Sabtu, 30 Mei 2009

Ikon Cinta Abadi Taj Mahal, Versi Lampung





IKON CINTA ABADITambah Gambar TAJ MAHAL

VERSI LAMPUNG

Oleh : Ratmaya Urip

Hotel tujuh atau delapan lantai di tambah dua basement untuk tempat parkir tersebut letaknya tepat berada di jantung kota, atau tepatnya di Jalan Raden Intan, tepat di samping kiri Bank Rakyat Indonesia, yang juga berdekatan dengan simpang empat yang di tengahnya terdapat patung-patung gajah yang masing-masing menginjak sebuah bola (Maksudnya patung sepak bola gajah!). Aku tidak tahu nama simpang empat tersebut. Hanya di sekitarnya begitu ramai.

Dalam radius kurang dari 150 meter dengan titik pusat hotel tersebut sebenarnya terdapat antara 5 sampai 6 hotel lain yang cukup representatif. Namun aku memilih hotel tersebut karena hotel tersebut hotel yang paling baru di kota Bandar Lampung. Sebenarnya di samping karena hotel baru, yang ditandai dengan temboknya yang masih bau cat, daya tarik utamanya adalah karena tarifnya sangat murah, karena masih atau baru saja dalam tahap Grand Opening, dengan discount berupa special rate yang hanya memberlakukan tarif sebesar 60%. Sehingga benar-benar sangat murah. Juga di sekitar hotel tersebut banyak sekali aneka restaurant yang tinggal menyesuaikan dengan selera kita, seandainya kita bosan dengan masakan hotel. Ada Rumah Makan Padang (RM Begadang yang sangat terkenal di Bandar Lampung), serta rumah makan Madura, Jawa Timur, Fast Food, Chinese Food, gudeg Yogya, Jawa Barat, dan lain-lain. Jika ingin makan di warung tenda juga banyak. Itu penting, karena aku menginap sekurang-kurangnya untuk tujuh malam. Meskipun bukan padanannya, lokasi dan situasinya dapat disebut sebagai Orcard Road-nya Bandar Lampung, atau Malioboro-nya Bandar Lampung, atau Braga-nya Bandar Lampung, atau Blok M-nya Bandar Lampung. He..he..he! Tentu saja dalam kapasitas yang lebih kecil.

Sebenarnya ini adalah kedatanganku yang kedua yang menginap di hotel tersebut di tahun ini. Yang pertama persis sebulan yang lalu atau awal minggu keempat bulan April 2009. Ketika itu baru soft opening, karena dari tujuh lantai yang ada, baru dua lantai saja, yang kamar-kamarnya sudah siap. Bau cat yang menyengat ketika itu, yang dapat mengalahkan bau pengharum ruangan paling mahal merk apapun, meski disemprotkan sampai habis, serta wifi yang belum sempurna, dengan pelayanan breakfast yang masih sangat limited, ditambah karyawan hotel yang masih gagap melayani, tidak membuatku enggan untuk mencobanya. Ketika itu aku baru menginap di Sheraton Lampung Hotel selama dua malam, sebelum akhirnya memutuskan untuk mencoba hotel baru tersebut. Untuk soft opening, tarifnya hanya 50% dari tarif normal yang akan diberlakukan kelak. Itulah mungkin daya tarik utama sehingga seluruh kamar full-booked. Beruntung masih ada kamar ketika aku akhirnya memutuskan pindah ke hotel baru tersebut. Suasananya persis ketika aku menginap di Hotel Ciputra, Simpang Lima, Semarang ketika soft opening, pada awal dekade sembilan puluhan yang lalu (yang tahunnya aku lupa), yang kamar-kamarnya juga baru dibuka dua lantai, sehingga kepala dan anggota badan harus siap-siap menghadapi jatuhnya bahan bangunan dari lantai-lantai di atasnya, yang masih dalam proses pengerjaan finishing.

Jika ke Bandar Lampung, biasanya aku suka menginap di Sheraton Lampung Hotel, Jl. Wolter Monginsidi 175, hotel dengan 110 rooms. Karena di samping sangat nyaman dengan suasana modern country-nya yang kental dengan ornamen dan warna serta gaya arsitektur ketimuran (mirip dengan Sheraton Hotel yang ada di Bandung), aku suka sarapan paginya yang lezat, di samping karena aku sangat dekat dengan Ibu Tina, atau lengkapnya Ibu Rulvastina Randy, Director of Sales Sheraton Lampung Hotel, sehingga banyak kemudahan yang aku peroleh.

Bu Tina yang sangat cantik dengan kulit putihnya yang terawat rapi serta senyumnya yang enggan beranjak dari wajah beliau, ditambah kesan yang kental bahwa beliau sangat smart karena bekal pendidikan tingginya, memiliki pembawaan yang tipikal atau prototip antropologis wanita Kawanua, karena beliau memang berdarah Manado (meski bersuamikan pria dari Lampung asli, yang juga mantan dosennya. Yeah...cerita klasik yang sering terjadi antara dosen pria dan mahasiswinya...he..he..he, maaf Bu Tina, terpaksa buka rahasia Ibu nih! Namun yang ini konon ceritanya lain, karena sangat berliku dan penuh intrik...oh,ya?, melebihi serunya film Love Story atau Romeo & Juliet. Kalau ada waktu nanti akan aku buat ceritanya. Boleh kan, Bu... jika aku tulis dalam bentuk novel?).

Dari kesehariannya, beliau memiliki keramahan dan kehangatan yang kental dan khas Kawanua, meskipun menurut beliau dilahirkan di Lampung karena mengikuti pekerjaan orang tua. Usianya belum memasuki paruh baya. Matang dengan pergulatan bisnis maupun pergaulan wisata yang luas, yang digelutinya sejak pertama kali bergabung dengan Sheraton Lampung Hotel sembilan belas tahun yang lalu. Beliau sangat santun tanpa harus meninggalkan ketegasan dalam setiap pengambilan keputusan apapun. Itu memang kenikmatan sekaligus resiko profesi. Perlu diketahui Sheraton Lampung Hotel adalah Hotel Sheraton pertama yang ada di Indonesia, yang ketika itu didirikan untuk mengantisipasi aktifitas bisnis yang banyak di Propinsi Lampung.

Konon, kecuali Presiden Pertama, Bung Karno (karena ketika itu Sheraton Lampung Hotel belum ada), hampir seluruh Presiden Republik Indonesia (dan Wakil Presiden juga), serta para pejabat tinggi negara (mulai dari tingkat menteri) republik ini, kalau sedang melaksanakan kunjungan kerja ke Lampung, pasti menginap di Sheraton Lampung Hotel. Hal tersebut karena didasarkan pada tingginya rating atas comfortability, dan juga karena alasan security & safety. Jadi kalau aku boleh narsis, maka dapat disebut...akulah satu-satunya orang yang pernah menginap satu hotel (mungkin juga satu kamar?) dengan hampir seluruh Presiden dan para pejabat tinggi Republik Indonesia, meski beda waktunya!...he..he..he..!

Hal lain yang patut dicatat adalah., teman-teman pengurus dan anggota Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia) Cabang Lampung, selalu berpartner dengan Sheraton Lampung Hotel dalam setiap aktifitasnya, termasuk seminarnya. Ini aku ketahui dari pengurus AMA-Lampung, seperti Pak Toni, Bu Nina dan Bu Beby.

Namun maaf, Bu Tina...untuk kesempatan kedua di tahun ini aku terpaksa meninggalkan Ibu karena alasan kantong saja. Bagaimanapun juga sekali-sekali aku harus mencicipi layanan hotel lain, supaya aku dapat menghayati kelebihan dan kelemahan yang ada di hotel Ibu. Ga..apa-apa kan, Bu...? Tentu saja tanpa mengurangi rasa hormat dan kagumku pada Ibu Tina. Jika hotel yang aku pilih terakhir ini nantinya telah memasang tarif normal, aku mungkin juga akan balik kucing ke hotel Ibu. Siapa tahu?! Bagaimanapun, sesuatu yang baru itu patut dicoba (Kalimat terakhir ini bagi sebagian pembaca pria mungkin dianggap kalimat bertendens!).

Tentang Sheraton Lampung Hotel, aku masih berpendapat tetap sebagai the best one! Tentu saja itu pendapat subyektifku, meski berusaha untuk tetap obyektif. Juga bukan untuk menyenangkan dan menenangkan hati Bu Tina. Yang pasti komunikasi via facebook maupun email jangan pernah ada jedah, ya, Bu.

Hotel baru berlantai tujuh tersebut adalah Amalia Hotel. Yang nampaknya memiliki positioning dan segmentation yang sedikit berbeda dengan Sheraton Lampung Hotel.

Ada hal yang menarik yang aku baru tahu ketika aku menginap pada malam yang kedua di hotel tersebut. Kenapa demikian? Karena ternyata hotel yang megah tersebut dibangun semata-mata bukan karena alasan bisnis. Menurut yang aku ketahui, pemilik hotel tersebut membangun hotel karena untuk dijadikan sebagai cindera mata atau hadiah kepada istrinya yang amat sangat dicintainya, yang diberikan tepat pada hari ulang tahun istrinya, yang bukan kebetulan kalau nama istrinya dijadikan juga sebagai nama hotelnya. Yeah..ulang tahun istrinya memang tepat pada tanggal 10 Mei sementara tahun kelahirannya aku tidak tahu. Yang pasti usia Ibu Amelia konon mendekati paruh baya. Uf..ternyata masih ada juga cinta sejati di zaman modern ini. Masih ada Jayaprana-Layonsari, Pranacitra-Raramendut, Samsul Bahri-Siti Nurbaya, Romeo-Juliet, Saija-Adinda, dan Sampek-Eng Tay di zaman modern ini. Aku jadi malu dan senyum-senyum kecut jika ingat hadiah yang diberikan kepada istri kalau dia ulang tahun (Kenapa, ya? Karena aku lebih sering lupa daripada ingat hari ulang tahunnya..he..he..he!). Beruntung dan berbahagialah Ibu Amalia telah mendapatkan cinta sebesar cinta suami, sehingga berhadiah hotel yang cukup mewah dengan nama Ibu yang diabadikan sebagai nama hotel. Di zaman ini rasanya sangat sulit mendapatkan cinta suami sebesar itu (he..he..he..benarkah cinta suami kepada istri sudah semakin langka di zaman ini, apalagi usia pernikahan sudah cukup lanjut?). Aku jadi ingat formulaku tentang cinta yang berbanding lurus dengan power & speed dan berbanding terbalik dengan distance & time (baca serial tulisanku yang lain di blog ini juga).

Juga kemudian aku ingat Taj Mahal di Agra, kota di bagian utara India, yang masuk sebagai tujuh keajaiban dunia, yang dibangun sebagai representasi cinta abadi atau tepatnya ikon cinta abadi yang pernah ada pada diri seorang raja kekaisaran Mughal, Shah Jahan kepada istri Persianya, Arjumand Banu Begum, atau Mumtaz-ul-Zamani, atau yang lebih dikenal sebagai Mumtaz Mahal. Bangunan Taj Mahal merupakan musoleum, yang dibangun selama 23 tahun (1630-1653), dengan melibatkan 20.000 orang pekerja, berbahan baku marmer putih untuk kubah dan menaranya, serta berhiaskan 43 jenis batu mulia, berupa berlian, jade, kristal, topaz, nilam, dan lain-lain. (Catatan : Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Taj Mahal selesai dibangun pada tahun 1648).

Di zaman sekarang ini orang meski berpikir tujuh kali (atau bahkan lebih) untuk membuat bangunan seperti itu. Di samping masalah masih atau tidaknya cinta abadi, duitnya dan juga masalah urgensinya. Kalau tokh harus membangun juga, pastilah hanya segelintir orang yang mampu. Kalau dipikir-pikir, cinta abadi tidak harus dikorelasikan dengan bangunan semahal itu. Malah lebih tepatnya untuk kasus ini, cinta abadi ternyata berkorelasi dengan kekuasaan, karena yang dapat membangun bangunan seindah dan semahal itu (yang nota bene merupakan lambang cinta abadi) hanyalah mereka-mereka yang memiliki kekuasaan yang melimpah dengan harta yang melimpah pula.

Sekedar tambahan informasi dan juga sebagai catatan, Reuters mengabarkan, bahwa untuk visualisasi kisah cinta abadi tersebut, dalam waktu dekat konon akan dibuat film tentang pembangunan Taj Mahal, dengan Aishwarya Rai, si cantik dari India, sebagai Mumtaz Mahal, sementara Ben Kingsley (yang pernah berperan sebagai Mahatma Gandhi dalam film Gandhi), akan berperan sebagai Shah Jahan. Kita tunggu saja romantika cinta abadi yang terjadi di film kolosal tersebut diputar di bioskop-bioskop Indonesia dan dunia.



(Tulisan ini masih dalam tahap penyuntingan)

Tidak ada komentar: