Sabtu, 04 April 2009

Catatan untuk Bung Budiarto Shambazy


Catatan untuk Bung Budiarto Shambazy :

(Response atas tulisan Anda di kolom Politika, KOMPAS :

“Pembebas Aneka Fauna”

Hari : Sabtu, 4 April 2009, Halaman 15)

.

Oleh : Ratmaya Urip

Saya sepakat dengan Anda, bahwa reformasi sudah berakhir dan berganti dengan deformasi. Bahkan saya perlu menambahkan dengan kata-kata distorsi,deviasi, disturbasi, dan defleksi. Meskipun para politisi selalu berujar sampai mulutnya berbuih-buih, dan anggota badan lainnya mengejang, bahwa saat ini memang masih dalam proses belajar berdemokrasi, dan hasilnya akan dipetik kemudian. Saya tidak akan pernah percaya selama orang, proses atau sistemnya masih seperti sekarang ini. Justru karena proses demokrasi ini “hanya” dijadikan ajang pembelajaran maka tujuan berdemokrasi tidak tercapai, itulah seharusnya yang dapat disebut sebagai biang kegagalan reformasi sekarang ini.

Seharusnya proses demokrasi dipimpin oleh mereka yang sudah lulus dari proses pembelajaran berdemokrasi. Dengan kata lain jika proses demokrasi ini ingin berhasil (baca: kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai), maka demokrasi harus dipimpin oleh mereka yang sudah lulus dalam proses belajar berdemokrasi, atau cukup kompeten untuk berdemokrasi. Sekarang ini terlalu banyak waktu terbuang karena mereka masih harus belajar, padahal rakyat nampaknya sudah terlalu letih menunggu hadirnya kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi bangsa dan negara ini. Meskipun naif dan tidak masuk nalar, kadang sempat terpikir meskipun itu berarti sangat pragmatis, bahwa untuk berdemokrasi kita sebaiknya melakukan outsourcing. Yang penting apa yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar kita dapat tercapai dengan cepat, tepat, efektif dan efisien, sehingga kemakmuran bangsa dan negara dapat bertabik pada rakyatnya. Apalagi jika melihat fenomena seperti yang anda sampaikan, bahwa meskipun tidak semua politisi busuk, tetapi sebagian besar mengalami degradasi moral, penurunan etos kerja, defisit intelektual dan gerhana nurani, yang mungkin terinduksi karena makna “politics” adalah gabungan antara “poli” (banyak) dan “tics” (pengisap darah).


Ketidakkompetenan para politisi sangat jelas! Salah satu contoh diantara ratusan contoh lain yang paling nyata adalah ketidakmampuan mereka untuk menerima kekalahan. Juga fenomena kekalahan sering diikuti dengan berdirinya partai-partai
baru. Menurut saya itulah akibat dari seringnya manusia Indonesia dijejali dengan konsep-konsep Leadership (Kepemimpinan), tanpa ada balancing-nya dengan konsep Followership (Kepengikutan). Semua ingin jadi pemimpin, tidak mau jadi pengikut, maka jika kalah dari proses pemilihan sebagai pemimpin, mereka tidak mau menjadi pengikut, lebih baik menjadi pemimpin di lingkungan yang baru, meskipun nantinya tidak laku. Mereka tidak tahu makna followership, karena selalu dijejali leadership saja, tanpa imbangannya yaitu followership. Masalahnya Ilmu Followership di Indonesia tidak laku. Setelah coba saya cari di Perpustakaan-perpustakaan di seluruh Indonesia sering tidak ada literaturnya, padahal buku-buku tentang Leadership jumlahnya jutaan. Kalau berburu di internet, ilmu tentang Followership masih bisa ditemukan, meskipun ratio-nya terhadap ilmu Leadership adalah 1 : 1.000.000. Padahal kita tahu, bahwa jumlah follower di organisasi apapun, bagaimanapun dan di manapun, jumlahnya selalu jauh lebih besar daripada jumlah leader. Alangkah damainya negeri ini jika yang kalah mengaku kalah, dan siap menjadi follower seperti halnya Hillary Clinton, yang akhirnya menjadi follower pagi Obama. Hal ini tentu saja jika memang sistemnya mapan, benar dan dapat dipertanggungjawabkan.


Kurun waktu selama 10 tahun atau bahkan lebih, telah membawa reformasi, jauh dari semangat dan rohnya semula. Politik sebagai panglima, nampaknya membawa konsekuensi serius dan logis bagi terciptanya apatisme secara total (kecuali bagi para politisi yang dalam hal ini boleh disebut sebagai para pencari kerja di bidang politik). Yang itu terbukti dari apa yang Anda tulis sebagai kemungkinan akan adanya peluang bagi kemenangan telak GOLPUT atas 38 partai yang berkompetisi. Seharusnya kesejahteraan,kemakmuran, dan keadilan bagi rakyatlah yang menjadi panglimanya. Yang hal itu akan sangat sulit dicapai selama pemimpin-pemimpin politik dihasilkan dari rekruitmen yang tidak benar, yang berimbas pada kompetensi politik yang tidak sesuai persyaratan, sehingga proses politik hanya dijadikan ajang untuk mencari pekerjaan semata (sehingga harus memalsukan ijazah, sebagai salah satu contoh). Juga proses politik hanya dijadikan ajang untuk mencari kemakmuran diri sendiri atau golongannya, dan tindakan-tindakan tercela lainnya. Mereka masih belajar mencari kemakmuran dan kesejahteraan bagi dirinya sendiri atau golongannya, mana mungkin dapat menjadikan rakyat menjadi sejahtera dan makmur, meskipun janji-janjinya memberikan angin surga walau setelah terpilih ternyata yang terealisasi adalah kentut neraka.


Anda benar, bahwa sejak reformasi bergulir, utamanya sejak Pemilu 1999, kemudian Pemilu 2004, serta ratusan Pilkada yang telah dilakukan, fenomena atas trend GOLPUT telah atau tepatnya selalu meningkat dalam kurun waktu tersebut. Sindrom rindu pada era Bung Karno, maupun Pak Harto yang mulai mewabah nampaknya sah-sah saja untuk muncul sebagai fenomena. Setiap perubahan yang gagal selalu akan menimbulkan sindrom-sindrom seperti itu.
Kampanye-kampanye tradisional, yang bersifat transaksional saja, tidaklah cukup. Itupun realisasinya sering menyimpang, karena ternyata banyak pemimpin-pemimpin politik yang tidak tahu manajemen politik yang menurut saya, sekarang ini seharusnya merupakan paduan atau resultante dari manajemen publik dengan manajemen bisnis. Politik yang bersifat transaksional perlu dilengkapi dengan yang bersifat transformasional, serta dimanajemeni secara benar, berhasil guna dan berdaya guna.


Pemimpin-pemimpin politik yang baik dan kompeten sebenarnya cukup banyak, namun tidak punya tempat dalam hingar bingarnya perpolitikan nasional sekarang ini, karena berbagai sebab.


Politik tidak dapat dipisahkan begitu saja dari Ekonomi, karena bagaimanapun juga, hiruk pikuk politik sekarang ini muaranya adalah kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan negara. Ekonomi Kerakyatan (yang saya lebih senang menyebutnya sebagai Ekonomi Mandiri, dengan konsep saya yang agak berbeda), yang dijadikan issue kampanye oleh sebagian pemimpin politik sah-sah saja untuk digelegarkan, untuk menghadang laju pemikiran dan realisasi Ekonomi Neo Liberal yang selama kurun waktu lebih dari 40 tahun ini menjadi kiblat pembangunan ekonomi.


Saya memang tidak sepenuhnya sependapat dengan kedua aliran tersebut, baik paham Ekonomi Neo Liberal maupun Ekonomi Kerakyatan.
Saya punya konsep Pembangunan Ekonomi yang saya sebut sebagai Ekonomi Mandiri, yang platform-nya akan saya sampaikan kelak.


Saya tentu saja agak mengernyitkan dahi dan terperangah, meskipun di hati kecil saya mengiyakan, ketika temen-temen penganut Ekonomi Kerakyatan yang dalam salah satu kesempatan (di Q-TV milik Sugeng Saryadi pada akhir Bulan Maret 2009) yang secara tersirat menyampaikan bahwa Indonesia menjadi seperti sekarang ini (yang tersirat adalah kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi tidak tercapai), adalah karena selama empat dasa warsa, berlaku tag line Teh Botol : “apapun makanannya minumannya adalah teh botol”, yang dipelesetkan menjadi :
“Siapapun presidennya tim ekonominya pasti teh botol (tehnokrat bodoh dan tolol). Menurut saya, apapun sistem ekonominya yang penting cocok untuk suatu bangsa, dan juga harus dikelola dengan baik dan benar. Sistemnya sudah benar kalau orangnya tidak benar ya akan mubazir, begitu pula sebaliknya.

Sama dengan pendapat saya tentang pengelolaan negara, apakah sentralisasi (terpusat) maupun desentralisasi (otonomi), menurut saya semuanya bergantung pada sistem dan orang-orang yang melaksanakan sistemnya. Sentralisasi juga akan berhasil jika sistem dan orangnya benar. Contohnya China (yang hanya memiliki 4 daerah otonom di antara puluhan provinsinya), yang secara ketat melaksanakan sistem politik yang sentralistik. Jaman Orde Baru yang sentralistik dulu dikecam karena telah disalahgunakan oleh pelaku-pelakunya, karena telah menjadikan sistem sentralistik sebagai mata air bagi muara berupa penumpukan dan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara setelah meninggalkan era sentralistik, dengan memilih otonomipun kita akan gagal jika sistem dan orangnya tidak benar. Karena Indonesia yang telah memilih sistem otonomi telah menyajikan fakta, bahwa otonomi telah menjadi lahan subur untuk praktek bagi-bagi kekuasaan (yang jauh dari semangat aslinya untuk membuat rakyat lebih diberdayakan). Maka jalannya otonomi menjadi terseok-seok, bahkan sementara kalangan bisnis menuduh, otonomi sebagai biang lesunya dunia bisnis karena semakin menurunkan daya saing dengan berbagai kebijakan yang tidak pro pasar. Beberapa pihak malah lebih keras lagi dengan menyebutkan otonomi sebagai bagi-bagi rejeki atau pemerataan korupsi, yang sebelumnya hanya dapat dinikmati sebagian kecil pelaku di era sentralistik.

Saya bukan penganut Ekonomi Neo Liberal, Ekonomi Kerakyatan, maupun Ekonomi Pancasila-nya Prof. Mubyarto, namun mencoba untuk memperkenalkan paham
Ekonomi Mandiri, dengan platform yang sedikit berbeda, yang nampaknya ,belum punya tempat di perpolitikan nasional maupun lokal. Saya tahu diri karena hanya rakyat kecil yang kebetulan juga tidak bergabung dalam salah satu partai politik.

Last but not least, di dunia politik kita jangan hanya memiliki slogan yang populer di dunia pemasaran yang menurut saya sudah kuno: “Kita harus senyum (supaya pelanggan datang)”. Tapi bangunlah pemeo yang lebih pas : “Buatlah pelanggan tersenyum”. Sebab pelanggan belum tentu ikut tersenyum meskipun kita telah memberikan keramahan berupa senyuman. Yang intinya, kalau pemeo lama itu kita yang harus tersenyum supaya pelangan juga senyum, di pemeo yang lebih pas adalah pelangganlah yang harus dibuat tersenyum, meskipun kita tidak perlu tersenyum.

Terima kasih Bung Budiarto Shambazy atas pancingan Anda. Karena Anda kini telah mendapatkan ikannya, meski baru dari saya. Jangan khawatir, other fishes waiting silently.

Salam.

Ratmaya Urip

http://ratmayaurip.blogspot.com

Email: ratmayaurip@yahoo.com

Tidak ada komentar: