Minggu, 02 Juni 2013


PARADE PUISI-PUISI MBELING - PUISI SABLENG - PUISI NDUGAL:

REPUBLIK KENTUT
(Satu lagi Puisi mBeling / Puisi Sableng)

Oleh: Ratmaya Urip*)

Adalah kisah tentang negeri antah berantah
Yang petanya tidak ada dalam denah
Yang telah menapak kisah dan mulai menjadi sejarah
Dengan meniti amarah dan sulit menata gundah
Yang muaranya hanya ada sumpah serapah
Karena hari-harinya hanya ada keluh kesah
Dan bisanya hanya pasrah menyerah
Meski kadang ada darah yang tumpah


Anak negeri saling tohok tanpa ada seronok
Dengan leher penuh gondok bahkan saling gorok
Tak ingin menjadi keok karena tersodok
Apalagi menjadi bonyok
Atau menjadi mayat yang kemudian hanya teronggok

Nurani tak berani lagi bernyanyi
Tentang indahnya pelangi pagi
Atau berceloteh tentang indahnya cakrawala negeri bahari
Juga tentang ibu pertiwi yang penuh mimpi surgawi
Tentang peri azasi yang hakiki
Karena yang tersisa adalah ganasnya duri-duri
Karena kelamnya mimpi buruk rezim duniawi
Yang tak ada sisa untuk sudut hati surgawi
Yang telah menjarah negeri

Kentalnya dosa yang beranak pinak
Yang berbekal laku tak terpuji yang selalu bersorak
Telah menjajah negeri dengan congkak

Dada ini kembali berkerut, karena hati menciut
Wajah mengkerut kecut
Karena rezimnya memang dibelenggu rezim kentut
Eranya memang era kentut
Maka negeriku menjadi tanah ’tuk buang kentut
Sayang sekali, republik tercinta inipun menjadi republik kentut

Padahal yang hakiki republikku gemah ripah loh jinawi
Penuh baiduri dan ranah ramah yang dapat mencipta punagi
Dengan manusia yang dikenal ramah berbudi
Penuh toleran saling berbagi
Namun itu kini tak ada sisa lagi
Hanya karena rezimnya tidak berbudi
Yang tak pernah ada hasrat terciptanya sejahtera bagi negeri

Bukan aku tak cinta negeri ini
Bukan pula tak hendak menghargai jerih payah pendiri negeri
Yang berjuang tuk merdeka atau mati
Karena sangsi atas ketidakpercayaan yang telah mendera sepanjang masa yang kini
Dalam bara panas yang mengoyak dada ini

Tak sangsi aku cinta pada republik ini
Namun aku tak yakin pada yang akan terjadi nanti

Pertanyaan Akbar itu kini tiba
Apakah negeri benar-benar telah berlindung di haribaan Pandawa
Atau ternyata dalam kungkungan Kurawa yang merajalela
Juga apakah negeri ada di pihak Prabu Rama
Atau ternyata dalam dekapan angkara Rahwana
Karena yang tersibak di lontar yang terterpa pawana
Kemarin, kini dan esok
Nampaknya menyiratkan Kurawa telah berkuasa
Atau Rahwana telah merajalela

Dimana mana wajah kerut penuh cemberut
Ada yang merengut
Ada yang merasa terpagut
Juga telah membuat jantung berhenti berdenyut
Karena dimana-mana bau kentut

Kentut korupsi di negeri ini
Berbau namun sulit di deteksi
Kecuali yang berani acung jari atau malah unjuk diri
Bahwa dia telah menjadi tikus negeri

Di republik antah berantah ini
Tepatnya saat ini
Kentut korupsi malah membuat si empunya pantat semakin unjuk gigi
Tak ada yang berani
Atau tak kuasa menjadi panglima yang berpedang menuju henti berbekal nurani
Atau membuat korupsi menjadi basi

Bicara tentang kentut korupsi di negeri ini
Memang sempat membikin gaduh dan riuh seolah tak ada henti
Hiruk pikuk saling menekuk
Namun cepat basi karena melendut dan menggelayut
Karena korupsi di republik ini
Bak kentut yang cepat lenyap tertelan bumi
Meski berbau busuk menusuk
Sekejap kemudian lenyap dan luruh penuh seluruh
Punah tak bersisa termakan masa

Tut..tut..tut…siapa hendak turut?
Ke seluruh sudut republik yang penuh serut dan carut marut
Terpagut berjubelnya anak negeri yang suka kentut
Saat yang tepat ‘tuk korupsi merajalela bak kentut
Yang berbau busuk penuh kejut dan pagut
Namun kemudian senyap dan lenyap termakan kabut
Meninggalkan kepala yang bisanya hanya manggut-manggut
Karena tak kuasa melawan nurani ‘tuk tidak ikut kentut
Karena eranya memang era Republik Kentut
Dalam kuasa rezim kentut

====== ============

NAFSU YANG PIKUN DAN GOYANG BEBEK
Puisi mBeling: Ratmaya Urip*)

Saat langkahmu tetap saja seperti kalkun
Sementara nafasmu hanya sempat singgah di jakun
Sedang tanganmu tak jua mampu menebar ayun
Padahal di hatimu kebak dukana berbekal duyun
Karena merasa senjatamu sebesar raja ketimun
Rasa yang diperoleh dari berburu obat dukun
Itulah tanda nafsumu telah pikun

Seluruh tetangga wajar jika ada senyum
Yang mengintip di ujung kulum
Kayak berjudi dengan pendulum
Namun semua bermadah maklum
Karena nafsu yg pikun mencoba melepas dentum
Berbekal goyang bebek dari dukun secara tidak umum
Berjaja nafsu pikun seolah ranum

Meski dari dukun sudah belajar goyang bebek
Yang membuat tetangga termehek-mehek
Namun nafasmu tetap saja bengek
Dan bau telek
Yang tersisa tinggal yang jelek
Yang berbunyi seperti celana robek
Yang kemudian terbakar korek
Karena sebenarnya yang tersisa hanyalah rengek
Yang mencoba merindukan kidung kodok ngorek
Berkawan rontek dan tokek

------------
Tebet Raya, Januari 8, 2013
================

NEGERI BIRAHI
Oleh: Ratmaya Urip


Tatkala negeri sedang disandera birahi
Maka yang lahir adalah libido kuasa dan nafsu duniawi
Untuk selalu korupsi dan memasung kreasi
Menyisakan sampah ‘tuk menjadi sumpah serapah
Silang pendapat dan omong kosong tak ada arah apalagi denah
Menggoyang kursi ‘tuk selalu goyah
Meski tak ada yang mau menyerah kalah
Apalagi pasrah

Tatkala hati anak negeri tengah dilibas hakikinya sepi dan ngeri
Di belantara caci maki yang membahana dari para wakilnya yang “hanya” politisi
Bukannya negarawan yang tak pernah sepi berpikir negeri
Namun tak berkesempatan mencicipi kursi

Tetap saja hari-hari kebak caci maki
Sumpah serapah tak bisa diseruak meski sejenak
Maka maklumlah jika untuk negeri hanya menyisakan dukana
Karena pemegang mandat suara lebih suka pada cara merajut kuasa
Mencumbu dosa-dosa
Bukannya membangun jelata merungkas papa yang penuh nestapa
Karena benaknya penuh punagi tentang hidup bergelimang harta, wanita dan tahta
Meski mulutnya berbusa tentang negeri yang adil makmur dan sejahtera
Meski sebenarnya tanpa hati
Karena semuanya itu baka
Yang enggan bertabik pada fana
Dalam rimbunnya belantara jelata yang renta
Jelata yang tak berkesempatan ‘tuk menabung asa apalagi menggapai cita

Tatkala benak negeri tengah dikoyak mimpi
Maka yang ada hanyalah omong kosong tentang damai, adil dan makmurnya negeri
Atau kidung tentang negeri gemah ripah loh jinawi

Sementara jika hati negeri sedang dijajah libido
Maka kehendak hanyalah mengusung celoteh menco atau beo

Hari-hari yang menapaki warsa kini menggelegarkan maki-maki
Yang penuh amarah dan benci
Sumpah serapah tak ada henti
Saling jegal membenarkan diri
Meski semua tak ada yang dapat dimengerti
Karena memang tak ada arti apalagi hakiki

Birahi kuasa, libido tahta, mewabah di era reformasi
Mata air bagi suburnya perilaku tak terpuji
Dan bagi matinya nurani dan harga diri
Karena telah menafikan jalan Illahi

Kursi tinggi dan birahi di seluruh ranah negeri
Telah menolak santun dan rendah hati ‘tuk dibagi
Kecuali korupsi yang tergopoh ‘tuk dinikmati
Semua mau menangnya sendiri dan menjadi milik pribadi
Itulah negeri yang sedang birahi

Semua seolah mengatasnamakan negeri
Meski ‘ku pasti itu adalah negeri yang ada di perutnya sendiri

Sidoarjo, 20 Mei 2011

================= =============


WAJAH DALAM SEONGGOK KOTAK VISUAL ELEKTRONIK
Oleh: Ratmaya Urip


Di kotak visual elektronik yang butut di rumah si Midah
Di lokasi yang pasti tak ada dalam peta dan denah
Di tempat tanpa petunjuk rambu arah panah
Karena adanya memang di negeri antah-berantah
Ada kidung tentang tembang senja berawan merah yang marah
Bukan lagi lembayung yang merekah yang bikin jengah dan pipi memerah

Di kotak visual elektronik yang butut di rumah si Abah
Itu wajah kok sumringah renyah penuh tawa gairah
Dalam pesta gempita yang pongah dan meriah
Seraya debat kusir tanpa arah
Tanpa ada benak dan hati yang gerah, desah, resah dan merasa salah
Meski penonton dengan raga yang papa tengah gundah
Sedang yang renta jiwa bermadah gelisah karena susah

Apa mau menunggu semakin payah dan parah?
Atau menunggu marah yang dapat bikin goyah dan patah?
Yang hanya akan menyisakan darah dan sejarah?

Di kotak visual elektronik yang butut di rumah si Poltak
Nestapa telah beranak pinak
Dari Subuh sampai Maghrib menyeruak
Seluruh cakrawala Indonesia telah habis berteriak sampai serak
Namun wajah dalam seonggok kotak visual elektronik itu tak juga tergerak
Apalagi mau menyibak duri dan onak
Karena sudah merasa enak

Di kotak visual elektronik yang butut di rumah si Samsu
Semua sedang menunggu waktu
Saatnya penonton dapat sesuap nasi, sesobek baju dan sebenggol doku
Bukan segudang harta hasil korupsi yang dapat terwaris ’tuk anak cucu
Seperti yang diperoleh si Gayus Tambunan si raja kecu

Tapi mana mampu?
Jika wajah dalam kotak elektronik itu hanya berpangku dan beradu mulut berebut doku
Untuk menggendutkan saku
Serta menolak untuk malu
Karena mereka memang benalu
Yang tumbuh subur di pohon duku dan jambu


Jika wajah dalam kotak elektronik itu tak henti untuk korupsi
Miskin, papa dan nestapa penonton ini tak mungkin akan berhenti
Padahal penonton hanya ingin lebih dini
Menunggu hadirnya hidup yang indah penuh arti
Di sisa-sisa hari yang akan tertiti

Penonton hanya ingin ada asa
Syukur jadi nyata
Tidak lagi ada lapar, dingin dan masuk angin yang menerpa raga dan jiwa
Dalam lebatnya papa dan nista
Yang telah beranak pinak meng-Indonesia

Kapan miskin raga dan papa jiwa ini kan berlalu?
Wahai wajah yang ada di kotak visual elektronik-ku?
Jangan hanya bersilat lidah melulu
Yang muaranya hanya menggendutkan doku di sakumu

Ampun ya Allah
Ke kiblatmu takwaku berserah
Ke hadiratmu istigfarku bermadah
Di legamnya sajadahku yang mulai terengah
Jauhkan wajah di kotak elektronik itu dari kata penuh kilah dan sumpah serapah
Sadarkan mereka tuk berbenah ke kebenaran arah
Berikan penonton kuat tanpa sampai menunggu menyerah pasrah
Berkatilah dengan kesembuhan dari koma yang parah
Supaya Indonesia-ku gegap penuh gairah
Supaya rizkimu segera tumpah ruah
Karena tibanya kebenaran dan keadilan hasil jerih payah
Dan bersinarnya fajar pagi di ufuk memerah
Amin.

Sidoarjo 20 Mei 2011

================ =================


KIDUNG NEGERI ONANI
Oleh: Ratmaya Urip


Konon jika tak ada lagi insani peduli
Dan tak ada lagi bahagia ‘tuk dibagi
Atau tak ada lagi nyanyi sunyi tentang manusiawi
Apalagi menyantap indahnya pelangi di rintik hujan pagi
Dan malah menghardik kidung paksi yang beriring ke cakrawala senja yang kebak sari
Atau tak hendak bertabik pada nurani
Karena hanya peduli pada hari-hari untuk selalu korupsi
Atau ketagihan ‘tuk pantat duduk di kursi tinggi
Kompetisi rakus menumpuk harta diri yang tanpa harga diri
Meski itu milik negeri !
Sementara gubug reyot mewabah di seluruh negeri
Dan tak ada lagi nasi untuk berbagi gizi
Tak ada lagi bagi jalan Illahi
Maka negeri sedang onani

Konon jika negeri sedang onani
Memuaskan diri dalam nafsu hewani itu sudah pasti
Tak ada peka yang pekat
Semua hanya nafsu duniawi yang bejat penuh rekayasa jahat
Beranak-pinak menabur pesona diri dengan pikat dan sepaket pukat
Pawai nafsu menebar jerat
Memukat dosa yang selalu mendekat
Dan tak ingin ada tobat
Apalagi tak rindu hasrat menabung akhirat

Konon dalam negeri yang sedang onani
Semua yang adil menjadi basi
Yang benar terpancung eksekusi
Yang munafik menjadi raja
Yang berkuasa adalah paksa dan dosa-dosa
Dan tak peduli pada doa pada yang Kuasa
Dalam, meniti masa

Konon dalam negeri yang sedang onani
Kemakmuran menjadi jera
Kedamaian menjadi renta
Kejayaan menjadi papa
Yang jujur menjadi baka
Yang culas menabur fana
Karena semua syahwat dunia
Libido harta, angkara tahta, dan birahi kuasa
Tak ada damainya surga
Ataukan karena itu azab dan siksa Yang Maha Kuasa
Karena telah bermanja dengan dukana

===================== ========


TEMBANG NEGERI ANTAH BERANTAH
Oleh: Ratmaya Urip


Ketika keadilan dan kebenaran telah sekarat
Atau kemunafikan menjadi dahsyat
Dalam angkara kuasa yang khianat
Maka yang tersisa adalah kiamat

Kedamaian dan kemakmuran tak akan pernah berangkat
Ketika keadilan dan kebenaran menjadi papa
Atau kemunafikan tak juga renta
Atau angkara kuasa tak juga menjadi baka
Maka yang tiba adalah nestapa
Dan dosa-dosa

Ketika gegap bencana, banjir nestapa, gempita perkosa, dan korupsi kuasa menjadi raja
Maka yang menunggu adalah siksa dan nista
Atau gegapnya kesumat
Yang berujung pada sorak neraka
Dan bermuara pada azab dan laknat

Sidoarjo, 20 Mei 2011

===================== =============

Tidak ada komentar: