Senin, 07 Februari 2011

Tanggapan untuk Ibu Debora:


Tanggapan untuk Ibu Debora

Setelah membaca tulisan saya dengan judul: "Selebriti atau Selebritas", Ibu Debora dari milis indokarlmay.yahoogroups.com menanggapi sbb:


--- Pada Sen, 7/2/11, Debora 張 <debora.chang@hotmail.com> menulis:

Dari: Debora 張 <debora.chang@hotmail.com>
Judul: RE: [indokarlmay] Selebriti Vs Selebritas
Kepada: indokarlmay@yahoogroups.com
Tanggal: Senin, 7 Februari, 2011, 1:47 AM

bigimana kalo ternyata atensi, koreksi, apresiasi itu malah membuat salah yang sudah betul, dan cilakaknya tanpa fikir fanjang ditelan mentah2 sama banyak orang??

saya bukan ahli basa indo, tapi kok rasa2nya memang ada yg seperti itu..

buat kamerad iGor dkk: saya ini penikmat, bukan pembuat, kelucuan.. jadinya cuma bisa ngasih komen2 standar semacam ini padahal sungguh mati ingin sekali bisa melucu seperti Anda sekalian..

cheers..!

debora

====================

Kemudian saya coba memberikan masukan sebagai berikut:

Bu Debora,

Terima kasih atas reponse-nya. Maaf terlambat response karena email Ibu nyasar ke Spam, dan saya terlambat membuka spam.

Begini Bu, itulah yang saat ini terjadi. Mengapa bisa terjadi?...karena
tingkat penalaran yang belum tinggi (maaf saya tidak berani mengatakan
"rendah"..namun saya yakin, Bu Debora sudah tahu, bahwa itu
"euphemisme"). Mengapa penalaran belum tinggi, ini tergantung dari
sistem dan materi pendidikan dan pengajaran. Sistem dan materi
pendidikan yang ada terbukti juga salah karena membuat orang menjadi
ambtenaar atau priyayi bukan entrepreneur.

Itu semua kembali ke tingkat kualitas bangsa. Jika kita bicara kualitas
(bukan kualiti, itu bahasa Malaysia), maka kita wajib untuk
mengawalinya dengan standar. Karena yang namanya kualitas akan dapat
dicapai jika telah memenuhi standar. Nah budaya kualitas inilah yang
kini belum dimiliki oleh bangsa ini. Yang ada adalah yang berharga
murah (baca: murahan, atau "pokoke" sing paling murah

Dalam berbahasa-pun perlu standar. Maka Bhs Inggris dan beberapa Bhs
yang lain dapat menjadi Bahasa Dunia karena memiliki standar yang
tinggi. Mereka sangat bangga dengan bahasanya, selalu meberikan atensi,
koreksi dan apresiasi. Budaya kualitas adalah budaya untuk mencapai
presisi dan akurasi terhadap standar. Standar wajib dicapai dengan
presisi dan akurasi yang tinggi. Karena jika di bawah standar berarti
tidak memenuhi syarat kualitas, sementara jika melebihi standar memang
baik tapi itu berarti pemborosan, atau tidak efisien.

Jika saya bertanya kepada sekumpulan orang yang sedang saya bimbing
dengan pertanyaan: "Mana yang lebih berkualitas? Baby Benz atau
Kijang". Dari data lapangan menunjukkan, bahwa 75% menjawab Baby Benz
lebih berkualitas daripada Kijang, sedang 15% menjawab keduanya
sama-sama berkualitas, sedang 10% menjawab tidak tahu.

Ketika saya tanyakan kepada yang menjawab "Baby BenZ" mengapa menjawab
seperti itu, mereka menjawab "karena harganya mahal. (dengan kata lain
yang berkualitas itu yang harganya mahal). Sementara kepada yang
menjawab kedua jenis kendaraan itu sama-sama berkualitas, mereka
menjawab: "karena kedua-duanya sudah memenuhi standar yang ditetapkan
oleh produsennya dan memenuhi harapan customernya". Dari sini saja
nampak jelas, bahwa pemahaman tentang kualitas masih meprihatinkan.
Karena "hanya" 15% yang dapat memahami esensi tentang kualitas secara
benar.

Bagaimana dengan Bahasa Indonesia? Mana ada yang mau peduli. Ada siaran
di televisi dengan pengasuh Yus Badudu saja tak ada yang mendengarkan.
Karena "mood"nya masih yang "very-very basic". Tidak ada waktu karena
perutnya masih kosong.

Padahal siaran Bahasa Indonesia di televisi teresebut sebenarnya adalah
memberikan standar untuk berbahasa. Bukan berarti bahwa yang tidak
memenuhi standar itu jelek, namun untuk memberikan strata, kapan
masing-masing strata dipergunakan. Maka dalam Bhs Indonesia tidak ada
istilah salah atau benar, namun "baku" dan "tidak baku". Yang baku
untuk keperluan resmi, seperti penulisan ilmiah, pidato resmi, dll.
Sementara yang "tidak baku" atau bahkan yang "slank" dipergunakan untuk
keperluan lain.

Masalahnya beberapa media tertentu malah merusak atau tidak mendidik
kita dalam berbahasa. Karena peran media yang begitu besar dalam
membentuk opini publik, maka jika media-nya saja seperti itu, apalagi
masyarakatnya. Celakanya, masyarakatnya sendiri senang yang seperti itu
karena tingkat pemahamannya masih memprihatinkan.

Baik Ibu Debora

Salam



Tidak ada komentar: