Minggu, 06 Februari 2011

Yogyakarta Vs Jogjakarta


(Yogyakarta Vs Jogjakarta)

Oleh: Ratmaya Urip*)

PROLOG:

Fenomena Crop Circle di Berbah, Sleman, Yogyakarta, menyusul ribut-ribut mengenai Keistimewaan Yogyakarta, Wedhus Gembel atau awan panas Merapi termasuk fenomenon Mbah Marijan, Gempa dahsyat di Yogya 27 Mei 2006, dan Salak Pondoh yang dapat menyeruak pongah di Pusat-pusat pembelanjaan ritel modern di antara gempuran buah impor, telah membawa ingatan saya pada perseteruan panjang tentang penulisan baku nama kota:


Yogyakarta Versus Jogjakarta.


Saya tidak tahu persis, namun di antara kota-kota atau tempat di Indonesia, bahkan di dunia ini, mungkin hanya “Yogyakarta”, kota atau tempat yang dapat disingkat. “Yogyakarta” dapat disingkat menjadi “Yogya”, namun masih memberikan pengertian dan konotasi yang sama. Coba simak nama-nama kota Bandung, Jakarta, Surabaya, Makassar, Jayapura, Manado, Milwaukee, Philadelphia, San Fransisco, Los Angeles, Vladivostok, Bukittinggi, New York, Beijing, Rawalpindi, Baghdad, Johanesburg, Ciudad Juarez, Port-au-Prince, dan lain-lain, mana ada yang dapat disingkat? (Mohon bantuan anggota milis, mana lagi kota yang namanya dapat disingkat?) Oh ya, saya menemukan dua kota, sementara saya menyelesaikan tulisan ini, yaitu yang pertama adalah Rio de Janeiro, yang dapat disingkat Rio, yang terkenal dengan Copacabana-nya, dan Gunung Sugar Loaf, yang menjulang tinggi di atas Teluk Guanabara, yang dilengkapi oleh Puncak Gunung Corcovado yang menjulang tinggi, dengan patung Kristus raksasa-nya. Ya...Rio de Janeiro yang mantan ibukota Brasilia. Bahkan nama negara satu-satunya yang dapat disingkat di dunia ini, mungkin hanya Brasilia, yang dapat disingkat menjadi Brasil. Entah nama negara yang lain. Oh, ya United States of America dapat disingkat menjadi America, meskipun konotasinya jadi berubah, karena America merujuk pada benua America, tempat berkumpulnya banyak negara. Sementara kalau disingkat menjadi United States, lebih baik, karena konotasi dan pengertiannya tetap. Sedang kota kedua yang dapat disingkat adalah Hidalgo del Parral, yang dapat disingkat menjadi Hidalgo, di Mexico Utara. Jadi konklusi sementara hanya ada 3 (tiga) kota di dunia ini yang dapat disingkat tanpa mengubah konotasi dan pengertiannya, salah satunya di Indonesia, sementara nama negara yang dapat disingkat hanya 2 (dua) yaitu United States of America dan Brasilia.


(Catatan: orang Malaysia, sebenarnya menyingkat nama orang-orang dari Indonesia menjadi “Indon”, bagi etnis dari Indonesia yang ratusan ribu jumlahnya menjadi TKI di Malaysia, yang konon berkonotasi negatif, menurut persepsi mereka. Tetapi itu singkatan untuk nama etnis, bukan nama negara).


Yogyakarta, nama kunonya adalah Ngayogyokarto Hadiningrat, nama kota terpanjang di Indonesia, bahkan di Asia, atau mungkin di belahan Selatan garis Katulistiwa dari Bola Dunia. Untuk mengatakan bahwa itu terpanjang di dunia saya tidak berani, karena memang masih ada nama tempat atau nama kota yang lebih panjang di dunia, yang berada di belahan Utara garis Katulistiwa, yang merupakan nama tempat terpanjang di dunia, yaitu:


“Llanfairpwllgwyngyllgogerychwymdrobwllllandysiliogogogoch”


(Catatan: Karena tidak pernah hafal dan tidak pernah ingat satu persatu jumlah hurufnya, setiap mau menulis kembali nama tempat tersebut, saya selalu membuka literatur supaya tidak salah tulis, daripada kembali ke tempat tersebut. Yang saya ingat, hanya jumlah hurufnya ada 55. Literatur yang saya miliki adalah: Lands and Peoples, Grolier International Inc., 1988)


yang berada di Wales, Great Britain, atau United Kingdom. Sayangnya nama tersebut sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana cara menyingkatnya dan cara membacanya, karena itu merupakan Bahasa Wales atau Welsh, salah satu bahasa di dunia yang hampir punah, karena orang Wales sendiri lebih suka berbahasa Inggris. Ibarat Bahasa Jawa Kromo Inggil, dimana orang Jawa sekarang lebih banyak yang bertutur dalam bahasa Indonesia daripada Bahasa Jawa Kromo Inggil. Namun Bahasa Jawa Kromo Inggil sulit untuk punah, karena penutur-nya sangat jauh lebih banyak dari etnis Welsh, mengingat etnis Jawa jumlahnya banyak sekali, tidak seperti etnis Welsh. Nama kota tersebut saya hanya bisa menulisnya dengan mengutip secara teliti dengan memelototi satu persatu hurufnya dari yang sudah ada, karena takut salah tulis, sementara untuk menyebut secara lisan saya menyerah deh!!! Saya hanya berpikir, kalau nama itu di tulis sebagai alamat pos, pasti akan memenuhi sampul suratnya. Itupun baru menulis nama kota, belum alamat lengkapnya. Kalau harus ditulis di papan nama kota orang pasti enggan untuk membacanya (atau malah membikin tercengang atau kenyang makan huruf-hurufnya). Jika akan memasang iklan di surat kabar, pasti berpikir 2 sampai 3 kali, karena pasti akan membengkak biayanya. Memakan banyak kolom atau baris itu pasti, dan tidak mungkin masuk dalam katagori iklan mini, iklan kecil, iklan kecik, atau apapun namanya, yang isinya hanya sekitar 3 atau 6 baris dalam satu kolom. Penduduknya sendiri mungkin tidak hafal dengan urutan deretan abjadnya. Sekali-sekali mungkin diperlukan “Lomba Menghafal Nama Tempat” tersebut. Saya sih tidak mau ikut. “Emangnya gue pikirin”...he..he..he..! Yang pasti nama yang panjang tersebut tidak ada singkatannya seperti nama “Yogyakarta”.


Karena keunikannya tersebut, maka tempat tersebut menjadi destinasi para pelancong, hanya karena memilki daya tarik sebagai kota dengan nama terpanjang di dunia.


Sudah menjadi rahasia umum (atau baru rahasia terbatas?), kalau terjadi polarisasi penulisan nama baku untuk “Yogyakarta” di media. Kompas Group, Media Indonesia Group, dan beberapa yang lain menuliskannya dengan “Yogyakarta”, sementara Jawa Pos Group di seluruh Indonesia selalu menulisnya dengan “Jogjakarta”. Demikian juga di media elektronik televisi. Di media televisi, termasuk MNC Group, Trans Group, hampir semua menulisnya dengan “Yogyakarta”, kecuali televisi milik Jawa Pos Group, seperti JTV, SBO, dan lain-lain, yang umumnya merupakan TV lokal di Indonesia, dengan jumlah sekitar 20 local television stations. Kalau anda mengirim naskah artikel untuk dimuat di harian Jawa Pos Group (Indo Pos, Rakyat Merdeka, Radar Lampung, Radar Jogja, Radar Malang, Radar Tegal, dan-lain-lain yang jumlahnya lebih kurang 150 penerbitan media cetak di seluruh Indonesia), jika anda menulis dengan nama “Yogyakarta” pasti teredit menjadi “Jogjakarta”, begitu juga sebaliknya jika anda menulis artikel di Kompas Group, maupun Media Indonesia Group, akan di-edit menjadi “Yogyakarta”. He..he..he.. nama kota saja ada diskriminasi. Semacam “silence war”, begitulah. Kalau saya menulisnya dengan “Yogyakarta” bukan “Jogyakarta” itu karena historis saja. Seperti halnya untuk tetap menuliskan nama baku almamater saya dengan ejaan lama “dj” bukan “j” pada nama Universitas Gadjah Mada. Contoh lain adalah untuk tetap menuliskan nama “Universitas Padjadjaran” bukannya “Universitas Pajajaran”. Juga tetap menulis dengan nama “Soetjipto” bukannya “Sucipto”. Di samping itu juga karena saya dilahirkan di kota tersebut, meskipun sudah hampir 30 tahun saya meninggalkannya. Kalau saya kebetulan menulis untuk Jawa Pos Group, sebelum diedit, saya pasti sudah menuliskannya dengan “Jogjakarta”, semata-mata supaya meringankan beban editornya, begitulah.


Saya jadi ingat dengan penggantian nama baku Yogyakarta menjadi Jogjakarta yang diusulkan oleh salah seorang pakar pemasaran kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X. Penggantian nama baku tersebut konon supaya lebih layak jual, demikian menurut yang saya dengar (Maaf, kalau saya salah dengar atau salah menerima informasi, yang berarti bahwa informasi itu salah. Mohon jika salah supaya diluruskan). Tentu saja penggantian nama tersebut menimbulkan pro dan kontra. Saya sebenarnya lebih condong tetap dengan nama lama Yogyakarta, dan itu juga dilakukan oleh orang-orang asli dari Yogyakarta. Alasan saya karena nama Yogyakarta adalah historis dari nama panjang Ngayogyakarto Hadiningrat.


Penggantian nama menurutku tidak ada kaitannya dengan layak tidaknya untuk dijual, tergantung dari cara, metode dan sistem pemasarannya. Memperkuat brand tidak selamanya harus dengan mengganti nama. Contohnya Gudang Garam, Dji Sam Soe, merek-merek rokok yang sangat terkenal, yang menjadi terkenal karena nama tersebut diciptakan karena faktor historis. Ada lagi rokok merk Jeruk yang sangat populer di kawasan Jawa Tengah. Rokok kok diberi merk Gudang Garam, Dji Sam Soe, dan Jeruk, bahkan Bentoel, dan Nojorono. Nama-nama yang ketika dibuat dulu mungkin tidak akan terbayangkan akan dapat dijual. Tokh akhirnya nama-nama tersebut jika diganti akan banyak yang keberatan, karena reputasinya sudah dibangun sangat lama. Demikian juga nama baku Yogyakarta, tidak usah diganti dengan Jogjakarta, karena sejarah mencatat, tidak terlalu siginifikan dalam menjual potensinya, karena kota tersebut sudah dapat menjual dirinya sendiri dengan sukses. Kalau tokh Yogya tetap selalu ramai dengan pariwisatanya dan selalu menjadi tempat tujuan anak-anak muda untuk mengenyam pendidikan itu bukan karena perubahan nama bakunya.


Sementara meskipun tidak diganti namanya, setelah pindah kekuasaan dari semula wilayah Mexico menjadi wilayah Amerika Serikat (setelah menang dalam perangnya dengan Mexico pada pertengahan abad sembilan belas), nama-nama berbau Spanyol tetap dipertahankan tanpa diubah menjadi nama-nama berbau Amerika-Inggris. Contoh nama-nama tersebut adalah Texas, Los Angeles, San Fransisco, San Antonio, El Paso, San Diego, Santa Fe, Arizona, Albuquerque, Tucson, Dallas, Alamo, Rio Grande, dan lain-lain. Nama-nama historis Indian juga tetap dipertahankan dan sangat populer seperti Chicago, Ohio, Cheyenne, Wyoming, Oklahoma, dan lain-lain.


Dengan kata lain, nama Yogyakarta, tanpa diubah menjadi Jogjakarta tetap akan layak jual (tergantung masyarakatnya, sistem pemasaran dan kemampuan untuk memasarkannya). Faktor historis justru akan lebih menjual, khususnya dalam perpektif pariwisata. Jadi perubahan nama Yogyakarta menjadi Jogjakarta, menurut penulis adalah mengada-ada dan mubazir. Popularitas Yogyakarta sebagai tempat tujuan wisata, sebagai kota pelajar, sebagai sentra produsen dan tempat lahirnya salak pondoh, tidak ada kaitannya dengan penggantian nama. Sementara tentang nama-nama lain yang bukan nama baku, seperti Djogyakarta, Djokdjakarta, Jogdjakarta, Jogyakarta, Yogjakarta, dan lain-lain, biarkan saja berkembang sebagai nama-nama slank, yang dapat dijadikan bahan pajangan di kaos-kaos DAGADU atau kaos JOGER. Memang aneh, karena di Indonesia ini hanya nama kota Yogyakarta yang dapat memiliki sejuta nama lain yang tidak baku. Bandung, Jakarta, Solo, Palembang, Medan, Samarinda, Denpasar, Jayapura dan lain-lain kota di Indonesia sulit untuk dicari nama slank-nya.


Nama tempat atau wilayah memang sering diganti namun karena alasan politis (jarang yang diganti karena alasan pemasaran), seperti New Amsterdam menjadi New York, Soekarnopura menjadi Jayapura, Puncak Soekarno menjadi Puncak Jaya, Noertanio menjadi IPTN kemudian PTDI, Jalan Raya Waru menjadi Jalan Letjend S. Parman, Jalan “X” menjadi Jalan Jendral Soedirman, Jalan Jendral A. Yani, atau Jalan Jendral Gatot Soebroto, dan lain-lain.


Itulah sekelumit tentang nama Yogyakarta, tempat yang tak pernah sepi menjadi berita, dan masih tetap menjadi tempat kunjungan wisata tingkat dunia.


Salam.

Ratmaya Urip


1 komentar:

IBU RISKA mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.