Selasa, 01 September 2009

Sejenak Bersama Pak Siswono Yudo Husodo



PERBESAR SKALA EKONOMI

JIKA INGIN KESEJAHTERAAN BANGSA TERCAPAI

(Oleh-oleh Sebagai Moderator Seminar Bp. Dr. Ir. Siswono Yudo Husodo)

Oleh : Ratmaya Urip*)

Hal yang patut dicatat pertama kali sebagai kekaguman saya ketika beliau menjadi narasumber dalam acara seminar AMA-Surabaya hari Senin malam, 28 Agustus 2008 di Hotel Shangrila, Surabaya, adalah fisik beliau yang masih sangat prima, dalam usia beliau yang ke-66. Bayangkan, sebagai pribadi yang lahir di Long Iram, Kalimantan Timur, 4 Juli 1943 (tanggal yang sama dengan “Independence Day” dari negara adidaya Amerika Serikat), beliau dapat membaca makalah dengan huruf Times New Roman font 12, tanpa menggunakan kaca mata. Suatu kondisi fisik yang jarang dimiliki oleh seseorang di usia seperti itu. Penglihatan, pendengaran, dan penciuman beliau masih setajam generasi muda yang berusia tiga puluhan tahun. Pandangan-pandangan, mulai dari visi berbangsa, strategi, sampai action plan-nya setajam sembilu. Itulah mungkin karena perjuangan sepanjang hayat yang tidak pernah selesai dari beliau. Dinamika, dialektika, dan romantika beliau tidak kalah dengan generasi muda.

Sebelum saya menjadi moderator untuk Seminar dengan topik “Prospek Dunia Usaha Pasca Krisis Ekonomi” tersebut di atas, di setiap kesempatan, jika mendengar, membaca, dan melihat beliau, saya selalu berpikir tentang tanah kelahiran beliau. Kenapa demikian, karena kebetulan saya sangat paham dan mengerti betul tentang tempat tersebut, karena saya pernah berada di tempat kelahiran beliau. Di tambah lagi, saya dan beliau berangkat dari disiplin ilmu yang sama, yaitu dunia teknik sipil, meskipun berbeda almamater. Beliau dari ITB sementara saya dari UGM. Meskipun nasibnya berbeda. Beliau selalu menjadi pemenang karena selalu berada di posisi atas sebagai “leader”, sementara saya tetap saja sebagai pecundang karena terus di bawah sebagai “follower”, dalam mengarungi hidup ini (he..he..he...ini bukan berarti meratapi nasib lho!? Barangkali garis tangan atau “balungan”nya memang sudah digariskan demikian). Yang membedakan lainnya dengan beliau adalah saya masih lebih muda (meskipun kalau baca harus dengan kaca mata). Juga, meskipun beliau berdarah suku Jawa, namun dilahirkan di pelosok pedalaman Kalimantan, karena mengikuti orang tua yang bertugas di sana (Dr. Soewondo, mantan Gubernur DKI-Jakarta tahun tujuh puluhan). Sementara saya dilahirkan di tengah pusat budaya Jawa di Yogyakarta dekat Keraton kesultanan Yogyakarta. “Babagan punika mbok menawi kemawon ingkang mijilaken nasib kula benten, menawi kabandingaken kaliyan panjenenganipun. Bentenipun kados langit kaliyan bumi”.

Tentang tempat kelahiran beliau, yaitu Long Iram, yang jaraknya hampir 400 km dari ibukota propinsi Samarinda, memang menyimpan banyak cerita bagi saya. Tempat yang ketika saya muda dulu, ketika baru selesai kuliah, menyimpan memory dengan keindahan ragawi dan pesona seorang gadis Dayak Benuaq. Itulah mungkin mengapa sampai sekarang sulit untuk dilupakan. Saya pasti ingat memory-memory di Sendawar, Melak, Barong Tongkok, Long Iram Bayan, Keliway, Ujoh Alang, dan lain-lainnya. Tempat pertama kali saya mulai belajar Antropologi, dengan mengenal berbagi suku Dayak, seperti Dayak Bahau, Dayak Kenyah, Dayak Aoheng,

(Tulisan ini masih alam tahap penyuntingan)

Tidak ada komentar: