Selasa, 07 Januari 2020

Anatomi Banjir Jakarta 1 Januari 2020


Anatomi Banjir Jakarta
(Satu Kajian Teknik Tanah atas
Polemik Normalisasi dan Naturalisasi Banjir)
Oleh: Ratmaya Urip
============== ====

Pengantar
            Drama berupa polemik  kebijakan publik telah tersaji, menyusul terjadinya banjir di Jakarta yang terjadi sejak akhir tahun 2019 yang bersambung sampai awal tahun 2020. Anies Baswedan yang Gubernur DKI dan Basuki Hadimuljono yang Menteri PUPR, yang kebetulan sesama alumni UGM (sesama anggota KAGAMA dengan penulis…he.he.he…), saling bantah  (Jawa Pos, Kamis Pahing, 2 Januari 2020, Halaman Utama)
            Anies Baswedan yang semula getol mengetengahkan “naturalisasi” sebagai solusi untuk mengatasi banjir mulai menggeser issue  banjir  menjadi issue pengendalian banjir dari hulu, meskipun ini juga bukan issue baru darinya. Hanya titik beratnya saja yang mulai beralih.
            Sedangkan Basuki Hadimuljono tetap konsisten pada issue “normalisasi” yang selama sebelum kepemimpinan Anies Baswedan di DKI Jakarta sudah berjalan sesuai harapannya.
            Selama bertahun-tahun, dari Gubernur satu ke Gubernur selanjutnya, masalah “banjir” dan “kemacetan lalu lintas” selalu menjadi komoditas politik di DKI Jakarta, sehinggu kedua issue ini sangat strategis untuk dipakai sebagai peluru bagi yang berseberangan secara politik. Juga warga DKI Jakarta, bahkan yang di luar DKI Jakarta, sering menggunakan kedua issue ini sebagai tolok ukur kinerja keberhasilan seorang Pejabat, khususnya Gubernur DKI. Hal ini terjadi karena  DKI Jakarta merupakan ibukota negara.
            Terlepas dari masalah dan polemik yang ada, serta untuk menghindari politisasi banjir di DKI Jakarta, penulis mencoba untuk menganalisisnya dari perspektif yang lain, yang lebih teknis operasional, dan mencoba untuk memberi masukan yang diharapkan kedap politik, tepatnya kedap Geopolitik Lokal, Regional maupun Nasional tentang Banjir di Jakarta.
                                                                               
                                               (Source of Picture: Courtesy of google.com)

Anatomi Banjir Jakarta
            Telah banyak diketahui, banjir di Jakarta disebabkan oleh 3 jenis banjir, yaitu banjir karena curah hujan yang tinggi di “catchment area” DKI Jakarta, banjir kiriman dari wilayah hulu, dan banjir rob karena air laut pasang. Ketiganya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kesengsaraan warga. Kadang salah satu saja di antara ketiga penyebab tersebut yang menjadi “trigger”, kadang dua, dan yang paling menyengsarakan adalah jika ketiga-tiganya terjadi bersamaan. Karena sudah jelas penyebabnya, maka ketiga penyebab tersebut wajib ada manajemennya.

Banjir karena kiriman dari hulu
            Sering disebut bahwa pengalihan tata guna lahan di hulu, disebut sebagai biang berkurangnya wilayah tangkapan air di hulu. Itu memang ada benarnya. Wilayah tangkapan air yang dahulunya merupakan hutan berubah menjadi tempat hunian, dan fasilitas-fasilitas lain, sehingga air yang seharusnya disimpan di hulu tergelontor ke hilir (baca Jakarta). Meskipun tidak dapat dikesampingkan, bahwa curah hujan yang tinggi di hulu, juga merupakan kontributor yang signifikan bagi terjadinya banjir di Jakarta. Faktanya, sejak jaman dulu masalah banjir kiriman selalu terjadi, meskipun pengalihan tata guna lahan saat itu tidak seganas saat ini. Sejak jaman penjajahan, bahkan sebelumnya banjir sudah terjadi di Jakarta, sehingga jika hanya berasumsi bahwa banjir terjadi karena pengalihan tata guna lahan kurang lengkap, bukannya kurang tepat. Lengkapnya tentang penyebab banjir kiriman ini adalah lebih banyak karena curah hujan yang tinggi di hulu ditambah karena telah terjadinya pengalihan tata guna lahan di hulu, karena jaman dahulu lahan di hulu masih relatif belum banyak berubah tata gunanya.
            Karena adanya banjir kiriman inilah, terlepas dari penyebabnya apakah karena beralihnya tata guna lahan maupun karena curah hujan yang tinggi atau karena keduanya sekaligus, maka solusi yang paling tepat adalah, membangun waduk-waduk baru, karena embung, situ, danau, telaga waduk, polder, “boezem”, atau apapun namanya yang ada saat ini tidak cukup kapasitasnya untuk menampung air yang berpotensi menjadi banjir kiriman dari hulu. Memang ada banyak embung, situ, waduk, telaga, untuk membantu berkurangnya air banjir kiriman, namun rasanya kapasitasnya tidak sebanding dengan debit air banjir kiriman yang ada. Embung, situ, waduk, telaga yang ada konon telah di”normalisasi”. Juga rasanya belum cukup kapasitasnya. Embung, situ, telaga, waduk lama ini menurut penulis, rasanya lebih banyak difungsikan sebagai penampung air dari hujan lokal, atau hujan di “catchment area” DKI Jakarta, lebih sedikit yang berfungsi sebagai bantuan untuk mengurangi air banjir kiriman. Tergantung lokasinya.   Maka pembangunan waduk-waduk baru wajib disegerakan. Khususnya yang berada di hulu. Saat ini sedang dibangun. waduk-waduk  atau bendungan-bendungan baru yang konon segera selesai dibangun di hulu, seperti Waduk atau Bendungan  Ciawi dan Sukamahi. Jika kapasitas tambahan 2 waduk tersebut ternyata belum cukup perlu ditambah lagi. Untuk itu diperlukan studi atau kajian tentang potensi  tingkat kecukupan waduk atau bendungan untuk menangkal terjadinya banjir kiriman yang disebabkan oleh tingginya curah hujan yang tinggi di hulu maupun karena perubahan tata guna lahan.
            Perlu diketahui, untuk mengatasi air banjir yang sudah telanjur terkirim dari hulu, dan dapat pula membantu mengatasi banjir yang diakibatkan oleh curah hujan yang juga tinggi di area lokal atau  “catchment area” DKI Jakarta, telah dibangun juga di DKI Jakarta, atau di bagian tengah mendekati hilir, saluran-saluran drainase besar seperti Cengkareng Drain, Cakung Drain, Sudetan, dan Kanal Banjir Timur. Semua sebagai saluran pengelak banjir kiriman dari hulu, kalau tidak salah. Padahal saluran-saluran tersebut juga sekaligus dapat difungsikan tidak hanya sebagai saluran pengelak banjir kiriman dari hulu, namun juga saluran untuk menampung air banjir yang terjadi di “catchment area” DKI Jakarta. Rasanya menurut penulis, perlu juga dikaji, apakah saluran-saluran besar atau sudetan ini masih perlu ditambah atau tidak untuk mengurangi dampak banjir kiriman dari hulu, sekaligus untuk menjadi tempat mengalirkan air banjir yang dari “catchment area” DKI Jakarta, maupun hilirnya. Atau hanya perlu ditingkatkan kapasitasnya.


                             (Source of Picture: Courtesy of google.com)
Banjir Karena Curah Hujan yang Tinggi di DKI Jakarta (Wilayah Tengah dan Hilir)
            Banjir juga diakibatkan tidak hanya karena adanya kiriman dari hulu, namun juga karena tingginya curah hujan di “catchment area” DKI Jakarta, atau lokal Jakarta.
Untuk hal ini telah dinormalisasi sejumlah sungai dan embung, waduk, boezem, situ, telaga yang berada di “cathment area” dimaksud. Juga telah banyak difungsikan pompa-pompa air. Jika semua sudah dilakukan, namun banjir tetap terjadi,perlu dilakukan langkah-langkah untuk menambah kapasitasnya sampai tingkat kecukupannya tercapai.
            Saluran-saluran pengelak seperti Cakung Drain, Cengkareng Drain, Kanal Banjir Timur, yang semula difungsikan hanya untuk menangkal banjir kiriman dari hulu (maaf jika penulis salah informasi), dapat dioptimalkan untuk juga sebagai saluran pembuangan air banjir yang ada di “catchment area” DKI Jakarta.
            Embung, waduk, situ, telaga  yang ada di wilayah tengah dan hilir apakah perlu ditambah, disamping dinormalisasi, atau dicari cara lain yang lebih murah, mengingat tingginya biaya pembebasan lahan di “catchment area” DKI Jakarta, jika dibandingkan dengan pembebasan tanah di hulu.        

Relasi Teknik Tanah di “Catchment Area” Lokal Jakarta dengan Naturalisasi dan Normalisasi
            Untuk dilakukan upaya “naturalisasi” seperti yang diinginkan oleh Gubernur DKI Jakarta, penulis mencoba menganalisisnya dari perspektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi, supaya lebih fokus dan ilmiah. Karena selama ini sebelum Gubernur yang sekarang, lebih banyak dilakukan upaya-upaya “normalisasi”
            “Naturalisasi” kalau penulis tidak salah kutip dan untuk mempermudah pengertian, adalah  upaya-upaya yang dilakukan untuk memasukkan air ke dalam tanah, untuk mengurangi atau menghilangkan genangan banjir.
           “Normalisasi”, secara singkat adalah upaya untuk membuat luas tampang sungai, saluran, kanal atau membuat kapasitas  volume  waduk, polder, “boezem”, situ, danau, telaga, di “catchment area” banjir menjadi normal kembali atau menjadi lebih luas atau besar, setelah terjadinya proses penyempitan luas tampang atau volume karena terjadinya sedimentasi, dengan tujuan untuk lebih melancarkan kembali  aliran air banjir ke hilirnya atau ke laut. 

            Tanah di “cathment area” Jakarta adalah endapan alluvial dengan kandungan butiran tanah yang memiliki “specific surface” (luas jenis)  yang sangat besar atau memiliki “porosity” (tingkat pori) yang kecil, atau memiliki “permeability” (kemampuan untuk dapat dilewati air)  yang rendah.            Hal ini karena dari kajian “Soil Mechanics”, tanah di “catchment area” DKI Jakarta menurut penulis lebih banyak mengandung komponen dominan “clay” (tanah liat) dengan varians berkombinasi dengan “silt”  (lanau) dan sedikit “sand” (pasir).
            Perlu diketahui “clay” (lempung) memiliki kelembutan butiran dengan diameter butiran di bawah  0,004 ( 1/256) milimeter,  “silt” (lanau)  memiliki kelembutan butiran dengan diameter 0,004 (1/256) milimeter sampai diameter 0,062 (1/16) milimeter, sand (pasir) memiliki kelembutan butiran dengan diameter 0,062 (1/16) milimeter sampai 2 milimeter. Pada umumnya tanah "clay" mengandung oksida-oksida dengan dominasi oksida silika (sekitar 50-60%), oksida alumina (20-30%) dan oksida ferro (sekitar 7-17%).
            Tingkat kelembutan butiran yang sangat tinggi, dengan kata lain luas jenis atau “specific surface” yang tinggi, akan berdampak pada sulitnya air untuk dapat menembus ke dalam tanah, karena tingkat pori (porositas) yang kecil atau kemampuan untuk dapat dilewati air (permeabilitas) yang rendah. Khusus untuk “clay” (lempung) tingkat kelembutan akan lebih bervariasi jika kandungan jenis mineralnya diketahui. Apakah dari  jenis tanah lempung "Kaolin Group" seperti "kaolinite", "dickite", "nacrite", "halloysite, atau termasuk dalam "Montmorillonite Group" seperti "montmorillonite", "beidellite", "nontronite", "saponite" atau termasuk dalam "Alkali Bearing Clays" seperti "illite".  Tentu saja diperlukan penelitian di laboratorium yang lebih rinci untuk mengetahui secara tepat komponennya.
            Dari uraian di atas  itulah jika akan dilaksanakan “naturalisasi”, patut diduga akan mengalami kesulitan, karena air akan terhambat untuk masuk ke dalam tanah karena kecilnya ruang pori dalam tanah.  Jika tetap akan dilaksanakan, harus benar-benar dikaji, harus diteliti wilayah-wilayah mana yang memiliki  tingkat pori (porositas) yang tinggi. Sedangkan jika dipilih sistem “normalisasi”, dimana air diharapkan untuk mengalir, bukan untuk infiltrasi ke dalam tanah, maka relatif tingkat kesulitannya lebih rendah.
            Untuk itulah, jika akan dilaksanakan sistem “naturalisasi”, harus dikaji dimana lokasi-lokasi tanah yang memiliki tingkat pori (porositas), atau kemampuan tanah untuk dapat dilewati air (permeabilitas) yang tinggi. Dengan kata lain harus dicari lokasi, dimana tanah memiliki Luas Jenis (“specific Surface”) yang rendah, supaya air dapat masuk ke dalam tanah. Karena banjir bukan hanya masalah airnya saja namun juga ada relasinya dengan tanah, jika kajiannya Teknik Tanah.

Banjir Rob
Banjir rob adalah banjir yang diakibatkan oleh masuknya air (laut) ke daratan karena terjadinya kondisi air laut pasang. Banjir jenis ini di DKI Jakarta relatif memiliki peran yang lebih sekunder karena relatif lebih kurang populer daripada banjir yang diakibatkan oleh banjir kiriman dari hulu, maupun banjir karena curah hujan yang tinggi di “catchment area” DKI Jakarta. Tingkat kegawatan atau risikonya juga tidak separah kedua jenis banjir yang lain, jika memang hanya terjadi banjir rob semata. Meskipun jangan sampai mengabaikan jenis banjir ini. Banjir rob akan sangat memiliki risiko tinggi secara tidak langsung, jika bersamaan terjadi dengan terjadinya banjir karena kiriman dari hulu atau bersamaan dengan banjir karena curah hujan yang tinggi di “catchment area” DKI Jakarta, atau kombinasi ketiganya. Karena banjir rob akan menghalangi air banjir yang disebabkan oleh kedua jenis banjir yang lain untuk mengalir ke laut, karena permukaan air di laut akan sama dengan permukaan air banjir dari darat, atau bisa juga lebih tinggi air laut daripada air banjir dari darat.

Kesimpulan
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa secara teknik tanah (mekanika tanah, geokimia, sedimentologi, mineralogi), sistem “naturalisasi” akan lebih efektif jika diterapkan di lokasi dimana tanah  memiliki Luas Jenis (“specific surface” ) yang rendah, karena berarti akan memiliki kandungan pori (“porosity”) yang tinggi, atau tingkat kemampuan air menembus tanah (“permeability”) yang tinggi. Untuk itu perlu dikaji terlebih dahulu, dan jika perlu dapat dibuatkan peta Geokimia, Sedimentologi, dan Mineraloginya, selain masalah Mekanika Tanahnya.. Apakah itu akan dilakukan di wilayah hulu, tengah maupun hilir.
            Sedangkan jika akan dilaksanakan sistem “normalisasi”, karena tidak secara langsung berkaitan dengan upaya memasukkan air ke dalam tanah, maka secara teknik tanah, relatif lebih efektif. Baik itu akan dilaksanakan di hulu, tengah maupun di hilir.
            Juga patut dicatat, untuk lebih memperhatikan juga pada kajian-kajian, seberapa besar tingkat kecepatan surutnya air banjir untuk mengetahui jumlah waktu  surutnya air banjir. Apakah “naturalisasi” atau “normalisasi” yang lebih efektif dan efisien atau kombinasi keduanya. Karena pokok masalahnya adalah bagaimana caranya supaya air hujan tidak berubah menjadi banjir, atau jika terpaksa tejadi banjir, bagaimana caranya supaya secepatnya tidak terjadi genangan yang merugikan atau membahayakan.

================== ==
Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah Material Konstruksi, Teknik Tanah, alumnus UGM dan ITS, yang juga Pembina Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia)

Tidak ada komentar: