Jumat, 20 Februari 2009

SSSSSSSTTT...! JANGAN BILANG-BILANG, YA.






SSSSSSSTTT...! JANGAN BILANG-BILANG, YA.

INI KIAT TERBARU UNTUK PARA SUAMI

(SERI – 1)

Oleh : Ratmaya Urip

ooOoo

Penulis tak pernah menyangka akan kembali berada di Ranah Minang, Sumatra Barat, setelah hampir empat belas tahun tidak menginjak buminya. Ada beberapa hal yang baru bagi penulis (meski mungkin dianggap sudah kuno oleh yang lain yang sering berkunjung ke sana), yang cukup “notable”, yang penulis peroleh untuk dapat disampaikan kepada anggota milis. Siapa tahu ada manfaatnya. Sebelum berangkat, penulis memang berharap ada sesuatu yang dapat dijadikan “oleh-oleh” buat anggota milis, yang tentu saja “oleh-oleh” itu harus orisinil, dan dapat memberikan manfaat yang berdampak positif dengan nilai “fascinating”, “exciting” dan “interesting” yang prima, bukan kacangan atau sampah sensasi picisan, dan bukan hanya sekedar untuk ‘entertain’. Dan, ternyata harapan penulis itu enggan bertabik dengan kegagalan. Nah, mohon kepada para suami (baca : para pria) anggota milis ini, yang tentu saja dapat disimak atau diintip oleh para istri, untuk mencoba resep yang penulis peroleh ini, dengan harapan semoga dapat kembali menggairahkan “special relationship”, komunikasi atau sentuhan ragawi yang indah dan kebak emosi sensual antara kedua belah pihak. Apapun itu namanya, mulai dari istilah yang santun penuh “euphemisme”, sampai yang vulgar dan sangar. Khususnya bagi pasangan-pasangan suami-istri yang sudah karatan karena rentang perkawinan yang sudah menahun, mungkin akan bermanfaat untuk memberikan sepuhan baru atau hasrat surgawi baru yang lebih menyentuh. Sehingga pasangan yang sudah bertaut lama dan menjadi kendor, seolah mendapatkan kekuatannya kembali untuk saling berharu biru menikmati sekaligus menciptakan sensasi (atau erotika?) kebersamaan atau kebertautan yang baru, memburu punagi dan dukana baru, dalam koridor kebersamaan suami-istri (meskipun itu sebenarnya lebih sering sulit dilakukan!). Jangan malu-malu, karena ini hanyalah kiat atau resep. Cocok atau tidaknya tergantung masing-masing pasangan. Sementara bagi anggota milis yang masih belum memiliki pasangan dapat berkonsultasi dengan penulis, atau silakan jika ingin memanjakan imajinasi atau meraih mimpinya sendiri masing-masing. “This is an awesome trip. The story behind what man or woman wants (especially the story about bed activity) is always fascinating”.

Tulisan ini sengaja penulis sampaikan di tengah-tengah kepenatan aktifitas statejik-manajerial, taktikal, maupun operasinal yang padat, untuk ‘refreshing’ dan supaya ‘balance’.

Pertama kali, tidak ada jeleknya jika penulis mencoba mengingatkan kembali pada formula atau rumus matematika lama dari penulis yang sering penulis lontarkan dalam berbagai kesempatan, bahwa Cinta (Love) itu berbanding lurus dengan Kekuatan (Power) dan Kecepatan (Speed), serta berbanding terbalik dengan Jarak (Distance) dan Waktu (Time). Semakin besar Kekuatan (baca : status sosial) dan Kecepatan (baca : siapa cepat akan dapat), akan lebih mudah dan cepat mendapatkan Cinta. Sementara semakin panjang Waktu (baca : bosan ) dan semakin jauh Jarak (baca : sulit disentuh, seolah pungguk merindukan bulan yang jauh), maka Cinta akan menjauh.

Catatan : Khusus untuk ‘relationship between Love and Power’, penulis telah menkajinya lebih dalam, dalam suatu tulisan (semoga saja dapat penulis sampaikan di milis kelak), dengan suatu formula yang lain yaitu : ‘Love Management is an Investment activity, need return...best return!’ (Mengelola cinta adalah suatu investasi..he..he..he..apa pula itu? Yang nanti di akhir cerita akan penulis singgung sedikit!).

____________

L = P.S / D.T

Note : L = Love, P = Power, S = Speed, D = (distance), T (Time)

(Maaf jika banyak yang bosan dengan formula ini. Penulis memang sengaja kok! Bergairah atau bosan harus selalu berdampingan secara ‘balance’, karena secara kodrati keserbaduaan lebih sering mewarnai isi dunia ini, seperti halnya keserbaduaan lainnya, contohnya : siang-malam, hitam-putih, laki-perempuan, baik-jahat, maju-mundur, pemenang-pecundang, hero-bandit, menang-kalah, tua-muda, dan lain-lain).

Merujuk pada formula tersebut, untuk perkawinan dengan rentang waktu yang lama, akan menyebabkan Cinta tererosi atau terdegradasi (semoga jangan lebih parah lagi sampai menjadi terinterupsi atau bahkan teramputasi!). Karena Cinta berbanding terbalik dengan Waktu.

Bukan berpretensi untuk menyaingi Dr. Naek L. Tobing, Prof. Pangkahila, atau bahkan Dr. Boyke, kalau penulis menyampaikan hal ini. Namun kalau ada yang menganggap penulis selevel dengan beliau-beliau di bidang yang satu ini, penulis wajib memberikan terima kasih sekaligus apresiasi. Maaf, GR dikit nggak apa-apa ‘kan?, tokh tulisan ini ‘kan hanya untuk kalangan sendiri. Terus terang, hanya di media ini penulis bisa GR dengan jumawa, leluasa dan “enjoy” tanpa merasa salah. Biar penulis ini jelek asal bisa sombong, begitulah kredonya, he...he...he..! Biasanya Ibu Iva (milis AMA-Surabaya) akan manggut-manggut saja. Benar demikian Bu Iva? Jangan curigai penulis, ya Bu...! Sebab selama ini Ibu selalu menganggap penulis tak ada cela, nampak dari cara Ibu yang belum pernah mengkritik penulis. Padahal, sebenarnya sebagai manusia biasa penulis ini berlepotan dengan dukana dan noktah atau nila. Oh, ya semoga tulisan ini cukup berguna untuk menambah meningkatkan jumlah anggota keluarga, dengan kehadiran si kecil yang baru. Untuk Ibu Janti Gunawan (milis AMA-Surabaya) di New Zealand (dan mungkin sudah berada kembali di Surabaya), jangan marah lho, Bu! Salam dari jauh. Sementara untuk Pak Adit (milis AMA-Surabaya), mungkin oleh-oleh inilah yang selama ini Bapak cari, setelah kehabisan asa untuk dapat memperolehnya. Hallo..Bpk. Jadi Rajagukguk di Batam (milis AMA-DKI dan AMA-Bisnis), salam untuk Bapak, ya?!...silakan kritik serial ini! Penulis tunggu! Untuk Bapak Yuki Wiyono (milis AMA-DKI) : “Wah, ‘appearance’ Bapak di majalah KONSTRUKSI yang terbaru hebat lho, Pak! Bapak harus siap-siap diburu para gadis karena presentasi ragawi Bapak di majalah khusus dunia konstruksi tersebut...he..he..he..!” Mbak Restu, Mbak Dani, Mbak Maria, Mas Yoyong, Mas Iman, dan lain-lain di Radio Suara Surabaya 100 FM...simak serial ini, ya? Jangan di-expose di radio! Bpk Tonny Warsono yang karena banyaknya jabatan beliau sangat luar biasa sibuknya, Bpk Agung Yunanto, Ibu Tengku Sylvia Junery, Ibu Ida Hidayati, Ibu Isnina Bektidivi, dan Bpk-Ibu lain di milis Quality-Network, salam untuk Bpk-Ibu, serta kok adem ayem, sih?).

Tentu saja penulis tidak perlu menjelaskan kepentingan penulis berada kembali di Ranah Minang, karena tidak relevan untuk ditulis (yang sebenarnya dapat dilacak dari serial-serial sebelum serial ini, karena identik). Yang pasti memang ada yang harus diselesaikan. Bukan hanya berburu camilan atau santapan kuliner seperti kripik balado Christine Hakim, atau martabak mesir Kubang Hayuda, atau gelamai, kripik cancang, batiah, kipang sipulut, kacang emping pulut, rendang runtiah, kripik sifon, kue biskat, ikan bilih Singkarak, kipang kacang balingka Bukit Tinggi, dan puluhan makanan khas Ranah Minang lainnya yang banyak dijumpai di “Business District” Pasar Raya, di pusat kota Padang. Camilan khas Minang memang luar biasa banyak dan ragamnya, dengan nama-nama dagang yang aneh-aneh dan asing di telinga, yang kalau ditulis dalam serial ini akan membuat pembaca mengantuk karena banyaknya. Dan kalau semuanya dibeli untuk oleh-oleh akan sangat menguras kantong kita.

Pagi itu, minggu kedua bulan kesepuluh tahun dua ribu delapan, setelah hari-hari melelahkan namun membahagiakan yaitu hari Lebaran lewat, penulis berada kembali dalam pelukan pesawat Lion Air dari Bandara Internasional Juanda, Surabaya, menuju Bandara Internasional Minangkabau, Padang dengan transit di Bandara Soekarno-Hatta. Yang cukup mencengangkan bagi penulis, adalah semua berjalan lancar sesuai “schedule”. Padahal biasanya Lion Air sangat akrab dengan tradisi terlambat. Syukurlah!

Penulis berangkat berempat, dengan salah satunya adalah seorang ibu muda berjilbab dan cantik, yang aku sebut saja Ibu Widodari, yang itu adalah nama samaran, demi privasinya (jika anggota milis penasaran, padanannya adalah sintesis dari kinerja ragawi artis Rianti Cartwright yang feminin dan lembut, yang berpadu atau berkolaborasi secara apik dengan wajah cantik artis Inneke Kusherawati dengan jilbabnya yang anggun, menawan, serta ‘fashionable’ dan ‘up to date’, dengan julatan mata dan hidungnya yang mempunyai kekuatan magis yang dapat meruntuhkan benteng pertahanan para pria, menghentikan detak jantung, membelalakkan mata, menggetarkan sanubari, mengernyitkan dahi, meningkatkan dukana, menambah debar, mengencangkan celana (???), sekaligus menutup harapan pria untuk menyuntingnya. Kacian deh lu...!).

(He..he..he..maaf, sabar dulu. Lanjutannya mohon ditunggu. Pasti lebih seru, nih!)

(BERSAMBUNG)

Catatan : Tulisan ini khusus untuk anggota milis AMA seluruh Indonesia dan Quality Network, tidak untuk di’forward’ ke milis atau individu yang lain. Untuk milis Indokarmay akan disunting lebih lanjut, mengingat komunitasnya yang agak berbeda, para penggemar buku sastra yang serius!.

SSSSSSSTTT...! JANGAN BILANG-BILANG, YA.

INI KIAT TERBARU UNTUK PARA SUAMI

(SERI – 2)

Langit cukup cerah, dengan sedikit awan nimbus, ketika pesawat yang penulis tumpangi, Lion Air Boeing 737-400, dengan kapasitas terisi penuh, yang terdiri dari 8 (delapan) seats untuk business class dan 150 (seratus lima puluh) seats untuk economy class. Pesawat dengan pongahnya membelah angkasa, sehabis transit di Bandara Soekarno-Hatta, menuju Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pada ketinggian 32.000 kaki. Perjalanan Jakarta-Padang biasa ditempuh dalam waktu satu jam dua puluh menit. Waktu yang penulis rasa cukup untuk istirahat. Maklum semalam kurang tidur mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan perjalanan yang dimulai hari ini.

Rasa kantuk yang menyapa, mengalirkan tidur pulas penulis menuju mimpi indah yang tiba-tiba hadir menyapa kembali kisah factory visit AMA-Surabaya ketika berkunjung ke PT PAL dua bulan yang lalu, atau tepatnya sebelum bulan Ramadhan. Ketika itu para anggota AMA-Surabaya merasa puas, karena lengkap sudah seluruh industri sarana perhubungan dapat dikunjungi. Mulai dari industri otomotif di PT Gaya Motor (Astra Group), di Cakung, yang memproduksi mobil Kijang. Juga industri kereta api, industri Penerbangan PT Dirgantara Indonesia di Bandung (ketika itu belum bangkrut), yang memproduksi helikopter sampai pesawat CN 235, dan yang terakhir industri kapal di PT PAL. Jadi industri sarana perhubungan mulai darat, laut dan udara sudah tahu seluk beluknya.

Ya...dalam mimpi yang hadir dengan pekatnya, terngiang kembali beberapa ‘resep’ ampuh di dunia perkapalan, yang muncul tiba-tiba, sewaktu ‘launching’ sebuah kapal tanker raksasa, berbobot mati 50.000 DWT, pesanan salah satu negara di Afrika. Biasanya kapal yang baru selesai dibuat, diluncurkan dengan cara memasukkan bagian haluan kapal terlebih dahulu yang mencebur ke permukaan air. Namun di PT PAL, karena keterbatasan ‘space’, peluncuran kapal dilakukan secara menyamping. Anehnya aman-aman saja, kapal tidak sampai terguling.

Selidik punya selidik ternyata ada yang khusus dalam proses peluncurannya. Untuk memudahkan peluncuran, khususnya dengan cara haluan kapal masuk terlebih dahulu ke permukaan air, biasanya landasan kapal diberi pelumas berupa olie, supaya memudahkan proses peluncuran. Dalam hal ini supaya diperoleh daya luncur yang memadai. Namun jika peluncuran dilakukan secara menyamping, dengan haluan dan buritan sekaligus masuk ke air, jika menggunakan olie sebagai pelumas akan fatal akibatnya, terutama jika tidak hati-hati. Karena kapal akan sulit dikendalikan dalam proses peluncurannya, sehingga kemungkinan kapal akan terguling semakin tinggi. Untuk itu diperlukan suatu bahan pelumas khusus yang cukup licin, namun masih dapat membuat peluncuran kapal mudah dikendalikan. Dengan kata lain, bahan pelumas harus berfungsi sebagai gas sekaligus sebagai rem. Cukup licin namun juga cukup punya daya cengkeram. Aku jadi ingat bahan semacam itu yang cukup populer (dalam rangka peluncuran sesuatu yang lebih pribadi), yaitu jamu sari rapet, atau jamu ramuan Madura, atau tabat Barito, yang berfungsi sebagai pencengkeram sekaligus sebagai pelicin...he..he..he, memang analogi yang salah kaprah meskipun identik. Dan bahan pengganti yang identik dengan sari rapet tersebut adalah campuran bahan dasar pembuatan margarine yang dicampur dengan lilin (tentang bahan ini serius, bukan joke). Melihat itu semua, penulis sempat berpikir dan berdiskusi dengan anggota rombongan yang lain tentang kemungkinan substitusi sari rapet, dengan bahan campuran tersebut di atas. Siapa tahu lebih punya daya saing. (He..he..he..yang ini jangan dimasukkan hati! Jangan terlalu serius, karena yang terakhir ini joke khusus suami-istri. Maaf jika tidak berkenan. Maka mohon cerita ini jangan di-forward ke milis atau individu yang lain, spesial untuk anggota milis AMA-Indonesia dan Quality Network).

Mimpi penulis dipaksa berhenti ketika roda pesawat menghempas cukup keras, menghantam ujung landasan Bandara internasional Minangkabau. Kerasnya benturan roda pesawat dengan permukaan runway membuat penulis terjaga secara tiba-tiba. Penulis lihat, hujan di luar pesawat cukup deras. Beruntung seluruh penumpang keluar dari badan pesawat melewati rampway (garbarata), sehingga tidak kehujanan. Terdapat 2 (dua) buah rampway di Bandara tersebut.

Di Ruang Tunggu kami berempat disambut oleh tuan rumah (yang berjumlah 5 orang, yang semuanya asli kelahiran Ranah Minang). Ternyata salah seorang kawan dari Makassar juga bergabung dengan kami, karena kebetulan satu pesawat dengan kami dari Jakarta. Dari Makassar direncanakan akan hadir 3 orang utusan, namun 2 (dua) orang utusan lagi akan menyusul petang nanti dengan pesawat Garuda.

Tuan rumah kami ternyata sangat ramah dan cepat akrab. Orang Minang dalam kajian antropologi bisnis, memang dikenal sebagai sub-etnik dengan stereotip (atau bahkan prototip???) hemat, ulet, dan rajin, teliti, dan suka merantau. (Bukan malah menonjolkan perilaku pelit seperti yang diproyeksikan sebagai Uda Faisal dan Deswita dalam serial komedi Suami-suami Takut Istri di Trans TV, yang menurutkan itu sangat tidak proporsional dan terlalu mendramatisir. Ya, maklum saja...namanya juga komedi situasi).

Hujan mulai reda, sisa-sisa airnya masih membasahi pelataran parkir, ketika kami menuju mobil jemputan. Sayup-sayup dan sejauh mata memandang, di depan jauh dari Bandara, terhidang dengan indahnya alam Minang yang pesonanya menjulat mata, hati dan dada. Dalam saputan kabut tipis sisa-sisa hujan nampak pelangi yang indah, bersandar atau bertengger pada salah satu bukit di kejauhan. Bukit asri dengan rimbunnya pepohonan, yang memanjang, sebagai salah satu bagian dari Pegunungan Bukit Barisan, yang membentengi dan menyelusuri pulau Andalas, atau pulau Sumatra, atau ada juga yang masih menyebutnya sebagai Swarna Dwipa.

Betapa nyaman dan tentramnya menatap pesona alam yang tersaji secara kasat mata di hadapan penulis, seolah ingin menyampaikan atau bahkan mengajak untuk menghindari friksi, atau benturan-benturan kepentingan yang terhidang secara vulgar dan jauh dari kesantunan, yang kini semakin mencengkeram bumi Nusantara.

Memang cukup sulit untuk menyampaikan keindahan Ranah Minang yang benar-benar original, karena banyak sekali blog di dunia maya, maupun artikel-artikel di berbagai media massa baik media elektronik maupun media cetak yang telah membahasnya. Tentang wisata kulinernya, tentang ikon-ikon keindahan alamnya, mulai dari jam gadang di Bukit Tinggi, Istana Pagarruyung di Batusangkar, Wisata Danau Singkarak dan Danau Maninjau, Nagari Kinari-Solok, pusat kerajinan Pandai Sikek, kereta wisata Padang-Pariaman, Ngarai Sianok, Lobang Jepang, Air terjun Lembah Anai, dan sebagainya.

(BERSAMBUNG)

SSSSSSSTTT...! JANGAN BILANG-BILANG, YA.

INI KIAT TERBARU UNTUK PARA SUAMI

(Sssssst...! Qing bie shuo ba, ya. Zhe shi gei zhangfumen de zui xin mique).

(SERI – 3)

Oleh : Ratmaya Urip

Marantiang Budayo Mamaga Pusako, yang artinya kira-kira adalah merentangkan budaya seraya menjaga pusaka, atau menurut pengertian budaya Jawa yang penulis kenal (karena penulis adalah orang Jawa Mataraman) adalah identik dengan Nguri-uri Budaya Jawi, memang telah kental bersintesis dengan masyarakat Minang. Transformasi menjadi atau menuju budaya yang lebih modern-pun tampaknya bukan menjadi batu sandungan budaya bagi mereka, dalam artian budaya modern yang positif.

Dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan budaya, adat yang tradisional sering dilengkapi dengan budaya-budaya modern baik yang klasik maupun kontemporer, yang jauh dari friksi-friksi kultural. Secara tersirat, masyarakat Minang adalah masyarakat yang terbuka. Secara antropologi politikpun, nampaknya Ranah Minang telah memberi tempat pada partai-partai berhaluan Islam modernis untuk berjaya, mengingat bahwa masyarakat Minang adalah masyarakat Muslim yang taat beribadah sekaligus mau secara terbuka menerima segala hal yang baru, namun yang positip. Sementara jika kita menengok pada organisasi massa Islam yang bukan partai politik, nampaknya Islam modernis tumbuh subur di Ranah Minang. Untuk itu Haji Agus Salim, Bung Hatta, Prof. Dr. Hamka, Prof. S. Maarif, adalah buktinya.

Terus terang saja, penulis benar-benar sangat kesulitan untuk menyajikan tulisan original, yang bebas dari pengaruh tulisan orang lain, khususnya tulisan yang berkaitan dengan topik penulisan kali ini, karena tulisan tentang Ranah Minang dengan seluruh aspeknya telah menjadi rimba tulisan maupun belantara opini di berbagai blog maupun di media-media massa. Mencari angel yang pas buat anggota milis ini, sekaligus menyajikan hal yang baru yang belum pernah dipublikasikan, jelas sangat sulit. Maka jadilah tulisan ini, yang sedikit banyak telah berusaha untuk bebas dari kutipan-kutipan yang bersumber dari tulisan orang lain, sedikit bebas dari duplikasi atau bahkan fotokopi, atau copy and paste dari tulisan orang lain.

Yang paling menarik untuk disajikan, dan yang tidak pernah basi (meskipun sedikit ditabukan), menurut penulis adalah tulisan tentang hubungan lelaki-perempuan, atau untuk supaya tidak terlalu vulgar, penulis lebih suka menyebutnya sebagai tulisan tentang kebahagiaan suami-istri (maaf, kalau sedikit euphemistik) dalam hubungannya dengan aktivitas seputar bla-bla-bla...! Karena kalau menulis tentang manajemen, (apakah itu manajemen kinerja, manajemen operasi, manajemen mutu, manajemen pemasaran, manajemen strategi, manajemen SDM, motivasi, leadership, dll) atau juga tulisan tentang design, engineering & construction (seperti manajemen konstruksi, manajemen proyek, manajemen SHE, FEED, EPC, O & M, metalurgi, material science, dll) yang penulis geluti saat ini, penulis takut tidak pas dengan keakraban yang ingin dituai. Dengan menulis sekitar hubungan suami-istri rasanya membuat penulis ada kesejajaran dengan anggota milis, sehingga bisa sharing. Atau penulis dapat menimba ilmu dari para anggota milis yang lain, jika ada interaktifnya.

Sekali lagi, sekedar untuk mengingatkan :

This is an awesome trip. The story behind what man or woman wants (especially the story about bed activity) is always fascinating

Punika lelana ingkang saget ndamel kayungyuning manah. Carios ingkang kasandi wonten ing kabetahan para jalu lan pawestri (khususipun carios kridaning jalmo ing sa-inggilipun dipan) tansah mijilaken kawigatosan ingkang lebet.

Zhi shi yi duan yin ren yu kuai xing fen de lu tu. Gu shi zhong nanshi yu nushi de xu qiu (sui ran shu yu bu li mao de zuo zuo yu jiang shu zong shi fei chang shou huan ying yu guan zhu de-

Jam telah menunjukkan angka 14 lewat 14 menit. Tentu saja kalau perut menjadi lapar adalah manusiawi dan sah-sah saja. Sebenarnya di depan gerbang Bandara Internasional Minangkabau ada Rumah Makan Baselo Bandara yang nampaknya menyajikan hidangan berupa masakan khas Minang yang cukup untuk mengusik selera makan kami. Namun para penjemput kami nampaknya ingin surprised, sehingga mengajak kami untuk bersabar sebentar, selama 12 menit perjalanan menuju arah kota Padang (Jarak bandara ke kota Padang sekitar 25 km, ke Bukittinggi 66 km, ke Solok 75 km), ke suatu rumah makan yang bernama Rumah Makan Lamun Ombak. Suatu nama yang sangat asing di telinga kami.

Sepanjang perjalanan menuju Rumah Makan Lamun Ombak, banyak bertebaran baliho-baliho raksasa yang bergambar calon-calon walikota Padang. Ada 5 pasang calon walikota yang nampaknya bersaing dalam Pilkada yang akan berlangsung pada tanggal 23 Oktober 2008 nanti. Fenomenon yang telah menjadi fenomena, yang nampaknya menyeragamkan perilaku politik seluruh wilayah Nusantara, sejak era reformasi dimulai. Karena setiap penulis berkunjung ke suatu wilayah di Nusantara ini, di manapun itu, pasti belantara baliho dengan tampilan wajah calon penguasa wilayah dijajakan secara terbuka di pinggir-pinggir jalan. Nampaknya jualan politik telah menuju ambang inflasi politik, yang bermuara pada kepentingan-kepentingan politik sesaat yang sering kali hanya bermuatan sektoral atau partisan, jauh dari tujuan untuk perbaikan nasib bangsa. Hal itu terjadi karena tingginya penawaran politik yang nampaknya tidak di-response secara baik oleh permintaaan politik yang memadai. Masing-masing calon menjajakan dirinya untuk dipelototi para pengguna jalan. Penulis memproyeksikan, bahwa meletusnya economical bubble saat ini akan segera diikuti meletusnya political bubble. Karena kedua aktifitas tersebut, baik politik maupun ekonomi telah masuk secara dalam ke aktifitas semu, maya dan baka.

Aktifitas semu, karena seluruh aktifitas ekonomi mendewa-dewakan sektor finansial dan moneter saja, tanpa didasarkan pada pencapaian keunggulan aktifitas di sektor riil. Sektor finansial semakin jauh meninggalkan basic-nya yaitu sektor riil. Padahal logikanya, prestasi sektor finansial adalah cermin prestasi sektor riil.

Sementara aktifitas politik juga semu, karena politik telah menjadi sangat pragmatis, tidak santun, meninggalkan kejujuran, yang semuanya diukur dengan materi, yang mengabaikan sama sekali ideologi atau idealisme, yang biasanya merupakan mata air bagi semangat kebangsaan dan persatuan untuk tercapainya kesejahteraan bangsa. Karena politik sudah dijadikan lahan garapan untuk hidup atau sebagai mata pencaharian. Politik hanya kendaraan untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan yang diperolehpun dianggap sebagai kedudukan bukan sebagai tindakan atau program. Bagi mereka, Power is a position, not an action. Padahal, sebaiknya semuanya harus balance.

Aku jadi ingat judul pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, yang kebetulan juga Ketua AMA-Palembang, Ibu Prof. Dr. Diah Natalisa yang mengupas masalah ini dalam pidato pengukuhan beliau, meski dalam angle yang berbeda, dengan judul Peran Ilmu Marketing dalam Dunia Politik : Pengaruh Sikap Voters terhadap Keputusan Memilih Kandidat dalam Pilkada (Oh, ya...sekali lagi, sebagai anggota keluarga Besar AMA-Indonesia, penulis tentu saja sangat bangga kepada Ibu atas prestasi meraih gelar tertinggi di dunia akademik. Ibu menyusul Prof. Dr. Satria Bangsawan, Ketua AMA-Bandar Lampung yang juga Guru Besar Universitas Lampung).

Rumah Makan Lamun Ombak, terletak kira-kira berada di pertengahan jalan menuju kota Padang dari arah bandara. Tepat berada di tempat yang strategis, di tepi jalan Pantai Barat Lintas Sumatra. Suasananya mengingatkan penulis pada rumah makan Padang yang ada di Johor Bahru, Malaysia, dekat Hypermarket Giant, sekitar empat puluh lima menit perjalanan dari Gerbang Johor Bahru, atau tepatnya Gerbang Daulat Tuanku, dari arah Woodlands, Singapore. Atau rumah makan Padang di dekat Pelabuhan Fremantle, Australia Barat, sekitar empat puluh lima menit dari pusat kota Perth jika melewati freeway. Ya, Minang Diaspora memang sudah mewarnai manca negara melalui pendekatan kuliner.

Kadang benak penulis bekerja keras, mengapa ya...masakan yang berasal dari Ranah Minang lebih dikenal sebagai Rumah Makan atau Masakan Padang? Bukan Rumah Makan Minang, atau Rumah Makan Bukittinggi, Rumah Makan Solok, Rumah Makan Payakumbuh, Rumah Makan Lima Puluh Koto, Rumah Makan Pariaman, Rumah Makan Agam, atau bahkan Rumah Makan Sumatra Barat? Mengingat Padang hanyalah satu keping wilayah di Ranah Minang, Sumatra Barat. Nampaknya ini masalah branding (atau historis?).

( BERSAMBUNG )

SSSSSSSTTT...! JANGAN BILANG-BILANG, YA.

INI KIAT TERBARU UNTUK PARA SUAMI

(Sssssst...! Qing bie shuo ba, ya. Zhe shi gei zhangfumen de zui xin mique).

(SERI – 4)

Oleh : Ratmaya Urip

Kami semua berdua belas memasuki Rumah Makan Lamun Ombak dengan perut keroncongan, khususnya kami berempat yang datang dari Surabaya, karena memang tidak sempat makan pagi ketika berangkat tadi. Jam 14.30 WIB baru memasuki gerbang rumah makan, paling tidak jam 15.00 WIB baru mulai makan siang, waktu yang sangat terlambat untuk makan siang.

Menu yang disediakan sangatlah lengkap. Seperti biasa aku selalu melahap sayur nangka dan daun singkong rebus

(Maaf, saya potong dulu karena ada yang lebih penting yang harus dikerjakan!)

Kamis, 19 Februari 2009


Rekor Jumlah Isi Buah Salak

(Copy-right by Ratmaya Urip, November 2008)

Buah salak, umumnya hanya berisi 3 keping isi salak. Namun yang satu ini sangat luar biasa, yang mungkin dapat dicatat sebagai pemecahan Rekor MURI, maupun Rekor Guinness Book of Records. Hal ini karena ditemukannya satu buah salak yang berasal dari Kabupaten ENREKANG, sentra produsen salak terbesar, yang sangat terkenal di Sulawesi Selatan, pada tanggal 7 November 2008, yang memiliki 7 keping isi salak, seperti gambar di atas. Perlu diketahui, buah tersebut ditemukan secara tidak sengaja ketika penulis dalam perjalanan dari Makassar ke Tana Toraja via Enrekang.


Diunggah di http://ratmayaurip.blogspot.com oleh Ratmaya Urip

Minggu, 01 Februari 2009

PELANGI DI MAHAKAM



PELANGI DI MAHAKAM
Oleh : Ratmaya Urip




B A B S A T U

M a r i a

Bukanlah hal yang aneh kalau gadis-gadis suku Dayak yang dikenal cantik-cantik itu lebih senang berprofesi sebagai perawat di rumah sakit, atau sebagai guru. Dan bukanlah hal yang patut untuk digunjingkan jika setiap malam Minggu di Rumah Sakit Dhirgahayu, salah satu rumah sakit terbesar di Samarinda, khususnya di Asrama Perawat, selalu ramai jejaka-jejaka pada berkunjung, sehingga Ruang Tamu Asrama selalu ramai. Tahu sendirilah kalau anak muda lagi memenuhi naluri kemudaannya.

Malam Minggu saat itu sangatlah indahnya. Langit cerah dengan segurat awan sirus yang ditemani sepotong awan cumulus, tanpa gumpalan stratus dan nimbus yang biasanya merajai langit di atas Mahakam sampai ke cakrawala, telah mempersilakan purnama untuk menaklukkan ujung malam dengan senyumnya yang menawan. Sinarnya yang kebak pesona alami telah menebarkan aroma kedamaian bagi apa dan siapapun yang ingin lebih memaknai hidup dan kehidupan, untuk menjadi lebih indah dan berarti. Mungkin hanya sedikit ungkapan yang dapat menyangkal hal itu, atau malah tak ada satu katapun yang memadaninya. Langit tak berbintang jadinya, karena kuatnya sinar rembulan menguasai alam…ohh, masih ada Venus si bintang Kejora, namun sinarnya sangat temaram di ufuk timur.

Yang pasti malam itu bukanlah hal yang kebetulan kalau aku mau diajak Indro, untuk menemaninya mengunjungi teman wanitanya, yang kebetulan gadis Dayak Kenyah. Indro sendiri berasal dari Madiun, tepatnya Gorang-gareng, dan Jawa Asli, sub-etnik Mataraman seperti aku. Pikiranku sedang sumpek, karena akhir-akhir ini beban pekerjaan amat sangat menguras tenaga dan pikiran, mengundang emosi, serta amat sangat menyita waktuku. Jadi menurutku cukuplah alasan bagiku untuk tidak menolak ajakan Indro. Daripada tidak ada yang dikerjakan di rumah, yang paling-paling nonton televisi atau video silat Mandarin serial terbaru, atau membaca buku serial petualangan Dr. Karl May, kesayanganku.

Karena baru pertama kali diajak Indro, meskipun sudah hampir satu tahun di Samarinda, hatiku keder juga. Rasanya serba kaku dan serba salah. Maklum aku tidak biasa berada di tengah-tengah sekitar tiga puluhan gadis Dayak yang semuanya mempunyai kecantikan ragawi nan alami yang amat prima. Wajah khas Mongolid namun dengan penampilan Melayu yang santun telah menerpa hasratku dan memuncakkan harapku untuk lebih membuatku ingin berbagi rasa dengan mereka. Kulit kuning dengan sinar mata yang kadang lembut, namun juga sering berganti tajam, membangun atensiku tergamit mesra. Dalam hati aku berujar, alangkah sangat bahagianya jika aku dapat menyunting salah satu di antara mereka.

Canda tawa berkejaran membunuh waktu yang ada. Suasana sangat ramai, sedang di atas cakrawala belahan timur purnama tetap dengan tebaran senyumnya, menawarkan cinta, meskipun sebenarnya menyimpan ejekan bagi siapapun yang enggan berbagi kedamaian dengan sesama.

Sungai Mahakam yang kelokannya nampak di kejauhan, airnya berbinar terang karena pantulan sinar purnama. Sementara sinar lampu-lampu mercury yang bersinar kekuning-kuningan di Pelabuhan, di sebelah hilir Pasar Pagi dekat Masjid Raya Darussalam, sinarnya berpendar dan memantul ke segala arah, menambah romantika, dialektika dan dinamika yang mulai terbangun dalam benak dan hati. Romantika yang bukan erotika murahan, sensual namun bukan birahi yang sulit patuh pada kendali…yeah…! Rasanya keindahan yang tak cukup diproyeksikan dengan sejuta kata sekalipun.

Mahakam memang menyimpan sejuta misteri, dan satu di antaranya adalah pemeo yang hanya dikenal oleh orang yang pernah mengunjunginya : “Barang siapa minum airnya, pasti ‘kan kembali ke tepiannya.” Pemeo yang di kemudian hari bagiku memang banyak memberi arti dan bukti, karena sejak itu hampir setahun sekali aku selalu kembali ke tepiannya, untuk memenuhi panggilannya. Meskipun hanya untuk menikmati lezatnya dodol lempok durian, atau gurihnya telur penyu rebus setengah matang, atau renyahnya kerupuk ikan khas Samarinda, atau menikmati meriahnya peristiwa seni budaya Kutai dan Dayak yang sangat akbar yang dikenal dengan nama Erau, yang sekaligus mengagumi budaya lokal dengan mengunjungi istana Sultan Kutai dan Museum Mulawarman di Tenggarong, atau sekedar belanja sarung Samarinda di Samarinda Seberang, tempat komunitas suku Bugis beranak-pinak selama beberapa abad. Sarung Samarinda yang sangat terkenal itu memang dibuat oleh suku Bugis yang secara turun temurun mendiami kawasan Samarinda Seberang, bersama suku Kutai, suku Banjar, suku Jawa dan sedikit suku Madura. Mereka terpaksa hijrah dari Sulawesi Selatan karena terdesak dalam perang antar kerajaan di sana, seperti Perang antar Kerajaan Wajo dan Kerajaan Gowa, dan lain-lain. Maka tidaklah mengherankan jika Sarung Samarinda sangatlah mirip dalam hal motifnya dengan Sarung Bugis.

Dalam suasana batin yang penuh binar gairah seperti terproyeksikan di atas, di salah satu sudut ruangan Asrama Putri Perawat Rumah Sakit Dhirgahayu, di depanku duduk seorang gadis Dayak Tunjung, yang saat kujabat tangannya yang lentik dan mulus telah memperkenalkan dirinya dengan nama Maria.

Di samping penganut animisme dan dinamisme, sebagian besar suku Dayak di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, Sabah serta Serawak, adalah pemeluk setia Katholik Roma dan Kristen Protestan, sehingga banyak di antara mereka yang lebih suka dipanggil dengan nama-nama Baptis. Rasanya hanya sebagian suku Dayak di Kalimantan Tengah saja yang berbaur secara kental dengan suku Melayu, atau suku Madura, dan memeluk agama Islam. Aku sendiri seorang Muslim.

“Maria sudah lama di sini?” tanyaku menegas.

“Belum kak, baru tiga bulan…,” jawab Maria lembut.

“Oh…sebelumnya di mana?” sergapku ingin tahu.

“Di hulu Mahakam, di Melak.”

Sejenak aku membayangkan asal Maria yang mungkin lebih jauh dari Danau Jempang atau Danau Semayang, yang mungkin memakan waktu berhari-hari perjalanan dengan menggunakan perahu ketinting, semacam perahu klotok seperti yang pernah kulihat dan banyak terdapat di Sungai Barito, Kalimantan Selatan, atau di Kay Bay di Delta Mekong, empat jam perjalanan dari Ho Chi Minh City, Vietnam.

Aku belum pernah ke Melak, yang mungkin itu adalah daerah pedalaman di hulu Mahakam, tempat suku-suku Dayak Pedalaman, baik suku Dayak Tunjung, Dayak Kenyah, Dayak Benuaq, Dayak Bahau, dan Dayak Putuq yang masih asli tinggal, tempat yang kata orang masih sering terjadi manusia makan sesamanya, tempat asal mandau senjata tradisional suku Dayak yang terkenal itu disimpan sebagai pusaka, dan tempat burung enggang dikeramatkan. Aku baru tahu tentang Melak beberapa tahun kemudian, yang ternyata terletak 148 mil dari Tenggarong, tempat eksotis yang terkenal karena Cagar Alam Kersik Luway, tempat tumbuhnya Coelogyne Pandurata ( anggrek hitam ).

Dari bicaranya yang ramah dan santun Maria ternyata menguasai lingkungan sosial-budayanya secara rinci. Pemahamannya tentang sosiologi dan anthropologi sosial sangat prima dan intens. Yang aku tidak tahu adalah dari mana dia belajar semuanya itu, yang telah membuatku heran dan kagum. Pengayaan dan penguasaan materi yang dia peroleh pastilah tidak mungkin diperolehnya hanya dari membaca. Kelihatannya dia sangat menjiwai dan memahami tanpa harus berpikir lagi, seolah-olah sudah menjadi way of life bagi dirinya.

Pada kesempatan itu aku baru tahu darinya, bahwa di Kutai pada umumnya, penduduk aslinya dikelompokkan pada dua kelompok suku utama, yaitu Kelompok Suku Melayu dan Kelompok Suku Dayak. Kelompok Suku Melayu, terdiri dari lima puak, yaitu Puak Melani yang mendiami Kutai Lama dan Tenggarong, Puak Pahu yang mendiami Muara Pahu, Puak Pantun yang mendiami Muara Ancalong dan Muara Kaman, Puak Punang yang mendiami Muara Muntai dan Kota Bangun, serta Puak Tulur Dijangkat yang mendiami Barong Tongkok dan Melak. Puak Melani, Puak Pantun dan Puak Punang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi Suku Kutai yang dikenal selama ini, yang beragama Islam. Dalam hal ini pengaruh kerajaan-kerajaan di Jawa, masih sangat terasa dalam kelompok ini, terutama pengaruh kerajaan-kerajaan Jogja-Solo dan Kediri-Singosari. Kemudian dengan datangnya Suku Banjar dan Suku Bugis telah menambah populasi Kelompok Suku Melayu.

Kelompok Suku Dayak bertunas dan kemudian tumbuh, berkembang serta ber-evolusi dari Keturunan Puak Tulur Dijangkat, salah satu puak Suku Melayu.


( Catatan : Ada yang berpendapat lain, yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari China Daratan yang menyeberangi Laut China Selatan pada zaman dahulu kemudian berbaur dengan penduduk setempat). Mereka kemudian berpencar, meninggalkan tanah semula dengan hidup nomaden namun tetap bertani secara berpindah dengan membakar hutan untuk berladang di belantara Kalimantan Timur. Selanjutnya mereka membentuk kelompok-kelompok suku yang lebih kecil yang dikenal sebagai Dayak-dayak Bahau, Basap, Bentian, Benuaq, Busang, Kayan, Kenyah, Modang, Penihing, Punan, dan Tunjung, yang rata-rata menguasai suatu daerah tertentu di Kalimantan Timur. Kebanyakan Kelompok Suku Dayak menganut animisme dan dinamisme, sedang yang lebih modern adalah penganut Katholik Roma atau Kristen Protestan.

Bagaimanapun juga, pengalamanku berdialog dengan Maria adalah cikal bakal ketertarikanku pada sosiologi dan anthropologi. Belajar perdana tentang sosiologi dan anthropologi dalam masyarakat Dayak. Di kemudian hari hal tersebut ternyata sangat memudahkanku dan sangat menolong untuk mengenal komunitas-komunitas lainnya yang ada di seluruh Nusantara, bahkan di manca negara. Di samping perilaku sosial, ekonomi, dan budaya lokal dan regional aku juga mendalami perilaku orang-orang Scottish, Irish, Basque, Jewish, Bavaria dan lain-lain, tentu saja akhirnya aku harus belajar tentang lokasi dan lingkungan serta sejarah mereka.

Suasana di ruang tamu semakin ramai saja, sementara Indro, sudah tidak tampak lagi batang hidungnya. Sialan memang anak itu. Egois! Tadi sebelum berangkat merengek-rengek minta ditemani, sekarang malah ditinggal kabur. Mungkin dia sekarang sudah berduaan di taman kota di tepian Mahakam, tempat yang biasanya ramai dengan anak-anak muda yang lagi di mabuk cinta, menikmati gurihnya telur penyu setengah matang, yang memang banyak sekali dijajakan di sana. Telur penyu dari Berau dan Bulungan. Padahal kalau tidak salah, sebelum berangkat tadi kami sudah ada rencana untuk nonton film di Mahakama, karena ada film bagus, Lion of The Desserts dari Anthony Quinn yang berperan sebagai Umar Mukhtar, singa Libya yang dengan heroiknya melawan penjajahan Italia di bawah Mussolini. Film perang kolosal di padang pasir yang sangat menyentuh hati, yang penuh strategi, intrik dan muslihat.

“Kakak sendiri asalnya dari mana?” tiba-tiba Maria memecah kebisuan.

“Eh…oh, dari Jogja. Tahu kan tentang Jogja?”

“Ya kak, sangat tahu, karena ada kakak saya di sana, kuliah.”

“Oh, ya? Di mana?”

“Di Sanata Dharma”

“Ambil fakultas apa?”

“Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.”

“Hmm…!” gumamku sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Dengan penjelasan Maria itu, aku teringat kembali ke masa-masa kuliahku dulu, dan baru kini mulai sedikit memahami, mengapa begitu banyak komunitas suku Dayak yang kuliah di Sanata Dharma. Mereka memang kebanyakan mengambil studi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Tidak hanya suku Dayak Kenyah, Dayak Benuaq, Dayak Bahau dan Dayak Putuq dari Kalimantan Timur saja, namun juga suku Dayak Iban dari Kalimantan Barat dan Dayak Kaharingan dari Kalimantan Tengah. Belum lepas dari ingatanku, betapa mereka selalu menjadi pusat perhatian jika berrombongan belajar bersama di Syantikara, atau di Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada. Perpustakaan Pusat tersebut, sangatlah dekat dengan kampusku, Fakultas Teknik, karena berada bersebelahan, seperti halnya Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (sekarang MIPA), Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Peternakan dan Fakultas Pertanian, sehingga setiap saat kapanpun aku mau, dan kebetulan tidak sedang kuliah, aku pasti ke sana. Mahasiswi suku Dayak yang rata-rata dikaruniai wajah yang sangat menawan dengan kulit putih atau kuning langsat yang mulus dan indah selalu mengundang hasrat para mahasiswa pria untuk berkenalan. Mereka itu adalah mahasiswi yang tekun dalam belajar, tangguh dan mempunyai pribadi yang kuat, dan bukanlah hal yang aneh jika banyak di antara mereka yang meraih predikat cum laude, ketika menyelesaikan studinya. Ada satu temanku yang akhirnya beruntung dapat memacari dan mengawininya, itupun setelah berjuang cukup lama.

“Ada lagi yang perlu kakak ketahui,” kembali tiba-tiba Maria menyadarkanku dari lamunan.

“Apa itu, Maria?”

Dia tersenyum sejenak penuh arti, kemudian dengan sedikit malu-malu meluncurkan sederatan kata-kata yang membuatku bertanya-tanya meskipun aku sudah tahu jawabnya.

“Aku adalah alumnus Akademi Perawat di Rumah Sakit Panti Rapih.”

“Oh…pantesan!” tukasku menutup rasa penasaranku.

Kembali dia tersenyum, namun kali ini lebih lebar dan lebih menarik. Gigi serinya yang putih dan mungil sedikit nampak di balik bibirnya yang mungil, ranum dan berwarna merah muda. Aku terpana menatapnya, sehingga untuk beberapa saat membisu. Bingung mau bicara apa. Wajahnya yang oval, dengan alis tipis dan dagu belah dua yang mempesona, mengingatkanku pada seorang bintang film, yang aku tidak pasti, apakah Kathleen Turner yang sempat kutonton actingnya bersama Bruce Willis dalam Prizzis Honor, ataukah Terry Hatcher dalam salah satu serial film televisi Louis and Clark. Bahkan kalau disebut mirip Vivian Leigh pun nampaknya cukup sesuai. Ataukah memang wajahnya merupakan perpaduan ketiganya?

“Aku senang dengan cara kakak memandangku,” tiba-tiba Maria membuatku terkejut, kemudian tersipu-sipu, dan mau tidak mau harus bersikap pura-pura malu, karena telah memangkas bayangan para bintang film favouritku yang terlukis maya sekaligus fana di wajahnya. Rasanya bukan punagi. Sejurus aku terpana dengan keterusterangannya. Benar-benar heran, mungkin ini adalah sikap aslinya, keterbukaan yang tidak dibuat-buat. Mungkin pula adalah buah pergaulannya di Jogja, tatkala dia kuliah di Akademi Perawat.

Dia bukan lagi gadis Dayak udik dari pedalaman di tengah belantara, yang menurut kata orang yang pernah bertemu, selalu bersembunyi jika ada orang asing yang datang, namun tetap mengintip ingin tahu, dan selalu berbau amis karena minyak babi yang menjadi kosmetika alami yang melapisi seluruh kulitnya. Biasanya rumah panjang suku Dayak berbentuk panggung, dan dikolongnya yang kadang-kadang tingginya sampai empat meter sering dijadikan tempat untuk beternak babi. Minyaknya menurut kata orang dijadikan bahan dasar kosmetika alami. Minyak itulah mungkin yang menjadikan kulitnya putih, bersih, dan bersinar indah, sehingga seekor nyamukpun enggan menusukkan jarum yang ada di ujung kepalanya untuk mengambil darahnya, yang itu berarti merusaknya dengan menyakitinya. Dayak selalu mempunyai konotasi rumah panjang, pertanian berladang, babi di kolong ranjang, sumpit untuk berburu, warna favourite hitam, kuning, putih dan merah, tarian lembut dan gemulai dengan iringan ritmis musik perkusi, bulu burung enggang, dan mandau.

“Kenapa?” tanyaku menegas.

“Ya…senang saja.”

“Maria menggodaku, ya?”

Nggak!…hanya aneh saja, rasanya belum pernah ada orang yang memandangku seperti itu sebelumnya.”

“Masak? Aku tidak percaya!” sahutku menegas, karena khawatir juga, jika dalam setiap tatapanku ada dukana, yang dapat membuatnya tidak senang padaku, atau dalam sikapku ada yang kurang pantas untuk dilakukan oleh orang yang baru dikenalnya. Rasanya aku tidak menebarkan aroma negatip secuilpun, karena aku selalu berusaha untuk menjaga setiap penampilanku, apalagi penampilan pertama itu biasanya yang paling menentukan dalam membentuk citra seseorang. Ibarat menyanyikan sebuah lagu, attack nada awal adalah saat yang paling tepat dan menentukan bagi yuri untuk menilai seorang penyanyi itu bersuara false atau tidak. Dan aku tidak ingin Maria mempunyai kesan negatip padaku, dengan kata lain tentu saja tidak ingin dinilai false di awal, sebab perjalanan selanjutnya adalah meniti nada-nada yang semakin berat, yang muaranya adalah harmoni antara lirik dan melodi, ataupun harmoni beberapa frekuensi suara yang berbaur menyatu dalam choir. Kepiawaian sangat dibutuhkan di sini. Awal dapat dengan mudahnya menjadi akhir jika pitch kurang control. Yang pasti aku ingin Maria baik padaku, atau jika mungkin ada secuil atensi padaku. Entah apa sebabnya, karena keinginan itu muncul begitu saja. Mungkin karena kekagumanku padanya atas banyak hal tentang apapun yang juga aku ketahui. Misalnya tentang The Old Man and The Sea yang melegenda serta cerita parabelnya yang sangat memukau (dalam kumpulan cerpen), The Snows of Kilimanjaro dari Ernest Miller Hemingway. Juga serial novel monumental Roads to Freedom dari Jean-Paul Sastre, yang dalam hal ini yang baru dibacanya adalah The Age of Reason. Terlebih-lebih tatkala dia bisa bercerita dan menyampaikan resensi lisan secara spontan dan lugas atas Dr. Zhivago dari Boris Leonidovich Pasternak. Dia mengomentari tentang Lara panjang lebar. Bahkan dia pernah nonton film-nya di bioskop Ratih di Jogja. Itu semua membuatku tidak yakin bahwa dia hanyalah seorang perawat di suatu Rumah Sakit di pedalaman. Memang dia sempat cerita kalau semuanya itu diperolehnya di Jogja.

Tiba-tiba menyeruak lembut dengan gaya legato dan pelit vibrasi, suara Sofie yang dengan artikulasi, intonasi dan dinamika yang prima melantunkan lagu I Love You dari salah satu ruangan di depan Ruang Tamu Asrama, mungkin dari salah seorang penghuni asrama yang tidak sempat melewatkan malam Minggu, dan cukup puas dengan memeluk radio atau tape recorder. Sofie dengan timbre yang khas, dan phrasering yang pas, mulai mengaduk-aduk perasaan dan emosi, yang diawali dengan melemparkan pianissimo yang mengharukan di awal lagu, kemudian menghentak menuju mezzo-forte hampir ke fortissimo, dengan klimaks berupa semi-falsetto di coda-nya. Interpretasi lagu dengan penempatan crescendo bergantian dengan decrescendo pada suara mezzo-sopran di awal lagu dan sopran di akhir lagu memang pantas untuk menempatkan lagu itu menjadi hit. (Catatan : Pada waktu itu lagu I Love You dari Sofie memang sedang hit dan digandrungi anak-anak muda)

“Di Samarinda kakak tinggal dimana?” tiba-tiba kembali Maria menyadarkanku dari belitan lamunan.

“Oh…di Vorvo, Jalan Ramania.”

“Dekat RRI di Segiri? Jauh, ya?”

“Nggak juga…malah lebih jauh kalau aku pergi ke tempat kerja.”

“Oh, ya…? Dimana tempat kerjanya?”

“Di Loa Buah, dekat Loa Janan.”

“Wouw…jauh banget!”

Aku waktu itu bekerja di sebuah Perusahaan Konsultan Economics & Engineering yang berpusat di Jakarta, sebagai Team Leader dari suatu Project Management yang menerapkan Construction Management System, dalam penanganan beberapa Pembangunan Konstruksi Industri Plywood, Veneer dan Blockboard, yang semuanya berlokasi di tepian Mahakam, arah ke hulu dari Samarinda. Untuk sampai ke tempat kerja di Loa Buah yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutei, aku harus menggunakan speedboat dari dermaga perusahaan di pusat kota. Waktu itu belum ada jembatan yang membentang di atas Sungai Mahakam. Sedang untuk menyeberangi sungai harus mempergunakan kapal ferry, di lintasan Sei Kunjang dan Harapan Baru. Wilayah kota terbelah menjadi dua bagian, satu sisi luar masuk Samarinda Seberang, sedang sisi dalamnya masuk wilayah Samarinda Ulu dan Samarinda Ilir. Karena itulah akan lebih cepat menggunakan speedboat jika hendak ke tempat kerja. Kabupaten Kutei pada waktu itu belum dimekarkan menjadi Kabupaten Kutei Kertanegara, Kabupaten Kutei Barat, Kabupaten Kutei Timur dan Kota Bontang.

Karena kehabisan bahan pembicaraan,secara iseng kucoba melemparkan pertanyaan:

“Lama ‘kan di Yogya? Kalau begitu bisa Bahasa Jawa dong…?”

“Inggih, saged…sekedik-sekedik, kangmas…” (“Ya, bisa…sedikit-sedikit, kak…”) tukas Maria cepat dengan aksen yang lucu, nampak terlalu dipaksakan, terlalu ringan, bukan dengan logat yang berat atau medok, seperti kebiasaan orang Jawa bagian Tengah jika sedang berbicara, sehingga mengundang tawaku. Karena seperti pemain ketoprak sedang dialog. Namun terbersit rasa kagumku padanya, karena dia bisa berbahasa Jawa kromo madyo, bukan ngoko. Padahal biasanya orang-orang dari luar Jawa sulit untuk berbahasa Jawa kromo madyo, apalagi kromo inggil.

“Sudah…sudah, jangan dilanjutkan, bisaku hanya itu....,” sergahnya cepat, tatkala aku hendak melanjutkan ngobrol dengan Bahasa Jawa. Tampaknya dia tahu aku akan mengarahkan pembicaraan dengan pengantar Bahasa Jawa, atau dia hanya menduga-duga?

“Kak…!” tiba-tiba dia memanggilku..

“Ya…?”

“Boleh dong Maria main ke-lamin kakak?”

“Hah!!...Main kelamin? seruku dalam keterkejutan yang luar biasa. Gila benar Maria ini. Belum genap satu setengah jam berkenalan, permintaannya aneh-aneh, minta main kelamin, memilih punyaku lagi. Apa gadis Dayak itu murahan? Dasar edan! Rasanya hampir pingsan aku mendengar Maria mengajukan pertanyaan seperti itu. Tentu saja aku jadi terbengong-bengong, keheranan dan serba salah, dan tiba-tiba merasa masuk angin luar biasa, namun sulit untuk buang anginnya. Perut jadi mulas. Barangkali stress.

(Catatan : Waktu itu aku belum tahu, bahwa lamin itu bahasa Dayak, yang artinya rumah, sehingga main kelamin artinya main ke rumah. Jadi sebenarnya Maria ingin main ke rumahku!?).

Untunglah aku menikmati kesenyapan yang menyergap secara tiba-tiba, yang dengan santunnya telah bertabik pada purnama yang telah sepenggalah tingginya, meniti birunya langit. Barangkali itulah sikap yang paling tepat untuk menjawab ketidakmengertian dan meredam keserbasalahan yang baru saja terjadi. (Di kemudian hari aku sangat menyesali kebodohanku pada waktu itu, yang karena keterlambatan untuk mengerti Bahasa Dayak telah membuat aku menjadi innocent dan bebal). Terus terang saja, aku mengartikan apa yang telah dikatakan Maria itu sebagai kata dengan arti harfiah, seperti bahasaku sehari-hari.

Pendar-pendar dari binar cahaya purnama yang sinarnya jatuh di permukaan air di kelokan Mahakam semakin mempesona saja. Baik binar di kelokan hulu di Teluk Lerong, maupun kelokan hilir di dekat pelabuhan. Hal itu nampak karena memang lokasi Asrama Perawat Rumah Sakit Dhirgahayu berada di ketinggian. Apalagi nampaknya air sedang pasang saat itu. Perbedaan pasang surut di Muara Mahakam dapat mencapai dua meter tingginya. Tampak pula di kejauhan deretan log (kayu) bulat yang dirangkai memanjang, hasil tebangan di hulu milik pengusaha HPH, sedang ditarik tugboat (kapal tunda), untuk di muat ke kapal pengangkut di muara sungai.

Tiba-tiba aku lihat Indro datang berdua dengan gadisnya mendekati kami, dan itulah mungkin penyelamatku dari kebuntuan yang terjadi.

“Dari mana saja, Indro? Pergi nggak mengajakku !” sergapku, sewot.

“Aku pikir kalau aku memberitahumu tadi akan mengganggumu…”

“Maksudmu?”

“Lho, engkau tadi ‘kan lagi asyik berbincang dengan Maria, kan? Aku takut membunuh kesempatanmu…ha…ha…ha…!” tawanya tanpa sadar, meledekku, sehingga beberapa orang yang berdekatan banyak yang menoleh ke arahnya, sambil mengernyitkan dahi atau memasang wajah masam. Untungnya dia cepat sadar kalau menjadi pusat perhatian banyak orang, maka cepat-cepat dia duduk di sampingku yang kebetulan memang kosong sejak pertama kali aku datang. Siska, atau lengkapnya Fransiska, pacarnya, menyusul duduk di samping Maria.

Aku tahu maksudnya. Indro sengaja ingin membantu aku dengan menciptakan dan sekaligus membangun kebersamaan untuk aku dan Maria, kebersamaan dalam arti yang hanya aku yang dapat merasakannya, entah Maria, dan aku seharusnya berterima kasih pada Indro. Rasa dan ucapan terima kasih itu tentu saja tak akan pernah kuucapkan padanya pada saat itu, akan kusimpan dan kusampaikan pada saatnya nanti. Dan, rasanya ada feeling yang mengena, karena aku lihat wajah kemerahan terlukis di wajah Maria. Aku tidak tahu, apakah karena jengah atau senang. Namun binar di matanya rasanya telah menjawab harapanku, dan tentu saja semoga aku tidak salah. Dia tidak dapat menyembunyikannya dariku. Aku kemudian berpikir, bahwa mungkin bagiku ini bukan sekedar suka pada pandangan pertama, namun juga suka pada pendengaran pertama (karena meskipun dia tidak menyanyikan sebuah lagu namun suaranya sangat merdu, seperti berolah vokal di telingaku), suka pada sentuhan yang pertama (aku menyentuh tangannya yang lentik dan lembut saat berkenalan tadi) dan suka pada keinginannya yang pertama untuk main ke laminku. Aku tidak mau menyebut lebih dari kata suka, karena aku belum yakin benar bahwa memang perasaanku lebih daripada sekedar rasa suka. Lagipula meskipun hubunganku dengan Lintang, pacarku, sedang menuju titik nadir, Aku tidak ingin memanfaatkan situasi. Bagaimanapun juga, Lintang masih yang terbaik. Sudah enam bulan sejak keberangkatannya mengambil Master Degree di UCLA, aku hanya dapat mendengar suaranya via telepon, dan kadang suratnya datang sesekali. Mungkin dia mulai sibuk di kampus barunya. Yang tidak aku suka darinya, hanya sikapnya yang selalu serius dalam setiap kesempatan apapun dan dengan siapapun termasuk aku, tidak pernah memberku kesempatan untuk mengambil jedah dengan sedikit lebih santai sedetikpun. Jadi kalau dia itu kutu buku memang wajar. Kuakui, memang sedikit demi sedikit mulai bermunculan beberapa perbedaan antara aku dan dia yang menghadang.

(Catatan : Waktu itu belum ada mesin faxcimile, apalagi internet. Hubungan telekomunikasi yang tercepat hanya via telepon dan telex).

Sesaat kemudian aku menatap beberapa pasang anak muda ke luar asrama, yang dengan mesranya berlalu. Ada rasa iri yang berkembang di hatiku, karena beberapa bulan ini aku tidak pernah menikmatinya.

Tiba-tiba ada yang mencuri perhatianku, yang sejenak sempat menisbikan kecantikan dan keanggunan Dewi Venus di depanku. Atau mungkin sekedar melenyapkan ketakutan dan keraguan yang mulai terbit? Ketakutan akan datangnya Cupido si Dewa Amor dengan panah asmaranya? Dan yang menyita pandanganku adalah sebuah lukisan.

Lukisan yang terpajang cukup anggun dan dominan di ruang itu adalah sebuah lukisan beraliran surrealism. Menurutku, dalam interior dengan nuansa art deco style seperti itu, lebih padu jika disempurnakan dengan lukisan beraliran cubism, semacam cubism dari Pablo Picasso, atau lukisan dari Jeihan. Mungkin realism juga bisa, asal jangan naturalism, apalagi expressionism atau impressionism. Art deco sudah jarang diikuti orang, maka agak aneh jika di tempat yang boleh disebut pelosok seperti Samarinda ini ada saja yang menyukainya. Meskipun bukan art deco dengan Italian style, maupun Egyptian style, namun dengan pendekatan orientalism yang bernuansa budaya Dayak, yang didominasi warna hitam, putih, kuning dan merah, ternyata tidak kalah nilai dan pamornya. Pastilah ada art director bertangan dingin di Rumah Sakit Dhirgahayu ini.

(Catatan : Art deco adalah suatu cabang dekorasi yang sangat berkembang dan mencapai puncaknya pada kurun waktu antara dua perang dunia 1910-1939. Pada antara decade enam puluhan sampai delapan puluhan aliran ini tidak banyak peminatnya. Baru mulai bangkit kembali sejak decade sembilan puluhan).

Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang sedang termenung dengan tangan kanan di dahinya duduk di tanah kering, di bawah langit berwarna merah darah, dan dalam sorotan matahari yang berwarna ungu. Pasti tidak banyak yang dapat memahami makna dan pesan-pesan yang tersirat dari lukisan itu. Meski aku banyak belajar memahami berbagai macam aliran lukisan, untuk memahami lukisan itu aku sangat kesulitan. Akh…persetan dengan lukisan itu! Namun semakin diabaikan semakin mengganggu pikiranku…sungguh! Ada kekuatan yang lebih besar dari Monalisa, si mistic smile buah tangan jenius Leonardo Da Vinci, atau karya-karya Rembrant maupun Van Gogh.

Angin dingin mulai mengusik tubuh, namun canda dan derai tawa enggan berbagi dengan waktu yang mulai merayap jauh ke pelukan malam. Keakrabanku dengan Maria semakin nyata. Ada kelebihan Maria yang membuatku menuai getar di hati. Dia sangat cantik, anggun, ramah dan cerdas. Apapun materi pembicaraan selalu disambarnya dengan sergapan pengetahuannya yang mencengangkan. Namun Indro mengajakku untuk pulang, karena malam memang sudah mulai larut. Rasanya ada yang lepas ketika kami pamit pulang, dan Maria mengantarku sampai gerbang, apalagi rasanya ada sesuatu yang kami tebarkan bersama, entah apa itu…namun bagiku nampaknya akan sulit untuk menuainya.

Kami pulang tidak lewat Jalan Awang Long, Bhayangkara, Pahlawan dan Segiri yang lebih dekat, entah mengapa lebih ingin melewati tepian Mahakam, melewati Jalan Gajah Mada,Teluk Lerong, Jalan Antasari dan Air Putih. Mungkin untuk dapat lebih menikmati pendaran-pendaran sinar rembulan yang menari-nari di gelombang-gelombang kecil di permukaan air, yang muncul tertatih-tatih karena sibakan perahu ketinting yang melaju membelah air.

Malam itu aku membuktikan, bahwa gadis Dayak memang sangat cantik , dan itu bukanlah sebuah mithos. Aku ingin mithos-mithos yang lebih banyak lagi di waktu yang akan datang untuk dapat aku buktikan kebenarannya.

Sebelum aku tiba di Samarinda setahun yang lalu, aku sempat belajar pada seorang teman di Jakarta yang sangat berpengalaman hidup dengan budaya Dayak. Ada satu ungkapan baru yang disampaikannya padaku : “Jangan pernah menjanjikan sesuatu kepada gadis Dayak. Engkau boleh melakukan apapun padanya asal jangan katakan sesuatu yang dapat memberinya harapan, karena itu adalah awal dari suatu akhir.”

Waktu itu aku tidak tahu arti ungkapan itu. Di kemudian hari aku baru dapat memahaminya, setelah mempunyai pengalaman yang sangat menarik berkenaan dengan ungkapan itu. Yang pasti, ungkapan itu adalah salah satu mithos juga.

==ru==


B A B D U A

L o a B u a h

Pagi itu deru mesin speedboat 40 HP merk Yamaha yang setiap pagi membawaku ke tempat kerja di arah hulu Mahakam membelah air dengan kencangnya . Mendung yang menggantung tebal dan merata, sementara air sungai yang dalam kondisi puncak pasang, membuat hatiku was-was dan kecut. Jika hujan tiba pasti tubuhku akan basah kuyup, menggigil kedinginan dan mengundang penyakit. Apalagi hari ini rasanya badan ini tidak dalam kondisi yang prima. Ini karena speedboat yang membawaku tidak ada penutup atapnya sesobekpun. Sementara air pasang telah membuat air sungai tidak mengalir ke muara, malah sebaliknya mengalir pelan ke hulu, dengan membawa kotoran berupa enceng gondok atau tumbuhan air lainnya, serta serpihan-serpihan dan potongan-potongan kayu bekas tebangan atau gergajian dari sawmill di hulu sungai, yang kadang ukurannya cukup besar, yang dapat membuat perjalanan di atas air menjadi sangat berbahaya. Sering terjadi sarana angkutan air menabrak potongan kayu sehingga terbalik dan jatuh korban jiwa. Juga pernah terjadi seonggok enceng gondok membelit baling-baling penggerak sehingga tali kemudi putus, yang kemudian menyebabkan speedboat berputar-putar tak terkendali dengan kecepatan rotasi yang tinggi, sehingga penumpangnya terlempar ke dalam air karena kuatnya gaya centrifugal, dan menyebabkan baling-baling yang berputar kencang menyambar orang yang sedang berenang menyelamatkan diri.

Berkali-kali aku berteriak, mengingatkan Ardiansyah, si anak Banjar, motoris (pemegang kemudi), jika tiba-tiba ada penghalang atas laju speedboat. Speedboat 40 HP memang terlalu kecil untuk mengarungi Mahakam. Beberapa kali aku sudah mengajukan permintaan untuk dapat diganti dengan sekurang-kurangnya dengan tenaga 80 HP ke kantor Pusat di Jakarta, namun sampai sekarang tak juga kunjung tiba. Sehingga setiap pagi jika berangkat bekerja dan setiap sore atau malam jika pulang kerja, perutku selalu didera rasa sakit karena otot-ototnya harus menahan goncangan-goncangan gelombang atau riak kecil sekalipun yang biasanya timbul jika berpapasan atau berjalan beriringan dengan perahu atau kapal lain yang ukurannya hanya sedikit lebih besar. Speedboat pasti oleng atau terguncang-guncang dengan getaran yang kuat, seperti layaknya mengendarai mobil yang sedang melewati jalan dengan penuh lubang menganga dengan kecepatan tinggi, atau melewati tumpukan batu.

Ketika aku berangkat jam 7 tadi, Enung, Sekretaris Project Director dari Owner, rencananya mau ikut berangkat denganku ke proyek. Coba kalau jadi ikut, pasti mulutnya yang nyonyor dan ceriwis itu tak akan pernah berhenti menjerit ketakutan. Untunglah tidak jadi ikut, karena harus ke Sepinggan, Balikpapan, menjemput Pak Adi, pimpinannya dari Jakarta. Apalagi gossip yang berkembang akhir-akhir ini sungguh sangat tidak mengenakkanku. Freddy, Site Manager dari salah satu Kontraktor Mekanikal & Elektrikal, selalu menunjukkan sikap yang tidak bersahabat kepadaku, yang mungkin berangkat dari rasa cemburu. Aku juga heran mengapa Enung nampaknya selalu merapat padaku akhir-akhir ini. Apakah memang menaruh hati padaku atau sengaja membangkitkan rasa cemburu Freddy dengan merangsekku. Aku sulit membaca arahnya.

Yang pasti, nampaknya ada maunya.

Enung, memang tidak begitu cantik, namun dengan sikap-sikapnya yang agak ganjen dan menantang dalam setiap penampilannya, ditopang postur tubuhnya yang atletis, sintal, padat dan berisi yang kadang manja penuh dengan sikap dan perilaku agak childish, mudah akrab dan sangat mengundang atensi dari lawan jenis. Hal ini yang kadang menumbuhkan interpretasi yang salah dalam menilainya. Tidak begitu smart, meskipun jebolan Akademi Sekretaris yang cukup punya nama di Jakarta, namun teliti, telaten, rajin, entengan, serta responsip. Sebagai mojang Priangan, yang berasal dari suatu desa kecil di Cijeungjing, Ciamis, kawasan yang secara etnik mempunyai reputasi berupa keindahan anthropologi ragawi yang sangat dikenal di samping Tasikmalaya, dia memang layak untuk dikagumi orang. Mojang Priangan memang dikenal mempunyai kelebihan ragawi yang mempesona, seperti halnya gadis-gadis Dayak, gadis-gadis Manado, gadis-gadis Lampung Utara dan Rejang Lebong, gadis-gadis bermata biru berdarah Portugis di pantai barat Aceh, pantai utara Jepara, dan pantai utara Alas, Sumbawa, atau gadis-gadis Mediterania di Eropa, atau gadis-gadis berdarah Hispanik di Amerika Latin. Yang membedakannya adalah skill, behavior dan attitude-nya. Nampaknya dia menyadari benar kekuatan dan kelemahan dirinya, sehingga cukup cerdas untuk menutupi kekurangan sekaligus menonjolkan kelebihan dirinya, sehingga yang muncul ke permukaan adalah dia menjadi sangat menarik untuk dinikmati penampilannya dan sangat mempesona serta membuat betah jika diajak berbincang. Penampilannya yang atraktip sering membuatku sadar dan menambah kepercayaan, kebanggaan dan jati diriku bahwa aku benar-benar seorang laki-laki tulen. Jujur saja, kadang aku juga sering meliriknya, meskipun hanya sekedar mengaguminya, mungkin itu naluriku sebagai seorang laki-laki. Untuk yang lebih dari itu, tidak ada sama sekali keinginan di benakku. Sungguh! Karena aku bukanlah seorang womanizer.

Perjalanan dari dermaga perusahaan tempat speedboat ditambatkan, di dekat Mesjid Raya di pusat kota Samarinda sampai ke Loa Buah, lokasi kerja di proyek yang jaraknya sekitar 17 mil, biasanya ditempuh selama 50 menit. Namun pagi itu rasanya sangat lambat. Melewati Sei Kunjang-Harapan Baru di mana biasanya kapal ferry berlalu lalang untuk menyeberangkan kendaraan, penumpang maupun barang antar kedua tepian Mahakam, banyak potongan-potongan kayu yang menghadang, sementara bus air Samarinda-Muarancalong enggan memberi jalan untuk kusalip. Berkali-kali Ardiansyah mengumpat, ketika laju speedboat yang dikemudikannya terhambat oleh kotornya permukaan sungai.

“Sabar, Ar…nanti juga sampai,” kataku meredakan emosinya.

“Ya, Pak…soalnya takut hujan segera turun. Juga di dekat Sengkotek biasanya dipenuhi kabut.”

“Ya, pelan-pelan sajalah, tidak usah buru-buru, tokh kita lihat tadi di dermaga banyak yang masih belum juga berangkat.”

Biasanya memang karyawan dan pekerja proyek berangkat dari dermaga yang sama dengan tempat speedboat-ku ditambatkan. Mereka naik beberapa longboat (kapasitas sampai dengan empat puluh orang penumpang) atau bus air, atau tugboat (kapal tunda) yang akan kembali ke hulu. Untuk beberapa karyawan yang enggan naik longboat karena takut dengan perjalanan di atas air, biasanya mereka menyeberang dulu ke tepian seberang menuju Samarinda Seberang, kemudian baru melanjutkan perjalanan dengan bus sampai pertigaan Loa Janan-Balikpapan, Loa Janan-Tenggarong, lewat Harapan Baru dan Sengkotek. Selanjutnya mereka memotong sungai lagi dari Loa Janan ke Loa Buah. Namun dengan jalur ini waktu yang dibutuhkan jauh lebih lama.

( Catatan : Waktu itu belum ada jalan langsung dari Pelabuhan Samarinda ke Loa Buah lewat Sei Kunjang dan Loa Bakung ).

Di depan Pabrik Plywood PT Sumalindo Lestari dan PT Hartati Jaya, Ardiansyah melambatkan laju speedboat, karena kabut mulai menghadang meskipun cukup tipis dan jarak pandang masih cukup panjang. Di samping itu di depan kami berdua ada aktifitas yang cukup membuat kami harus lebih hati-hati. Beberapa rangkaian log (potongan-potongan kayu bulat) hasil tebangan di hulu yang dirangkai dengan sling (kawat baja tarik) dengan panjang sekitar seratus meter dan lebar sekitar dua puluh meter, nampak ditarik tugboat, dan akan ditambatkan di depan logpond mereka. Sementara di depan PT Sumber Mas, speedboat lebih melambat lagi karena di tengah sungai ada kapal besar yang tonase-nya aku tidak tahu, yang nampaknya tidak bisa bersandar di dermaga mereka, sedang memuat plywood untuk diekspor.

Ohh…! Kayu ganal!” (Oh…! Kayu besar!”), pekik Ardiansyah ketika di depannya tiba-tiba menghadang sepotong benda yang dikiranya potongan kayu yang cukup besar. Pekikan dalam Bahasa Banjar, yang secara spontan meluncur dari bibirnya. Wajahnya berubah menjadi pucat-pasi.

Ikam kada bujur…!” (“Kamu tidak benar…!”), sahutku mencoba dengan Bahasa Banjar pula, yang memang sudah cukup akrab di telingaku, dan akhir-akhir ini sedang sibuk kupelajari. Aku menyahut cepat karena aku tahu persis benda itu bukanlah kayu besar seperti dugaannya. Itu adalah lempengan sangat tipis bekas plywood yang mungkin lepas karena lemnya tidak kuat. Lempengan sangat tipis yang mengambang di permukaan air sungai tersebut memang nampak seperti kayu besar utuh jika kita tidak melihatnya secara cermat. Namun sudah terlanjur sentakan-sentakan kemudi yang begitu mendadak, membuat aku kaget dan terkejut juga.

Pagi semakin dingin saja, sementara gerimis kecil mulai tiba ketika speedboat merapat di dermaga yang terbuat dari konstruksi kayu ulin (kayu besi), yang sangat legam dan kuat. Hampir seluruh dermaga di tepian Mahakam, baik dermaga pribadi maupun dermaga perusahaan, memang dibuat dari kayu ulin. Karena air sedang dalam kondisi puncak pasang, maka dengan sekali lompat aku sudah mendarat di atas dermaga, kemudian berlari-lari kecil menyusur lebar dermaga, melewati logpond dan timbunan bekas galian untuk konstruksi shredder, menuju bangunan kecil di dekat gerbang proyek, untuk supaya lepas dari hujan yang mulai turun dengan derasnya. Beruntung sekali hujan datang ketika aku sudah sampai, meskipun baru di gerbang. Untuk mencapai kantor proyek yang berada cukup jauh di belakang, jauh dari tepian sungai, aku menunggu jemputan kendaraan dari belakang. Nampaknya kami berdua adalah yang pertama kali datang, karena belum ada tenaga pimpinan maupun karyawan proyek yang kelihatan.

Sambil menunggu jemputan, aku menengok ke arah lubang besar yang menganga lebar sedalam lima belas meter yang berlokasi tidak jauh dari tempatku berdiri. Lubang calon konstruksi shredder, yang hampir sebulan ini terus menjadi beban pikiranku karena masalah yang ditimbulkannya. Aku tidak tahu apakah ini kesalahan dalam methode pelaksanaan atau kesalahan dalam pengambilan keputusan. Semoga saja regular meeting pagi ini ada jalan keluarnya, supaya dapat segera konsentrasi ke masalah-masalah lainnya yang juga tidak lebih baik, seperti keterlambatan fabrikasi struktur baja, keterlambatan datangnya pasir dan batu pecah untuk beton dari Palu, keterlambatan kedatangan mesin-mesin hot-pressed, cool-pressed, rotary log cutter, serta double sizer cutter, dari pabriknya Kitagawa atau Minami, Jepang.

Rasanya mengelola proyek konstruksi di Samarinda ini, meskipun hanya membangun Pabrik Plywood, Veneer dan Blockboard, lebih berat dan lebih njlimet daripada membangun pabrik-pabrik yang lebih besar, dalam hal koordinasi raw-material incoming maupun manpower planning-nya. Aku harus pandai-pandai mengamati pola pasang-surut air laut supaya barges (ponton-ponton) yang membawa fine aggregates (pasir) atau coarse aggregates (batu pecah mesin) dari Palu tidak kandas, dengan kata lain tidak terlambat datang dan dapat dibongkar tepat pada waktunya. Belum lagi perhitungan yang cermat untuk kedatangan besi baja, semen, seng, asbes, material-material consumable, dan lain-lain, mengingat seluruh kebutuhannya harus didatangkan dari Jawa atau harus diimpor. Aku harus belajar lagi hidrologi dan mekanika fluida serta mekanika tanah yang sudah lama kutinggalkan, supaya perilaku air tidak mengganggu pelaksanaan proyek. Aku harus dapat menjinakkan tanah rawa yang sangat lembek di tepian sungai dengan kedalaman yang sulit diketahui, karena dari hasil soil investigation, sampai kedalaman empat puluh meter belum dijumpai tanah keras, yang dapat dipakai sebagai pijakan point bearing pile. Maka cara satu-satunya untuk pembuatan sub-structure untuk konstruksi building adalah dengan cara pemancangan tiang pancang cohesive pile maupun friction pile. Dalam hal ini aku membuat concrete pile namun tanpa prestressed system, karena mendatangkan kayu ulin untuk dipakai sebagai tiang pancang sudah sangat sulit, karena sangat langka akibat penebangan terus menerus tanpa kendali. Untuk tiang pancang paling tidak dibutuhkan size empat puluh kali empat puluh square centimeters. Untuk kayu ulin sebesar itu harus didatangkan dari hutan-hutan di Berau atau Bulungan, itupun kalau masih ada. Dengan concrete pile meskipun hanya precast biasa, akan lebih cepat dan murah, daripada menggunakan kayu ulin.

(Catatan : Kayu ulin memang bahan yang sering dipakai sebagai tiang pancang untuk fondasi di seluruh Kalimantan Timur).

Untuk pematangan lahan, khususnya untuk open storage, jalan lingkungan, dan open yard aku putuskan untuk melakukan solidification dengan chemical approach dan geological approach, bukan physical approach seperti yang biasanya dilakukan oleh civil engineer pada umumnya. Aku memang tidak suka memakai geo-textile, maupun vertical drain. Menurutku dengan chemical approach dan geological approach, akan lebih murah dan lebih cepat daripada dengan physical approach. Memang pada awalnya banyak sekali yang menentang keputusanku itu, mengingat banyak sekali yang belum mengenal sistem itu. Tak ada satupun yang mendukungku.

Dalam soil investigation, Civil Engineer biasanya hanya memperhatikan jenis tanah, apakah clay, silt, sand, atau kombinasi ketiganya, kemudian juga plastisitas, dan lain-lain, tanpa melihat chemical properties maupun geological properties-nya. Aku langsung berani mengambil keputusan karena dari chemical analysis ternyata tanah rawa di proyek itu mayoritas atau sekitar delapan puluh lima persen adalah silika oksida dan alumina oksida, sedang dari geological analysis diketahui bahwa tanah rawa di proyek itu mayoritas adalah montmorillonite dan illite dengan sedikit halloysite dan kaolin. Dengan dewatering dan penambahan kalsium oksida delapan puluh persen dengan dosis yang tepat, pastilah akan terjadi proses kimia sehingga terjadi flokulasi dan pemadatan berdasar pada calcium based solidification. Untuk sub-grade dengan nilai CBR 20 pasti akan dapat tercapai. Tinggal menambah konstruksi sub-base course, base-course, dan surface course. Calcium-based solidification ini pastilah lebih murah dan lebih mudah dilaksanakan daripada menggunakan soil cement atau cement-based solidification.

Hujan belum juga reda, sementara secara bergantian karyawan dan pekerja proyek mulai berdatangan di dermaga. Mereka berlari-lari menyusuri dermaga menuju tempatku berdiri menunggu, karena tempat itulah satu-satunya bangunan yang dapat dijadikan tempat berlindung dari hujan, setelah turun dari longboat yang merapat bergantian, karena dermaga yang sebenarnya adalah temporary jetty itu tidak cukup menampung seluruh boat yang datang. Untunglah jemputan segera tiba, sehingga aku tidak terlalu lama berdesak-desakan dan berbasah-basah di bangunan kecil di samping project gate yang juga berfungsi sebagai bangunan transit itu.

Sampai menjelang tengah hari, hujan belum juga reda. Aktifitas proyek nyaris lumpuh. Pekerjaan pembetonan, pengelasan, serta pekerjaan fabrikasi baja di tempat terbuka praktis sulit dilakukan, apalagi pekerjaan tanah dan pemancangan tiang pancang.



( BERSAMBUNG )


KOMENTAR-KOMENTAR :

(Untuk PELANGI DI MAHAKAM, setelah meluncur di milis AMA-Indonesia dan QUALITY NETWORK) :

1. Dari Bpk. Agung Yunanto - PT Wijaya Karya
(Persero) Tbk

To:

quality-network@yahoogroups.com

From:

Send an Instant Message "agung yunanto" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Sun, 19 Jun 2005 22:10:55 -0700 (PDT)

Subject:

Re: [quality-network] Cerita untuk pelepas penat : PELANGI DI MAHAKAM

Salut sama pak Ratmaya Urip,

Saya pernah makan duren dipinggir sungai mahakam, pada
saat kunjungan kerja di samarinda sekitar tahun 1999,
tapi tidak mendapatkan pengalaman seperti yang dialami
kakak kita ini.

Memang indah pemandangan disisi sungai mahakam...
kapan2 qnet buka cabang di samarinda terus diadakan
pertemuan bulanan di pinggir sungai mahakam... pasti
seru.

salam mutu,
agungy


========================

2. Dari Ibu Tengku Sylvia Junery (Quality
Network)

"'quality-network@yahoogroups.com'"

From:

"Tengku Sylvia Junery" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Mon, 20 Jun 2005 10:51:35 +0700

Subject:

RE: [quality-network] Lanjutan Cerita : PELANGI DI MAHAKAM

Mau donk Pak dikirim lanjutannya, asyik juga bacanya...

==========================

3. Dari Ibu Ida Hidayati (Puspita Martha-Mantan
Ketua Quality Network)

To:

quality-network@yahoogroups.com

From:

"Ida Hidayati" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Mon, 20 Jun 2005 08:13:59 +0700

Subject:

Re: [quality-network] Cerita untuk pelepas penat : PELANGI DI MAHAKAM

Wuih...udah panjang-panjang bacanya ternyata to be continued...Btw, bukan pengalaman pribadi Bp.Ratmaya kan?! he...

Best Regards,
IDH


======================
4. Dari Bpk Tonny Warsono - Direktur PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk

To:

quality-network@yahoogroups.com

From:

"Tonny Warsono" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Sat, 18 Jun 2005 23:03:46 +0700

Subject:

RE: [quality-network] Cerita untuk pelepas penat : PELANGI DI MAHAKAM

P Ratmaya,
Kalo laper trus KERUMAH MAKAN jadi bhs inggis e apa dong ....
Wah bisa nyaningin dee nih ...tapi penasaran critane diputus...
Sambuang lagi ......


-----Original Message-----
From: ratmaya urip [mailto:ratmayaurip@yahoo.com]
Sent: Friday, June 17, 2005 6:09 PM
To: quality-network@yahoogroups.com; jestha@telkom.net;
eratnasari@yahoo.com; ratmaya01@yahoo.com
Subject: [quality-network] Cerita untuk pelepas penat : PELANGI DI
MAHAKAm

======================

5. Dari Ibu Jestha S Kumara

From:

"Jestha S Kumara" Add to Address BookAdd to Address Book

To:

"ratmaya urip"

Subject:

Maria

Date:

Fri, 17 Jun 2005 17:39:30 +0700

Pak Urip,

Bagus juga bisa buat cerita yang mirip Karl May seperti itu. Wawasan mengenai suku Dayak juga bagus. Harusnya memang kita yang sangat kaya kebudayaan dan diberi kelebihan mengarang bisa mengekspresikannya

Saya sih nggak bisa kasih komentar, cuma kasih ide aja (itupun cuma menurut mata dan pikiran saya aja), misalnya seperti:

Saya lebih suka kalau kata 'aku' diganti dengan 'saya', meski kalau semuanya diganti dengan 'saya' belum tentu lebih baik atau pas.

Juga kata 'cewek' lebih bagus kalau diganti dengan 'wanita', kesannya lebih terhormat (bahasa Karl May nya lebih gentleman)., daripada cewek, kalau saya tidak salah... Di awal penulisan anda sudah memakai kata 'wanita' loh...

mmm...

kemudian kata-kata dalam cerita yang membicarakan tentang musik, seperti crescendo, pianissimo dsb...

juga yang membicarakan tentang gaya aliran dlm lukisan, seperti surealisme, realisme dsb...

atau kata-kata asing seperti amor, innocent...

mungkin lebih baik kalau ditulis miring daripada huruf besar, karena semuanya itu kan bukan kata-kata atau isi cerita yang butuh penekanan, malah kesannya cuma mengumbar wawasan lewat kosakata aja

Pada alenia ke 4.

Sudah baik, tapi akhir kalimatnya...".....pokoknya keindahan yang tak cukup......"kesannya anda memaksa sekali untuk setuju dengan yang anda khayalkan..

" pokoknya baik deh pemandangannya.." hehehe.. hanya kata "pokoknya" saja yang kurang enak...

penggambaran Maria sebagai tokoh utama,, yang harapannya sebagai wanita cantik, anggun dan cerdas, kok kesannya kurang ada gregetnya.. mungkin lebih baik meminimalkan dialog,, dan menjabarkan kekuatan karakternya.(agak susah ya..)

kalau dialog nanti bisa kecolongan….mungkin ada orang lain yang akan bilang…kok dialognya hanya seperti itu….nggak keliatan cerdasnya...

jadi dibuat aja seperti menceritakan keindahan alam, kalau saya tidak salah... hihihi...

terakhir,

pada awal, alur ceritanya kurang menarik (kesannya seperti membaca cerpen remaja), padahal biasanya orang suka meneruskan membaca , atau penasaran, kalau di awal cerita sudah menarik…mungkin lebih baik kalau di awalnya anda menceritakan tentang Dayak terlebih dahulu daripada pada orang2nya. Karakter orang bisa menyusul kemudian

Apalagi kalau anda ingin menonjolkan "Wanita Dayak dengan kekuatan karakternya"

Kalau kita baca Winnetou I, II, III, si Winnetou sendiri jarang sekali muncul…dan kalaupun muncul, dia jarang bicara.. Karakternya digambarkan dengan kuat dan jelas oleh si penulis (Old Shatterhand)

Jadi agaknya dialog itu tidak begitu penting. Itupun kita sudah sangat terbawa dengan emosi dan khayalan kita tentang orang2nya, pemandangannya bahkan aroma makanannya.....dan tokoh lainnyapun dengan keunikannya juga berkarakter.

Saya ingat film "Ocean Eleven" (tentang 11 penjahat), tetapi semua sangat berkarakter...dan saya selalu ingat kata2 pemimpinnya :

"Kalau bisa berkata 4 kata, kenapa harus 7 kata?"

Nah dari sini kemampuan kita untuk menonjolkan karakter sangat dibutuhkan tanpa harus banyak bicara (dialog). Itulah perbedaan film2 kita dengan Hollywood. Mereka bisa bikin film tentang orang bisu, gila, jahat ....tanpa harus bicara atau dengan hyper-acting

Kalau di film, gambar dan mimik harus menonjol….tapi kalau dengan tulisan,..anda harus bisa menonjolkan karakter juga dengan tulisan

ok, itu dulu komentar, saran atau ide dari saya, saya jadi seperti dosen aja nih...

kalo dibaca berulang2 nanti komentarnya makin banyak nih.. jadi komentar diatas itu asli pada 'pandangan pertama'

neni.

(saya sendiri tidak bisa menulis)

======================

6. Dari Ibu Lathifah Ambarwati (Iva).

To:

mailinglistamasby@yahoogroups.com

From:

"Lathifah Ambarwati (Iva)" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Fri, 17 Jun 2005 09:54:45 +0700

Subject:

Re: [mailinglistamasby] Cerita dari Kalimantan Timur (5)

setuju Pak Halim...
saya tidak menyangka begitu luas "jendela" langkah, pikir dan tutur Pak
Ratmaya.

btw, siapa saja di AMA yang sudah jadi NG Society, selain saya??


salam,
iva

=========================

7. Dari Pak Halim Pranata

To:

mailinglistamasby@yahoogroups.com

From:

"Halim Pranata" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Fri, 17 Jun 2005 05:57:40 +0700

Subject:

Re: [mailinglistamasby] Cerita dari Kalimantan Timur (5)

dear all,

Pak Urip ada bakat menjadi penulis daerah wisata terpencil yang unik , kapan2 karya tulisnya di ajukan ke NATIONAL GEOGRAPIC edisi bahasa Indonesianya.

salam,

Halim


=======================

8. Dari Ibu Janti Gunawan (ITS)

To:

mailinglistamasby@yahoogroups.com

From:

"Janti Gunawan" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Wed, 15 Jun 2005 16:15:27 +0700

Subject:

Re: Usulan (was:Re: [mailinglistamasby] Energizing AMA -1-)

Wah...tambah seru aja cerita pak Urip ini.

Kalau mau cerita ttg pariwisata, saya bisa cerita versi student, yang jalan2-nya nginep di caravan. murah meriah dan menyenangkan, yang pasti terbukti emang NASI itu energi paling tahan lama:)

======================

9. Dari Bpk. Halim Pranata

To:

mailinglistamasby@yahoogroups.com

From:

"Halim Pranata" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Mon, 13 Jun 2005 18:20:35 +0700

Subject:

Re: [mailinglistamasby] Cerita dari Kalimantan Timur (4)

Dear all,

sharing dari pak Urip sangat berguna bagi kita semua.
Bahwa kalau kita berada di pulau Jawa , maka kita boleh mempunyai paradigma pula jawa , tapi kalau keluar pulau kita harus merubah paradigma kita.
he...he...he...

salam,

Halim


10. Dari Bpk. Stefanus A. Widjaja

To:

mailinglistamasby@yahoogroups.com

From:

"Stefanus A. Widjaja" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Mon, 13 Jun 2005 13:45:35 +0700

Subject:

Re: [mailinglistamasby] Cerita dari Kalimantan Timur (4)

Pak Urip Ratmaya (yg cuakep)

he..he...
Koq, saya diikutsertakan untuk masalah ini, saya hanya menyarankan bapak
untuk menjadi penulis,
Saya akan membeli buku bapak dan akan mengkoleksinya kalau bapak membuat
banyak buku.

Viva Pak Ratmaya Urip!

=======================

11. Dari Bpk. J.D Ludong

Date:

Sun, 12 Jun 2005 21:09:18 -0700 (PDT)

From:

Send an Instant Message "J.D. Ludong" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoo.com. Learn more

Subject:

Re: Cerita dari Kalimantan Timur,

To:

"ratmaya urip"

Pak Urip,

Kalau tertunda itu juga baik; 'kan tetap berlanjut.

Ingat pada suatu seminar kita ( sudah lama sekali ) Pak Hermawan sebagai moderator; Dia katakan orgasme kalau ber-ulang2 itu baik. Kalaupun tertunda itu juga tiada jeleknya. Betul kok. He... he... he...

Saya tunggu lanjutnya, Pak.

Best regards,

Jonathan Ludong


=======================================================

12. Dari Bpk. Stefanus A. Widjaja


To:

mailinglistamasby@yahoogroups.com

From:

"Stefanus A. Widjaja" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Mon, 13 Jun 2005 13:47:53 +0700

Subject:

Re: [mailinglistamasby] PILKADAL

Mey Ling,

Kamsia, ya (terima kasih).

Aku nggak bisa ikut karena masih di Samarinda (tempat ceritanya pak
Ratmaya), cuman nggak ada yg ngajak main ke Lamin.
He.He..

Saya akan tunggu seminar yg akan datang!

Stefanus


13. Dari Bpk. Halim Pranata

To:

mailinglistamasby@yahoogroups.com

From:

"Halim Pranata" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Tue, 7 Jun 2005 18:50:19 +0700

Subject:

Re: [mailinglistamasby] Cerita dari Kalimantan Timur (3)

itu namanya Lain ladang lain belalang , lain lubuk lain ikannya.

Kelamin di Jawa dengan kelamin di kalimantan berbeda !

Saya rasa di dalam lubuk hati yang terdalamnya pak Urip pasti milih yang di
Jawa ? he...he..he...

Pak Urip memang pinter berimprovisasi , sewaktu meeting di RM Ria tidak
seromantis dan sepanjang itu ceritanya.
wah , makanya semua cewek di semua wilayah yang pernah dikunjungi pak Urip
tidak bisa melupakan pak Urip.

salam,

Halim



14. Dari Ibu Janti Gunawan

To:

mailinglistamasby@yahoogroups.com

From:

"Janti Gunawan" Add to Address BookAdd to Address Book
Yahoo! DomainKeys has confirmed that this message was sent by yahoogroups.com. Learn more

Date:

Mon, 06 Jun 2005 05:02:25 +0700

Subject:

RE: [mailinglistamasby] Cerita dari Kalimantan Timur

ya....pak...bener2 bikin penasaran kok ceritanya cuma separo. persis kayak
cinema tempo doeloe aja, yang ada istirahatnya.
lanjut dong.....janti