Selasa, 07 Januari 2020

Kajian atas Banjir di Jakarta dalam Perspektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi


Kajian atas Banjir di Jakarta,

dalam  Perspektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi

Oleh: Ratmaya Urip*)

=================

 

  (Source of Picture: Courtesy of google.com)


Puisi Kecik Buat Jakarta:

Banjir kembali menyapa Jakarta
Selalu tak pernah lalai berbekal derita
Selalu tiba dengan perkasa menggasak tatanan yang ada
Sementara itu pula hampir sepanjang masa
Jakarta juga tak pernah lalai menyapa petaka
Kemacetan selalu enggan pergi yang hampir tak ada celah untuk asa
Kapan derita ini bertabik mesra dengan julatan sapa bahagia?
Tuk dahaga akan lenyapnya renjana yang segera sirna?



====================
Pengantar
          Banyak sekali kajian serta analysis tentang banjir di Jakarta, namun rasanya belum ada yang pernah membahasnya dari Perspektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi, khususnya yang ditulis secara populer, tanpa meninggalkan keilmiahannya. Untuk itu penulis akan mencoba menyampaikan kajian tentang hal ini sebagai kajian rintisan.
           Musim hujan sering  berdampak pada terjadinya banjir, termasuk banjir bandang, tanah longsor, tanah bergerak, angin puting beliung, dan badai.
           Khusus untuk banjir dan tanah longsor, sangat erat kaitannya dengan aspek tanah, khususnya mekanika tanah, geokimia, sedimentologi, mineralogi dan kristalografi, bukan hanya masalah hidrologi, hidrolika, mekanika fluida, morfologi, topografi, klimatologi, geofisika, meteorologi dan berbagai aspek lain yang telah disampaikan sebagai bahasan sebelumnya oleh para ahlinya. Kali ini penulis sengaja akan membahasnya dari perpektif Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi saja.


                                               (Source of Picture: Courtesy of google.com)

Normalisasi dan Naturalisasi
           Banjir di akhir tahun 2019 yang berlanjut di awal tahun 2020 memuncakkan silang pendapat tentang Normalisasi dan Naturalisasi. Sengaja penulis menulis dengan kata “dan” bukan “versus”, untuk kedua hal yang tersebut dalam sub judul tulisan ini,  tidak menulis dengan mempertentangkan kedua hal tersebut, karena keduanya memang diperlukan, hanya perlu diperjelas dalam tataran operasional dan teknis, khususnya yang menyangkut “naturalisasi”, karena ini merupakan hal yang baru , sehingga penulis masih belum memperolah pemahanan secara utuh, rinci,  komprehensif dan holistik. Masih sebatas visi atau malah mungkin wacana. Sedangkan untuk “normalisasi” penulis cukup dapat memperolah informasi mulai dari visi atau wacana sampai tahapan teknis-operasional, karena sudah ada realisasinya.
           “Normalisasi”, secara singkat adalah upaya-upaya terstruktur dan sistematis untuk membuat luas tampang sungai, saluran, kanal atau membuat kapasitas  volume  waduk, polder, “boezem”, situ, danau, telaga, di “catchment area” banjir menjadi normal kembali atau menjadi lebih luas atau besar, setelah terjadinya proses penyempitan luas tampang atau volume karena terjadinya sedimentasi, dengan tujuan untuk lebih melancarkan kembali  aliran air banjir ke hilirnya atau ke laut. Sedangkan tentang “naturalisasi” penulis baru mendapatkan pemahaman berupa upaya-upaya untuk memasukkan air ke dalam tanah, untuk mengurangi atau menghilangkan genangan banjir. Bahkan untuk “naturalisasi” ini dapat ditambahkan, bahwa kebijakan selama ini berupa memperluas kembali  tampang-tampang sungai supaya air banjir dapat lebih banyak tertampung untuk dialirkan adalah kebijakan yang kurang tepat. Inilah yang kemudian menimbulkan polemik di antara para pengambil kebijakan di tingkat Pusat dengan yang di tingkat Daerah-Propinsi.
            Terlepas dari polemik yang ada, dan tidak ingin terlibat terlalu dalam dalam polemik ini, penulis akan mencoba mengkajinya dari perspektif Geokimia, Sedimentologi  dan Mineralogi secara ilmiah untuk kedua hal tersebut di atas, untuk menghindari politisasi masalah banjir ini.
           Menurut penulis, banjir adalah bencana  kemanusiaan yang berdampak sangat besar pada penderitaan korbannya secara fisik, mental dan material, sehingga sebaiknya ada titik temu di tingkat visi, strategi, taktik, serta teknis-operasional untuk seluruh “stakeholders” dengan mengesampingkan seluruh polemik, tanpa saling menyalahkan.

Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi
           Penulis belum memperoleh data resmi tentang Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi tentang tanah di Jakarta. Namun sebagai awal patut diduga, bahwa secara  visual teramati, bahwa tanah di Jakarta secara “Soil Mechanics” lebih banyak mengandung komponen dominan “clay” (tanah liat) dengan varians berkombinasi dengan “silt”  (lanau) dan sedikit “sand” (pasir). Dengan demikian secara Geokimia kandungan kimianya didominasi oleh SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 atau “natural pozzolan soil”, yang patut diduga secara Kristalografi merupakan “natural pozzolan” yang relatif bersifat “amorf” atau “amorphous”. Kecuali di sebagian wilayah pantai utara bagian barat Jakarta yang berdekatan dengan Kepulauan Seribu, yang patut diduga juga mengandung  CaO.
           Perlu diketahui clay (lempung) memiliki kelembutan butiran dengan diameter butiran di bawah  0,004 ( 1/256) milimeter. Silt (Lanau)  memiliki kelembutan butiran dengan diameter 0,004 (1/256) milimeter sampai diameter 0,062 (1/16) milimeter. Sand (pasir) memiliki kelembutan butiran dengan diameter 0,062 (1/16) milimeter sampai 2 milimeter. Di atas Sand (pasir)  yang lebih besar diameter  butirannya (di atas 2 mm) ada jenis tanah yang disebut Gravel dan seterusnya..
               Pada umumnya tanah "clay" mengandung oksida-oksida dengan dominasi oksida silika (sekitar 50-60%), oksida alumina (20-30%) dan oksida ferro (sekitar 7-17%). Coba perhatikan, di beberapa lokasi di Jakarta ada yang didominasi lempung yang tercampur tanah organik (warna kehitaman), ada lempung keabuan (dominasi alumina oksida dan silika oksida tinggi), lempung keputih-putihan (silika oksida yang tinggi), lempung kemerah-merahan (ferro-oksida relatif tinggi dibandingkan ferro oksida rata-rata)
            Secara historis dan sedimentologi patut diduga tanah di Jakarta adalah endapan alluvial dengan kandungan butiran tanah dengan “specific surface” (luas jenis)  yang sangat besar atau memiliki “porosity” (tingkat pori) yang kecil, atau memiliki “permeability” (kemampuan untuk dapat dilewati air)  yang rendah. Ini secara logika dapat dimaklumi karena posisi geografis Jakarta yang berada di tepi pantai atau daerah hilir, yang merupakan muara sungai, sehingga menjadi muara juga dari pergerakan batuan dari hulu yang terlapuk karena proses fisikal-mekanikal, kimia, maupun bakteriologis.
           Sedangkan secara  Mineralogi, patut diduga, tanah di Jakarta seperti wilayah-wilayah pesisir rawa di Jawa pada umumnya yang berdekatan dengan muara sungai dimana di bagian hulu sungai merupakan wilayah gunung-gunung kerucut yang kebanyakan merupakan gunung berapi aktif, atau mantan gunung berapi aktif, umumnya merupakan mineral-mineral yang didominasi oleh mineral yang termasuk dalam salah satu dan atau kombinasi dari  jenis tanah lempung "Kaolin Group" seperti "kaolinite", "dickite", "nacrite", "halloysite, atau termasuk dalam "Montmorillonite Group" seperti "montmorillonite", "beidellite", "nontronite", "saponite" atau termasuk dalam "Alkali Bearing Clays" seperti "illite".  Tentu saja diperlukan penelitian di laboratorium yang lebih rinci untuk mengetahui secara tepat komponennya.

Relasi Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi terhadap Normalisasi dan Naturalisasi
           Telah disampaikan di atas, bahwa patut diduga tanah di Jakarta didominasi oleh jenis tanah Clay. Diperlukan peta Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi untuk dapat melakukan analysis yang lebih presisi dan akurat untuk  itu, sampai tingkat kandungan mineralnya. Karena jenis mineral akan menentukan tingkat kelembutan, yang berujung pada tingkat porositas atau tingkat permeabilitas tanah.
           Secara Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi (untuk selanjutnya saya sebut sebagai Teknik Tanah), dengan hal-hal yang disampaikan di atas, dan meskipun baru sampai tahap dugaan dari pengamatan visual, yang perlu ditindaklanjuti dengan pengumpulan data dari lapangan, dapat disampaikan, bahwa tanah di Jakarta dengan kandungan Clay (lempung) yang tinggi apapun jenis mineralnya, akan sulit bagi air untuk dapat menembus tanah. Hal ini karena clay (lempung) memiliki “specific surface” yang sangat tinggi, atau memiliki “porosity” yng rendah, atau memiliki “permeability” yang rendah. Paling tidak air akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat menembus tanah, tergantung dari komponen atau kandungan mineral atau dimensi butiran tanahnya. Air akan lebih cepat dapat menembus tanah jika memiliki “specific surface” yang lebih kecil, atau memiliki “porosity” yang lebih besar, atau memiliki “permeability” lebih besar. Memang tidak seluruh tanah di Jakarta mengandung komponen Clay (lempung). Mungkin ada yang mengandung “silt” dominan, atau “sand” dominan, atau kombinasi ketiganya. Itulah peluang untuk dapat melakukan manajemen sumber daya air yang menurut penulis adalah yang lebih tepat. Apakah “normalisasi”, “naturalisasi” atau kombinasi keduanya.

Kesimpulan
           Untuk memberikan kontribusi solusi bagi penanganan banjir di Jakarta, diperlukan kajian Geokimia, Sedimentologi dan Mineralogi atau untuk selanjutnya dapat disebut sebagai Teknik Tanah tingkat lanjut. Namun sementara ini dapat disimpulkan, bahwa solusi dengan cara “Normalisasi” lebih efektif daripada dengan cara Naturalisasi, mengingat jenis tanah dan kandungan tanah di Jakarta, patut diduga memiliki “specific surface” yang sangat tinggi, tingkat “porosity” yang rendah, atau tingkat “permeability” yang rendah. Namun solusi dengan cara Normalisasi dapat dikombinasikan dengan Naturalisasi, jika memang jenis dan mineral tanahnya mendukung untuk itu. Karena umumnya kecepatan air mengalir dibandingkan dengan kecepatan air menyusup ke dalam tanah relatif lebih cepat air mengalir. Apalagi jika dibandingkan dengan kecepatan air banjir untuk menguap.
           Karena artikel ini hanya sebagai artikel rintisan, maka sangat ditunggu artikel lainnya yang lebih rinci yang didasarkan dari data laboratorium, sehingga tingkat keilmiahannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.

============== ====
Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah Material Konstruksi, Teknik Tanah dan Manajemen Publik, alumnus UGM dan ITS, yang juga Pembina Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia)

Tidak ada komentar: