Rabu, 30 November 2011

Serial Filosofi Manajemen 8:



FILOSOFI PANCA INDRA

Oleh: Ratmaya Urip


Pak RZ,

Membaca thread Anda, saya jadi ingat Artikel lama saya, yg berjudul:Serial Filosofi Manajemen 8 thn 1997,

di antara 99 (ingat Asmaul Husna?) Serial Filosofi Manajemen saya, yg kini sedang saya persiapkan dan saya

kumpulkan kembali. Khusus thread Pak RZ tsb saya garis bawahi sbb:



Kita dianugerahi 2 telinga, dan 2 mata sementara kita hanya memiliki "hanya" 1 mulut/lidah. Dengan kata lain,

indra untuk "mendengar" dan untuk "melihat" itu diberi kapasitas "lebih" daripada untuk "berucap" dengan

mulut/lidah kita. Itu apa maknanya?

Jika benak kita tidak banyak terdistorsi oleh adanya seruak onak yg beranak pinak dan berpotensi melahirkan

gejolak, atau hati kita telah mengendap meski dengan jalan mengendap-endap, dan juga hasrat kita yg penuh libido "aku" atau mengusung diri untuk selalu memanjakan "ego" dapat

dipasung untuk tidak selalu membusung, (karena data dan fakta berupa heterogenitas yg ada), maka analisisnya
adalah sebagai berikut:


Jumlah telinga (2) dan mata (2) kita lebih banyak daripada mulut/lidah (1) kita, itu berarti kita sudah dititahkan

untuk lebih banyak "mendengar" dan "melihat" dulu sebelum kita melontarkan serentetan kata, yg biasanya

meluncur lewat mulut/lidah kita. Atau kita sebenarnya sudah diberi pesan untuk berdialog, berkomunikasi,

memberikan pendapat, setelah kita banyak mendengar dan melihat. Atau kita sebaiknya sudah boleh berpendapat,

berbicara,berkomunikasi dengan tepat dan benar, jika kita sudah cukup banyak berbekal "experiences" dari banyak "mendengar" dan "melihat".


Di samping itu dengan 2 (dua) mata, kita dapat menangkap seluruh visualitas kehidupan di sekeliling kita menjadi

lebih stereo, atau berdimensi 3 (tiga), tidak hanya berdimensi 2 (dua). Coba tutup salah satu mata kita,sehingga

kita hanya dapat mempergunakan hanya 1 mata kita, maka kita akan bias, karena lebih linier atau sebidang, bukan

dalam perspektif ruang (stereo yang 3 dimensi)


Demikian juga jika kita hanya menggunakan 1 (satu) di antara 2 (dua) telinga kita, maka yang tertangkap adalah

audio yang mono, tidak dapat menangkap segala pendapat yang stereo, atau yang lebih holistik dan komprehensif.

Naluri dan nurani kita diinginkan untuk peka terhadap lingkungan kita sebelum kita berpendapat dan berkomunikasi

dalam lingkungan yg amat sangat kompleks dan heterogen, dengan lebih banyak bekal, dengan menggunakan indra

"telinga" dan "mata" untuk "mendengar" dan "melihat", dengan mengamati, mengobservasi, membaca, meneliti, dan

menggunakan dasar yg kasat mata. Dengan menambah partisipasi organ lain yg bukan panca indra, dalam hal ini

"benak" "hati", serta anggota badan lain maka akan lebih disempurnakan lagi.

Antogonis, psikopat dan paranoid kadang adalah muara dari keinginan untuk lebih mendahulukan keinginan kita

dengan memanjakan "mulut/lidah" kita, tanpa mau "mendengar" dan "melihat" lingkungan yang penuh aneka ragam

pemikiran dan kehendak.


Mempergunakan mulut/lidah kita tanpa mempergunakan mata dan telinga kita, atau boleh dikatakan, berbicara

dengan mulut/lidah, tanpa berdasar masukan yang lebih banyak dari telinga dan mata kita, akan membuat bias dan

kurang lengkap.

Sampai di sini kita baru bicara 3 (tiga) di antara 5 (lima) panca indra kita. Untuk itu coba kita tengok 2 (dua) indra

lainnya, yaitu: indra perasa/peraba (kulit) dan penciuman (hidung).

Kulit (pangejawantahan dari indra "perasa/peraba") berada di sekujur tubuh kita, dan menjadi ujung "sentuhan" kita

dengan lingkungan luar kita yg paling luas. Itu maknanya, kapasitas kita seharusnya jauh lebih peka dalam "merasakan"

lingkungan di luar kita. Kita telah dibekali kapasitas yang besar untuk mendeteksi lingkungan di luar kita, dengan

kenyataan, bahwa kulit kita yang didukung syaraf kita, sebagai indra perasa/peraba untuk mendeteksi secara mendalam

seluruh masalah diluar tubuh kita dengan luasan yang sangat besar, hampir seluruh permukaan tubuh kita.

Nah apakah kita telah secara benar mendeteksinya?


Yang agak aneh memang hidung kita. Mengapa aneh? Karena jumlah hidung hanya 1 (satu) namun mengapa berlubang 2

(dua). Coba untuk yang ini kita analisis. Ada yang tahu penjabarannya yang sejalan dengan uraian di atas?

Sebelum saya uraikan, mohon masukannya terlebih dahulu.


Yang pasti,kapabilitas kita seharusnya berkembang dengan mengacu pada kapasitas yang termaknai dari jumlah dan jenis

panca indra seperti diuraikan di atas.


Salam Manajemen.

Ratmaya Urip


(BERSAMBUNG)

Senin, 28 November 2011

Manajemen Operasi & Pemeliharaan




(Studi Kasus Runtuhnya Golden Gate Indonesia)
.


Oleh: Ratmaya Urip

Runtuhnya Jembatan Mahakam II di saat sedang berlangsungnya aktifitas Operasi (Operation) berupa pemanfaatan badan jembatan sebagai urat nadi transportasi serta aktifitas Pemeliharaan(Maintenance), berupa perawatan rutin jembatan, menunjukkan kemungkinan betapa lemahnya Manajemen Operasi & Pemeliharaan yg ada.

Di Indonesia, Aktifitas Operation & Maintenance sering dianggap sebagai aktifitas rutin dan monoton, sehingga sering lepas dari kewaspadaan.

Operation & Maintenance (OM) adalah milestones ketiga dalam proses pengelolaan Prasarana & Sarana Fisik, setelah yg pertama yaitu Front-End Engineering Design dan Detail Engineering Design (FEED/DED) dan yg kedua Engineering Procurement Construction and Comissioning (EPCC).

Perlu diketahui, secara komprehensif dan holistik, Manajemen Prasarana & Sarana Fisik memiliki 3 (tiga) milestones utama, yaitu: FEED/DED --> EPCC --> OM

Meskipun belum tentu distorsi atau runtuhnya jembatan diakibatkan miss manajemen dalam aktifitas OM, karena kemungkinan lain berupa distorsi/deviasi dlm milestones sebelumnya, yaitu FEED/DED maupun EPCC, namun karena keruntuhan terjadi ketika proses OM sedang berlangsung, maka Initial Step dalam investigasi atas proses Analysis FORENSIK KONSTRUKSInya sedikit banyak akan bermula dari milestones ini.

Setelah tidak ditemukan adanya pelanggaran sistem operation & procedures, baru beranjak dengan melakukan "trace back" ke milestones EPCC dan kemudian FEED/DED.

Tidak sebagaimana milestones sebelumnya yg umumnya OWNER sering memanfaatkan jasa pihak lain,khusus utk aktifitas OM, Owner lebih sering melakukannya sendiri, meski ada yang menyewa jasa profesional.

Aktifitas OM banyak yg mengabaikan Risk Management, Quality Management, SHE Management, Performance Management, Human Capital Management, dll. Kecuali OM dengan risk yg sangat tinggi, seperti OM dalam aktifitas Oil & Gas, Pertambangan, Power Plant, atau pada saat proses Konstruksi.

(Catatan: Analisis FORENSIK di Indonesia, biasanya lebih sering merujuk ke FORENSIK KEDOKTERAN khususnya KEDOKTERAN yg ada kaitannya dengan tindak kriminal, atau KEDOKTERAN KEHAKIMAN. Sementara kasus yg berpotensi tindak kriminal lain seperti Analisis FORENSIK KONSTRUKSI dan analisis FORENSIK KEUANGAN, seperti halnya ANALISIS FORENSIK BANK CENTURY kurang begitu dikenal).

Seperti diketahui untuk Jembatan Bentang Panjang dengan Sistem Gantung ada 2 (dua) macam sistem. Yaitu 1. Suspension Bridge dan 2. Cable Stayed.

Kedua sistem memiliki kesamaan dalam hal penggunaan "prime high tension cable" (kabel utama dengan kuat tarik tinggi) sebagai gantungan bagi "secondary cable" atau "hanger cable" (vertikal), yang menghubungkan lantai jembatan dengan Kabel Utama. Sedang kabel utama yang memanjang sepanjang jembatan dengan alur hiperbolik, di-"anchored" ke pangkal/fondasi jembatan. Sehingga karena kabel2 ini merupakan pendukung utama sistem konstruksinya, maka wajib hati2 dalam OM maupun ketika EPCC. Kehati2an khususnya dalam hal spesifikasi teknis material, perencanaan maupun pelaksanaan konstruksi termasuk methode konstruksinya.

Beda "suspension bridge" dengan "cable stayed" adalah, "suspension bridge" biasanya memiliki 2 pangkal/pilar jembatan sbg "anchor". Sementara "cable stayed" sering dengan pilar tunggal sbg anchor.

Memang di luar kemungkinan adanya miss management dalam OM seperti telah disebutkan di atas, juga kemungkinan miss management dalam milestones sebelumnya (FEED/DED dan EPCC), juga berkembang adanya suara2 tentang kemungkinan adanya tabrakan oleh ponton2 pengangkut barubara. Juga kemungkinan sabotase.

Namun biarlah hasil investigasi FORENSIK KONSTRUKSI yang berbicara.

Pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini adalah:

1). Meskipun rutin dan monoton, aktifitas OM di bidang apapun, jangan mengabaikan Risk Management, Quality Management, SHE Management, dll, sewaspada ketika dlm aktifitas Konstruksinya, aktifitas OM di Oil & Gas, maupun Pertambangan, dan transportasi (udara, laut dan darat). Dalam manufacturing, plantation,dan services biasanya tingkat kewaspadaan dalam OM kurang tinggi.

2). Manajemen OM memerlukan pengelolaan yg lebih intens. Supaya friksi klasik antara Finance vs Marketing, Finance vs Quality, Quality vs Production, Marketing vs Production, Production vs SHE, dll, dapat dikurangi intensitasnya.

Demikian, Salam Manajemen

Ratmaya Urip

=========== ==========


Analisis/Kajian Manajemen Sarana-Prasarana Fisik


1. Pendahuluan

Dari kajian Manajemen Sarana/Prasarana Fisik secara Makro, selalu saja mengikuti siklus atau milestones yg saya lebih suka menyederhanakannya menjadi FEED/DED-->EPCC-->OM. Jadi ada 3 (tiga) milestones utama.

Sehingga untuk membahas FORENSIK KONSTRUKSInya (karena "kematian" prasarana-sarana fisik apalagi yg ambruk atau "mati" juga memerlukan kajian FORENSIK), dapat lebih terarah, dan tidak bias. Sehingga penyebab ambruknya ("matinya") jembatan dapat di "trace back" sesuai dengan kaidah2 Manajemen Sarana-Prasarana Fisik. Apalagi "matinya" jembatan tersebut dapat dianggap tidak wajar, karena tidak sesuai dengan usia manfaat dari sarana-prasarana fisik yang direncanakan. Relatif ini merujuk pada kasus kematian yg dianggap tidak wajar pada manusia, yg kaidah2nya harus merujuk dulu dari penyelidikan FORENSIK KEDOKTERAN.

2. FEED/DED

FEED/DED adalah akronim dari Front-End Engineering Design/Detail Engineering Design.

Khusus FEED, sering disebut Pre-Project Planning (PPP). Termasuk dalam tahapan ini adalah: conceptualization, feasibility assessment/study, Amdal, establishing design requirements, preliminary design, dll. Sementara DED meliputi Detailed Design, production planning and tool/machine/material design, time frame, finally production/operation, dll.

3. EPCC

EPCC adalah akronim dari Engineering Procurement Construction and Comissioning.

Tahapan ini sering disebut sebagai tahapan PROYEK KONSTRUKSI.

Sehingga di sini Engineering amat sangat detail. Procurement benar2 dapat memberikan logistik bagi pelaksanaan proyek dengan BMW (Biaya, Mutu dan Waktu) yg tepat, sesuai yg direncanakan dalam proses Construction sampai Commissioning-nya.

4. OM

OM adalah tahapan Operation-Maintenance.

Bangunan fisik atau sarana-prasarana fisik, setelah selesai Construction yg dilanjutkan dengan Commissioning-nya harus segera dioperasikan (OPERATION). Dan dalam operasinya wajib ada MAINTENANCE.

Apakah itu sarana-prasarana fisik PUBLIK berupa jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, dam/bendungan, irigasi, PLTU, telepon umum, taman kota, jaringan listrik/kabel/pipa, dll, maupun sarana-prasarana PRIVAT, seperti pabrik, perkebunan swasta, dll.

¤¤¤¤¤¤¤¤

Dengan "matinya" jembatan "Golden Gate Indonesia" secara tidak wajar, yg membentang di atas Sungai Mahakam dan menghubungkan kota Tenggarong dan Tenggarong Seberang (bukan menghubungkan Samarinda dan Balikpapan seperti diberitakan detik.com), maka kajian FORENSIK KONSTRUKSI nya dapat dirunut (trace-back) dr milestones tsb di atas.

Kebetulan ambruknya pas tahapan OM (Operation Maintenance). Pada waktu itu sedang ada proses pemeliharaan. Initial step bisa dilihat apakah proses atau prosedur pemeliharaannya sdh sesuai. Apalagi jembatan baja dengan sistem gantung (baik "suspension bridge" maupun "cable-stayed") seperti Jembatan Golden Gate, atau Jembatan Suramadu, atau Jembatan Barelang, tumpuan bebannya didukung oleh kabel baja primer yg menanggung beban rangka truss baja via kabel vertikal atau kabel sekunder, dan di "anchor"kan ke abutment atau pangkal jembatan.

Jika prosedur Maintenance sudah sesuai, lihat prosedur Operation-nya. Apakah beban kendaraan tidak melewati ambang batas kekuatan yg diijinkan. Jika prosedur Operasi sdh benar, berarti milestones OM sudah di assessment.

Kemudian "trace back" lebih hulu lagi ke tahapan EPCC. Apakah Seluruh Prosesnya sdh benar. Baik Engineering, Procurement, Construction, dan Commissioningnya. Di sini akan melibatkan banyak Laboratorium Konstruksi seperti Baja, Beton, Mekanika Tanah, Bahan2 Konstruksi lain, Uji Beban, dll. Prinsipnya apakah Biaya, Mutu dan Waktunya sesuai dengan requirements yg dipersyaratkan. Di sini juga melibatkan banyak tenaga ahli konstruksi sesuai dg major-nya masing2.

Di Indonesia, tahapan FEED/DED dan EPCC biasanya di kontrakkan oleh OWNER kepada pihak lain. Dalam hal ini Konsultan Ahli dan Kontraktor.

Sementara tahapan OM (Operation Maintenance) jarang sekali yg dikontrakkan ke pihak luar. Padahal di negara2 maju. Tahapan OM sering dikontrakkan ke pihak lain. Padahal ada kemungkinan, jika OM tdk dikelola oleh OWNER nya namun ditangani kontraktor OM akan lebih efektif dan efisien.

Catatan Tambahan:

1). Karena jembatan ambruk, dugaan saya akan terjadi berkurangnya pasokan batubara ke market. Karena di hulu Mahakam ratusan Pemegang Kuasa Pertambangan Batubara tidak bisa mengirim batubara via Mahakam, terhambat bangkai jembatan yg melintang di sungai. Padahal satu2nya transportasi barges batubara adalah lewat sungai.

2). Sebenarnya ada 5 jembatan besar yg melintang di atas sungai Mahakam. a). Yg paling hulu adalah jembatan di Kotabangun, b). Jembatan Tenggarong (Golden Gate Indonesia), c). Jembatan Mahakam Hulu atau Mahulu, d). Jembatan Mahakam 1 (jembatan pertama yg ada di S. Mahakam dibagun thn 1982-1985, dan e). Jembatan Mahkota, yg paling hilir atau mendekati Muara.

3). Penyelidikan FORENSIK KONSTRUKSI saat ini sedang berlangsung. Dari Surabaya langsung Tim dari Lab Forensik Konstruksi di bawah kendali Prof Ir. Priyo Suprobo, MS, Ph.D sedang bertugas. Karena kemarin saya sempat komunikasi dg bbrp anggota Tim. Termasuk acara talk show Tim di salah satu media elektronik di Surabaya.

Dari ITB dan lain2 juga mulai investigasi.

4). Selama ini milis ini jarang membahas thread Manajemen Proyek-Konstruksi. Krn ada momentum, maka mhn maaf saya share di sini, meski baru "kulit"nya saja. Belum detail.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip

Minggu, 27 November 2011

Serial Filosofi Manajemen 2



FILOSOFI WAYANG
(Monolog dunia manajemen dan bisnis dalam aplikasi) :
Leadership Versus Followership dalam Perspektif Dunia Pewayangan
Oleh : Ratmaya Urip *)

Jansen Hulman S. menyampaikan, bahwa pada tahun 1967 Gerhard Gschwandtber mengadakan riset mengenai kekecewaan dan menemukan bahwa di Library of Congress terdapat 1.500 judul buku mengenai kesuksesan sedangkan buku mengenai kekecewaan hanya 16 judul saja.

Ini mengherankan Gerhard, karena observasi menunjukkan bahwa kekecewaan sesungguhnya merupakan pengalaman paling akrab dengan manusia ketimbang kegembiraan. Dukacita lebih sering terjadi daripada sukacita. Lalu mengapa topik kekecewaan begitu sedikit dibahas orang? Mengapa sukses dan sukacita yang jarang dirasakan dan dicapai orang mendapat perhatian begitu banyak? Mengapa orang-orang yang sukses saja yang dibahas, sementara orang-orang yang gagal, yang jumlahnya sangat jauh lebih banyak tidak ditonjolkan untuk menggali mengapa kegagalan itu dapat terjadi? Karena kesuksesan itu tidak pernah lepas dari faktor luck, meskipun tidak boleh melupakan kerja keras, kerja waras dan kerja cerdas.
Demikian juga kalau kita cermati lebih dalam, ternyata dari hasil-hasil penelitian, textbooks, seminar, workshop, pelatihan, dan sebagainya, topik mengenai Leadership lebih banyak diminati (baca : dibahas) daripada topik Followership. Padahal dalam praktek berorganisasi apapun, baik organisasi bisnis, organisasi publik, maupun organisasi lainnya, jumlah Follower sangat jauh lebih banyak dibandingkan Leader.


Seorang follower lebih suka memahami dan atau menganggap dirinya sebagai leader (mungkin karena seringnya menerima cekokan konsep-konsep Leadership). Padahal sebagai follower tentu saja dia harus menerima lebih banyak konsep-konsep maupun aplikasi tentang FOLLOWERSHIP, dalam hal ini bagaimana sikap, perilaku, tindakan dan mindset kita sebagai follower (yang kebetulan jumlahnya mayoritas). Kalau dia seorang follower, namun mindset-nya selalu leader, ya payah.


Saya kemudian berpikir...itulah mungkin biang dari segala keruwetan bangsa ini, sehingga tidak pernah beringsut dari keterpurukan yang berkepanjangan, karena semua maunya jadi leader (follower pun maunya jadi leader), meskipun itu tidak dilarang, tapi harus menunggu saatnya. Masalahnya, tdk ada yang mau jadi follower. Padahal yang terpenting sebenarnya adalah seberapa jauh pembagian peran itu dapat terbagi habis secara benar, tepat dan adil, tanpa menyisakan potensi konflik sekecil apapun. Setiap konflik di Indonesia sering berakhir dengan perpecahan, kemudian membentuk organisasi tandingan, yang disebabkan oleh lemahnya leadership, atau followership. Itu semakin nampak, ketika organisasi baru sudah terbentuk sebagai tandingan, ternyata hidupnya sering kali tidak lama.


Dalam organisasi apapun, bagaimanapun, dan dimanapun selalu ada fenomena, bahwa follower ( pengikut ) jumlahnya selalu jauh lebih banyak daripada leader ( pemimpin ), dan untuk hal yang satu ini tidak akan pernah ada seorangpun yang dapat membantahnya. Namun dalam manajemen, ternyata leadership lebih sering ditonjolkan daripada followership, sehingga training, coaching dan conselling yang dilaksanakan lebih sering mengakomodasi kepentingan-kepentingan atau cara-cara untuk menjadi seorang leader (dalam hal ini untuk mencetak leader yang baik atau mempunyai leadership yang kuat dan efektif). Jarang sekali ada pembahasan yang intens ataupun textbook yang best-seller mengenai followership yang mengemuka. Mungkin sekali karena cukup dengan leadership yang kuat diharapkan organisasi akan dapat meraih goal atau objective sesuai dengan yang diharapkan. Atau followership adalah bagian dari leadership. Dalam hal ini tentu saja akan beruntung sekali jika suatu organisasi dipimpin oleh seorang leader dengan kemampuan leadership yang kuat dan efektif. Namun, bagaimana jika organisasi dinakhodai oleh leader dengan kemampuan leadership yang lemah? Yang terakhir ini sangat banyak terjadi dalam organisasi-organisasi di Indonesia, baik organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, bisnis, olah raga, pemerintahan, perwakilan rakyat, maupun organisasi-organisasi yang lain. Faktanya, dan boleh juga disebut sebagai akibatnya, Indonesia sampai sekarang selalu dan selalu ketinggalan dalam segala hal dibandingkan dengan kinerja negara-negara lain, semakin terpuruk dan menderita. Seperti ayam mati di lumbung padi. Dalam bidang ekonomi, Indonesia telah merasakan betapa sakit dan beratnya keterpurukan yang terjadi. Dalam bidang olahraga belum pernah mengenyam prestasi yang membanggakan kecuali bulutangkis, sesekali panahan dan angkat besi. Dalam berdemokrasi kita masih kedodoran. Dalam pengelolaan sumber daya alam, baik pertanian, pertambangan dan lain-lain, prestasi Indonesia sangat jauh ketinggalan. Pastilah ada yang salah dalam mengelola hidup dan kehidupan bangsa ini. Apakah karena masalah leadership atau followership yang lemah, atau kedua-duanya lemah, atau masalah-masalah lainnya? Kajian tentang hal ini tentu saja tidak akan pernah ada habisnya, dan akan bias atau tidak fokus ke topik tulisan ini. Ilustrasi di atas hanyalah sebagai referensi natural semata (sebab ada referensi artificial). Juga terlalu naïf untuk menuduh faktor leadership atau followership sebagai satu-satunya biang kegagalan, sebab masih banyak faktor-faktor yang lain, seperti aplikasi management system ( baik manajemen generik maupun branded ), management style, organization climate, ability (skill & knowledge), moral (attitude & behavior), arts (creativity, adabtability, acceptability, flexibility, durability, etc), bahkan luck.


Tentang luck atau ada yang sering menyebutnya dengan windfall ini juga perlu diperhatikan. Luck tidak akan dapat terjadi tanpa persiapan dan kesempatan. Luck tanpa persiapan yang baik jarang yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sedang luck jarang yang dapat maksimal didapatkan tanpa kesempatan. Persiapan dan kesempatan merupakan dua sisi mata uang untuk mendapatkan luck atau windfall. Persiapan itu sendiri kadang-kadang tidak kita sadari sudah tersedia sebelumnya dari personal maupun institutional experiences kita. Maka pandai-pandailah memanfaatkan persiapan ketika kesempatan tiba, supaya mendapatkan luck atau windfall. Contoh paling mudah adalah, ketika harga minyak dunia naik secara fantastik, yang saya sebut itu sebagai kesempatan bagi Indonesia sebagai penghasil minyak yang ketika itu masih anggota OPEC, tidak dapat menikmatimya, karena sudah beberapa tahun produksi minyak Indonesia malah terus merosot. Puncak produksi yang pernah dicapai sebesar 1,4 juta barrel/hari turun menjadi 990 ribu barrel/hari. Itupun Indonesia malah mengalami nett import. Sehingga kenaikan harga minyak dunia malah menjerat perekonomian Indonesia. Contoh lain adalah ketika harga komoditas dunia juga naik, namun karena tidak ada persiapan, maka kesempatan itu menguap begitu saja. Padahal Indonesia memiliki potensi komoditas yang menggiurkan. Namun karena manusia Indonesia disibukkan oleh perebutan posisi sebagi leader, tanpa ada yang mau berperan sebagai follower, atau kalau jadi follower malah merecoki leader-nya, maka jadinya ya seperti sekarang ini.


Leadership akan jauh lebih efektif dan kuat pada organisasi yang sistemnya sudah sangat bagus, sehingga tidak akan dapat “diakali” atau “tidak ada celah” untuk memanfaatkan sistem bagi kepentingan pribadi, atau tidak ada “loop-hole” sama sekali. Karena di organisasi dengan sistem seperti itu roda aktifitas manajerial dan operasional sudah dapat berjalan “auto pilot”. Sehingga siapapun leader-nya tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi. Tentu saja harus diimbangi dengan followership yang kuat dan efektif serta efisien, dan tidak ada goncangan dari luar pesawat yang fatal. Namun organisasi dengan sistem sempurna seperti itu hanya ada di dunia impian (di Ancol?).


Kembali kita fokus ke topik bahasan. Organisasi dengan kemampuan leadership kuat maupun lemah tentu memerlukan kemampuan dan kontribusi dari follower untuk tetap dapat menjalankan organisasi on the right track, supaya vision, mission, strategy, action plan, goal ataupun objective tetap dapat tercapai. Dengan kata lain diperlukan followership yang kuat pula. Apa dan bagaimana followership yang kuat dan efektif itu dapat dijadikan kontributor dalam pencapaian kinerja suatu organisasi? Tentu saja lumayan sulit untuk menjabarkannya, karena praktek lapangannya sangat banyak, namun teori-teori atau textbooks tentang hal itu sulit dicari, karena kebanyakan mengulas tentang leadership. Bagaimanapun diharapkan ada benang merah atau balance antara teori dan praktek, supaya terjadi harmoni yamg komplementer, melengkapi keserbaduaan ( baca : harmoni ) yang telah ada sebelumnya, seperti tua-muda, laki-perempuan, siang-malam, gelap-terang, kaya-miskin, hitam-putih, besar-kecil, dan lain-lain. Jangan sampai terjadi dikotomi.
Berangkat dari keterbatasan teori tersebut, penulis mencoba menggali dari dunia pewayangan, yang kebetulan penulis cukup paham, meskipun hanya secuil. Dari dunia pewayangan penulis mengenal Ramayana, maupun Mahabharata dan lanjutannya Bharatayudha.
 

1. Ramayana.
Sebagai ilustrasi pertama, dalam Ramayana dikenal seorang raja sebagai leader bernama Rahwana atau Dasamuka, seorang raksasa yang sangat kejam, lalim dan arogan, yang jika marah kepalanya bisa bertambah menjadi sepuluh kepala. Rahwana adalah leader dalam hal ini top management dari para raksasa jahat yang amat sangat antagonis. Bukan kebetulan kalau Rahwana mempunyai follower, dalam hal ini posisinya middle management berjumlah 3 ( tiga ) orang, dengan fenomena followership yang beragam, yang kalau dicermati, fenomena tersebut banyak terjadi dalam dunia manajemen di Indonesia. Ketiga follower tersebut kebetulan adalah adik-adiknya. Ketiga adiknya, sebagai midlle manager, memang di samping memiliki leadership yang kuat dan efektif, karena harus memimpin anak buahnya, mereka juga mempunyai masalah followership, dalam menyikapi sikap kakaknya yang semau gue. Namun karena leader-nya adalah sang kakak, yaitu Rahwana, dengan style seperti tersebut di atas, maka fungsi follower lebih menonjol daripada fungsi leader, dengan kata lain mereka lebih sering melayani leader daripada memimpin lower manager (anak buah-nya) sebagai follower mereka.


Dalam epos Ramayana diceritakan, bahwa Rahwana sebagai leader dari organisasi kerajaan yang bernama Alengkadiraja, mempunyai instant-goal untuk memperisteri Dewi Shinta, yang kebetulan sudah bersuami Prabu Ramawijaya, leader dari Kerajaan yang lain. Untuk tercapainya goal tersebut, Rahwana mempunyai instant action plan, yaitu merebutnya dari Prabu Ramawijaya, dengan menculik Dewi Shinta yang kebetulan sedang ditinggal berburu suaminya. Dengan strategi yang jitu, berupa tipu daya alih rupa menjadi orang lain sehingga Dewi Shinta terkecoh, akhirnya Dewi Shinta dapat dibawa oleh Rahwana ke istananya. Pada akhirnya, karena adanya benturan kepentingan, dalam hal ini Prabu Ramawijaya tidak rela, maka berusaha untuk merebut kembali Dewi Shinta ke pangkuannya, sementara Rahwana tetap dengan goal ingin memperisteri Dewi Shinta, maka terjadi perang. Tentu saja dalam perang terjadi adu strategi.


Dalam kajian Strategic Management maupun Quality Management System, sebenarnya ulah Rahwana dengan menetapkan goal dan strategy secara instant di luar Longterm Plan (Rencana Jangka Panjang-RJP) dan Annual Plan (Rencana Jangka Pendek atau rencana Tahunan-RKAP), tanpa ada vision, mission, dan policy adalah kurang tepat. Prosesnya seharusnya ada vision dulu kemudian mission dan policy serta strategy, baru kemudian ada deployment atau cascading dalam action plan untuk pencapaian goal. Apalagi tidak ada corporate culture yang berkembang baik dalam organisasi atau kerajaan Rahwana. Dalam hal ini tiba-tiba ada goal tanpa sebab dan alasan yang sistematik sesuai Strategic Management System ataupun Quality Management System. Berarti jelas ada Non Conformance dan kelasnya adalah very-very Major jika rujukannya ISO Series (ISO 9001, ISO 14001, ISO 18001, dll). Apalagi tidak ada team-work yang baik karena semua dilakukan berbasis keputusan one man show.


Dalam menyikapi perang yang terjadi ternyata 3 (tiga) follower Rahwana mempunyai sikap yang berbeda, dengan kata lain followership style mereka berbeda satu sama lain.

1. Kumbakarna, dikenal sebagai raksasa yang berjiwa ksatria, santun, lemah lembut, arif, adil, dan baik hati, meskipun badannya sebesar gunung dan wajahnya mengerikan, dengan kata lain sangat menakutkan. Ketika dihadapkan pada kelakuan Rahwana, seorang leader yang sangat antagonis, Kumbakarna diam, namun setelah sebelumnya selalu mengingatkan sang kakak atas perbuatannya yang tidak terpuji. Ketika Kumbakarna menasehati kakaknya supaya mengembalikan Dewi Shinta, Rahwana marah besar, dan mengusir Kumbakarna dari Istana. Kumbakarna akhirnya pergi bertapa, tidak menghiraukan lagi keadaan istana (organisasi). Tidak mau tahu bahwa akhirnya terjadi perang.

2. Sarpakenaka adalah raksasa wanita yang sangat identik dengan kakaknya, buruk rupa, buruk kelakuan, sukanya menggoda laki-laki...pokoknya identik dengan kakak sulungnya, Rahwana. Apa yang diperintahkan Rahwana pasti dilaksanakan dengan suka cita, meskipun itu salah.

3. Gunawan Wibisana, si bungsu yang berwajah manusia, tampan, cukup arif, bijak, selalu bertindak penuh perhitungan, selalu beroposisi (dalam hal ini selalu memberi nasehat) kepada Rahwana agar tidak selalu berbuat buruk. Ketika nasehatnya kepada Rahwana untuk mengembalikan Dewi Shinta kepada Prabu Ramawijaya malah mebuat Rahwana berang, dan mengusirnya dari Istana, Gunawan Wibisana malah memilih bergabung dengan musuh Rahwana atau kompetitornya.

Follower’s type yang manakah anda?


2. Mahabharata- Bharatayudha
Dalam Mahabharata yang kemudian berlanjut dengan Bharatayudha, pengayaan kita tentang followership lebih lengkap.

Di pihak Astina ada Suyudana atau Duryudana sebagai leader Kurawa dari Kerajaan Astina, dengan 99 adiknya sebagai middle manager, yang dikenal sebagai antagonis tulen. Namun di samping itu Astina sebagai organisasi memiliki middle manager lain di luar Kurawa, atau profesional lain luar Kurawa yang cukup unik.

Prabu Karna dari Awangga, adalah type middle manager (follower Duryudono), yang bergabung ke Kurawa karena sebagai balas budi, karena sudah diberi pangkat dan jabatan yang tinggi oleh Kurawa. Maka meskipun Pandawa yang sebenarnya adik2nya sendiri satu ibu berperang dengan Kurawa dalam Bharatayudha, Prabu Karna membela mati2an organisasinya tersebut, meskipun akhirnya dengan mengorbankan jiwa raganya. Seperti halnya Fernando Torres yang harus professional membela mati2an klub barunya Chelsea karena dibayar mahal, dalam menghadapi mantan klubnya Liverpool, meskipun akhirnya kalah 0-1, kemarin. (Maaf, dalam konteks Fernando Torres, semata-mata adalah konteks profesionalisme, bukan konteks antagonis-protagonis).

Prabu Salya, lain lagi. Dia sangat membenci sikap dan perilaku Duryudana yang sangat antagonis. Namun karena Astinapura adalah tanah airnya (organisasinya), maka ketika perang Bharatayudha terjadi, dia membela Astinapura sampai titik darah penghabisan. Dia hanya mau mempertahankan kehormatan organisasinya (Astinapura), bukan membela Duryudana, leader-nya yang antagonis. Setelah kematiannyapun Para Pandawa yang dalam konteks Bharatayudha adalah musuhnya, sangat menghormati Prabu Salya.
Hal serupa juga terjadi pada Resi Bisma, yang mirip dengan Prabu Salya, yang berperang di Pihak Astinapura, yang kebetulan dipimpin oleh Kurawa dengan leader Duryudana, yang antagonis, karena semata-mata mempertahankan negaranya (organisasinya), bukan membela leader-nya yang antagonis meskipun hati nuraninya berada di pihak Pandawa, atau musuhnya.

Sementara di Pihak Pandawa, semua follower sangat mendukung karena sikap dan perilaku kepemimpinan Pandawa yang sangat protagonis, sehingga tidak ada yang aneh di follower-nya, semua berjalan on the right track, sesuai sistem. Karena telah memahami esensi followership secara benar.

Bagaimana dengan organisasi anda, atau negara anda? Jika seandainya anda berada dalam organisasi dengan leader yang leadership-nya payah, apalagi antagonis? Apakah sebagai follower anda akan bersikap seperti Prabu Karna, Prabu Salya, Resi Bisma, atau adik2 Rahwana yang 99 orang tersebut? Beruntunglah jika anda mendapatkan leader seperti Pandawa. Itu jika berkaca dari epos Mahabharata-Bharatayudha.
Demikian juga jika kita menengok kembali epos Ramayana, apakah jika anda sebagai follower anda akan bersikap seperti Kumbakarna, Sarpakenaka atau Gunawan Wibisana?

Jika anda bukan follower, namun leader, saya yakin, leadership anda lebih condong ke leadership yang dimiliki Prabu Ramawijaya atau Pandawa, bukan Rahwana atau Kurawa.


Pesan moral yang ingin disampaikan:

Leadership amat sangat dan begitu penting, khususnya bagi para leader. Bagi calon-calon leader (baca: follower) juga akan sangat menunjang, karena sebagai persiapan menyongsong regenerasi. Apalagi jika posisinya adalah middle manager, yang harus dapat berperan ganda sebagi leader maupun follower. Bagi yang saat ini posisinya masih di middle manager apalagi yang masih front-liner, disarankan, disamping harus benar2 memahami leadership juga untuk benar-benar memahami esensi followership, karena mereka tidak hanya menghadapi masa depannya sebagai leader, namun juga masa kini dimana mereka berada sebagai follower. Masa depan yang cerah tidak akan dapat digapai tanpa masa kini yang baik. Untuk itu, memahami dan mengoperasionalkan leadership harus balance dengan pemahaman yang benar tentang followership, supaya tidak “nggege mangsa”, belum-belum sudah merasa sebagai leader, melupakan realitasnya sebagai follower. Meskipun lebih nyaman sebagai leader daripada sebagai follower. Untuk itu raihlah posisi leader, dengan cara-cara yang cantik, dengan kompetisi yang sehat dan baik, karena memang sudah dibekali followership yang cukup dan leadership yang kuat dan efektif, syukur bisa efisien.
Semoga ini dapat sedikit membantu menjelaskan juga tentang fenomena kutu loncat. 


Kalimat kuncinya adalah:

Followership yang masih berkutat hanya pada teori-teori Five reasons to follow, yaitu tentang relasi antara leader-follower yang berkaitan dengan follow, respect, trust, liking, support, dan ideas, tidaklah cukup. Meskipun ditambah dengan teori-teori tentang exemplary, alienation, conformist, pragmatist, passive (Kelly’s Model, 1992). Karena dalam prakteknya di Indonesia sering terjadi distorsi atau deviasi yang sangat lebar. Teori dan praktek harus balance.  

Karena teori tanpa praktek itu omong kosong, sementara praktek tanpa teori itu ngawur.

Salam Manajemen
Ratmaya Urip
===============================

Note: *) penulis adalah fungsionaris Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia), dan Quality Network Club – Indonesia.


Serial Filosofi Manajemen 3



FILOSOFI BENANG KUSUT

(TOUSLED YARN PHILOSOPHY)

SOLUSI MANAJEMEN BISNIS DALAM KONDISI KRITIS

oleh : Ratmaya Urip*

Seringkali dalam bisnis kita dihadapkan pada kondisi yang bukan lagi as usual. Kondisi itu kini lebih sering terjadi, karena semakin tingginya tingkat persaingan, tuntutan customer, pengaruh politik, ekonomi, sosial, dan budaya global yang sulit bagi para pelaku bisnis untuk menghindarinya. Kondisi chaos, resesi dan atau depresi di suatu tempat dengan cepat akan berimbas pada wilayah lain yang jauh dari sumber masalah. Singkat kata, kini kita sudah selalu harus berhadapan dengan kondisi unusual, yang unpredictable, uncountable, dan hopelessness, yang menjadikan seluruh jurus dari kemampuan visioner, kemampuan manajerial maupun kemampuan teknikal yang ada menjadi tidak berarti, menjadi usang dan menjadi lampau atau bahkan menjadi generik. Teori-teori manajemen apapun menjadi lumpuh ketika harus diaplikasikan.Dalam kondisi unusual dalam hal ini boleh juga disebut krisis multi dimensi, seluruh resources terkuras habis untuk dapat survive. Hampir seluruh pelaku bisnis menetapkan strategi survival, jarang yang mengambil strategi growth atau diversification. Memang ada bisnis yang tetap growth, namun secara agregat tidak cukup signifikan untuk memberikan kontribusi bagi global growth, regional growth dan national growth. Yang lebih sering terjadi adalah pelaku bisnis terpaksa melakukan liquidation. Sehingga kondisi krisis semakin mencengkeram kuat.

Terinspirasi dari Prof. DR Paul Ormerod dalam The Death of Economics, yang menganalisis tentang boom atau recession dalam suatu perekonomian hanya pada 2 (dua) parameter dasar yaitu unemployment dan inflation yang ternyata cukup ampuh dalam menganalisis Global Depression pada tahun 1930-an dan global oil crisis tahun 1973-1974, maka penulis mengetengahkan Tousled Yarn Philosophy (Filosofi Benang Kusut) sebagai alternatif Solusi Manajemen Bisnis dalam Kondisi Kritis atau Unusual.

Dalam kondisi kritis, seluruh resources terkuras habis, sementara result sering tidak kunjung sesuai dengan harapan. Ini karena dalam kondisi panik, semua distorsi dan degradasi diatasi dan diapresiasi dengan mengerahkan seluruh resources. Padahal kita harus lebih mengedepankan skala prioritas, untuk mengamanan resources yang memang sangat terbatas itu, apalagi dalam situasi yang sangat kritis.

Kondisi chaos atau krisis diibaratkan kondisi benang dalam keadaan kusut yang secara harfiah sulit untuk diurai lagi, sehingga lebih sering kita membuangnya karena useless. Padahal kalau kita tidak panik dan berpikir jernih kita akan dapat mengurai benang kusut tersebut, kembali menjadi useful.


Initial step dalam mengurai benang kusut adalah mencari dua ujung benangnya. Langkah ini merupakan critical activity, karena memberikan kontribusi terbesar bagi keberhasilan yang ingin dicapai. Berangkat dari 2 (dua) ujung benang yang telah ditemukan tersebut kita lakukan langkah penguraian, sampai benangnya lepas dari kondisi kekusutan. Tentu saja dalam penguraian tersebut sering kita jumpai kondisi berupa adanya bagian dari benang yang sangat kusut dan tertali mati, sehingga kita harus mengamputasi dan membuangnya khusus pada bagian yang sulit diurai tersebut dan kita sambung lagi setelah benang yang sulit diurai tersebut dibuang.

Berangkat dari filosofi tersebut penulis mencoba mentransformasikannya sebagai teori atau axioma dan mengaplikasikannya dalam manajemen bisnis yang penulis geluti, dan ternyata hasilnya cukup membanggakan.

Dalam tulisan sebelumnya penulis pernah mengedepankan tulisan tentang Faktor Kelola dan Faktor Kendali dalam Manajemen Mutu Untuk menerapkan filosofi (baca : teori) Benang Kusut, maka penulis mengedepankan lagi masalah Faktor Kelola sebagai acuan dasar yang harus dipilih dan ditetapkan sebagai 2 (dua) ujung benangnya. Initial step berupa pemilihan dan penetapan 2 (dua) faktor dari 12 (sebelas) Faktor Kelola yang paling krusial mempengaruhi atau penyebab dari krisis yang terjadi, itulah critical activity-nya. Kesalahan dalam menetapkan 2 (dua) faktor tersebut akan menyebabkan distorsi. Dengan hanya memilih 2 (dua) faktor saja di antara 12 (sebelas) faktor sebagai prioritas utama penanganan krisis akan sangat menghemat resources yang kita miliki. Setelah 2 faktor yang dipilih dari 12 faktor (komponen Faktor-faktor Kelola) kita tetapkan sebagai initial step, maka kita kemudian harus menguraikan dan mentransformasikannya dalam ujud parameter-parameter di masing-masing faktor. Untuk itu memang dibutuhkan kepiawaian dalam cascading dan deployment masing-masing faktor. Kemampuan analitis maupun intuitif merupakan kunci utama keberhasilan kita. 10 (sepuluh) faktor lain yang kebetulan tidak kita sentuh, secara alami akan mengikuti azas atau efek domino, dengan kata lain akan dapat terseret dan atau terurai masalahnya mengikuti 2 (dua) faktor dominan yang sudah ditetapkan sebagai 2 (dua) ujung benang.

Faktor-faktor Kelola dalam Bisnis


Berangkat dari Production Factors (Faktor-faktor Produksi) yang sering juga disebut sebagai 5 M (Man, Material, Method, Machine, dan Money), penulis kemudian mengedepankan 12 M yang penulis sebut sebagai Managing Factors (Faktor-faktor Kelola), yang merupakan faktor-faktor yang menurut penulis cukup komprehensif untuk disebut sebagai faktor-faktor yang dibutuhkan dalam pengelolaan bisnis. Faktor-faktor kelola penulis susun secara hierarchies, tidak boleh dibolak-balik. Dari 2 (dua) faktor di antara 12 (sebelas) faktor inilah yang harus ditetapkan sebagai Main Factors dalam Initial Step yang telah disebutkan di atas. Adapun Faktor-faktor Kelola (12 M) yang penulis maksud adalah :

1. Milieu

Parameter-parameternya adalah : stakeholder satisfaction index, ambang batas yang diijinkan baik fisik maupun Ipoleksosbud dari lingkungan, derajad antropolis bisnis dari lingkungan, dan lain-lain.

2. Market

Parameter-parameter dasar yang dapat dikembangkan adalah : sales progress, sales scorecard, customer satisfaction index, customer loyalty index, customer complaint, cost performance index, quotation success ratio, profitability, dan lain-lain.

3. Money

Adapun parameter-parameternya adalah : cost index, revenue, short-term liquidity ratios, capital structure and long-term solvency ratios, return on investment ratios, operating performance ratios, assets utilization ratios, profitability, dan lain-lain.

4. Management

Parameter-parameternya adalah : audit reports, management review, PMS, performance review, regular evaluations, dan lain-lain.

5. Manpower

Parameter-parameternya adalah : employee productivity index, man-hours per quantity, sales/staff, profit/staff, communication skill, competencies, dan lain-lain.


6. Motivation

Parameter-parameternya memang masih perlu kajian yang lebih intens. Untuk sementara yang dapat diketengahkan adalah : employee satisfaction index, attitude-behavioral index, leadership-followership ability, employee scorecard, dan lain-lain.

7. Material

Parameter-parameternya adalah : cost of quality, materials rejected rate, effectiveness, efficiency, material costs per quantity, material costs per revenue, dan lain-lain.

8. Machine and Mechanization

Parameter-parameternya adalah : equipment availability per performance, equipment breakdown time, maintenance cost per quantity, operation cost per quantity, effectiveness, efficiency, dan lain-lain

9. Measurement

Parameter-parameternya adalah : semua parameter yang ditetapkan dalam setiap faktor yang ada dalam Faktor-faktor Kelola ( 12 M ). Seluruh parameter harus dapat berguna untuk evaluasi, penyusunan strategi, dan decision making

10. Modern Information Method

Parameter-parameter untuk faktor ini masih belum dapat diajukan. Akan disampaikan dalam tatap muka.

11. Mounting Product Requirement

Parameter-parameternyapun belum dapat diajukan seperti halnya faktor ke sepuluh.

12. Magnate

Parameter untuk faktor ini belum dapat diajukan, seperti halnya fakor ke sepuluh.

Faktor ini sebenarnya merupakan extensi dari faktor ke-5 Manpower, namun lebih ke aplikasi atau parameter-parameter yang lebih stratejik dan taktikal, sementara dalam faktor Manpower di atas lebih kepada parameter yang operasional. Mengapa dipisahkan? Karena people dalam gelombang ke-empat peradaban manusia, yaitu era creativity, environment, dan culture, memerlukan ketangguhan people yang sangat prima. People merupakan faktor yang paling menentukan dalam mengolah resources dan menjalankan sistem. Apalagi era-nya sudah bukan era Human Resource Management, namun sudah masuk ke era Human Capital Management, yang matriksnya bukan dua dimensi lagi, tetapi tiga atau empat dimensi. (Catatan: tentang dimensi ini sudah dijelaskan dalam tulisan-tulisan sebelumnya).

Tentu saja dalam aplikasinya artikel ini perlu ditindaklanjuti dengan workshop atau pelatihan secara intensif, karena Tousled Yarn Philosophy disamping memerlukan kemampuan analitis dan intuitif juga memerlukan kemampuan cascading dan atau deployment yang dalam, karena pijakannya di samping berbasis pada Operational Excellence, juga sekaligus berbasis Innovation Excellence. Meskipun salah satu dari keduanya dapat saja diabaikan, tergantung dari jenis bisnisnya.

Penggunaan salah satu dari Institutional Performance Management, seperti the Balanced Scorecard dari Harvard, Amerika Serikat (1992), Prism dari Cambridge, Inggris (2002), Key Performance Indicator Manual dari Australia (1995), ISO series yang diprakarsai WTO (1986), Malcolm Baldridge National Quality Award dari Amerika Serikat (1987), Activity Based Management dari Amerika Serikat (1996), Good Corporate Governance, dan sebagainya, sangat dianjurkan. Bahkan Six Sigma, sebuah metode pengendalian kualitas produk yang semula berangkat dari pengendalian kualitas statistik di level lantai pabrik (shop floor), saat ini sudah memasuki area perbaikan kinerja di level stratejik dan organisasi.

Tentu saja penggunaan software dalam mengolah Key Performance Indicators (KPI), akan lebih cepat jika memanfaatkan software, seperti Super Decision, atau Expert Choice, dll.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip

=========================================

*) Ratmaya Urip, adalah pemerhati, pelaku serta konsultan untuk berbagai aktifitas stratejik, manajerial, taktikal, dan operasional di bisnis industri & jasa bidang manufaktur, konstruksi dan pertambangan. Saat ini adalah Wakil Ketua Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia) Cabang Surabaya, Pembina & Pendiri Quality Network Indonesia Chapter Jawa Timur, dan Ketua Ikatan Ahli Pracetak-Prategang Indonesia Cabang Jatim. Selain itu adalah Host dan co-Producer di Radio Suara Surabaya 100FM (www.suarasurabaya.net klik online atau on demand) selama 16 tahun untuk “weekly program”: “Solusi Manajemen Bisnis”/”Smart Solution”

ooOoo



Serial Filosofi Manajemen 2

FILOSOFI CINTA

Love is a Function of Mathematics

(L = PxS / DxT)

oleh: Ratmaya Urip*

Maaf Bpk. Heriyanto Notoseputro dan Bpk. Thomas Nick, saya agak terlambat menyampaikan jawaban atas apresiasi Bpk tentang formula saya, bahwa Cinta itu Fungsi Matematik. Maka melanjutkan penjelasan saya, yang merupakan response atas email dari Bpk Heriyanto Notoseputro dan Bpk Thomas Nick di milis (undercover_manager@yahoogroups.com) atau “The Manager” ini, di bawah thread: “Suami dan Gadis Penggoda”, joke yang pada awalnya di-released oleh Bpk Patrick Reddington, berikut ini akan saya lanjutkan penjelasan saya. Namun supaya lengkap, saya juga akan menyertakan penjelasan saya sebelumnya. Terima kasih kepada Bpk Heriyanto dan Bpk Thomas atas response-nya. 1. Love is a Function of Mathematics

Sebelumnya saya telah menyampaikan, bahwa “Cinta itu Fungsi Matematik” (Love is Function of Mathematics), yang mengikuti rumus atau formula L = PxS / DxT. (Notes: L = Love, P = Power, S = Speed, D = Distance, T = Time). Jika dinarasikan: “LOVE berbanding lurus dengan POWER dan SPEED, namun berbanding terbalik dengan DISTANCE dan TIME)”. Maaf, sengaja tidak saya tambahkan imbuhan konstanta alpha, beta, atau gamma, seperti fungsi matematik pada umumnya, supaya mudah dicerna. Untuk itu mohon maaf kepada para ahli matematika atas kelancangan saya).

Karena saya bicara tentang keuniversalan, maka sebagai PROLOG, saya ingin memberi batasan, bahwa yang dimaksud dengan LOVE di sini merupakan LOVE yang hanya berdimensi hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia atau hubungan horizontal), bukan yang berdimensi hablumminalloh (hubungan manusia dengan Sang Pencipta atau hubungan vertikal), karena saya bukan ahlinya. Itupun terbatas hanya pada perspektif hubungan antarmanusia yang berlainan jenis yang menginginkan dan atau sedang dalam pelukan LOVE. Tidak termasuk hubungan manusia (baca: LOVE) dengan keluarganya, pekerjaannya, lingkungannya, machluk hidup lainnya, negaranya, dan lain-lain. Apakah rumus tersebut berlaku juga untuk dimensi atau perspektif yang lain? saya belum membuktikannya! Yang pasti tulisan ini hanya sebagai response keterkejutan saya pada cerita tentang “Suami dan Gadis Penggoda”, karena sikap suami seperti yang ditunjukkan dalam cerita tersebut merupakan barang langka yang dapat disebut antique. Sekaligus untuk merefleksikan kekaguman saya pada si “suami”. Bagaimanapun juga, cerita tersebut sangat “inspiring”, “motivating”, “energizing”, “exciting”, “interesting”, and “fascinating” bagi saya. Semoga juga bagi anggota milis lainnya. Dengan kata lain, semoga formula atau rumus saya tersebut dapat terpatahkan dan terhempas keras oleh waktu dan sikap moral yang positif.

Jangan salah, LOVE mempunyai infrastruktur yang bersifat rasional, emosional, dan spiritual, yang berinteraksi secara proaktif, bukannya reaktif. Ketiganya membentuk bauran seperti halnya bauran pemasaran (marketing mix) 4P. Hanya kalau LOVE memiliki 3 (tiga) elemen pokok yang akronimnya adalah RES, sementara bauran pemasaran memiliki 4 (empat) elemen inti 4P. Sehingga dapat disusun matrix-nya, atau dianalisis dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Analytical Network Process (AHP) dari Saaty, baik yang menggunakan software seperti Expert Choice maupun Super Decision.

Perlu diingat dan dipahami, kalau kita bicara spiritual, itu bukan berarti hanya menyangkut bersujud ke arah kiblat di atas sajadah ke haribaan Allah Swt, berlapar-lapar puasa di bulan Ramadhan, dll. Serta juga bukan hanya bernyanyi menyenandungkan kidung doa dengan berjajar menghadap altar serta menerima “altar cake” dari Romo atau Pendeta, menyalakan hio dan dupa di antara lilin-lilin di dalam pagoda, menabur kembang di pura untuk Hyang Widi Wasa, merintih di depan tembok ratapan, dan ritual-ritual keagamaan lainnya, karena ibadah memiliki esensi tidak hanya vertikal, namun juga horizontal. Sementara esensi taqwa adalah berserah diri kepada Yang Maha Esa, untuk kemaslahatan vertikal maupun horisontal. (Mohon maaf Bpk Kyai, kalau saya salah, karena saya hanya santri diniyah, belum ibtidaiyah, apalagi tsanawiyah atau aliyah, mohon diluruskan jika pemahaman saya salah).

Tentang rasional, emosional, dan spiritual (RES), ternyata juga dipakai dalam Ilmu Pemasaran, hanya bedanya di Pemasaran tersusun secara hierarkis. Dimana customer diharapkan oleh producer untuk dapat memiliki spiritualisme dalam memenuhi kebutuhan atas produk dan jasanya, tidak hanya sekedar emosionalisme, apalagi rasionalisme. Maaf, kepada para pakar Pemasaran, mohon diingatkan kalau saya salah, saya cuma cantrik yang sedang nyuwito atau ngenger di Padepokan (He.he.he..saya jadi ingat peri laku Pailul, yang mirip saya, mendampingi sahabatnya, Panji Koming, yang serba salah ketika sowan ke hadapan Sang Begawan, karena ingat Ni Dyah Gembili, pacarnya, yang mungkin sedang bersama Ni Woro Ciblon, dalam serial strip komik Panji Koming & Pailul karya Dwi Koendoro sejak 14 Oktober 1979 di KOMPAS Minggu). Di Padepokan untuk ngangsu kawruh dengan maksud supaya dapat memiliki ngelmu kang linuwih, karena saya belum dan bukan apa-apa, saya hanya sudro, utawi pidak pedarakan ingkang ngelak ing ngelmu. Amargi ngangsu kawruh salaminipun gesang punika saged anglanggengaken pasederekan lan njangkah ing margining ngagesang ingkang tuhu). Tentang hal ini biarlah nanti beliau-beliau yang ahli Pemasaran yang dapat menjelaskan. Saya sedang dalam posisi untuk belum memiliki kompetensi yang cukup tentang hal ini. Hanya tahu sedikit-sedikit, sekedar pancingan agar ahlinya yang bicara. Mencoba untuk lebih intens dalam berinteraksi di milis ini. (Maaf pakai Bahasa Jawa Krama Inggil, mencoba untuk menapaktilasi peninggalan Ki Hajar Dewantara yang abadi: “Ing ngarsa sung tulada,Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani”, filosofi yang sampai sekarang masih menjadi rujukan di berbagai bidang, termasuk bidang manajemen)

Baiklah, supaya prolog-nya tidak “nggladrah sa wiyah-wiyah” atau berkepanjangan, berikut ini akan saya sampaikan equation-nya seperti yang diminta oleh Bpk Heriyanto dan Bpk. Thomas:

2. Mengelola Cinta adalah Investasi

Saya akan mulai dari statement, bahwa mengelola Cinta itu adalah suatu INVESTASI. Maaf jika statement ini agak materialistik. (Catatan: menurut saya kita memang harus materialistik asal proporsional. Bayi dalam kandungan saja perlu nutrisi/materi untuk dapat melanjutkan tumbuh-kembangnya di kandungan. Semua machluk hidup perlu materi berupa unsur hara atau nutrisi. Asal proporsional jangan RAKUSional atau TAMAKional). Demikian juga Cinta (LOVE) jangan berlebihan.

Cinta atau LOVE (L) memang dapat dianalisis dari berbagai aspek di antaranya aspek ekonomi, budaya, knowledge (matematika, fisika, geologi, komunikasi, psychologi, dll), agama, manajemen, dll.. Tentang hal ini akan saya masukkan dalam SERIAL FILOSOFI MANAJEMEN, yang serial pertamanya sudah meluncur di milis ini dengan judul FILOSOFI MUSIK. Tentang LOVE, masuk dalam serial tersebut dengan topik FILOSOFI CINTA. Jumlah serialnya sendiri direncanakan mendekati jumlah ASMAUL HUSNA, karena saya amat mengagumi kebesaran Allah Swt, dan semua yang saya tulis semata-mata karenaNYA. Tapi akan ditulis secara populer dan universal. Musik, cinta, tukang kayu, makanan, dan lain-lain itu universal kan?

Sebenarnya sebelum ini ada issue yang sangat menarik di milis ini, yaitu tentang Manajemen Konflik, yang mengilhami saya untuk menulis tentang Filosofi Konflik, namun ternyata lebih dulu menulis tentang LOVE, yang muncul karena terinspirasi oleh cerita tentang “Suami dan Gadis Penggoda”, sehingga perbendaharaan formula/rumus lama saya muncul kembali. Saya jadi ingat pemeo saya: “kesempatan tanpa persiapan tidak akan menjadi ‘luck’, sementara persiapan tanpa kesempatan juga akan terbuang dengan percuma, tidak akan menjadi ‘luck’”. Kebetulan saya telah ada persiapan berupa formula atau rumus matematik tentang LOVE, sementara “kesempatan baik” tiba-tiba muncul seiring hadirnya joke “Suami dan Gadis Penggoda”. Padahal serial lainnya sudah lebih dahulu siap edar. Momentum kan perlu dimaknai dan dimanfaatkan secara lebih, bukan? Ini namanya kesempatan, yang kebetulan saya sudah ada persiapan, meskipun sudah lama, dan boleh juga disebut persiapan yang basi. Jadilah “luck” karena menginspirasi saya untuk menulis serial ini.

3. Love Versus Power

CINTA dalam kajian matematika kan perlu ada penjelasan dan solusi matematisnya. Kalau mau bersusah-susah sedikit untuk jeli, apapun sebenarnya dpt dikaji secara matematis. Krn kebetulan latar belakang pendidikan saya adalah ilmu exact yg terdampar di dunia manajemen. Orang exact pd umumnya memiliki pola pikir CONVERGEN, krn selalu mempermudah segala sesuatu yg sulit, shg mereka selalu menggunakan formula atau rumus2 jk ingin mendapatkan solusi atas suatu masalah. Contohnya: Einstein merumuskan masalah rumit dlm ilmu fisika "hanya" dengan teori relatifitasnya E=mc2. Begitu pula dg Phytagoras, Archimedes, Kepler, Newton, dll. Hanya mereka kan memang bergelut di bidang yg exact. Jarang sekali fenomena sosial yg solusinya dilakukan dengan pendekatan secara exact. Maka ttg LOVE, saya mencoba utk mencari formulasinya secara matematis, meskipun lebih mudah mengkajinya secara fisis maupun biologis.

Sementara teman2 dr bidang non-exact lebih cenderung ke pola pikir DIVERGEN, maaf, lebih cenderung memperdalam apa yg sebenarnya sederhana. Contohnya: Pancasila yg jumlahnya lima itu dikaji sampai dalam sekali. Saya sendiri suka berpola pikir CONVERGEN maupun DIVERGEN, spy balance, dan tergantung masalahnya

Kembali ke pokok bahasan. LOVE (L) berbanding lurus dg POWER (P), krn L akan mudah didapat oleh orang yg memiliki P besar. P melambangkan status sosial, kekayaan, dll. Memang ada perkecualian, namun tidak banyak. Jika diteliti dugaan saya mengikuti kurva lonceng GAUSS. Ordinary, LOVE memiliki pangsa sekitar 80%. Sementara yg extra-ordinary, baik yg superior maupun inferior memiliki kans 20% dr kajian statistik. Ini hipotesis saya. Uji hipotesisnya, maaf tdk dpt saya sampaikan krn menyita tempat. Sebagai ilustrasi memang ada LOVE yg berhasil yang terjadi tapi merupakan anomali dr formula saya, tp jumlahnya tdk banyak, dimana LOVE dinikmati oleh mereka yg P-nya kurang. Kalau tokh kelihatan banyak itu krn terobsesi oleh dongeng-dongeng Cinderella-Sang Pangeran, Romeo-Juliet, Raramendut-Pranacitra, Layonsari-Jayaprana, Saidjah-Adinda, Siti Nurbaya-Syamsul Bahri, Panji Semirang, dll. Kalau tokh saya harus memberikan apresiasi saya akan memberikannya pd LOVE yg berkibar pd diri Widyawati-Sophan Sophian dan Setyawati-Prabu Salya dlm epos Bharatayudha. Tapi itu kan sample utk mendukung formula saya. Krn terjadi pd mereka yg sama2 memiliki P yg besar?

4. Love Versus Speed

Dalam persaingan apapun, termasuk dalam mendapatkan Love, pasti berlaku hukum ”siapa cepat dia akan lebih berpotensi untuk dapat”. Jika tidak ada upaya yang serius dengan kecepatan (kelajuan) yang prima untuk mendapatkannya pasti akan kalah dengan kompetitor. Orang yang ingin mendapatkan Love, tetapi tidak menunjukkan keinginannya sama sekali secara lebih cepat, atau malah ragu-ragu untuk ”menembak” (istilah anak muda jaman mutakhir untuk menyatakan cinta), maka dia akan membuat yang ”ditembak” akan bingung, dan akan memilih yang lebih pasti dan lebih cepat. Saya kira tentang hal ini tidak perlu penjelasan lebih lanjut, karena mudah dipahami. Sebenarnya ada aspek lainnya di samping speed (kelajuan atau kecepatan) yaitu acceleration (percepatan), namun hipotesis saya belum sampai ke sana.

Menanggapi masukan Bpk. Thomas Nick, memang benar bahwa Speed itu Distance / Time. karena Speed, Distance, dan Time terhubung secara linear, namun itu jika kita bicara secara ilmu exact murni, dimana pola pikirnya memang wajib CONVERGEN. Tapi yang dibahas ini bukan ilmu exact namun non-exact, sehingga mau tidak mau kita wajib ber”mindset” DIVERGEN, sehingga saya belum sependapat jika equation awal bisa di nyatakan dalam dua variabel bebas saja, yaitu P dan kuadrat dari T, seperti masukan Bpk. Thomas. (Maaf, kebetulan salah satu pendidikan saya adalah dari disiplin ilmu Teknik Sipil, di samping ilmu2 dengan disiplin lain, baik yang exact maupun non-exact, sehingga tidak perlu bertanya kepada temen2 dari Teknik Sipil seperti masukan Bapak. Juga karena saya juga memiliki basis pendidikan non-exact, maka pola pikir saya selalu variatif, kapan diperlukan CONVERGEN, kapan diperlukan DIVERGEN, itulah biangnya. Yang penting kedua pola pikir tersebut dapat memberikan solusi yang cepat, efektif dan efisien, dan benar-benar dapat dipahami dan disepakati). Btw, sangat menarik apa yang Bpk sampaikan sebagai masukan. Masukan Bpk sangat inspiring, energizing, empowering, motivating, exiting, fascinating, exciting and interesting. Karena tiba-tiba kemudian saya mulai berpikir tentang formula dalam Ilmu Teknik Sipil lainnya, khususnya Hidrolika atau Mekanika Fluida yang dapat diformulakan sebagai formula Love juga. Yaitu tentang Formula Debit Air, Q = A x S (Debit, berbanding lurus dengan Luas/Area penampang dan Kecepatan/Speed) serta Formula kedua, Q = V / T (Debit, berbanding lurus dengan Volume, namun berbanding terbalik dengan Waktu/Time). Ini sangat dekat untuk menjabarkan tentang Love. Coba saya akan membuktikannya. Tentu saja saya akan mebuat hipotesisnya, untuk diuji hipotesis.

5. Love Versus Distance

Distance atau jarak, merupakan aspek ketiga yang perlu dicermati. Jujur saja, jika kita memiliki Love, namun memiliki Distance yang besar, sangat rawan terhadap distorsi. Godaan banyak sekali yang menerpa. Jika Distance semakin besar sehingga kesempatan untuk menjadi dekat menjadi lebih sulit, misalnya Distance-nya sampai antar-negara atau antar-benua, kesempatan godaan untuk masuk besar sekali, yang ujung-ujungnya akan membuat Love berpaling jika tidak kuat menghadapi godaan. Kasus tentang hal ini cukup banyak. Yang paling fenomenal adalah banyaknya TKW yang sudah bersuami, yang mengandung anak di luar nikah dengan yang bukan pasangannya di negara tempat dia bekerja, atau banyaknya kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh para istri yang suaminya menjadi TKI di luar negeri, karena menisbikan Love. Mana kuat bagi kebanyakan lelaki jika melihat ada wanita sendirian, jika tanpa dibekali Love atau iman yang kuat. Kasus terakhir, seorang Kapolsek di Jatim digerebeg massa, karena berhubungan dengan wanita yang ditinggal suaminya bekerja sebagai TKI di luar negeri. Belum lagi kasus-kasus yang lain. Pada intinya, semakin jauh Distance, sehingga semakin jarang tatap muka akan lebih sering mengkhianati Love. Dengan kata lain, jika Distance semakin besar, maka Love akan mengecil, atau Love berbanding terbalik dengan Distance.

6. Love Versus Time

Marilah kita jujur. Jika usia perkawinan kita semakin panjang (Time semakin besar), apakah Love kita kepada pasangan kita akan sama magnitute-nya atau besarannya? Ada pemeo yang mengatakan, bahwa jika semakin lama berumah tangga, maka pasangan kita akan semakin dipandang sebagai saudara. Sehingga sex menjadi membosankan Usia rawan bagi perkawinan konon adalah di atas 5 (lima) tahun, karena Love mulai menurun, sehingga rawan terjadi godaan. Memang benar ada pemeo Jawa yang sangat populer: ”witing tresna jalaran saka kulina”, itu jika kita baru mulai memasuki pendekatan untuk mendapatkan Love, atau PROLOG-nya. Tapi pada episode EPILOG, menurut saya, pemeo-nya berubah menjadi: ”witing bubrah jalaran saka mlumah”, karena semakin kita memiliki Time yang panjang, maka sex dengan pasangan semakin membosankan (sex di sini untuk euphemisme, di notasikan dengan kata ”mlumah”). Maka banyak sekali kasus pasangan yang kemudian selingkuh. Ingat, sex adalah kelengkapan atau kesempurnaan Love. Love diakui atau tidak, akan lebih lengkap jika disempurnakan dengan sex. (seperti halnya ”Empat Sehat Lima Sempurna”). Apalagi karena tuntutan yang sangat manusiawi, bahwa sex memiliki fungsi regenerasi atau reproduksi, di samping fungsi rekreasi/relaxasi dan retardasi. Sex yang menyimpang yang tidak didasari Love, hanya berbasis nafsu semata memang banyak, namun itu bukan Love,. karena tidak didasari iman yang kuat. Apalagi jika dari sisi wanita tidak dibekali ”real Love”, hanya dibekali atau modal ingin dapat melakukan Mo-Limo (Lima-M): Macak, Masak, Manak, Mangan, Mlumah), yang kemudian prianya juga hanya berbekal Mo-Limo (Lima-M): Main, Madon, Minum, Madat, dan Maling.

Dengan kata lain, konklusinya Love semakin mengecil jika Time membesar, atau Love berbanding terbalik dengan Time.

Bpk Thomas Nick menyampaikan: ”That's why banyak pasangan yang setelah pensiun dan akhirnya spend waktu bersama yang lebih banyak (proximity) dan melakukan sesuatu yang disukai bersama (familiarity) merasakan jatuh cinta untuk kedua kalinya”. Itu memang benar. Tapi ingat, bahwa itu terjadi setelah pensiun. Bagaimana jika sebelum pensiun dan masih muda, namun memiliki Time yang panjang dengan Love-nya? Usia pensiun memang membuat ”familiarity” bertambah karena kesepian ditinggal anak-anak yang sudah berumah tangga, juga karena aktifitas menjadi berkurang. Sehingga Love sering muncul, namun konteksnya lebih ke konteks Love bukan sebagaimana Love antar-pasangan lain jenis, namun Love dengan dimensi lain, dimana pasangan sudah kita anggap sebagai saudara, atau sebagai keluarga. Ingat, di depan sudah saya sampaikan, bahwa Love dalam formula saya, adalah Love khusus untuk hubungan antar lawan jenis. Juga ingat fenomena puber kedua, puber ketiga, puber keempat, dan seterusnya, yang lebih dikonotasikan pada ”kegenitan” bukan kepada pasangan kita, yang seolah-olah bermetamorfosa menjadi sesuatu yang umum. Itu jika kita mau jujur. Coba simak, atau tanyakan ke lembaga-lembaga perkawinan, atau psycholog perkawinan, tentang fenomena ini. Data terbesar tentang maraknya perceraian memang terjadi karena Power (ekonomi) yang lemah, namun data tentang adanya perceraian karena Distance atau Time yang besar merupakan ”invisible case” atau ”silence data”.

Itulah kemudian saya mencoba memperkenalkan formula: L = P x S / D x T. Namun demikian, karena formula tersebut masih uji publik, maka saya sangat mengharapkan masukannya, karena memang belum tentu benar.

Terima kasih.

Wass.

Ratmaya Urip



Serial Filosofi Manajemen 1

FILOSOFI MUSIK

Aplikasinya di Dunia Manajemen

(Pendekatan Musik dalam Manajemen)

oleh: Ratmaya Urip *)

Setiap orang boleh memiliki pendapat yang berbeda tentang definisi musik. Namun jika kita jeli, dari sejuta perbedaan dan cara pandang dalam bermusik atau menyelami musik, ada satu esensi dasar yang menurut penulis patut untuk dicermati, yaitu:

”musik adalah suara yang tercipta karena adanya satu atau sederet bauran frekuensi yang berbeda, yang pada umumnya menumbuh-kembangkan harmoni”.

(Maaf, jika esensi ini berbeda dengan anda, maupun berbeda dengan beberapa textbook).Ya benar, jika kita merujuk pada esensi musik secara umum, termasuk musik sebagai hiburan, baik yang bemata air dari tangga nada diatonik berbasis solmisasi do, re, mi, fa, sol, la, si do, maupun berbasis chord C, D, E, F, G, A, B, C dan juga yang berbasis pentatonik dengan ji, ro, lu, mo, nem, ji, semuanya adalah deretan frekuensi yang membaur. Tidak peduli itu berasal dari suara kucing mengeong, suara ayam berkokok, suara ikan paus yang melengking mencari pasangannya, suara serigala kutub di tengah hutan tundra di padang salju pada malam hari, suara gelegar bongkahan gunung es yang terjatuh ke laut karena longsor, suara gesekan bambu yang saling bergesek karena tiupan angin, suara rumput yang bergoyang, suara ranting terinjak kaki, suara jengkerik di ladang jagung dan kacang, suara manusia yang berujud acapella, maupun suara alat musik modern yang membuncah, mendayu dan menggelora dari alat musik yang dikelompokkan sebagai perkusi (saron, peking, gambang, kenong, bonang, gong, drum, gendang, rebana, dll), brass (clarinet, saxophone, trombone, dll), alat gesek (biola, cello, rebab, dll), dentingan dawai yang dipetik (gitar, sasando, siter, dll), maupun alat musik yang dipencet atau keyboard (piano, organ, dll).

Untuk memudahkan pengertian, sebenarnya musik adalah sesuatu yang sangat sederhana atau sangat generik, karena esensinya ”hanya” bauran dari 7 (tujuh) nada dasar yang sebenarnya adalah bauran dari 7 (tujuh) frekuensi yang berbeda, jika kita mengkajinya dari ilmu fisika, yaitu..do..re..me..fa..sol..la..si..do!!! Masing-masing memiliki nilai hertz yang berbeda yang membentuk tangga frekuensi atau tangga nada. Namun jika dari yang sangat sederhana tersebut kemudian jatuh dalam pelukan jiwa, genggaman raga, serta sentuhan benak dan hati, ditambah bekal berupa imajinasi, kreatifitas, inovasi, relasi, eksperimen dan referensi, semua dapat berubah menjadi indah dan berarti, yang dapat merungkas onak dan duri, menguatkan nyali dan membesarkan hati, sehingga dapat menghasilkan simpati, empati, maupin rizki dan baiduri. Karena kita dapat menjadikan setiap nada dasar yang merupakan tangga nada tersebut naik atau turun setengah nada dengan kres atau mol, dapat menambah atau menurunkan oktafnya, atau memberi diksi menjadi seperdelapan, seperempat atau setengah ketukan, dan juga dapat membuatnya bertempo allegro, moderato dan lain-lain.

Ya, dari ”hanya” sekedar 7 (tujuh) frekuensi berbeda dapat menggemparkan dunia dengan kekuatannya. ’The Power of Music” dapat menggalang dana untuk bencana, dapat menjadi alat kritik atau satire bagi tiran dan diktator, dapat menjadi penawar dahaga bagi yang sedang mabuk cinta, dapat menjadi sarana upacara maupun ritual, dapat menggelorakan semangat perjuangan termasuk perjuangan olah raga, dapat membela kebenaran, dapat menyuarakan ketidakadilan, dan lain-lain. Asal aplikasi musik disampaikan secara tepat, benar, jujur, adil, terbuka, dan dilakukan oleh mereka yang seharusnya bermusik. Karena jika tidak, musik akan menjadi bumerang dan bernada sumbang jika disampaikan oleh mereka yang bukan seharusnya menyampaikan, atau bukan ahlinya. Dengan kata lain, jika aplikasi musik disampaikan oleh orang yang tidak tahu musik, akan membuat kegaduhan dan kehirukpikukan yang tidak perlu, yang sering mencipta bias. Saran penulis, sebaiknya yang tidak tahu tentang musik (baca: manajemen) lebih baik mendengarkan saja (atau syukur kalau bersedia belajar tentang musik), supaya tidak semakin membikin keruh suasana, yang biasanya menjadi kontra produktif dan berujung pada gagalnya pencapaian goal & objective.

Di tangan ahlinya, musik dapat dikemas secara solo, duo, trio, kuartet, choir, maupun orkestra yang membahana. Di tangan ahlinya musik dapat meniti nada-nada secara crescendo, decrescendo, maupun meza-divorce. Di tangan ahlinya musik dapat menggabungkan sopran, mezzo-sopran, alto, tenor, bariton dan bas menjadi harmoni dan paduan yang indah. Di tangan ahlinya, musik dapat dibawakan mulai dari attack, intro, interlude dan codanya secara mengena. Di tangan ahlinya musik dapat diberikan persepsi dan intrepretasi dengan intonasi, artikulasi, phrasering, dan teknik pernafasan yang prima. Di tangan ahlinya musik dapat menggelorakan dinamika mulai dari forte, mezzo-forte sampai fortíssimo, meski dapat pula berubah menjadi selembut piano, mezzo-piano bahkan sampai pianissimo. Itulah “The Power of Music”.

Sebagaimana halnya dengan musik, maka manajemen memiliki esensi dan makna yang sama dengan musik. Karena dapat berupa solo, duo, trio maupun orkestra. Namun harus diartikulasikan, dipahami, dan diimplementasikan secara berbeda. “The Power of Music” identik dengan “The Power of Management”, karena esensi atau hakekatnya sama-sama berazas pada “The Power of Implementation”.

Dalam manajemen yang “paling generik”, kita ”hanya” dibekali dengan esensi berupa 4 (empat) “nada dasar” dengan frekuensi atau nilai hertz berbeda, yaitu: Planning-Organizing-Actuating-Controlling (P-O-A-C), atau Plan-Do-Check-Action (P-D-C-A) yang dikenal sebagai Deming Circle, dan lain-lain. Itu malah kurang dari 7 (tujuh) nada dasar dalam musik dengan sistem diatonik, atau 5 (lima) nada dasar musik dengan sistem pentatonik. Kalau tokh kemudian kita dijejali dengan sistem manajemen yang “branded” dan mutakhir seperti TQM, ISO Series, GCG, BSC, MBNQ, Toyota Way, Lean Manufacturing, Six-Sigma, Performance Management System, Prism, Key Performance Indicator Manual, Activity Based Management, Knowledge Management, Tacit Management, CBHAMS, Analytical Hierarchy Process (AHP), Analytical Network Process (ANP), Service Excellence, Primavera, dan lain-lain, itu sebenarnya memiliki esensi yang sama dengan sistem manajemen yang paling generik sekalipun. Yang penting ádalah bagaimana “The Power of Implemention” dapat menjadi infrastruktur atau kapital bagi manajemen. Asal “The Music of Management” memperoleh pemain musik dan/atau conductor yang tepat. Supaya harmoni dan keindahan yang ingin dicapai dapat menjadi nyata dan bermakna.

Sebagai contoh, sudut pandang atau ilustrasi lain, DNA boleh beda dengan struktur atau sistem yang kompleks, namun esensinya polimer DNA memiliki tiga komponen utama yang sama, yaitu: gugus fosfat, gula deoksiribosa dan basa nitrogen. Di samping itu sangat jelas, bahwa DNA terdiri dari dua rantai, rantai yang satu merupakan konjugat dari rantai pasangannya. Dengan mengetahui susunan satu rantai, maka susunan rantai pasangannya akan mudah dibentuk. (Aplikasinya dalam Manajemen, silakan baca: Filosofi DNA dan Filosofi Atom).

Kembali ke topik bahasan. Di dunia musik (baca: manajemen) kita wajib mengetahui apa, siapa, untuk apa & siapa, kapan, dimana, bagaimana dan mengapa kita harus bermusik (baca: mengelola). Kapan kita mengelola secara crescendo, kapan harus decrescendo atau meza-divorce. Dimana kita harus acapella, mengapa harus diiringi orkestra atau harus solo atau trio. Juga dalam manajemen kita harus mengetahui bagaimana caranya meniti deretan nada dengan pitch control atau intonasi yang prima, supaya memenuhi standar yang ditetapkan.

Dalam manajemen, seperti halnya musik kita harus pandai menyuarakan nada-nada dengan penuh harmoni, tidak fals atau sumbang yang dapat membuat pendengarnya menjadi tersiksa. Kapan, dimana, mengapa, bagaimana dan dengan siapa kita perlu sopran, mezzo-sopran, alto, tenor, bariton dan bas, serta membuat warna suara atau timbre yang berbeda tersebut menjadi harmoni yang indah, penuh keseimbangan yang benar-benar tanpa cela. Kapan, dimana, mengapa, bagaimana dan dengan siapa kita dapat memberikan artikulasi, intonasi dan phrasering yang tepat. Apakah kita harus meniru Bimbo, Opick, Ernie Johan, Engelbert Humperdinck, Andy William, ST 12, D’Massive, Kris Dayanti, Siti Nurhaliza, Whitney Houston, Shania Twain, George Groban, Christopher Abimanyu, Luciano Pavaroti, Shaggy Dog, John Lennon, atau Mick Jagger? Apakah anda akan mendendangkan lagu cengeng mendayu-dayu, atau lagu berirama cadas, semuanya tergantung anda, karena tergantung dari kemampuan anda. Termasuk jika anda hanya dapat menyanyikan lagu anak “Bintang Kecil” dan “Balonku” atau menyanyi rap. Syukur jika anda memiliki teknik vokal atau teknik bermain musik yang unggul, gaya yang khas, dan kemampuan pendukung lainnya, yang dapat menjadi personal brand anda, sebab itu akan lebih dapat memberikan banyak keuntungan bagi anda. Yang juga patut dicatat, dalam bermusik anda wajib mengetahui dan menelaah, apakah musik yang anda sajikan sesuai atau tidak dengan keinginan dan kedahagaan audiences anda. Jika anda bermusik hanya untuk diri anda, tentu saja berbeda jika anda harus bermusik dengan audiences yang memiliki selera atau warna musik tertentu. Anda tentu saja tidak boleh lepas dari cengkeraman selera mereka, jika ingin mendapatkan apresiasi atau “standing ovation”.

Dalam manajemen juga ada frekuensi atau nilai hertz yang berbeda, yang dituntut untuk dapat saling memberikan harmoni atau dapat menciptakan interferensi yang positif sehingga tercipta sinergi dari energi dan nurani yang tersaji. Dalam manajemen, pandai-pandailah kita untuk memilih kapan, dimana, mengapa, bagaimana dan dengan siapa kita dapat bermusik secara minor, mayor, atau kombinasi keduanya. Juga kita harus pandai melakukan atau menikmati salah satu atau lebih dari jenis-jenis musik reggae, jazz, blues, country, rock ’n roll, keroncong, dangdut, melayu, stambul, gambus, maupun jenis musik lainnya.

Seandainya anda hanya dapat bermusik (baca: mengelola) yang paling generik dengan hanya mampu meniti nada-nada..do..re..mi..fa..sol..la..si..do, lakukanlah itu dengan cara dan gaya anda. Asal jangan sampai sumbang dalam menyajikannya. Karena anda telah benar-benar bermusik. Daripada anda menyanyikan lagu seriosa yang menguras kemampuan teknik vokal berupa interpretasi, dinamika, artikulasi, intonasi, tempo, teknik pernafasan, dan phrasering yang prima, namun bernada sumbang. Lebih baik anda berteriak ...aaa..uuu..ooo, seperti Tarzan sambil bergelayutan di akar yang menjulur di antara pepohonan di lebatnya belantara, karena itu ternyata secara efektif dan efisien dapat sampai pada tujuan untuk memanggil sahabat-sahabat binatangnya, karena akhirnya semua binatang sahabatnya di seluruh belantara dapat mendengar suaranya dan dapat hadir untuk berkumpul merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sesuatu. Karena teriakan aaa...uuu...ooo, dari Tarzan adalah musik generik paling alami dalam kehidupan, seperti halnya suara deburan ombak yang memecah di pantai, kicau paksi di antara embun pagi, desiran pawana siang di antara rumput sabana, kepak sayap burung pemakan bangkai di padang prairi, suara katak ketika hujan atau senja tiba, suara perkutut dan cucak rawa di pendapa atau pringgitan kabupaten maupun rumah gedongan, atau suara tangis bayi ketika baru lahir.

Demikian juga dalam manajemen, jika anda hanya mampu melakukan aktifitas manajerial secara generik, atau juga hanya yang alami, lakukanlah itu secara benar dan benar-benar dilakukan, daripada anda memilih sistem manajemen yang “branded”, namun anda lakukan tanpa pemahaman yang benar, sehingga banyak disturbsi, distorsi dan deviasi.

Berlakukan sistem manajemen yang “branded” jika leadership dan kemampuan anda sudah cukup untuk mengajak orang-orang anda dalam organisasi untuk melaksanakan variasi atau kombinasi dari largo, adagio, moderato, vivace maupun presto. Dan akan lebih baik lagi jika anda mampu untuk membawa organisasi anda menuju con amore, con brio, con fiesto, con espressione, con dolore maupun con maestoso. Juga kapan harus legato, marcato, staccato, atau rubato.Sementara untuk mencapai nada tinggi (target yang tinggi), sementara anda tidak mampu, pilihlah falcetto. Jika anda memang benar-benar mampu bermusik (baca: mengelola) pastilah anda tahu caranya untuk melakukan transposisi atau modulasi, serta memanfaatkan resonansi. Pastikan anda mengambil keputusan untuk melakukan ritenuto, accelerando atau tempo primo.

Lakukan semuanya dengan menggunakan keseimbangan antara teori dan praktek. Jangan dewa-dewakan teori, jangan lecehkan praktek. Karena teori tanpa praktek itu omong kosong, sementara praktek tanpa teori itu ngawur. Karena pada dasarnya teori itu bermata air dari proyeksi empiris banyak praktek. Bermusik (baca: mengelola) hanya dengan teori tanpa praktek tidak akan dapat dinikmati, sementara bermusik dengan praktek saja tanpa teori tidak akan pernah membuat kita lebih maju karena tanpa continual improvement, yang akan dapat membawa kita memenangkan persaingan.

Semuanya semata-mata untuk membangkitkan seluruh pantat penonton beranjak dari kursinya untuk memberikan ”standing ovation” bagi musik anda. Yang terpenting, jangan sampai orang mengatakan: ”Wah...ternyata suara atau permainan musik anda merdu, indah atau luar biasa sekali...! Namun akan lebih merdu lagi jika anda ...bersedia untuk DIAM!!!” Karena suara atau permainan musik yang fals atau sumbang anda, akan membuat orang-orang mengernyitkan dahi, bahkan mungkin muak, mencemooh, atau mengganggu anda dengan suitan-suitan panjang melecehkan. Beruntunglah anda jika tidak disuruh turun dari panggung musik anda. Anda mungkin saja berpedoman, biar saja anjing menggonggong, kafilah tetap akan berlalu. Namun bagaimana jika anjingnya menggigit, tidak hanya menggonggong? Tanpa anda sadari jika anda fals atau sumbang akan membikin kegaduhan manajerial, yang akan menggerogoti kapitalisasi manajerial anda, yang dapat bermuara pada kegagalan pencapaian goal dan objective anda.Yang terpenting dan patut dicatat: “suara fals atau sumbang anda, tidak akan pernah lebih merdu atau lebih enak didengar daripada seandainya anda DIAM !!!”

Namun semuanya itu adalah pilihan! Tergantung mana yang akan dipilih! Yang pasti semuanya memiliki jalan masing-masing.

Yang pasti, musik sulit dan tidak akan pernah menjadi lampau, bahkan akan semakin tumbuh dan berkembang seperti halnya manajemen. Karena musik merupakan bagian dari seluruh masa, termasuk masa depan. Demikian juga halnya dengan manajemen yang wajib ada di seluruh masa. Untuk itu bertabiklah pada masa, supaya anda tidak dicerca oleh masa atau waktu. Juga bertobatlah untuk tidak bermusik secara fals atau sumbang, supaya harmoni yang prima tetap ada dan berada di jalurnya. Sehingga tepuk tangan yang membahana di tengah-tengah jutaan manusia yang tiba-tiba bangkit dari duduknya, berdiri, untuk memberikan apresiasi atas musik anda, menggelegar di setiap wahana dimanapun anda berada. Karena bagaimanapun juga, cara anda bermusik identik dengan cara anda mengelola.

Bagaimana caranya melakukan aktifitas manajerial dengan pendekatan pada filosofi musik? Ikutlah workshop-nya untuk 5 (hari) hari pelaksanaan! Karena yang tertulis di atas hanyalah kulitnya, yang “hanya” setara dengan 1 (satu) hari seminar. Juga karena manajemen adalah seni untuk dapat diaplikasi dan dinikmati, bukan hanya ilmu atau pengetahuan an sich yang berujud teori maupun aplikasi. Yang pasti keduanya memang wajib untuk bertabik pada apresiasi meski tanpa atau dengan audisi. Bukan hanya baka, namun juga fana. Karena baik musik maupun manajemen sama-sama universal. Yang seharusnya bebas dari belenggu apapun, jika tidak ingin ditinggal oleh ruang dan waktu, serta dimensi lain di atasnya, jika memang masih ada.

Terima kasih.

Salam Manajemen.

Wass.WW.

ooOoo