Senin, 26 Desember 2011

Geguritan Ratmaya Urip



Kapang (2)

(Geguritan: Ratmaya Urip)


Rosaning rasa kapangku
Kang tanpa nduweni pungkasaning wektu
Tansah mijil nglangkahi jejering kalbu
Mbludag ngebaki tresna kang tan kendat tansah lumaku
Sak indenging wektu
Sak entekeing ambeganku kang tansah mbludag ginawa tuhu
Karengkuh ing pawana lan bayu
Kairing paksi kang tansah telaten memayu
Tumrap jatining rasa ati kang tanpa watesing laku

Rasa kapang mring sliramu
Marang esem kang ngujiwat lan guyu kang lumayu
Uga kapang marang warpamu kang ora nduweni buntu
Tansah memayu hayuning tunggu
Senadyan ora ngerti kapan isa ketemu

Aku nyenyuwun muga kapangku enggal sirna
Binareng blegering sunyata
Lumantar pisahing raga marga pada-pada karengkuh sisihan kang beda
Kairing banjiring kuciwa lan udaning waspa lumebering bantala
Binareng pupusing warta kang luwih saka sawetara
Ananging kapang iki tansah adoh ing pungkasan lan tansah cedak ing purwaka

Sidoarjo, Senin, 26 Desember 2011

Geguritan Ratmaya Urip

Kapang
(Geguritan: Ratmaya Urip)


Yayi,

Rina-rina trusing ratri kang wus lumampah tedak ing yuswa

Tan ana kang kuwagang nglengserake blegering rasa

Kang saya ngrembuyung lan nyengkuyung rasa kapang kang nyata

Kang angel banget ilang saka jroning jaja

Kang ora nate leren amarga tansah ngugemi sejatining tresna

Tanpa sadumuk lirwa




Prasasti kang nate kawedar lan kadeder duk ing nguni

Tansah paring penget lan tansah bali

Nyurung krenteging ati

Mring rasa kang kebak aji tanpa risi

Kepengin njumbuhake kapang iki

Kang saya gemrojok ngebaki punagi


Sidoarjo, Senin, 26 Desember 2011 09:57

Sabtu, 24 Desember 2011

Geguritan Kanggo Mengeti Hari Ibu/Puisi untuk Memperingati Hari Ibu




Biyung,

Ing garbamu aku nate ngrasakake angeting katresnanmu

Uga ademing panggulawentahmu

Kang tanpa upama nglejarake langkahku tumuju ing karaharjan tanpa ninggalake paugeran lan kasusilan

Ing waspamu kang nyimpen luhuring bebana aku kaajap bisa dadi jalma kang utama

Aku kapang, Biyung

Marang pangajapmu kang ora nate kendat paring pandonga kanggo jembar lan lancare langkah-langkahku

Sidoarjo, 22 Desember 2011

¤¤¤¤¤¤¤¤

Ibu,

Di rahimmu aku pernah menikmati hangatnya kasihmu

Juga didikan dan ajaranmu

Yang tanpa kecuali selalu meringankan langkahku menuju kebahagiaan tanpa meninggalkan norma dan pekerti

Dalam air matamu yang menyimpan luhurnya cita, aku diharap dapat menjadi manusia yg sempurna

Aku rindu, Ibu

Rindu pada harapmu yang tidak pernah berhenti berdoa bagi lancar dan luasnya langkah-langkahku


----------- ----------
Sidoarjo, 22 Des 2011

Ratmaya Urip
Rabu, 21 Desember, 2011 17:37

Jumat, 23 Desember 2011

Opini & Diskusi: Menikmati Proses



1. Opini dari William Wiguna:

Dimana kita berdiri tidak penting, yang penting kemana kita akan melangkah ...

Siapa diri kita sekarang tidak penting, yang penting kita mau menjadi siapa dengan pribadi yang bagaimana ...

Siapa orang tua kita tidak penting, yang penting kita mau menjadi anak yang bagaimana ...

Masa lalu tidak penting, yang penting hari ini dan esok ...

Bagaimana orang memandang kita tidak penting, yang penting bagaimana kita memandang orang, dan bagaimana kita memandang diri kita sendiri ...

Berapa besar kepercayaan orang ditentukan oleh berapa besar kejujuran dan kredibilitas kita ...

Buah yang bagaimana yang akan kita petik ditentukan oleh bagaimana kita menanam ...

Bagaimana sekarang kita berproses inilah yang akan menentukan hasil akhir dari semuanya ...

Seorang pria bijak memasuki sebuah cafe dan mulai menceritakan sebuah lelucon dan membuat semua orang dalam cafe itu tertawa.
Beberapa saat kemudian pria itu mengulangi leluconnya, namun kali ini hanya beberapa orang saja yang tertawa.
5 menit kemudian pria itu kembali menceritakan lelucon yang sama, dan ternyata gak ada yang tertawa.

Pria inipun tersenyum lebar, sambil berkata:
"Bila kamu gak bisa tertawa berulang-ulang pada lelucon yang sama,
lalu mengapa kamu terus menangis berulang-ulang pada masalah yang sama?"

Note: Kesusahan hari ini cukuplah untuk hari ini ..
Tuhan selalu ada.

SELAMAT MENIKMATI PROSES ANDA!

Sumber: BBM

Salam Karakter,
William Wiguna

Tue, 22 Nov 2011 23:59:27

========== =========

2. Ratmaya Urip:

Dear Pak William,

Maaf, beberapa di antara kata2 mutiara yang Bapak copas ke milis ini, menggelitik saya untuk mengkajinya dari perspektif Manajemen Stratejik dan Quality Management System (QMS). Supaya balance antara Praktek dan Teori.

Copas BBM alinea pertama tertulis: "Dimana kita berdiri tidak penting, yang penting kemana kita akan melangkah..."

Untuk aktifitas individual statement ini sah-sah saja. Karena tanggung jawabnya ada pada pribadi.Mau jungkir balik asal tidak mengganggu lingkungan sah-sah saja untuk dilakukan. Namun jika itu adalah aktifitas institusional, perlu saya kaji sbb:

Dari kajian Manajemen Stratejik atau QMS, kita wajib untuk benar-benar memahami dimana dan sedang dalam kondisi yang bagaimana institusi kita. Sebelum melangkah kita wajib "mapping" atau "capturing", untuk mengidentifikasi kondisi riil institusi kita. Supaya kita dapat merencanakan langkah2 kita menuju goal/objective yg diinginkan.
Dengan kata lain, "mengetahui kita berdiri" itu penting, karena itu adalah "initial step" untuk langkah atau kebijakan yang akan kita lakukan.

Tanpa mengetahui "dimana kita berdiri" kita tidak dapat melakukan aktifitas manajerial secara benar, baik via Input-Proses-Output(IPO), POAC, PDCA, maupun sistem manajemen yang "branded".

Justru itu adalah awal dari proses untuk Planning.
Untuk pengukuran "kuantitatif" dengan mengetahui dimana kita berdiri (sebagai titik NOL), akan dengan mudah mengetahui jarak yang kita tempuh, dan waktu tempuh. Jika tanpa mengetahui titik NOL, apa yang dapat dijadikan dasar sebagai pengukuran kinerja, dan pasti sulit dalam Evaluasi (CHECK), apalagi untuk aplikasi Continual Improvement.

Dalam pengambilan keputusan, beberapa kali saya sempat menulis, bahwa pengambilan keputusan itu terdiri dari 2 (dua) kutub, yaitu: ANALITIS dan INTUITIF.

Dengan mengetahui dimana kita berdiri, akan lebih mudah kita melakukan pengambilan keputusan, terlebih2 jika kita memilih pengambilan keputusan secara ANALITIK.

Sementara pengambilan keputusan secara INTUITIF pun biasanya dilakukan oleh mereka yg punya experiences panjang dalam keputusan ANALITIK. Mereka sebenarnya melakukan pengambilan keputusan secara ANALITIK, namun dilakukan dengan sangat cepat analisisnya, karena mereka sudah benar2 tacit.
Ingat kasus pedagang besi tua dari Madura, yang diminta bantuan oleh pengusaha Jepang untuk menaksir harga pabrik tua dari baja yg akan dirobohkan, karena mau didirikan pabrik baru. Pedagang besi tua dari Madura tersebut, seolah melakukan pengambilan keputusan secara INTUITIF, karena seolah tanpa dipikir, memberikan harga dengan cepat, yg setelah dicocokkan dengan hitungan para engineer dari Jepang yg menghitungnya secara ANALITIK, ternyata hasilnya hampir sama. Si pedagang besi tua, sebenarnya melakukan ANALISIS, namun krn cepat sekali, yg didasarkan pada pengalaman panjangnya, seolah dia melakukan pengambilan keputusan secara INTUITIF.

Kembali ke masalah statement: "dimana kita berdiri tidak penting". Saya akan sampaikan contohnya sbb:

Pak Dahlan Iskan sebagai pejabat baru Menteri BUMN atau Dirut PLN dulu, ketika masuk di awal, tentu akan "mapping" atau "capturing" dulu tentang kondisi institusi barunya. Mempelajari visi-misi-strategi-RJP-RKAP, sistem-proses, dll. Tdk mungkin langsung menggapai goal/objective, tanpa mempelajari kondisi saat beliau masuk. Baru setelah orientasi beberapa saat di titik NOL, kemudian melakukan langkah2 kebijakan. Dengan kata lain beliau memandang penting dimana institusi saat itu sedang berdiri.

Untuk statement lainnya akan saya ulas kemudian.

Salam Manajemen.

(Bersambung)

Ratmaya Urip

Jumat, 2 Desember, 2011 01:34

============ =========

3. Surjo Sulaksono:

Dear Pak Urip,

Saya juga mendukung pendapat Bapak. Sebab di mana kita berdiri juga penting. Kalo berdiri di lantai yang licin ya kepleset. Kalo yang berpaku dan bertelanjang kaki ya ke tubles. Kalo tempat pijakannya labil bisa terguling atau kejeblos, hehehe. Jadi kalimatnya mungkin menjadi: Di mana kita berdiri akan dapat mempermudah atau mempersulit langkah kita selanjutnya Sebab itu berdirilah di tempat yang aman (jangan di tempat berbahaya - banyak godaan). Tetapi jangan terlalu nyaman, sebab akan membuat kita malas melangkah (sudah berada di zona nyaman).
Hukum Fisika, benda yang diam akan terus diam - benda bergerak akan terus bergerak jika tidak ada gaya dari luar yang mempengaruhinya. Kalau tidak ada yang mendorong (menarik) kita akan sulit melangkah atau berpindah. Halaaaah sebetulnya saya mau nulis apa sih?
Surjo Sulaksono

Jumat, 2 Desember, 2011 03:22
=========== ===========

4. Louisa Sidodana:

Mungkin yg dimaksud berdir adalah kondisi finansial atau kehidupan kita saat ini tdk penting
Lbh penting melangkah keluar dr kondisi saat ini untuk lbh baik

Maaf sy blm bisa menulis panjang spt Pak R. Urip at Pak Surjo

Louisa Sidodana
Jumat, 2 Desember, 2011 04:41
=============== ======

5. Ratmaya Urip:

Bu Louisa,

Setiap saat dari hidup (termasuk bisnis) ini adalah waktu atau masa yg masing-masing memiliki maknanya masing-masing.

Masa lalu dan saat ini berguna untuk menganalisis "trend". Juga dengan masa lalu dan keberadaan masa kini, kita dapat melakukan refleksi dan analisis, kekurangan dan kelebihan kita selama ini. Apalagi jika saat ini kondisi sedang terpuruk. Dengan mengetahui kesalahan kita masa lalu, maka pasti kita akan selalu menghindarinya di waktu yang akan datang. Apalagi perubahan cepat selalu berlangsung dengan turbulensi yang amat tinggi.
Sehingga perlu kehati-hatian yg prima.

Titik Nol (apakah itu memang benar-benar baru mulai atau "cut off" dari suatu "activity") memerlukan pencerahan dari lingkungan sekitar. Baik lingkungan fisik maupun sosial. Untuk itu diperlukan "Planning", dan "Planning" memerlukan masa lalu dan saat ini untuk memahami "trend", sekaligus, evaluasi diri.
Jarang sekali, bisnis yang tidak menengok "trend" sebagai pijakan "planning".

Dalam Serial Filosofi Manajemen saya, dalam hal ini FILOSOFI BENANG KUSUT (Tousled-yarn Phylosophy) yang pernah saya sampaikan di milis ini, ada 12-M sebagai Faktor Kelola. "M" yang pertama adalah lingkungan (fisik dan sosial-antropologis, dll), atau saya menyebutnya sebagai MILIEU.

Jika kita tidak dapat memahami "trend" lingkungan atau "buta" atas kondisi masa lalu dan saat ini, kita tidak dapat melakukan perencanaan.

Jika mau dan risiko ditanggung sendiri, silakan melangkah tanpa menengok titik NOL. Atau Ibaratnya melakukan perjalanan GO SHOW, atau BONEK. Melakukan perjalanan apalagi dalam kondisi "unusual" bukan "as usual" yang "unpredictable", "uncountable" dan "hopelessness". Memerlukan tingkat derajad "planning" yang lebih tinggi di awal perjalanan atau masa sebelumnya.

GO SHOW atau BONEK, lebih sering menanggung risiko, apalagi jika traffic sedang "high season". Banyak orang yang lebih mementingkan merencanakan perjalanannya di awal (di titik NOL).

Menentukan kapan berangkat, naik moda angkutan apa, membawa apa dan siapa, berapa bekal yang harus dibawa, lewat mana,apa saja programnya ketika di tempat tujuan, dan kapan harus kembali (jika harus kembali) sekecil apapun sering direncanakan lebih dahulu. Dan itu dilakukan pada titik NOL atau bahkan sebelumnya.

Yang pasti dengan memperhitungkan TITIK NOL, membuat kita memudahkan evaluasi di kemudian hari. Apalagi jika ingin dicapai adanya CONTINUAL IMPROVEMENT.

Dalam artikel saya, Serial Filosofi Manajemen 29: FILOSOFI ANAK PANAH, saya menulis yang esensinya: "tak ada anak panah yang dapat melesat cepat, tanpa busurnya", dan "busur" adalah salah satu dari TITIK NOL.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip

Sabtu, 3 Desember, 2011 19:38
========= ===========

6. Louisa Sidodana:

Makasih Pak R urip atas kupasan dan penjelasan managemennya dimana sy baru belajar dr tulisan2 Bp

Yg sy maksud jk postingan Pak william tdk dipotong2 akan tetapi menjadi satu kesatuan

Analogi berdiri itu kondisi. Suasana hati. Tdk perlu di tangisi atau disimpan dan dibawa kemana2. Coba keluar dari suasana hati yg galau atau sedih itu diluar sana ada banyak sekai yg bisa disyukuri

Itu menurut saya
Memang dlm hal bisnis atau managemen sy bukan type yg suka kebut2an krn akan banyak kelewatnya

Saya lbh pilih direncanakan dg 2 alternatif shg jk menthok tdk langsung mundhur atau diam ditempat.tp sy msh punya jalan lain.
At jika terpeleset dan baju basah kuyup sy sdh bawa baju ganti shg tdk perlu sy pulang terlebih dahulu hanya untuk ganti baju dan berangkat lg

Detailnya sy blm bisa mengupas dg bahasa managemen

Makasih

Louisa Sidodana
Sabtu, 3 Desember, 2011 22:28
================ =====

7. Edward Djojonegoro:

Ulasan anda bagus, Mr. Ratmaya.
Dalam pendekatan management seringkali orang selalu menikmati proses.... Tapi saya paling gak pernah urus proses. Proses boleh indah atau berantakan. End of the day...terpenting result.

Ed

Minggu, 4 Desember, 2011 01:49
============= =========

8. Ratmaya Urip:

Pak Edward,

He.he.he.. PROSES VS RESULT adalah issue klasik.
Saya sebenarnya tidak begitu nyaman dengan judul thread "menikmati proses". Karena saya menikmati baik "input/raw/resource" , "process" maupun "output/result", secara balance.

Dari experiences saya yang panjang, akhirnya saya cenderung balancing atau, dengan menarik matriks dari PROSES dan RESULT sekaligus INPUT/RAW/RESOURCES.
Dengan kata lain, tiga-tiganya penting, namun dapat memilih salah satu yg dipentingkan case by case.

Mendahulukan Proses, sering "wasting time" sehingga kurang efektif dan tidak efisien.

Mementingkan Result juga tidak efisien. Karena sering terjadi 4R (rework, repair, reject, recall). Sehingga "cost of quality" menjadi besar.

Kasus penarikan (recall)puluhan ribu produk otomotif TOYOTA, VW, General Motor, yg sudah beredar di customer beberapa tahun yg lalu misalnya, adalah contoh recall yg riil.
Keruntuhan jembatan Mahakam juga menurut saya karena kurangnya perhatian pada Proses.

Sementara OM Management di BUMN dan pelayanan publik oleh government terlalu berat ke Proses.
Sehingga sering tidak efektif maupun tidak efisien.

Pilihan "Result Oriented" ataukah "Process Oriented" tergantung dari:

1. Dengan siapa kita berbisnis,
2. Skala bisnis,
3.Sistem atau management style,
4. Jenis bisnis, dan
5. Posisi seseorang dalam manajemen.

Coba kita amati satu per satu;

1. Dengan Siapa Kita Berbisnis.

Bisnis dengan orang Jepang dan Amerika atau Eropa kita dituntut dengan urusan Proses yang memusingkan. Perlu banyak requirement seperti ISO Series, lolos FDA, dll. Juga sering terjadi assessment atau audit atas Proses.
Contoh riil:
Mataram Garment di Yogya yang 100% produknya ekspor ke USA utk supply ke Walmart, audit proses sangat ketat. Bahkan jumlah WC yang ada di pabrik saja mesti sesuai dengan rasio kecukupunnya. 1 WC utk 25 orang. Maka untuk pabrik dengan 2 ribu karyawan hitung saja berapa WC yg harus disediakan. Kalau tidak dipenuhi, maka mereka akan menolak barang. Belum lagi urusan PROSES yang lain.
Karena mementingkan Proses dan lebih "quality oriented", baik quality of management maupun quality of process, faktor "cost" sering tidak penting bagi mereka. Result bagi mereka adalah nomor dua.

Contoh lain: product CPO, dan olahan kelapa sawit, saat ini mengalami kendala berat, karena negara tujuan ekspor memberlakukan ecolabelling yang ketat. Banyak resistensi dari mereka. Karena produk CPO dan derivative-nya yang dari Indonesia, oleh mereka dianggap membahayakan lingkungan. Kelapa sawit ditanam dengan membakar hutan, sehingga emisi karbonnya membahayakan lingkungan. Juga, perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dianggap merusak keanekaragaman hayati. Karena membakar hutan yang penuh dengan keanekaragaman hayati, mebjadi monokultur (satu jenis kehidupan), yaitu hanya kelapa sawit saja. Belum lagi pembantaian orangutan karena dianggap hama bagi perkebunan kelapa sawit. Maka boikot CPO dari Indonesia menjadi issue besar. Ini karena Proses dan bahkan INPUT-nya dipermasalahkan. Mereka tidak mengutik-utik Result-nya sama sekali.

Sementara di BUMN, dan pelayanan publik oleh government, sering tidak efektif dan efisien, karena terlalu berorientasi ke Proses.

Contoh terakhir, ketika Pak Dahlan Iskan masih sebagai Dirut PLN, terpaksa mengambil alih tanggung jawab bawahannya di Nusa Tenggara Barat, karena bawahannya tidak berani mengambil keputusan untuk menyewa pembangkit listrik swasta (generator) dari swasta, karena harganya jauh di atas yang ditetapkan oleh pemerintah per kwh-nya. Padahal Visi Pak Dahlan Iskan adalah memenuhi target agar setiap wilayah di Indonesia secara bertahap harus bebas mati listrik. Dengan kata lain Pak Dahlan berani mengambil risiko untuk berhadapan dengan sistem yg ditetapkan regulator, demi mengamankan visi-nya. Dan seperti diketahui pelanggaran prosedur sebagai bagian dari sistem/proses di BUMN, akan berhadapan dengan KPK. Meski murni "kebijakan" bukan korupsi, ini sering menjadi dilema di BUMN. Pejabat lain mungkin tidak berani.

2. Perspektif Skala Bisnis Bisnis dengan skala yg besar dengan kompleksitas yang tinggi memerlukan OM Management dengan pendekatan Proses, untuk self-manage. Skala bisnis kecil lebih baik dengan orientasi Result, meskipun untuk ekspor, sering diwajibkan adanya Ecolabelling.

Di Jepang dengan TQC/TQM Toyota Way, Lean Manufacturing, dll menunjukkan mereka concern ke Proses. Itupun masih terjadi ada 4 R (rework,repair,reject,recall).

Bagaimana dengan China? Mereka itu cerdik dan luwes. Ke negara dengan tujuan ekspor yg "Process Oriented" seperti negara2 Barat, mereka bisa melakukan dengan baik. Sehingga produk mereka bisa masuk dengan kemampuan daya saing tinggi yg tanpa mengabaikan Proses. Sementara ke negara2 dengan orientasi Result, seperti Indonesia dan negara dunia ketiga, lebih mudah.
Saya sebut China melakukan balancing atau matriks atas Result and Process. Maka mereka dapat menggurita di seluruh dunia.

3. Sistem atau Management Style

Japanese style, maupun Western Style lebih ke Process-oriented. TQC/TQM with 7-Tools, 4S, Lean Manufacturing, Toyota Way, yg dikenal sebagai Japan Styles, jelas berbasis Proses.
Sementara ISO Series, MBNQA, GCG, ABM, Six-Sigma, dll, yg dikenal sebagai Western Style juga berbasis Proses.

Faktanya selama puluhan dasawarsa, bisnis mereka menguasai bisnis global. Yang tercermin dalam Fortune 500 Global Annual Report, sebelum diganyang China yang menganut balancing atau matriks antara Result Process.

4. Jenis Bisnis

Bisnis dengan risiko tinggi, seperti Oil Gas, Engineering-Procurement-Construction-Commissioning, Power Plant, Transportation (Sea, Air, Land), lebih berorientasi Proses.

Sedang bisnis dengan risiko rendah sering berorientasi Result.

Kalau Finance Business, seperti Banking, Stock Obligation, Insurance, kira2 dengan orientasi Result atau Proses ya?

Sementara untuk Bisnis Hukum (pengacara, notaris) saya kira berorientasi pada Process dan Result sekaligus. He.he.he.. Untuk yg ini, Bro Iming bisa menambahkan atau mengoreksinya jika saya salah.

5. Posisi seseorang dalam Manajemen

Seorang Owner atau CEO atau Top Management lebih ke Result-based. Sementara Middle Management lebih balance. Sedang Front Liner sering dituntut untuk Process oriented.

Dalam manajemen dikenal ada proses yg saya sebut sebagai 3 I (Implementation, Improvement, Innovation).

Level FrontLiner, berkutat dengan "Implementation", dan wajib bekerja sesuai standar, atau Process. Middle Manager dituntut untuk melakukan lebih banyak "Improvement". Sehingga orientasinya sering balance antara Result and Process. Sedang Top Manager, sebaiknya berkutat pada "Innovation" yg lebih berorientasi pada Result.

Demikian, sharing saya.

Terima kasih.
Salam Manajemen.

Ratmaya Urip

Minggu, 4 Desember, 2011 05:00

=============== ========

9. Hery Marijanto:

Terima kasih Pak Ratmaya atas penjelasannya.

Mohon dari pak Ratmaya dan yang lainnya ytang dibawah ini :

Kalau Finance Business, seperti Banking, Stock Obligation, Insurance, kira2 dengan orientasi Result atau Proses ya?

Salam,
Hery M

Minggu, 4 Desember, 2011 07:24

============= =========

10. Iming Tesalonika:

Seorang Owner atau CEO atau Top Management lebih ke Result-based. Sementara Middle Management lebih balance. Sedang Front Liner sering dituntut untuk Process oriented.Dalam manajemen dikenal ada proses yg saya sebut sebagai 3 I (Implementation, Improvement, Innovation).Level FrontLiner, berkutat dengan "Implementation", dan wajib bekerja sesuai standar, atau Process. Middle Manager dituntut untuk melakukan lebih banyak "Improvement". Sehingga orientasinya sering balance antara Result and Process. Sedang Top Manager, sebaiknya berkutat pada "Innovation" yg lebih berorientasi pada Result.

Komentar imt:
Uraian diatas akurat krn pelbagai alasan logis:
A. Obyek pengendalian memang hrs dikendalikan dan dikelola resikonya dgn membangun menetapkan aturan ttg proses;
B. pekerja otot (yg kreatifitas otaknya gak dibutuhkan) adalah frontliner yg beresiko (resiko celaka, paparan api or benda keras, strike krn ketidakpahaman konsep utuh proyek or organisasi dan karenanya menjadi obyek pengendalian.
C. Profesi or industri yg beresiko tinggi juga menjadi obyek pengendalian. Banking finance industry adalah high risk bagi system ekonomi, tunduk pd aturan perbankan yg process oriented. Sanksi sudah diterapkan saat ada breach of process.
D. System hukum dan penegakannya adalah beresiko tinggi juga, dan tunduk pd sistem kendali dari pimpinan puncak. Pelanggaran proses akan akibatkan abuse of power, lahan cari duit staf. Meski dmkn, polisi or jaksa or hakim yg melanggar proses hukum HAMPIR tidak pernah ditindak. Akibatnya, seni pembelaan klien yg diterapkan advokat hampir selalu diarahkan pd penyimpangan proses hukum, gunakan tangan polisi, jaksa hakim untuk langgar aturan proses. Polisi jaksa hakim juga selalu cari duit extra informal dari pencari keadilan dgn menghitung konsekuensi pelanggaran aturan proses.

Bolehkah polisi jaksa hakim cari duit extra informal (diluar gaji resmi) ? Bukankah ini masih lazim? Usahawan sering bukan memberi angpau ke penegak hukum? Bolehkah polisi banyak duit jadi miliarder?

Salam,

Iming

Minggu, 4 Desember, 2011 13:24
======== ==============

11. BERSAMBUNG

Minggu, 18 Desember 2011

Puisi-Puisi Romansa Masa Muda



Puisi-puisi Romansa Masa Muda dari Ratmaya Urip:

Kreasi puisi Ratmaya Urip selalu terbagi dalam cluster; Puisi Religi, Puisi mBeling, Puisi Kehidupan dan Puisi Romansa Masa Muda. Untuk kali ini sebagai balancing, saya persembahkan kembali beberapa Puisi Romansa Masa Muda:

************** *****


Rindu (1)


Ketika galau bertabik pada romansa yang lampau

Yang masih menyisakan pekatnya sendau

Dan punagi yang terselip dalam gurau

Maka dawai hati ini kembali bergetar

Berdenting, mendesah, meniti senar penuh binar sinar

Yang kebak hingarnya rindu

Dan bingarnya hasrat ’tuk dapat bertemu

**** ****

Rindu (2)


Kemarin,

Saat kaki langit penuh bara jingga yang memerahkan cakrawala

Sementara paksi beriring di petangnya pawana senja

Dan fauna malam mulai tiba dan berceloteh tentang cinta

Anganku bertabik pada suatu masa

Yang menjulatku untuk kembali ke sana

Tuk kembali meniti cerita

Merangkai waktu

Bersamamu

**** ****


Sia-sia


Apalah artinya cantik

Jika hanya akan membuat seorang pria menunggu

Apalah artinya rindu

Jika hadirmu hanya pada mimpi-mimpi panjangku

Apalah artinya hati yang menyatu

Jika pelukku hanya ada di ujung waktu

Yang selalu kebak tunggu

Dan kerap enggan menyapa pada julatan mesramu.

(Dan mulai bosan pada julatan mesramu)


********

Yogyakarta

(Musikalisasi Puisi F = Do)


Ketika kereta malam menyibak Stasiun Tugu, Yogyakarta

Bukanlah kebetulan jika terpagut pekat bayangan cintanya

Yang telah berdebu terbungkus pekatnya sarang laba-laba berkalang waktu

Meski tetap bergelora di antara pilar-pilar gedung tua

Menjulat mesra di antara cemara tujuh kampus biru

Di kaki Argi Merapi yang kebak misteri


Rindu yang selalu tiba itu kembali bermadah tentang perawan kampus biru

Yang sempat singgah menawarkan seri dan sari

Mengisi hari-hari pagi sampai dini lagi

Penuh harap yang bukan hanya punagi

Menawarkan madu yang seolah tak pernah ada henti

Berbalut renyahnya tawa dan kulumnya canda mesra

Dieratnya raga yang bertaut di pucuk-pucuk jemari

Mencipta getar ragawi yang duniawi

Yang jujur saja kadang memang merindukan surgawi


Semua kini memang telah suri

Apalagi bermuara pada kemarau hati

Yang jatuh terlalu dini


Jika Yogyakarta kembali tiba dalam meniti waktu

Pasti kan kembali menuai rindu meski telah baka dan penuh debu waktu

Pasti diamku membisu

Dalam haru biru masa lalu


Diam bukan karena habis kata

Hanya karena yang tersisa selalu panjangnya mimpi

Yang kalau dicerna hanya menyisakan romansa basi

Yang telah terbirit dikejar diri

Namun selalu mencolek hari-hari

Dalam siksa jiwa yang abadi

Karena enggan bertabik pada sepotong kata maaf dan permisi

Karena terbawa pergi

Oleh cinta yang keburu pergi


Namun rindu itu selalu tertabur penuh waktu

Saat Yogyakarta bertengger di pelukku

Selalu saja merajuk pada rasa dan mengoyak kalbu

Membujuk tuk bermanja pada prasasti

Yang enggan untuk mati

Karena kau memang sulit menjadi lampau

Dan rindu itu nyatanya tak pernah basi

= ==========


YOGYAKARTA

(Versi Puisi Kecik):


Saat Yogya bertengger di pelukku..

Rindu ini selalu tertabur penuh waktu..

Merajuk pada rasa dan mengoyak punagi..

Membujuk ’tuk bermanja pada prasasti

Yang enggan ’tuk menjadi baka dan atau suri

Karena kau memang sulit menjadi lampau

Dan rindu ini nyatanya tak pernah sepi atau basi.


===== ===========

Rabu, 30 November 2011

Serial Filosofi Manajemen 8:



FILOSOFI PANCA INDRA

Oleh: Ratmaya Urip


Pak RZ,

Membaca thread Anda, saya jadi ingat Artikel lama saya, yg berjudul:Serial Filosofi Manajemen 8 thn 1997,

di antara 99 (ingat Asmaul Husna?) Serial Filosofi Manajemen saya, yg kini sedang saya persiapkan dan saya

kumpulkan kembali. Khusus thread Pak RZ tsb saya garis bawahi sbb:



Kita dianugerahi 2 telinga, dan 2 mata sementara kita hanya memiliki "hanya" 1 mulut/lidah. Dengan kata lain,

indra untuk "mendengar" dan untuk "melihat" itu diberi kapasitas "lebih" daripada untuk "berucap" dengan

mulut/lidah kita. Itu apa maknanya?

Jika benak kita tidak banyak terdistorsi oleh adanya seruak onak yg beranak pinak dan berpotensi melahirkan

gejolak, atau hati kita telah mengendap meski dengan jalan mengendap-endap, dan juga hasrat kita yg penuh libido "aku" atau mengusung diri untuk selalu memanjakan "ego" dapat

dipasung untuk tidak selalu membusung, (karena data dan fakta berupa heterogenitas yg ada), maka analisisnya
adalah sebagai berikut:


Jumlah telinga (2) dan mata (2) kita lebih banyak daripada mulut/lidah (1) kita, itu berarti kita sudah dititahkan

untuk lebih banyak "mendengar" dan "melihat" dulu sebelum kita melontarkan serentetan kata, yg biasanya

meluncur lewat mulut/lidah kita. Atau kita sebenarnya sudah diberi pesan untuk berdialog, berkomunikasi,

memberikan pendapat, setelah kita banyak mendengar dan melihat. Atau kita sebaiknya sudah boleh berpendapat,

berbicara,berkomunikasi dengan tepat dan benar, jika kita sudah cukup banyak berbekal "experiences" dari banyak "mendengar" dan "melihat".


Di samping itu dengan 2 (dua) mata, kita dapat menangkap seluruh visualitas kehidupan di sekeliling kita menjadi

lebih stereo, atau berdimensi 3 (tiga), tidak hanya berdimensi 2 (dua). Coba tutup salah satu mata kita,sehingga

kita hanya dapat mempergunakan hanya 1 mata kita, maka kita akan bias, karena lebih linier atau sebidang, bukan

dalam perspektif ruang (stereo yang 3 dimensi)


Demikian juga jika kita hanya menggunakan 1 (satu) di antara 2 (dua) telinga kita, maka yang tertangkap adalah

audio yang mono, tidak dapat menangkap segala pendapat yang stereo, atau yang lebih holistik dan komprehensif.

Naluri dan nurani kita diinginkan untuk peka terhadap lingkungan kita sebelum kita berpendapat dan berkomunikasi

dalam lingkungan yg amat sangat kompleks dan heterogen, dengan lebih banyak bekal, dengan menggunakan indra

"telinga" dan "mata" untuk "mendengar" dan "melihat", dengan mengamati, mengobservasi, membaca, meneliti, dan

menggunakan dasar yg kasat mata. Dengan menambah partisipasi organ lain yg bukan panca indra, dalam hal ini

"benak" "hati", serta anggota badan lain maka akan lebih disempurnakan lagi.

Antogonis, psikopat dan paranoid kadang adalah muara dari keinginan untuk lebih mendahulukan keinginan kita

dengan memanjakan "mulut/lidah" kita, tanpa mau "mendengar" dan "melihat" lingkungan yang penuh aneka ragam

pemikiran dan kehendak.


Mempergunakan mulut/lidah kita tanpa mempergunakan mata dan telinga kita, atau boleh dikatakan, berbicara

dengan mulut/lidah, tanpa berdasar masukan yang lebih banyak dari telinga dan mata kita, akan membuat bias dan

kurang lengkap.

Sampai di sini kita baru bicara 3 (tiga) di antara 5 (lima) panca indra kita. Untuk itu coba kita tengok 2 (dua) indra

lainnya, yaitu: indra perasa/peraba (kulit) dan penciuman (hidung).

Kulit (pangejawantahan dari indra "perasa/peraba") berada di sekujur tubuh kita, dan menjadi ujung "sentuhan" kita

dengan lingkungan luar kita yg paling luas. Itu maknanya, kapasitas kita seharusnya jauh lebih peka dalam "merasakan"

lingkungan di luar kita. Kita telah dibekali kapasitas yang besar untuk mendeteksi lingkungan di luar kita, dengan

kenyataan, bahwa kulit kita yang didukung syaraf kita, sebagai indra perasa/peraba untuk mendeteksi secara mendalam

seluruh masalah diluar tubuh kita dengan luasan yang sangat besar, hampir seluruh permukaan tubuh kita.

Nah apakah kita telah secara benar mendeteksinya?


Yang agak aneh memang hidung kita. Mengapa aneh? Karena jumlah hidung hanya 1 (satu) namun mengapa berlubang 2

(dua). Coba untuk yang ini kita analisis. Ada yang tahu penjabarannya yang sejalan dengan uraian di atas?

Sebelum saya uraikan, mohon masukannya terlebih dahulu.


Yang pasti,kapabilitas kita seharusnya berkembang dengan mengacu pada kapasitas yang termaknai dari jumlah dan jenis

panca indra seperti diuraikan di atas.


Salam Manajemen.

Ratmaya Urip


(BERSAMBUNG)

Senin, 28 November 2011

Manajemen Operasi & Pemeliharaan




(Studi Kasus Runtuhnya Golden Gate Indonesia)
.


Oleh: Ratmaya Urip

Runtuhnya Jembatan Mahakam II di saat sedang berlangsungnya aktifitas Operasi (Operation) berupa pemanfaatan badan jembatan sebagai urat nadi transportasi serta aktifitas Pemeliharaan(Maintenance), berupa perawatan rutin jembatan, menunjukkan kemungkinan betapa lemahnya Manajemen Operasi & Pemeliharaan yg ada.

Di Indonesia, Aktifitas Operation & Maintenance sering dianggap sebagai aktifitas rutin dan monoton, sehingga sering lepas dari kewaspadaan.

Operation & Maintenance (OM) adalah milestones ketiga dalam proses pengelolaan Prasarana & Sarana Fisik, setelah yg pertama yaitu Front-End Engineering Design dan Detail Engineering Design (FEED/DED) dan yg kedua Engineering Procurement Construction and Comissioning (EPCC).

Perlu diketahui, secara komprehensif dan holistik, Manajemen Prasarana & Sarana Fisik memiliki 3 (tiga) milestones utama, yaitu: FEED/DED --> EPCC --> OM

Meskipun belum tentu distorsi atau runtuhnya jembatan diakibatkan miss manajemen dalam aktifitas OM, karena kemungkinan lain berupa distorsi/deviasi dlm milestones sebelumnya, yaitu FEED/DED maupun EPCC, namun karena keruntuhan terjadi ketika proses OM sedang berlangsung, maka Initial Step dalam investigasi atas proses Analysis FORENSIK KONSTRUKSInya sedikit banyak akan bermula dari milestones ini.

Setelah tidak ditemukan adanya pelanggaran sistem operation & procedures, baru beranjak dengan melakukan "trace back" ke milestones EPCC dan kemudian FEED/DED.

Tidak sebagaimana milestones sebelumnya yg umumnya OWNER sering memanfaatkan jasa pihak lain,khusus utk aktifitas OM, Owner lebih sering melakukannya sendiri, meski ada yang menyewa jasa profesional.

Aktifitas OM banyak yg mengabaikan Risk Management, Quality Management, SHE Management, Performance Management, Human Capital Management, dll. Kecuali OM dengan risk yg sangat tinggi, seperti OM dalam aktifitas Oil & Gas, Pertambangan, Power Plant, atau pada saat proses Konstruksi.

(Catatan: Analisis FORENSIK di Indonesia, biasanya lebih sering merujuk ke FORENSIK KEDOKTERAN khususnya KEDOKTERAN yg ada kaitannya dengan tindak kriminal, atau KEDOKTERAN KEHAKIMAN. Sementara kasus yg berpotensi tindak kriminal lain seperti Analisis FORENSIK KONSTRUKSI dan analisis FORENSIK KEUANGAN, seperti halnya ANALISIS FORENSIK BANK CENTURY kurang begitu dikenal).

Seperti diketahui untuk Jembatan Bentang Panjang dengan Sistem Gantung ada 2 (dua) macam sistem. Yaitu 1. Suspension Bridge dan 2. Cable Stayed.

Kedua sistem memiliki kesamaan dalam hal penggunaan "prime high tension cable" (kabel utama dengan kuat tarik tinggi) sebagai gantungan bagi "secondary cable" atau "hanger cable" (vertikal), yang menghubungkan lantai jembatan dengan Kabel Utama. Sedang kabel utama yang memanjang sepanjang jembatan dengan alur hiperbolik, di-"anchored" ke pangkal/fondasi jembatan. Sehingga karena kabel2 ini merupakan pendukung utama sistem konstruksinya, maka wajib hati2 dalam OM maupun ketika EPCC. Kehati2an khususnya dalam hal spesifikasi teknis material, perencanaan maupun pelaksanaan konstruksi termasuk methode konstruksinya.

Beda "suspension bridge" dengan "cable stayed" adalah, "suspension bridge" biasanya memiliki 2 pangkal/pilar jembatan sbg "anchor". Sementara "cable stayed" sering dengan pilar tunggal sbg anchor.

Memang di luar kemungkinan adanya miss management dalam OM seperti telah disebutkan di atas, juga kemungkinan miss management dalam milestones sebelumnya (FEED/DED dan EPCC), juga berkembang adanya suara2 tentang kemungkinan adanya tabrakan oleh ponton2 pengangkut barubara. Juga kemungkinan sabotase.

Namun biarlah hasil investigasi FORENSIK KONSTRUKSI yang berbicara.

Pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini adalah:

1). Meskipun rutin dan monoton, aktifitas OM di bidang apapun, jangan mengabaikan Risk Management, Quality Management, SHE Management, dll, sewaspada ketika dlm aktifitas Konstruksinya, aktifitas OM di Oil & Gas, maupun Pertambangan, dan transportasi (udara, laut dan darat). Dalam manufacturing, plantation,dan services biasanya tingkat kewaspadaan dalam OM kurang tinggi.

2). Manajemen OM memerlukan pengelolaan yg lebih intens. Supaya friksi klasik antara Finance vs Marketing, Finance vs Quality, Quality vs Production, Marketing vs Production, Production vs SHE, dll, dapat dikurangi intensitasnya.

Demikian, Salam Manajemen

Ratmaya Urip

=========== ==========


Analisis/Kajian Manajemen Sarana-Prasarana Fisik


1. Pendahuluan

Dari kajian Manajemen Sarana/Prasarana Fisik secara Makro, selalu saja mengikuti siklus atau milestones yg saya lebih suka menyederhanakannya menjadi FEED/DED-->EPCC-->OM. Jadi ada 3 (tiga) milestones utama.

Sehingga untuk membahas FORENSIK KONSTRUKSInya (karena "kematian" prasarana-sarana fisik apalagi yg ambruk atau "mati" juga memerlukan kajian FORENSIK), dapat lebih terarah, dan tidak bias. Sehingga penyebab ambruknya ("matinya") jembatan dapat di "trace back" sesuai dengan kaidah2 Manajemen Sarana-Prasarana Fisik. Apalagi "matinya" jembatan tersebut dapat dianggap tidak wajar, karena tidak sesuai dengan usia manfaat dari sarana-prasarana fisik yang direncanakan. Relatif ini merujuk pada kasus kematian yg dianggap tidak wajar pada manusia, yg kaidah2nya harus merujuk dulu dari penyelidikan FORENSIK KEDOKTERAN.

2. FEED/DED

FEED/DED adalah akronim dari Front-End Engineering Design/Detail Engineering Design.

Khusus FEED, sering disebut Pre-Project Planning (PPP). Termasuk dalam tahapan ini adalah: conceptualization, feasibility assessment/study, Amdal, establishing design requirements, preliminary design, dll. Sementara DED meliputi Detailed Design, production planning and tool/machine/material design, time frame, finally production/operation, dll.

3. EPCC

EPCC adalah akronim dari Engineering Procurement Construction and Comissioning.

Tahapan ini sering disebut sebagai tahapan PROYEK KONSTRUKSI.

Sehingga di sini Engineering amat sangat detail. Procurement benar2 dapat memberikan logistik bagi pelaksanaan proyek dengan BMW (Biaya, Mutu dan Waktu) yg tepat, sesuai yg direncanakan dalam proses Construction sampai Commissioning-nya.

4. OM

OM adalah tahapan Operation-Maintenance.

Bangunan fisik atau sarana-prasarana fisik, setelah selesai Construction yg dilanjutkan dengan Commissioning-nya harus segera dioperasikan (OPERATION). Dan dalam operasinya wajib ada MAINTENANCE.

Apakah itu sarana-prasarana fisik PUBLIK berupa jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, dam/bendungan, irigasi, PLTU, telepon umum, taman kota, jaringan listrik/kabel/pipa, dll, maupun sarana-prasarana PRIVAT, seperti pabrik, perkebunan swasta, dll.

¤¤¤¤¤¤¤¤

Dengan "matinya" jembatan "Golden Gate Indonesia" secara tidak wajar, yg membentang di atas Sungai Mahakam dan menghubungkan kota Tenggarong dan Tenggarong Seberang (bukan menghubungkan Samarinda dan Balikpapan seperti diberitakan detik.com), maka kajian FORENSIK KONSTRUKSI nya dapat dirunut (trace-back) dr milestones tsb di atas.

Kebetulan ambruknya pas tahapan OM (Operation Maintenance). Pada waktu itu sedang ada proses pemeliharaan. Initial step bisa dilihat apakah proses atau prosedur pemeliharaannya sdh sesuai. Apalagi jembatan baja dengan sistem gantung (baik "suspension bridge" maupun "cable-stayed") seperti Jembatan Golden Gate, atau Jembatan Suramadu, atau Jembatan Barelang, tumpuan bebannya didukung oleh kabel baja primer yg menanggung beban rangka truss baja via kabel vertikal atau kabel sekunder, dan di "anchor"kan ke abutment atau pangkal jembatan.

Jika prosedur Maintenance sudah sesuai, lihat prosedur Operation-nya. Apakah beban kendaraan tidak melewati ambang batas kekuatan yg diijinkan. Jika prosedur Operasi sdh benar, berarti milestones OM sudah di assessment.

Kemudian "trace back" lebih hulu lagi ke tahapan EPCC. Apakah Seluruh Prosesnya sdh benar. Baik Engineering, Procurement, Construction, dan Commissioningnya. Di sini akan melibatkan banyak Laboratorium Konstruksi seperti Baja, Beton, Mekanika Tanah, Bahan2 Konstruksi lain, Uji Beban, dll. Prinsipnya apakah Biaya, Mutu dan Waktunya sesuai dengan requirements yg dipersyaratkan. Di sini juga melibatkan banyak tenaga ahli konstruksi sesuai dg major-nya masing2.

Di Indonesia, tahapan FEED/DED dan EPCC biasanya di kontrakkan oleh OWNER kepada pihak lain. Dalam hal ini Konsultan Ahli dan Kontraktor.

Sementara tahapan OM (Operation Maintenance) jarang sekali yg dikontrakkan ke pihak luar. Padahal di negara2 maju. Tahapan OM sering dikontrakkan ke pihak lain. Padahal ada kemungkinan, jika OM tdk dikelola oleh OWNER nya namun ditangani kontraktor OM akan lebih efektif dan efisien.

Catatan Tambahan:

1). Karena jembatan ambruk, dugaan saya akan terjadi berkurangnya pasokan batubara ke market. Karena di hulu Mahakam ratusan Pemegang Kuasa Pertambangan Batubara tidak bisa mengirim batubara via Mahakam, terhambat bangkai jembatan yg melintang di sungai. Padahal satu2nya transportasi barges batubara adalah lewat sungai.

2). Sebenarnya ada 5 jembatan besar yg melintang di atas sungai Mahakam. a). Yg paling hulu adalah jembatan di Kotabangun, b). Jembatan Tenggarong (Golden Gate Indonesia), c). Jembatan Mahakam Hulu atau Mahulu, d). Jembatan Mahakam 1 (jembatan pertama yg ada di S. Mahakam dibagun thn 1982-1985, dan e). Jembatan Mahkota, yg paling hilir atau mendekati Muara.

3). Penyelidikan FORENSIK KONSTRUKSI saat ini sedang berlangsung. Dari Surabaya langsung Tim dari Lab Forensik Konstruksi di bawah kendali Prof Ir. Priyo Suprobo, MS, Ph.D sedang bertugas. Karena kemarin saya sempat komunikasi dg bbrp anggota Tim. Termasuk acara talk show Tim di salah satu media elektronik di Surabaya.

Dari ITB dan lain2 juga mulai investigasi.

4). Selama ini milis ini jarang membahas thread Manajemen Proyek-Konstruksi. Krn ada momentum, maka mhn maaf saya share di sini, meski baru "kulit"nya saja. Belum detail.

Salam Manajemen

Ratmaya Urip

Minggu, 27 November 2011

Serial Filosofi Manajemen 2



FILOSOFI WAYANG
(Monolog dunia manajemen dan bisnis dalam aplikasi) :
Leadership Versus Followership dalam Perspektif Dunia Pewayangan
Oleh : Ratmaya Urip *)

Jansen Hulman S. menyampaikan, bahwa pada tahun 1967 Gerhard Gschwandtber mengadakan riset mengenai kekecewaan dan menemukan bahwa di Library of Congress terdapat 1.500 judul buku mengenai kesuksesan sedangkan buku mengenai kekecewaan hanya 16 judul saja.

Ini mengherankan Gerhard, karena observasi menunjukkan bahwa kekecewaan sesungguhnya merupakan pengalaman paling akrab dengan manusia ketimbang kegembiraan. Dukacita lebih sering terjadi daripada sukacita. Lalu mengapa topik kekecewaan begitu sedikit dibahas orang? Mengapa sukses dan sukacita yang jarang dirasakan dan dicapai orang mendapat perhatian begitu banyak? Mengapa orang-orang yang sukses saja yang dibahas, sementara orang-orang yang gagal, yang jumlahnya sangat jauh lebih banyak tidak ditonjolkan untuk menggali mengapa kegagalan itu dapat terjadi? Karena kesuksesan itu tidak pernah lepas dari faktor luck, meskipun tidak boleh melupakan kerja keras, kerja waras dan kerja cerdas.
Demikian juga kalau kita cermati lebih dalam, ternyata dari hasil-hasil penelitian, textbooks, seminar, workshop, pelatihan, dan sebagainya, topik mengenai Leadership lebih banyak diminati (baca : dibahas) daripada topik Followership. Padahal dalam praktek berorganisasi apapun, baik organisasi bisnis, organisasi publik, maupun organisasi lainnya, jumlah Follower sangat jauh lebih banyak dibandingkan Leader.


Seorang follower lebih suka memahami dan atau menganggap dirinya sebagai leader (mungkin karena seringnya menerima cekokan konsep-konsep Leadership). Padahal sebagai follower tentu saja dia harus menerima lebih banyak konsep-konsep maupun aplikasi tentang FOLLOWERSHIP, dalam hal ini bagaimana sikap, perilaku, tindakan dan mindset kita sebagai follower (yang kebetulan jumlahnya mayoritas). Kalau dia seorang follower, namun mindset-nya selalu leader, ya payah.


Saya kemudian berpikir...itulah mungkin biang dari segala keruwetan bangsa ini, sehingga tidak pernah beringsut dari keterpurukan yang berkepanjangan, karena semua maunya jadi leader (follower pun maunya jadi leader), meskipun itu tidak dilarang, tapi harus menunggu saatnya. Masalahnya, tdk ada yang mau jadi follower. Padahal yang terpenting sebenarnya adalah seberapa jauh pembagian peran itu dapat terbagi habis secara benar, tepat dan adil, tanpa menyisakan potensi konflik sekecil apapun. Setiap konflik di Indonesia sering berakhir dengan perpecahan, kemudian membentuk organisasi tandingan, yang disebabkan oleh lemahnya leadership, atau followership. Itu semakin nampak, ketika organisasi baru sudah terbentuk sebagai tandingan, ternyata hidupnya sering kali tidak lama.


Dalam organisasi apapun, bagaimanapun, dan dimanapun selalu ada fenomena, bahwa follower ( pengikut ) jumlahnya selalu jauh lebih banyak daripada leader ( pemimpin ), dan untuk hal yang satu ini tidak akan pernah ada seorangpun yang dapat membantahnya. Namun dalam manajemen, ternyata leadership lebih sering ditonjolkan daripada followership, sehingga training, coaching dan conselling yang dilaksanakan lebih sering mengakomodasi kepentingan-kepentingan atau cara-cara untuk menjadi seorang leader (dalam hal ini untuk mencetak leader yang baik atau mempunyai leadership yang kuat dan efektif). Jarang sekali ada pembahasan yang intens ataupun textbook yang best-seller mengenai followership yang mengemuka. Mungkin sekali karena cukup dengan leadership yang kuat diharapkan organisasi akan dapat meraih goal atau objective sesuai dengan yang diharapkan. Atau followership adalah bagian dari leadership. Dalam hal ini tentu saja akan beruntung sekali jika suatu organisasi dipimpin oleh seorang leader dengan kemampuan leadership yang kuat dan efektif. Namun, bagaimana jika organisasi dinakhodai oleh leader dengan kemampuan leadership yang lemah? Yang terakhir ini sangat banyak terjadi dalam organisasi-organisasi di Indonesia, baik organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, bisnis, olah raga, pemerintahan, perwakilan rakyat, maupun organisasi-organisasi yang lain. Faktanya, dan boleh juga disebut sebagai akibatnya, Indonesia sampai sekarang selalu dan selalu ketinggalan dalam segala hal dibandingkan dengan kinerja negara-negara lain, semakin terpuruk dan menderita. Seperti ayam mati di lumbung padi. Dalam bidang ekonomi, Indonesia telah merasakan betapa sakit dan beratnya keterpurukan yang terjadi. Dalam bidang olahraga belum pernah mengenyam prestasi yang membanggakan kecuali bulutangkis, sesekali panahan dan angkat besi. Dalam berdemokrasi kita masih kedodoran. Dalam pengelolaan sumber daya alam, baik pertanian, pertambangan dan lain-lain, prestasi Indonesia sangat jauh ketinggalan. Pastilah ada yang salah dalam mengelola hidup dan kehidupan bangsa ini. Apakah karena masalah leadership atau followership yang lemah, atau kedua-duanya lemah, atau masalah-masalah lainnya? Kajian tentang hal ini tentu saja tidak akan pernah ada habisnya, dan akan bias atau tidak fokus ke topik tulisan ini. Ilustrasi di atas hanyalah sebagai referensi natural semata (sebab ada referensi artificial). Juga terlalu naïf untuk menuduh faktor leadership atau followership sebagai satu-satunya biang kegagalan, sebab masih banyak faktor-faktor yang lain, seperti aplikasi management system ( baik manajemen generik maupun branded ), management style, organization climate, ability (skill & knowledge), moral (attitude & behavior), arts (creativity, adabtability, acceptability, flexibility, durability, etc), bahkan luck.


Tentang luck atau ada yang sering menyebutnya dengan windfall ini juga perlu diperhatikan. Luck tidak akan dapat terjadi tanpa persiapan dan kesempatan. Luck tanpa persiapan yang baik jarang yang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sedang luck jarang yang dapat maksimal didapatkan tanpa kesempatan. Persiapan dan kesempatan merupakan dua sisi mata uang untuk mendapatkan luck atau windfall. Persiapan itu sendiri kadang-kadang tidak kita sadari sudah tersedia sebelumnya dari personal maupun institutional experiences kita. Maka pandai-pandailah memanfaatkan persiapan ketika kesempatan tiba, supaya mendapatkan luck atau windfall. Contoh paling mudah adalah, ketika harga minyak dunia naik secara fantastik, yang saya sebut itu sebagai kesempatan bagi Indonesia sebagai penghasil minyak yang ketika itu masih anggota OPEC, tidak dapat menikmatimya, karena sudah beberapa tahun produksi minyak Indonesia malah terus merosot. Puncak produksi yang pernah dicapai sebesar 1,4 juta barrel/hari turun menjadi 990 ribu barrel/hari. Itupun Indonesia malah mengalami nett import. Sehingga kenaikan harga minyak dunia malah menjerat perekonomian Indonesia. Contoh lain adalah ketika harga komoditas dunia juga naik, namun karena tidak ada persiapan, maka kesempatan itu menguap begitu saja. Padahal Indonesia memiliki potensi komoditas yang menggiurkan. Namun karena manusia Indonesia disibukkan oleh perebutan posisi sebagi leader, tanpa ada yang mau berperan sebagai follower, atau kalau jadi follower malah merecoki leader-nya, maka jadinya ya seperti sekarang ini.


Leadership akan jauh lebih efektif dan kuat pada organisasi yang sistemnya sudah sangat bagus, sehingga tidak akan dapat “diakali” atau “tidak ada celah” untuk memanfaatkan sistem bagi kepentingan pribadi, atau tidak ada “loop-hole” sama sekali. Karena di organisasi dengan sistem seperti itu roda aktifitas manajerial dan operasional sudah dapat berjalan “auto pilot”. Sehingga siapapun leader-nya tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi. Tentu saja harus diimbangi dengan followership yang kuat dan efektif serta efisien, dan tidak ada goncangan dari luar pesawat yang fatal. Namun organisasi dengan sistem sempurna seperti itu hanya ada di dunia impian (di Ancol?).


Kembali kita fokus ke topik bahasan. Organisasi dengan kemampuan leadership kuat maupun lemah tentu memerlukan kemampuan dan kontribusi dari follower untuk tetap dapat menjalankan organisasi on the right track, supaya vision, mission, strategy, action plan, goal ataupun objective tetap dapat tercapai. Dengan kata lain diperlukan followership yang kuat pula. Apa dan bagaimana followership yang kuat dan efektif itu dapat dijadikan kontributor dalam pencapaian kinerja suatu organisasi? Tentu saja lumayan sulit untuk menjabarkannya, karena praktek lapangannya sangat banyak, namun teori-teori atau textbooks tentang hal itu sulit dicari, karena kebanyakan mengulas tentang leadership. Bagaimanapun diharapkan ada benang merah atau balance antara teori dan praktek, supaya terjadi harmoni yamg komplementer, melengkapi keserbaduaan ( baca : harmoni ) yang telah ada sebelumnya, seperti tua-muda, laki-perempuan, siang-malam, gelap-terang, kaya-miskin, hitam-putih, besar-kecil, dan lain-lain. Jangan sampai terjadi dikotomi.
Berangkat dari keterbatasan teori tersebut, penulis mencoba menggali dari dunia pewayangan, yang kebetulan penulis cukup paham, meskipun hanya secuil. Dari dunia pewayangan penulis mengenal Ramayana, maupun Mahabharata dan lanjutannya Bharatayudha.
 

1. Ramayana.
Sebagai ilustrasi pertama, dalam Ramayana dikenal seorang raja sebagai leader bernama Rahwana atau Dasamuka, seorang raksasa yang sangat kejam, lalim dan arogan, yang jika marah kepalanya bisa bertambah menjadi sepuluh kepala. Rahwana adalah leader dalam hal ini top management dari para raksasa jahat yang amat sangat antagonis. Bukan kebetulan kalau Rahwana mempunyai follower, dalam hal ini posisinya middle management berjumlah 3 ( tiga ) orang, dengan fenomena followership yang beragam, yang kalau dicermati, fenomena tersebut banyak terjadi dalam dunia manajemen di Indonesia. Ketiga follower tersebut kebetulan adalah adik-adiknya. Ketiga adiknya, sebagai midlle manager, memang di samping memiliki leadership yang kuat dan efektif, karena harus memimpin anak buahnya, mereka juga mempunyai masalah followership, dalam menyikapi sikap kakaknya yang semau gue. Namun karena leader-nya adalah sang kakak, yaitu Rahwana, dengan style seperti tersebut di atas, maka fungsi follower lebih menonjol daripada fungsi leader, dengan kata lain mereka lebih sering melayani leader daripada memimpin lower manager (anak buah-nya) sebagai follower mereka.


Dalam epos Ramayana diceritakan, bahwa Rahwana sebagai leader dari organisasi kerajaan yang bernama Alengkadiraja, mempunyai instant-goal untuk memperisteri Dewi Shinta, yang kebetulan sudah bersuami Prabu Ramawijaya, leader dari Kerajaan yang lain. Untuk tercapainya goal tersebut, Rahwana mempunyai instant action plan, yaitu merebutnya dari Prabu Ramawijaya, dengan menculik Dewi Shinta yang kebetulan sedang ditinggal berburu suaminya. Dengan strategi yang jitu, berupa tipu daya alih rupa menjadi orang lain sehingga Dewi Shinta terkecoh, akhirnya Dewi Shinta dapat dibawa oleh Rahwana ke istananya. Pada akhirnya, karena adanya benturan kepentingan, dalam hal ini Prabu Ramawijaya tidak rela, maka berusaha untuk merebut kembali Dewi Shinta ke pangkuannya, sementara Rahwana tetap dengan goal ingin memperisteri Dewi Shinta, maka terjadi perang. Tentu saja dalam perang terjadi adu strategi.


Dalam kajian Strategic Management maupun Quality Management System, sebenarnya ulah Rahwana dengan menetapkan goal dan strategy secara instant di luar Longterm Plan (Rencana Jangka Panjang-RJP) dan Annual Plan (Rencana Jangka Pendek atau rencana Tahunan-RKAP), tanpa ada vision, mission, dan policy adalah kurang tepat. Prosesnya seharusnya ada vision dulu kemudian mission dan policy serta strategy, baru kemudian ada deployment atau cascading dalam action plan untuk pencapaian goal. Apalagi tidak ada corporate culture yang berkembang baik dalam organisasi atau kerajaan Rahwana. Dalam hal ini tiba-tiba ada goal tanpa sebab dan alasan yang sistematik sesuai Strategic Management System ataupun Quality Management System. Berarti jelas ada Non Conformance dan kelasnya adalah very-very Major jika rujukannya ISO Series (ISO 9001, ISO 14001, ISO 18001, dll). Apalagi tidak ada team-work yang baik karena semua dilakukan berbasis keputusan one man show.


Dalam menyikapi perang yang terjadi ternyata 3 (tiga) follower Rahwana mempunyai sikap yang berbeda, dengan kata lain followership style mereka berbeda satu sama lain.

1. Kumbakarna, dikenal sebagai raksasa yang berjiwa ksatria, santun, lemah lembut, arif, adil, dan baik hati, meskipun badannya sebesar gunung dan wajahnya mengerikan, dengan kata lain sangat menakutkan. Ketika dihadapkan pada kelakuan Rahwana, seorang leader yang sangat antagonis, Kumbakarna diam, namun setelah sebelumnya selalu mengingatkan sang kakak atas perbuatannya yang tidak terpuji. Ketika Kumbakarna menasehati kakaknya supaya mengembalikan Dewi Shinta, Rahwana marah besar, dan mengusir Kumbakarna dari Istana. Kumbakarna akhirnya pergi bertapa, tidak menghiraukan lagi keadaan istana (organisasi). Tidak mau tahu bahwa akhirnya terjadi perang.

2. Sarpakenaka adalah raksasa wanita yang sangat identik dengan kakaknya, buruk rupa, buruk kelakuan, sukanya menggoda laki-laki...pokoknya identik dengan kakak sulungnya, Rahwana. Apa yang diperintahkan Rahwana pasti dilaksanakan dengan suka cita, meskipun itu salah.

3. Gunawan Wibisana, si bungsu yang berwajah manusia, tampan, cukup arif, bijak, selalu bertindak penuh perhitungan, selalu beroposisi (dalam hal ini selalu memberi nasehat) kepada Rahwana agar tidak selalu berbuat buruk. Ketika nasehatnya kepada Rahwana untuk mengembalikan Dewi Shinta kepada Prabu Ramawijaya malah mebuat Rahwana berang, dan mengusirnya dari Istana, Gunawan Wibisana malah memilih bergabung dengan musuh Rahwana atau kompetitornya.

Follower’s type yang manakah anda?


2. Mahabharata- Bharatayudha
Dalam Mahabharata yang kemudian berlanjut dengan Bharatayudha, pengayaan kita tentang followership lebih lengkap.

Di pihak Astina ada Suyudana atau Duryudana sebagai leader Kurawa dari Kerajaan Astina, dengan 99 adiknya sebagai middle manager, yang dikenal sebagai antagonis tulen. Namun di samping itu Astina sebagai organisasi memiliki middle manager lain di luar Kurawa, atau profesional lain luar Kurawa yang cukup unik.

Prabu Karna dari Awangga, adalah type middle manager (follower Duryudono), yang bergabung ke Kurawa karena sebagai balas budi, karena sudah diberi pangkat dan jabatan yang tinggi oleh Kurawa. Maka meskipun Pandawa yang sebenarnya adik2nya sendiri satu ibu berperang dengan Kurawa dalam Bharatayudha, Prabu Karna membela mati2an organisasinya tersebut, meskipun akhirnya dengan mengorbankan jiwa raganya. Seperti halnya Fernando Torres yang harus professional membela mati2an klub barunya Chelsea karena dibayar mahal, dalam menghadapi mantan klubnya Liverpool, meskipun akhirnya kalah 0-1, kemarin. (Maaf, dalam konteks Fernando Torres, semata-mata adalah konteks profesionalisme, bukan konteks antagonis-protagonis).

Prabu Salya, lain lagi. Dia sangat membenci sikap dan perilaku Duryudana yang sangat antagonis. Namun karena Astinapura adalah tanah airnya (organisasinya), maka ketika perang Bharatayudha terjadi, dia membela Astinapura sampai titik darah penghabisan. Dia hanya mau mempertahankan kehormatan organisasinya (Astinapura), bukan membela Duryudana, leader-nya yang antagonis. Setelah kematiannyapun Para Pandawa yang dalam konteks Bharatayudha adalah musuhnya, sangat menghormati Prabu Salya.
Hal serupa juga terjadi pada Resi Bisma, yang mirip dengan Prabu Salya, yang berperang di Pihak Astinapura, yang kebetulan dipimpin oleh Kurawa dengan leader Duryudana, yang antagonis, karena semata-mata mempertahankan negaranya (organisasinya), bukan membela leader-nya yang antagonis meskipun hati nuraninya berada di pihak Pandawa, atau musuhnya.

Sementara di Pihak Pandawa, semua follower sangat mendukung karena sikap dan perilaku kepemimpinan Pandawa yang sangat protagonis, sehingga tidak ada yang aneh di follower-nya, semua berjalan on the right track, sesuai sistem. Karena telah memahami esensi followership secara benar.

Bagaimana dengan organisasi anda, atau negara anda? Jika seandainya anda berada dalam organisasi dengan leader yang leadership-nya payah, apalagi antagonis? Apakah sebagai follower anda akan bersikap seperti Prabu Karna, Prabu Salya, Resi Bisma, atau adik2 Rahwana yang 99 orang tersebut? Beruntunglah jika anda mendapatkan leader seperti Pandawa. Itu jika berkaca dari epos Mahabharata-Bharatayudha.
Demikian juga jika kita menengok kembali epos Ramayana, apakah jika anda sebagai follower anda akan bersikap seperti Kumbakarna, Sarpakenaka atau Gunawan Wibisana?

Jika anda bukan follower, namun leader, saya yakin, leadership anda lebih condong ke leadership yang dimiliki Prabu Ramawijaya atau Pandawa, bukan Rahwana atau Kurawa.


Pesan moral yang ingin disampaikan:

Leadership amat sangat dan begitu penting, khususnya bagi para leader. Bagi calon-calon leader (baca: follower) juga akan sangat menunjang, karena sebagai persiapan menyongsong regenerasi. Apalagi jika posisinya adalah middle manager, yang harus dapat berperan ganda sebagi leader maupun follower. Bagi yang saat ini posisinya masih di middle manager apalagi yang masih front-liner, disarankan, disamping harus benar2 memahami leadership juga untuk benar-benar memahami esensi followership, karena mereka tidak hanya menghadapi masa depannya sebagai leader, namun juga masa kini dimana mereka berada sebagai follower. Masa depan yang cerah tidak akan dapat digapai tanpa masa kini yang baik. Untuk itu, memahami dan mengoperasionalkan leadership harus balance dengan pemahaman yang benar tentang followership, supaya tidak “nggege mangsa”, belum-belum sudah merasa sebagai leader, melupakan realitasnya sebagai follower. Meskipun lebih nyaman sebagai leader daripada sebagai follower. Untuk itu raihlah posisi leader, dengan cara-cara yang cantik, dengan kompetisi yang sehat dan baik, karena memang sudah dibekali followership yang cukup dan leadership yang kuat dan efektif, syukur bisa efisien.
Semoga ini dapat sedikit membantu menjelaskan juga tentang fenomena kutu loncat. 


Kalimat kuncinya adalah:

Followership yang masih berkutat hanya pada teori-teori Five reasons to follow, yaitu tentang relasi antara leader-follower yang berkaitan dengan follow, respect, trust, liking, support, dan ideas, tidaklah cukup. Meskipun ditambah dengan teori-teori tentang exemplary, alienation, conformist, pragmatist, passive (Kelly’s Model, 1992). Karena dalam prakteknya di Indonesia sering terjadi distorsi atau deviasi yang sangat lebar. Teori dan praktek harus balance.  

Karena teori tanpa praktek itu omong kosong, sementara praktek tanpa teori itu ngawur.

Salam Manajemen
Ratmaya Urip
===============================

Note: *) penulis adalah fungsionaris Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia), dan Quality Network Club – Indonesia.