering terjadi distorsi atau deviasi yang sangat lebar. Teori dan praktek harus
balance.
Karena teori tanpa praktek itu omong kosong, sementara praktek tanpa teori itu ngawur.
Salam Manajemen
Ratmaya Urip
===============================
Note: *) penulis adalah fungsionaris
Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia), dan
Quality Network Club – Indonesia.