Kamis, 03 September 2009

Klinik Konstruksi 6 (Sambungan KK 5)



Lampiran 1:

KASUS-KASUS GEOKIMIA TEKNIK SIPIL

DI DUNIA KONSTRUKSI

(Diajukan oleh para peserta program pelatihan yang telah mengikuti progam ini)

Pertanyaan Arief :


1. Bagaimanakah sifat RHA (Abu sekam padi) menurut bapak dalam hal ini untuk campuran bahan stabilisasi tanah gambut dan berapa nilai optimumnya bila digunakan untuk campuran?


Ratmaya Urip menjawab :

Tanah gambut adalah tanah organik, yang belum atau sedang mengalami proses oksidasi (proses kimia). Atau kalau tokh terjadi proses okidasi, prosesnya amat sangat lambat . Untuk dapat memberikan kestabilan secara kimia, maka tanah gambut harus sudah teroksidasi. Itupun jika sudah teroksidasi (dengan dibakar atau terbakar dan menghasilkan abu gambut), maka kandungan oksidanya adalah sama dengan RHA. Dalam hal ini yang dominan adalah SiO2, Al2O3, Fe2O3. Untuk terjadinya proses stabilisasi maka diperlukan CaO, yang akan menghasilkan CaOSiO2H2O atau Calsium Silikat Hidrat (CSH).

Jadi jika tanah gambut yang sudah teroksidasi sekalipun, jika dicampur RHA, maka secara chemis tidak akan terjadi proses pengikatan menjadi senyawa baru yang padat. Karena silika dan alumina dari hasil oksidasi tanah gambut bertemu dengan silika dan alumina dari RHA. Secara fisik atau mekanik mungkin akan terjadi pemadatan, namun diperlukan RHA dengan jumlah yang besar sekali (dosisnya tinggi sekali).

Tanah gambut jika dicampur abu sekam padi dalam proses fisik dan mekanik, sifatnya sama dengan tanah gambut ditambah pasir silica. Jika pasir silikanya banyak sekali. maka tanah akan padat karena airnya akan pergi dari tanah gambut karena terdesak oleh pasir silika, namun tidak terjadi proses kimia. Jadi tanah gambut bersifat seperti filler atau reinforcement saja.

Pada prinsipnya, proses stabilisasi kimia (lebih tepatnya disebut solidification), hanya akan terjadi jika kandungan SiO2 dan Al2O3 bertemu dengan CaO. Coba dichek apakah ada CaO di proses tersebut?

Perlu diketahui, tanah gambut jika terbakar sempurna akan menghasilkan abu, yang sama kandungan kimianya dengan sekam padi yang dibakar.

Tanah gambut adalah salah satu bahan baku terjadinya batubara. Tanah gambut jika kena tekanan yang ultra tinggi, dan panas yang ultra tinggi dalam waktu yang lama (dalam jutaan tahun) maka akan menjadi batubara. Karena salah satu bahan baku batubara adalah tanah gambut yang menjadi fosil. Maka seperti halnya minyak bumi, batu bara juga sering disebut bahan bakar fosil.

Pertanyaan Arief :


2. Apakah cocok bila abu sekam padi ini dicampur dengan PC untuk stabilisasi tanah gambut (keduanya kan memiliki daya ikat dan serap yang tinggi , kan sama2 memiliki
silikat yang besar)

Ratmaya menjawab :

Abu sekam padi jika dicampur semen (PC) akan menjadi semen portland pozzolan (PPC). Berarti jika terjadi proses hidrolis (pengerasan semen), akan menjadi lebih lambat mengeras, Kita sama-sama tahu bahwa fungsi PC atau PPC adalah sebagai pengikat, dalam hal ini mengikat serat-serat gambut. Fungsi abu sekam padi malah akan memperlambat proses pengerasan atau pengikatan serat-serat gambut.

Pertanyaan Arief :


3. Untuk berat jenis semen tipe satu apakah sama untuk semua merk ?


Ratmaya menjawab :


Yang dimaksud dengan berat jenis itu apakah density atau specific grafity? OK, saya anggap saja pengertian berat jenis secara umum. Pada dasarnya berat jenis semen tergantung dari mix-design bahan bakunya, dan berat jenis bahan baku semennya, dalam hal ini kapur, tanah liat, pasir besi, pasir silika, dan gipsum. Karena meskipun ASTM sudah menetapkan standard tertentu untuk suatu jenis semen (kandungan C3S, C2S, C3A, C4AF, dll), namun karena mix -design yang berbeda dan berat jenis raw-material yang beda akan menyebabkan terjadinya berat jenis semen yang beda pula. Namun saya kira bedanya tidak terlalu banyak. Kalau mau menganggap sama juga tidak apa-apa. Soalnya saat ini sedang dilakukan penelitian untuk mencari struktur beton yang sangat ringan (sehingga beban matinya kecil), namun mempunyai kekuatan struktur yang tetap sama dengan yang beban matinya lebih besar).

Pertanyaan Arief :

4. Menurut bapak berat jenis tanah yang sudah dicampur (PC+RHA+Gambut) apakah lebih besar dari tanah aslinya?

Ratmaya menjawab :

Tergantung dari usia, dan proses pembentukan tanah gambutnya (dipengaruhi oleh suhu, tekanan, lama pembentukan, bahan pembentuk gambut, water content, dll).
Namun secara awam dapat disampaikan, bahwa tanah asli biasanya porous (berpori lebih banyak daripada tanah yang sudah terjadi proses hidrasi (pengerasan oleh semen). Tapi jika gambutnya lebih porous? Kan ya sama saja. Kecuali pori-pori gambut bisa tertutup semua oleh semen dan RHA.

ooOoo

Lampiran 2:

Pertanyaan-pertanyaan dari peserta lain (Bpk. David, dll):

Pertanyaan 1:

Penambahan fly ash (2%, 4%, 6%, 8%) pada lempung malah menurunkan BJ campuran secara berbanding lurus, mengapa?

Jawaban Ratmaya Urip :

Sekali lagi saya perlu menegaskan, lempung itu terdiri dari berbagai macam mineral (senyawa majemuk) dan atau oksida. Lempung terdiri dari beberapa macam senyawa/ mineral : kaolinite, dickite, nacrite, halloysite, montmorillonite, beidellite, nontronite, saponite, illite, dan lain-lain. Untuk penelitian yang sekarang dilakukan, jenis yang mana yang dipakai??? Karena masing-masing mineral mempunyai density, specific grafity dan specific surface yang berbeda. Begitu pula komposisi oksidanya juga berbeda (jumlah SiO2 dan Al2O3, serta Fe2O3 berbeda).

Kalau kita tinjau mineralnya saja dengan mengabaikan oksidanya, maka sebagai contoh :

· Kaolinite berat jenisnya = 2,60 s/d 2,68 gr/cm3

· Halloysite berat jenisnya = 2,00 s/d 2,20

· Illite berat jenisnya = 2,76 s/d 3,00

· Belum lagi berat jenis mineral-mineral yang lain. Meskipun di alam, lempung terdiri dari kombinasi beberapa mineral., yang tidak mungkin Kaolinite murni, Montmorillonite murni, dan sebagainya. Pasti kombinasi berbagai macam mineral. Hanya yang paling dominan yang mana.

Sementara fly ash rata-rata mempunyai berat jenis lebih kurang 2,68.

Semen mempunyai berat jenis lebih kurang 3,05 s/d 3,15

Perlu diketahui, bahwa di samping kandungan oksida, fly ash juga dapat dibedakan dari kandungan senyawa/mineralnya, di antaranya glass (paling dominan karena kandungannya 50% s/d 90%), haematite, magnetite, mullite, quartz, dll.

· Jika fly ash dicampur dengan lempung yang kandungan senyawa dominannya berupa Kaolinite yang berat jenisnya hampir sama dengan fly ash yaitu 2,68, maka berat jenis campuran lempung dan fly ash tidak akan berubah.

· Jika fly ash dicampur dengan lempung yang kandungan senyawa dominannya berupa Halloysite yang berat jenisnya 2,00 s/d 2,20, maka berat jenis campuran akan cenderung naik seiring dengan tambahan dosis fly ash-nya, jika dibandingkan dengan berat jenis lempung sebelum dicampur fly ash.

· Jika fly ash dicampur dengan lempung yang kandungan senyawa dominannya berupa Illite yang berat jenisnya 2,76 s/d 3,00, maka berat jenis campuran akan cenderung turun seiring dengan tambahan dosis fly ash-nya, , jika dibandingkan dengan berat jenis lempung sebelum dicampur fly ash.

Tinjauan di atas masih belum memperhitungkan analysis oksida dan analysis specific surface.

Untuk dapat memahami hal tersebut sebaiknya memang harus mempelajari geokimia dan kimia teknik sipil, apalagi jika ditambah Ilmu Metalurgi. Jika hanya berbasis kemampuan geoteknik/mekanika tanah/teknik fondasi (cabang dari Ilmu Teknik Sipil), maka akan sulit memahaminya, atau akan bias hasilnya.

Katagori tanah (soil) dalam Ilmu Teknik Sipil, yang hanya membatasi pada jenis clay, silt, dan sand maupun kombinasi dari ketiganya tidaklah cukup untuk memahami perilaku tanah (soil). Apalagi untuk memahami bebatuan.

Pertanyaan 2:

Dari penelitian penambahan fly ash menurunkan IP secara berbanding lurus? berarti grafik IP tidak mungkin berbentuk parabola kan (pada campuran yang sama)? apa juga berlaku untuk semua jenis tanah?

Jawaban Ratmaya Urip:

IP dipengaruhi oleh nilai luas jenis (specific surface). (Awas perhatikan beda antara luas jenis/specific surface dan berat jenis/specific gravity). Masing-masing jenis tanah lempung mempunyai specific surface yang berbeda. Semakin besar nilai specific surface maka keplastisannya semakin tinggi, karena dengan semakin besar nilai specific surface tanah akan semakin lembut butirannya, sehingga butiran akan semakin spherical dan antar butir akan semakin mudah menggelincir, sehingga pergerakan butiran akan semakin mudah.

Nilai-nilai specific surface :

· Kaolinite = 15 m2/gr = 150.000 cm2/gr

· Halloysite = 43 m2/gr = 430.000 cm2/gr

· Illite = 100 m2/gr = 1.000.000 cm2/gr

· Montmorillonite = 800 m2/gr = 8.000.000 cm2/gr

Nilai specific surface fly ash = 1800 s/d 5900 cm2/gr tergantung dari jenis fly ash-nya (dipengaruhi jenis batubaranya) dan cara menangkapnya (dipengaruhi oleh sistem penangkapan fly ash di pabrik penghasil fly ash, apakah dengan Electrostatic Precipitator, dust collector atau lainnya).

Dari perbandingan nilai specific surface, ternyata nilai specific surface dari fly ash jauh lebih kecil daripada nilai specific surface berbagai senyawa tanah lempung, sehingga dapat dipastikan bahwa fly ash jauh kurang plastis dibandingkan dengan tanah lempung (clay elements). Dengan kata lain fly ash mempunyai IP yang jauh lebih rendah daripada tanah lempung.

Tentang bentuk grafik IP, saya duga memang tidak mungkin berbentuk parabola, namun lebih ke bentuk linier, karena perbandingan nilai specific surface fly ash sangat jauh lebih kecil daripada nilai specific surface tanah lempung.

Apakah berlaku untuk semua jenis tanah? Itu tergantung nilai specific surface tanah, karena tanah itu bukan hanya tanah lempung (felspar, zeolite, dll) atau clay element saja, namun juga ada limestone, chalk, marl, dll, yang masuk dalam lime element, serta other elements. Meskipun yang dominan di bola dunia ini adalah clay component (felspar, zeolite, dll).

Jika specific surface tanah lebih kecil daripada specific surface fly ash, maka fly ash-nya lebih plastis. Beberapa jenis tanah kapur tertentu mempunyai specific surface yang lebih rendah daripada fly ash.

Pertanyaan 3:

Juga menaikkan plastis limit, padahal fly ash bukannya bersifat non plastis?

Jawaban Ratmaya Urip:

Dari jawaban no. 2 di atas, saya kira sudah dapat memahami seluruh persoalan.

Apakah fly ash itu bersifat plastis atau non plastis adalah relatif, tergantung dengan jenis tanah yang akan dicampur fly ash. Jika specific surface fly ash lebih besar daripada tanah, maka fly ash lebih plastis, jika lebih kecil maka fly ash menjadi lebih tidak plastis.

Pertanyaan 4:

Saya agak kesulitan mencari reaksi kimia antara fly ash, kapur dan air

Jawaban Ratmaya Urip :

Kapurnya CaO (kapur tohor/kapur bakar) atau CaCO3 (kapur alam)??

Jika kapurnya kapur tohor maka reaksinya :

CaO + H2O à Ca(OH)2

2(Al2O3.2SiO2) + 7Ca(OH)2 à 3CaO.2SiO2.aq + 2(2CaO.Al2O3.SiO2.aq)

Disingkat à CSH + CASH

Bisa juga terjadi reaksi sebagai berikut (dengan persyaratan dan ketentuan tertentu) :

3CaO + 3SiO2 à 3CaOSiO2 disingkat C3S

2CaO + 2SiO2 à 2CaOSiO2 disingkat C2S

3CaOSiO2 + H2O à 3CaOSiO2.aq + Ca(OH)2

2CaOSiO2 + H2O à 2CaOSiO2.aq + Ca(OH)2

Ca(OH)2 + Al2O3.SiO2 à CaO.SiO2.aq + CaO.Al2O3.SiO2.aq disingkat CSH + CASH

Pertanyaan 5:

Dari salah satu dosen UGM pembimbing saya mengatakan komposisi bahan campur untuk tanah dibatasi 20%. artinya bila campuran melebihi batas tersebut maka hasil CBR akan jelek. apa benar begitu?

Jawaban Ratmaya Urip:

Yang perlu dipahami adalah, jenis tanahnya harus diketahui dulu, dalam hal ini jenis oksida dominannya dan jenis mineral dominannya (kandungan SiO2, Al2O3, Fe2O3, CaO dan oksida-oksida lainnya, serta jenis mineral-mineralnya seperti Kaolinite, Dickite, Nacrite, Halloysite, Montmorillonite, Beidellite, Nontronite, Saponite, Illite (clay component), limestone, chalk, marl (lime component), dan mineral-mineral lainnya. Demikian juga jenis bahan campurnya (dalam hal ini jenis oksida atau mineral dominannya.

Tanpa pengetahuan yang cukup tentang kandungan oksida atau kandungan mineralnya, sulit memprediksi jumlah bahan pencampur yang maksimal (kecuali jika terbatas hanya pada ilmu teknik sipilnya saja).

Untuk itu diperlukan penelitian chemical analysis dan geological analysis (khususnya geochemical analysis) dari tanah dan bahan pencampurnya. Jika hanya penelitian yang bersifat physical seperti penelitian di laboratorium Teknik Sipil, datanya tidak cukup untuk dianalysis secara hakiki.

Memang untuk beberapa referensi mengatakan, bahwa kebanyakan dibatasi sampai 20% (Itu karena keterbatasan kemampuan orang-orang teknik sipil, yang biasanya lemah dalam ilmu kimia dan ilmu geologi)

Pada prinsipnya saya masih dapat memahami (berdasar penelitian kimia dan geologis), jika bahan pencampurnya sampai 40%. Namun itu berdasar teori. Untuk prakteknya masih harus diperlukan banyak penelitian lagi, karena yang meneliti untuk aspek ini belum banyak (bahkan mungkin tidak ada). Kenapa tidak banyak yang meneliti? Karena orang-orang teknik sipil terlalu sibuk dengan penelitian yang lebih physical, atau tidak suka Ilmu Kimia, meskipun hanya terbatas Ilmu Kimia Teknik Sipil yang hanya terdiri dari 8 unsur utama. Sementara orang-orang dari teknik kimia lebih tertarik pada penelitian kimia industri, kimia polimer, petrokimia, dan kimia minyak. Juga orang-orang geologi lebih suka meneliti tentang geologi yang lebih komersial, seperti pertambangan logam mulia dan minyak.

Bidang ini adalah bidangnya teknik sipil, khususnya kimia teknik sipil atau geokimia teknik sipil, ilmu yang masih perlu terus menerus dikembangkan, oleh orang-orang teknik sipil sendiri, khususnya untuk program-program master atau doktor).

Saran saya: untuk penelitian index plastisitas, batas atterberg, sudut gesek dalam, swell, CBR, stabilisasi tanah (solidification), dan lain-lain, sebaiknya harus dikaitkan dengan ilmu kimia teknik sipil dan geokimia, supaya lebih hakiki.

Oh, ya...Siapa dosen UGM yang menjadi pembimbing anda? Salam saya untuknya, karena saya dibesarkan di sana. Kalau perlu kita bisa diskusikan hal ini.

Pertanyaan 6:

Apakah hubungan swell selalu berbanding lurus dengan CBR walaupun pada campuran yang berbeda?

Jawaban Ratmaya Urip:

Swell berhubungan dengan kerapatan butiran tanah atau besar kecilnya angka pori tanah, atau permeabilitas dari tanah. Ini kita belum bicara masalah specific surface. Semakin besar swell-nya maka jumlah butiran tanah dalam satu satuan volume akan berkurang. Atau lebih tepatnya jumlah butiran per satuan volume akan berkurang. Jika jumlah butiran per volume berkurang akan menyebabkan daya dukung tanah berkurang. Jika daya dukung tanah berkurang menyebabkan nilai CBR turun. Begitu juga sebaliknya.

Sekali lagi saya sampaikan, bahwa sebelum proses pencampuran harus selalu diketahui dulu oksida dan atau mineralnya dengan chemical analysis dan geological analysis, jangan semata-mata berdasar penelitian fisikal saja. Juga moisture content-nya.

Pertanyaan 7:

Untuk swell, mengapa hanya dilakukan 4 hari padahal setelahnya masih terjadi swell yang mungkin signifikan?

Jawaban Ratmaya Urip:

Tergantung jenis oksida atau mineral tanahnya. Untuk tanah dengan kandungan kalsium yang dominan, maka 4 hari sudah cukup. Tanah kapur-pun, jika kapurnya CaO atau CaMgO atau MgCO3 atau CaSO4nH2O bukan CaCO3, juga memerlukan waktu swelling yang lama. Masalahnya memang tanah kapur kebanyakan adalah CaCO3. Sementara tanah dengan kandungan alumina dominan (lempung ekspansif), maka proses swelling sering memerlukan waktu yang lama, khususnya jika moisture content-nya tinggi.

Pertanyaan 8:

Juga pada CBR, mengapa titik yang diambil yaitu 0,1" dan 0,2"? padahal peningkatan yang besar masih terjadi setelahnya.

Jawaban Ratmaya Urip:

Jawabannya mirip dengan jawaban nomor 7

Pertanyaan 9:

Apa anda memiliki literatur tentang stabilisasi tanah gambut dengan fly ash? karena saya sudah mencari di berbagai media belum saya temui topik tersebut.

Jawaban Ratmaya Urip:

Literatur tentang hal itu memang sangat sedikit, saya sendiri tidak memilikinya. Saya hanya memiliki pengalaman lapangan, sehingga saya sedikit mempunyai referensi empiris, meskipun sebenarnya dapat saya buat menjadi sebuah buku.

Kita juga dapat menganalisisnya berdasar pengetahuan kimia dan geologi kita (tentu saja di samping pengetahuan geoteknik kita).

Yang pasti tanah gambut (yang banyak jumlahnya di Kalimantan dan Sumatra), memang berbeda dengan tanah rawa di Jawa. Tanah gambut dominan dengan unsur kimia organik, khususnya C atau CO2, meskipun kandungan SiO2 dan Al2 O3 juga banyak. Gambut sebenarnya juga dapat dimasukkan sebagai bahan bakar setengah fosil. Sementara tanah rawa di Jawa lebih dominan SiO2 dan Al2O3, dengan kandungan mineral dominan Halloysite, Montmorillonite, dan Illite yang masuk dalam katagori kimia non-organik.

Dalam stabilisasi tanah gambut, maka kita harus berasumsi bahwa kandungan organiknya (khususnya lignin dan humusnya) dianggap sebagai filler, sementara cellulosa-nya dapat dianggap sebagai reinforcement. Meskipun kita tahu bahwa bahan organik sangat merugikan bagi pembentukan kekuatan beton atau tanah. Jika ingin benar-benar berfungsi untuk stabilisasi tanah maka tanah gambut harus dibakar dulu supaya kandungan carbonnya menguap, dan yang tersisa adalah SiO2 dan Al2O3 dominan. Namun itu pasti memerlukan biaya yang besar sekali dan juga mencemari lingkungan dalam hal ini menimbulkan kebakaran tanah gambut yang lebih luas (dan akan timbul efek rumah kaca karena adanya emisi karbon dioksida, di samping masalah asapnya yang bisa terekspor ke Malaysia dan Singapura)

Pertanyaan 10:

Dari penelitian saya dihasilkan nilai CBR sbb:

- tanah A tanpa peram (gambut+6%fly ash) = 8.302%

- tanah A peram 7 hari = 8.927%

nilai itu lebih besar dari

- tanah B tanpa peram (gambut+7%gypsum+6%fly ash) = 8.022%

- tanah B peram 7 hari = 8.841%

mengapa bisa begitu?

Jawaban Ratmaya Urip:

Saya tidak dapat menganalisis lebih dalam karena saya belum memperoleh data kandungan kimia dan geologi dari tanah gambut serta kandungan kimia dari fly ash. Ibarat dokter, maka saya tidak dapat mendiagnossis suatu penyakit jika data laboratoriumnya belum ada. Ingat, bahwa fly ash-pun bermacam-macam jenisnya. Ada yang low calcium ada yang high calcium. Juga apakah termasuk fly ash klas F (hasil pembakaran batubara jenis anthracite dan bituminous) atau klas C (hasil pembakaran batubara jenis sub-bituminous atau lignite).

Meskipun saya tidak dapat menganalisis karena tidak ada data penelitian geologi dan penelitian kimia, namun saya dapat menduga. Dugaan saya adalah sebagai berikut :

· Fly ash yang dipakai adalah jenis C, yang biasanya high calcium. Karena ada calcium, maka akan berreaksi dengan SiO2 dan Al2O3 yang ada di tanah gambut.

· Gypsum adalah CaSO42H2O, yang mempunyai sifat mengembang (swell) yang tinggi.

Karena dugaan tersebut di atas, maka :

  • Tanah A dengan peram 7 hari akan lebih besar nilainya daripada tanah A tanpa peram, karena calcium dalam fly ash klas C yang berreaksi dengan silika oksida dan alumina oksida dalam tanah gambut akan menyebabkan terjadinya sementasi dan flokulasi, sehingga kerapatan butiran menjadi tinggi, dengan kata lain jumlah butiran per satuan volume akan naik, sehingga nilai CBR-nya akan naik. Begitu juga halnya dengan perbedaan nilai CBR yang terjadi antara tanah B dengan peram dan tanpa peram.
  • Perbedaan tanah A dan tanah B terjadi karena dengan adanya gypsum maka potensi untuk mengembang menjadi besar, karena gypsum adalah material yang mudah mengembang. Karena mengembang, maka jumlah butiran per satuan volume menjadi mengecil, sehingga nilai CBR akan mengecil. Hanya saja tingkat pengembangan dari gypsum, masih lebih kecil daripada tingkat sementasi atau flokulasi dari adanya reaksi kimia antara calcium dari fly ash klas C dengan silika dan alumina oksida.

Pertanyaan 11:

Apakah nilai Indek Plastisitas berbanding lurus dengan nilai swell?

Jawaban Ratmaya Urip:

Ya. Karena logikanya jika swell-nya besar, maka jumlah butiran per satuan volume akan mengecil, sehingga proses gerak mekanis dari butiran akan semakin leluasa, karena ruang gerak butiran menjadi lebih besar. Ini adalah jawaban yang paling mudah dipahami karena sangat sederhana.

Di samping itu ada jawaban saya yang lain yang berkaitan dengan nilai specific surface, namun penjelasannya terlalu rumit, yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang benar-benar memahami kimia, geologi dan metalurgi.

ooOoo

Lampiran 3:

Contoh pertanyaan-pertanyaan lain dari peserta :

1. Saya bingung dengan OMC yang seharusnya saya gunakan untuk pemadatan tanah campuran (t.gambut+bhn stabilisasi), menurut dosen saya digunakan OMC tanah asli apapun campuran bahannya. namun dalam buku Joseph E.Bowles menerangkan bahwa digunakan OMC tanah campuran sesuai dengan bahan dan presentase campuran yang digunakan. Mohon bimbingannya.

2. Hasil BJ tanah gambut saya 1.33 sedangkan Bj Illite 2,80 ; hallosite 2,00-2,55 ; montmorilonite 2,65-2,80. Apa ada faktor lain yang sangat berpengaruh hingga dapat menurunkan BJ sejauh itu? Sementara dalam buku Christadi membatasi BJ tanah gambut sebesar 1,25-1,80.

3. Dalam buku "geologi untuk teknik" oleh Verhoef ("....dengan dibiarkan terkena udara, mineral fyrit (FeS2) bisa beroksidasi. dalam hal ini ia akan mengembang. bila pyrit terdapat dalam suatu bahan (misal dalam serpih atau batu kapur)...." dari kutipan tersebut saya teringat dengan bahan gypsum yang saya gunakan juga dapat mengembang. apa ada hubungannya dengan mineral tersebut? sedangkan dapat kita lihat unsur besi dan sulfur tidak terdapat dalam gypsum (CaSO42H2O) namun ada bahan kapur yang terkandung dalam gypsum. bila tak ada hubungannya lalu kandungan apa yang menyebabkan sifat mengembang pada gypsum?

4. Saya hanya ingin mendapatkan informasi lebih jelas tentang kandungan mineral dominan pada tanah rawa di pulau jawa yang seperti bapak katakan yaitu montmorillonite, hallosite dan illite. apa ada website nya?

Buku Rock & Minenals (Rp 300.000) di jaringan orang-orang Geologi

5. Ada salah satu rumus yang menyebutkan Yd=(Gs*Yw)/(1+e) (mektan1 hardiyatmo) dapat ditulis e=((Gs*Yw)/Yd)-1 dapat dilihat bahwa Gs berbanding lurus dengan e. sedangkan yang saya tau semakin besar Gs maka angka pori (e) semakin kecil. Mohon bantuannya.

6. Dalam buku "dasar2 ilmu tanah" oleh H.D.Forsh dikatakan: kepadatan tanah menghasilkan peningkatan dalam ruang pori makro. saya masih kurang mengerti tentang statement tersebut. Mohon dijelaskan

7. Dalam "geokimia" oleh Warlan Sugiyo mengatakan, leucit + quartz menghasilkan ortoklas. Yang saya tanyakan leucit itu termasuk mineral primer/sekunder? Andaikata sekunder, terdiri dari mineral apa? Mohon bantuannya.

8. Ada kerapatan massa dan kerapatan partikel. Untuk kerapatan massa saya dapat mengerti, namun untuk kerapatan partikel apakah yang dimaksud adalah kerapatan dalam 1 buah partikel? yang terdapat ruang pori mikro, cruser, ped didalamnya?

Kerapatan antar partikel?

9. Saya rasa swelling tidak ada hubungannya dengan kerapatan butiran, angka pori, permeabilitas karena yang berpengaruh adalah mineralnya. Selain itu apa ada lagi?

10. Dalam beberapa buku menyebutkan tanah gambut, tanah humus, tanah organik. apa perbedaan dari k-3-nya?

Dalam tanah humus terdapat misel yaitu mineral humus berukuran koloid. yang menyebuitkan misel memiliki ribuan anion yang dapat menarik kation. berarti dapat menarik air? Apa misel terdapat dalam tanah gambut?

11. Suatu tanah yang semakin tidak plastis, semakin meningkat %sand nya, otomatis Gsnya semakin besar lalu bagaimana dengan sifat LLnya (batas cair) ? Menurut saya semakin meningkat namun untuk alasannya saya ragu? Mohon bimbingannya.

ooOoo

Tidak ada komentar: