Jumat, 25 Januari 2008

Bunga Rampai MUNAS ke VI AMA Indonesia di Batam



MENEBAR ASA MERUNGKAS DUKANA MENGAIS REALITA MENUAI PRIMA

(Sisi Lain sebagai Sekapur Sirih dan Bunga Rampai MUNAS ke VI AMA Indonesia di Batam)



Disajikan dalam bentuk novellete ringan oleh :

Ratmaya Urip
(AMA Indonesia Cabang Surabaya)


Untuk :

Seluruh Pengurus, Anggota, dan Pemerhati AMA Indonesia di seluruh Indonesia, serta pihak-pihak lain yang ingin berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan AMA Indonesia.






BATAM, 11 – 14 MEI 2007


Motto :

Berikanlah kehormatan pada organisasi, dan jangan sekali-kali mencari atau mengais kehormatan dari organisasi, karena hanya itulah jalan untuk tercapainya kehormatan diri dan tercapainya tujuan organisasi

HARI PERTAMA
( 11 Mei 2007)


Batam bukanlah tempat yang istimewa bagi saya, meskipun boleh dikatakan bahwa saya sering mengunjunginya, di samping kawasan tetangganya seperti Bintan, Karimun, Singapura, maupun Johor Bahru, atau yang lebih sering disebut sebagai kawasan pengembangan SIJORI (Singapura, Johor dan Riau). Bagi saya Tenggarong, Melak, Pomet, dan seluruh hulu Mahakam di Kalimantan Timur dengan pesona gadis-gadis Dayak Kenyah, Dayak Benuaq, Dayak Tunjung, serta Alas atau Rhee di Sumbawa dengan gadis-gadis cantik berdarah Portugis yang memukau, juga Menggala di Lampung dan Rejang Lebong dengan gadis-gadis sintalnya, atau Kepulauan Raja Ampat di Irian Jaya Barat dengan pesona alam lautnya, lebih sarat dalam menyimpan kenangan yang memukau, sehingga lebih sering membuat dada ini berdesir jika mengenangnya. Namun kepergian saya ke Batam untuk kesekian kalinya saat ini serasa beda. Entah mengapa!? Ada julatan aneh yang mengarahkan dan mengajak saya untuk lebih memaknai kehadiran saya di Batam kali ini sebagai awal bagi ketertarikan saya padanya. (Yang itu terbukti setelah selama empat hari saya meniti hari-hari saya di Batam. Untuk itu baca cerita ini sampai cerita hari ke-empat)

Selama ini Batam memang lebih sering saya anggap sebagai tempat untuk makan enak, khususnya seafood seperti sup kepala ikan dan gonggong rebus, ataupun tempat untuk mengais sedikit hiburan dengan cara memelototi fenomena berupa surga dunia yang terhidang secara vulgar, karena sex memang sulit untuk menjadi santun jika harus dihadapkan pada uang yang dalam hal ini mengatasnamakan kesulitan ekonomi. Juga sex yang dikomoditikan sulit sekali untuk diajak menjadi lampau karena selalu terjadi dan terjadi, tidak pernah berhenti sejak awal kehidupan ini. Selalu fana! Sex hanya akan bermakna secara intens, indah, dan tanpa cela, jika itu merupakan pelengkap atau kesempurnaan dari cinta yang sesungguhnya, seperti cinta Romeo dan Juliet, Pranacitra dan Laramendut, Garth dan Astra, Sang Pangeran dan Cinderella, Ken Arok dan Ken Dedes, Jayaprana dan Layonsari, Saija dan Adinda, ataupun cinta-cinta yang melegenda lainnya. Meskipun saya sanksi, karena semuanya itu hanya ada dalam dongeng atau cerita fiksi. Faktanya, menurut pengalaman dan penelitian saya, cinta adalah fungsi matematis, karena Cinta selalu berbanding langsung dengan
Power dan Speed serta berbanding terbalik dengan Time dan Distance. Untuk yang satu ini saya sering memperkenalkannya sebagai Ratmaya’s Formulae :


L = (P x S) / (D x T)

Note :

L = Love P = Power S = Speed D = Distance T = Time


Hak cipta dilindungi undang-undang.



Sehingga tidaklah salah jika Batam lebih sering saya anggap sebagai akronim dari Banyak Amoy Tapi Amat Mahal, jauh lebih mahal dan lebih vulgar daripada amoy-amoy di Sambas dan Singkawang, Kalimantan Barat, dan itu berarti bahwa Batam bukanlah akronim dari Bila Anda Tabah Anda Menang, akronim yang sudah mengakar sebagai akronim baku selama ini. Karena menurut saya, sajian belantara erotika memang sangat kental mewarnai kehidupan malamnya.

Tentang seafood saya dapat mengatakan, bahwa belum pernah sedetikpun saya lupa pada sup kepala ikan dan gonggong rebus yang selalu membangkitkan selera jika saya berada di Yong Kee di Nagoya atau di Kijang, Lagoi, Bintan Resort, di Pulau Bintan, atau di banyak tempat lain di rimba food court yang menjamur di Batam. Tentang erotisme, terlalu mudah bagi saya untuk mengindikasikannya setelah selalu mengamatinya di berbagai tempat di Batam, baik di tempat-tempat hiburan seperti Pacific Diskotik, cafe- cafe, maupun di hotel-hotel kelas bintang lima sampai kelas melati. Tentang yang terakhir ini, saya dapat memastikan, bahwa saya dapat menulis jauh lebih banyak dan lebih baik daripada tulisan Moammar Emka dalam buku best seller-nya Jakarta Undercover. Namun karena forum ini adalah forum AMA Indonesia, yang itu berarti forum manajemen, yang bukan forum publik yang lebih luas, atau lebih tepatnya bukan forum Prof. Pangkahila dan Dr. Boyke atau Dr Naek L. Tobing (baca : forum pendidikan sex), maka saya harus dapat lebih menahan diri untuk lebih santun atau dengan kata lain untuk tidak gegabah dalam mengungkapkan fakta tersebut (He...he...he...namun jika ada anggota AMA Indonesia yang ingin agar saya lebih jelas bercerita, saya sudah siap. Bukan begitu Pak Tje Kian dari DKI dan Pak Samsu dari Surabaya? Atau Pak Erwin dari Makassar?).

Sebenarnya sebelum krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997, saya yang dalam hal ini mewakili institusi saya, pernah atau sempat untuk memulai bisnis di bidang konstruksi di Batam, dengan membuka cabang di Batam, bekerja sama dengan teman-teman dari Singapura untuk pasar jasa konstruksi Singapura dan Barelang, namun ketika badai krisis ekonomi meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi Indonesia, seluruh rencana menjadi berantakan. Semua orang tahu, bahwa sektor konstruksi adalah sektor kedua terparah setelah sektor keuangan dan perbankan yang paling menderita karena gonjang-ganjing tersebut.

Ketika itu saya sempat survey pasokan raw material untuk bahan baku konstruksi termasuk pengirimannya dengan barges yang ditarik tug-boat dari Kijang di Bintan, khususnya fine aggregates, course aggregates, concrete masonry dan precast concrete yang ketika itu diproduksi di Kijang. Survey-nya sendiri berupa pengumpulan data sampai evaluasi teknis dan ekonomis, yang diperlukan untuk terlaksananya bisnis jasa konstruksi di kawasan tersebut. Karena sangat rincinya survey yang saya lakukan, maka saya sangat paham sampai ke gang-gang kecil yang ada di kawasan tersebut, mulai dari Bintan, Karimun, Batam, Singapura dan Johor Bahru. Sebagai ikutannya tentu saja saya tahu juga dimana banyak makanan yang lezat dan gadis-gadis cantik berada. (He...he...he...Pak Tje Kian dan Pak Jadi Rajagukguk jangan iri, ya ???!! Sedang untuk senior saya, Bapak Sumitro Roestam, mohon maaf karena kali ini terpaksa mengumbar hasrat yang sudah lama tidak tersalurkan, dalam hal ini hasrat untuk memproyeksikannya dalam tulisan, bukan hasrat dalam arti lain. Maklum bisanya hanya corat-coret dengan tulisan. Mohon jangan terlanjur mem-vonis sebagai hasrat yang lain. ). Yang pasti waktu itu saya lebih muda daripada saat ini. Dengan kata lain energinya jauh lebih banyak daripada saat ini. (Pasti para pembaca tahu yang saya maksud. Awas ! Dilarang untuk berkonotasi negatip, karena yang saya lakukan semuanya positip!). Tentang gadis-gadis cantik, saya hanya ingin memberi bumbu yang sedap bagi cerita ini. Maklum, tanpa jelitanya gadis-gadis, sebuah cerita akan hambar atau tawar, sehingga perhatian pembaca akan jalannya cerita akan ter-erosi. Sebaliknya, cerita tentang gadis-gadis akan lebih membuat pembaca sering mengernyitkan dahi, memperbesar bola mata, dan meningkatkan denyut jantung (baca : asal jangan sampai meneteskan air liur karena itu amat sangat memalukan bagi predikat pemerhati dan pelaku aktifitas manajerial seperti anggota AMA Indonesia, he...he..he.... Bukan begitu, Pak Sukardi dari Jambi?) Tentu saja asal tidak vulgar. Tetap menarik tapi masih dalam kesantunan yang excellence. Untuk Ibu Listya dari Malang, mohon maaf, jika real stories ini lebih memanjakan Bapak-bapak daripada Ibu-ibu. Jangan khawatir, untuk Ibu-ibu ada cerita lainnya nanti. Atau kalau perlu saya diberi space khusus dalam Buletin Reguler AMA Malang yang bagus itu. Untuk Pak Aditya Cakasana dari Solo, maaf jika coretan ini kurang berkenan, karena nampaknya Pak Aditya kurang begitu sreg kalau cerita tentang gadis-gadis. Sekali lagi maaf, Pak. Saya tahu Bapak lebih sreg jika cerita tentang trip keluar negeri, khususnya Jerman. (Meskipun Bapak juga sangat intens jika membahas tentang kampung seni baru, Kauman di Solo, yang telah menambah ranah seni di Solo, di samping khasanah batik Laweyan dan Pasar Klewer). Jangan khawatir kali ini memang hanya cerita tentang local tripregional trip. Di kesempatan lain saya akan cerita tentang western trip atau international trip yang mungkin dapat lebih memukau buat Bapak. Style saya dalam bercerita semoga cocok dengan selera Bapak, karena terus terang saja, kata orang... gaya saya bertutur sangat dipengaruhi oleh gaya bertutur Dr.Karl May dalam serial Winnetou, maupun serial Kara Ben Nemsi, yang meluncur begitu saja dari benak tanpa koreksi sedikitpun, dan dicoba untuk detail, supaya pembaca dapat larut dalam cerita. He...he...he...sombong dikit nggak apa, ya, Pak!? Sombongnya kan demi kepuasan pembaca. Sombong atau pura-pura sombong, atau mencoba untuk sombong?

Waktu itu pula, sedang panas-panasnya wacana pelepasan diri Kepulauan Riau dari Propinsi induk, untuk menjadi propinsi tersendiri, terpisah dari Propinsi Riau. Friksi yang terjadi pada waktu itu memang sangat tajam dan menegangkan, karena diindikasikan bahwa propinsi induk tidak menyetujui keinginan tersebut, sehingga di hampir seluruh kota di Kepulauan Riau banyak dijumpai spanduk-spanduk dan baliho-baliho yang panas, yang pada intinya pembentukan Propinsi Kepulauan Riau adalah harga mati.

Pagi ini, Jum’at, 11 Mei 2007, jam 06.55 WIB, atau terlambat sekitar dua puluh lima menit dari waktu yang telah direncanakan, ada sesuatu yang indah dan membuat saya berbunga-bunga, yang menggelayut pekat dan sarat dengan ceria ketika pesawat Citilink yang saya tumpangi bersama teman-teman anggota delegasi AMA Indonesia Cabang Surabaya mulai melepaskan cengkeraman roda-rodanya dari runway beton di Bandara Juanda, untuk menuju ketinggian 33.000 feet. Pesawat Boeing 737-300 dengan kapasitas 150 penumpang itu penuh dijejali penumpang. Delegasi AMA Indonesia Cabang Surabaya hanya beranggotakan 4 orang, padahal pada awalnya seluruh Pengurus Cabang Surabaya akan hadir dalam Munas AMA ke VI di Batam. Yeah....beruntung, ketika saatnya tiba masih ada 4 orang yang berangkat, karena sempat hanya akan mengirim 1 orang saja, karena kesibukan masing-masing yang sangat padat. Itupun Pak Chris Susanto sebagai anggota delegasi ke-4 terpaksa menyusul berangkat dengan pesawat lain setelah 3 orang anggota rombongan pertama berangkat terlebih dahulu. Pak Chris Susanto berangkat dengan Mandala Airlines. Secara resmi, delegasi Surabaya yang didaftarkan ke Panitia Munas VI adalah saya sendiri, Ratmaya Urip, selaku pimpinan delegasi, yang mewakili Ketua Cabang Surabaya, karena kebetulan Ketua AMA Surabaya tidak dapat hadir. Maklum beliau mempersiapkan hajad besar yaitu mantu untuk putra pertama. Sedangkan anggota-anggota delegasi adalah Pak Chris Susanto, Bendahara Cabang, dari Dharmala Group, Pak Samsu Hadi, Ketua Bidang, sekaligus pengusaha muda yang sukses, serta Ibu Sri Sundari, aktifis AMA, yang sering disebut wanita baja, karena beliau adalah General Manager Industri baja yang cukup ternama di Surabaya. Jarang sekali wanita yang mengeluti manufacturing business yang sering dikonotasikan dan akrab dengan laki-laki tersebut. Sebenarnya Pengurus Cabang sudah berusaha supaya jumlah delegasi dapat lebih banyak daripada jumlah tersebut, namun sampai saat-saat terakhir hanya sejumlah itulah yang dapat berangkat. Sebenarnya saya sendiri juga hampir gagal untuk berangkat karena suatu alasan, namun beruntung akhirnya dapat bergabung.

Kembali ke Batam. Sebagai tuan rumah, saya pasti selalu ingat Pak Jadi Rajagukguk, Ketua AMA Batam yang sangat energik, smart, ganteng, ramah dan kocak. Orang Batak yang tipikal atau stereotipnya bukan seperti orang Batak, karena lebih berpenampilan, berperilaku dan bertutur kata Jawa. Apalagi Pak Jadi sangat fasih berbahasa Jawa. Politisi sekaligus businessman sukses yang merupakan dedengkot KADIN Kepulauan Riau yang sangat membanggakan saya. Jika para pembaca berbelanja di Batam, saya sarankan untuk menjadikan Pak Jadi Rajagukguk sebagai referensi, atau sebutlah nama beliau di setiap Pusat Perbelanjaan, mulai dari BCS, Lucky Plaza, Nagoya Hill, atau Kawasan Bisnis lain di Nagoya, Sei Jodoh, Batam Center dan lain-lain. Pastilah akan mendapatkan harga yang sangat miring. Entah pesona apa yang tertebar di Batam dari kemilaunya kharisma beliau. Oh, ya...saya dengar katanya Pak Jadi sebentar lagi akan mencalonkan diri sebagai Bupati di salah satu Kabupaten di Propinsi Kepulauan Riau. Sukses, ya Pak !!! Ssssst....di antara teman-teman Pengurus AMA selalu beredar joke, bahwa jika berfoto bersama Pak Jadi pasti selalu tidak jadi...dan untuk itu lama dicari penyebabnya. (Di kemudian hari setelah selesainya Munas ke VI di Batam baru ketahuan ternyata penyebabnya adalah terlalu silaunya pantulan cahaya
dengan sedikit blitz yang memantul dari.......?......beliau. He...he...he...Maaf Pak Jadi, ini hanya bercanda, untuk menggairahkan jalan cerita. Jangan marah, ya Pak? Setuju?! Solusinya, jika ingin berfoto bareng Pak Jadi, jangan sekali-kali memakai blitz! He...he...he!).

Tentang Batam juga, entah kenapa, konotasi saya selalu berlabuh pada Ibu-ibu yang cantik seperti Ibu Elmi dan Ibu Fenti yang ramah, hangat, dan selalu ceria. Tentu saja tak ketinggalan Pak Febriansyah, yang santun dan kalem namun sangat tegas jika berdebat.

Tepat jam 09.00 WIB, atau sekitar dua jam lebih lima menit pesawat sudah menjejakkan roda-rodanya di runway Bandara Hang Nadim, Batam. Pendaratan yang menurut saya sangat tidak mulus, yang membuat saya kecut dan tegang. Namun hati saya sedikit tenang ketika roda pesawat mulai menapak dan melewati taxiway untuk menuju apron. Terus terang sebenarnya sejak semula ada perasaan was-was ketika harus berangkat ke Batam kali ini. Seminggu sebelum berangkat, beberapa media cetak dan elektronik melaporkan, bahwa sejak awal bulan Mei cuaca di Kepulauan Riau sedang tidak bersahabat untuk perjalanan laut maupun udara, dan itu akan berlangsung sampai akhir bulan. Setiap kapal dan pesawat udara yang melewati kawasan tersebut diminta untuk extra hati-hati. Ombak setinggi 4 meter sering terjadi di Selat Karimata dan Laut Natuna. Awan Cumulus Nimbus (CB) selalu menggelantung pekat di atasnya. Siapapun tahu, bahwa jika awan CB sudah menggelantung pekat dan bergelayut di angkasa dengan pongahnya, topan dan badai sering menyusul tiba. Maka saat terjadi goncangan-goncangan keras ketika memasuki kawasan udara Kepulauan Riau tadi, doa saya enggan beranjak dari hati. Maka setelah kaki saya menjejak ujung rampway setelah keluar dari cabin pesawat, langkah-langkah saya menjadi mantap, dengan senandung kecil yang merayap dan bertengger di bibir saya. Tentu saja setelah mengucapkan syukur Alhamdulillah. Entah senandung apa, karena saya sendiri tidak tahu pasti. Mungkin Only You dari The Platters, atau She Wears My Ring dari Solomon King, atau My Girl dari The Temptations, atau malah salah satu lagu masa kini dari Ungu, yang saya lupa judulnya.


”Pak Urip, maaf...bagaimana caranya jika ingin mengaktifkan combo?” tiba-tiba Pak Samsu menyergap saya dengan pertanyaan yang tidak saya duga sebelumnya. Yang dimaksud pastilah cara mengaktifkan Flexi Combo (He...he...he...untuk para pembaca, maaf...ini bukan iklan, karena tidak ada sedikitpun dalam benak penulis untuk beriklan dalam tulisan ini, karena tokh tidak ada yang mau membayar..! Penulis hanya ingin bercerita apa adanya, tanpa lebih tanpa kurang).

Sambil tetap berjalan menyusuri koridor di lantai dua menuju ruang kedatangan, saya menukas :
”Lho...tadi ketika di Surabaya belum sempat?”
”Maksudnya?” sergap Pak Samsu.
”Seharusnya ketika di Surabaya tadi, ketika masih ada signal, combo-nya diaktifkan. Kalau sekarang, di Batam kan sudah tidak ada signal lagi,” jelas saya.
”Oh, saya tidak tahu...maklum belum pernah, sih. Selama ini selalu pakai GSM kalau keluar kota, belum pernah memakai combo...”
”Akh...gampang, jangan khawatir. Hubungi saja 147, namun harus pakai pesawat lain. Nanti saja dilakukan di hotel,” tiba-tiba Bu Sri yang sejak awal selalu diam memberi jalan keluar.

Tanpa sepengetahuan teman-teman anggota delegasi dari Surabaya, sebenarnya ada sesosok wanita cantik yang sejak keluar dari pintu cabin pesawat tadi telah menjulat perhatian saya. Atau lebih tepatnya sejak di excecutive lounge Bandara Juanda, Surabaya. Hanya ketika itu saya pikir dia mau ke Jakarta, bukan ke Batam. Postur dan wajahnya mengingatkan saya pada Meg Ryan, si cantik yang sempat menarik perhatian saya ketika berakting dalam Sleepless in Seattle bersama Tom Hanks. Sedang matanya mengingatkan saya pada Helen Hunt yang memukau dalam filmnya Only You. Mata sayu yang mengundang iba, mata yang sangat membuat pria merasa nyaman ketika berada di sampingnya, mata dan bentuk tubuh yang sangat diidamkan oleh pria manapun yang menatapnya. Pokoknya keseluruhan penampilannya pasti membuat siapapun pasti tak pelit untuk memberikan apresiasi kepadanya, meskipun itu datang dari sesama jenisnya, apalagi lawan jenisnya.


Kebetulan Pak Samsu menanyakan masalah Flexi Combo, sehingga memunculkan ide dan kreatifitas baru untuk saya, khususnya dalam hal cara untuk dapat mengenal wanita tersebut lebih jauh. Kebetulan ketika masih di Surabaya tadi, ketika pesawat sedang mau take-off, saya sempat mendengar dia menanyakan cara mengaktifkan Flexi Combo kepada pramugari yang kebetulan melintas di dekatnya. Dia kebetulan duduk di aisle, bukan window, persis di belakang tempat duduk kami. Namun pramugari tersebut memintanya untuk segera mematikan telepon selulernya, karena pesawat sudah mau take-off. Kebetulan wanita tersebut sekarang sedang berjalan sendirian persis di belakang kami bertiga, menyusuri koridor bangunan lantai dua terminal Bandara Hang Nadim, sedang asyik memencet-mencet telepon selulernya, yang saya tahu pasti itu adalah telepon seluler CDMA. Saya tahu kesulitan dia, maka meski ragu-ragu dan ada rasa kecut, namun karena kuatnya dorongan keinginan untuk mengenalnya lebih jauh, saya melambatkan langkah-langkah saya, untuk kemudian menyapa sekaligus memberikan jalan keluar kepadanya ketika saya sudah berada tepat di sisi kanannya :


”Ibu mau mengaktifkan Combo, ya?” saya bertanya sesopan mungkin.
Sejenak dia menatap saya dengan pandangan kaku (atau marah?), mungkin karena agak terkejut. Namun mungkin karena dari sinar mata saya terkesan innocent, tulus, dan benar-benar tampak ingin membantu dari kesulitan kecilnya, lambat namun pasti, secara crescendo muncul senyum kecilnya. Ibarat musik, crescendo yang tercipta memang hanya sejengkal, karena bermata air dari pianissimomezzo piano, tidak sampai forte, apalagi fortissimo. Rasanya memang aneh dan lucu, karena harus ada musikalisasi senyuman. Pada intinya bagi yang kurang paham tentang musik, senyumnya boleh dikatakan senyum yang pelit,...meski sebenarnya (atau bagi saya?) malah menambah pesonanya. (Di kemudian hari, setelah akrab, baru saya tahu ternyata dia malu, karena tidak dapat mengaktifkan Combo, mengingat petunjuk untuk itu banyak dipublikasikan oleh operatornya).
dan bermuara di


”Bapak kok tahu?” sahutnya, yang membuat keraguan saya hilang seketika, menerbitkan gejolak dan gairah baru yang aneh. Yang pasti saya senang, karena dia mau menjawab pertanyaan saya, meski jawabannya adalah sebuah pertanyaan.


Kalau tokh saya mempunyai keinginan untuk mengenal wanita tersebut lebih jauh, itu bukan berarti saya ingin macam-macam, sungguh! Keinginan saya hanya satu macam, yaitu menambah teman. Saya harus tahu diri, karena usia saya sudah tidak mungkin lagi menjangkau hal-hal yang sifatnya beyond friend. Juga malu pada anak-anak di rumah (Namun tidak malu pada Pak Mindiarto dan Pak Alex Denni dari BPP atau Pak Henry Susanto dan Pak Haryo Ardito dari DKI...he...he...he...! Halo Pak George Nurtani, apa saya juga perlu meminta izin Bapak untuk tidak perlu malu?). Meskipun kadang muncul kesombongan sekaligus keyakinan saya, bahwa saya masih laku jika harus dihadapkan pada sosok lawan jenis. Namun yang pasti saya bukan womanizer seperti Presiden John F. Kennedy atau Presiden Bill Clinton (statement ini menyitir media massa).

Untuk membuktikan bahwa saya tidak ingin macam-macam, tapi semacam saja, seperti apa yang saya sampaikan di atas, maka saya mencoba memberi kesempatan kepada Pak Samsu, yang masih sangat muda untuk ikut dalam pembicaraan awal yang sudah saya mulai beberapa menit yang lalu. Kalau saya ada maksud tertentu, pastilah saya jadi egois, tidak boleh ada seseorang yang lain yang mendekati wanita tersebut. Sayang sekali, Pak Chris Susanto terpaksa harus berangkat belakangan karena kehabisan ticket. Jika tidak pasti akan lebih gayeng. Karena biasanya Pak Chris lebih dapat memaknai dan menikmati kehadiran lawan jenis, sebagai berkah dan anugerah (He...he...he...maaf Pak Chris, saya hanya menyampaikan fakta, jangan keburu sewot!). Pak Chris jauh lebih berpengalaman dibandingkan Pak Samsu. Dengan Pak Samsu saya memang harus lebih banyak membimbing, karena biasanya Pak Samsu terlalu formal, tanpa sentuhan-sentuhan yang khusus (Pak Samsu jangan nggondok, ya? Statement ini hanya pemanis cerita saja, kok...! Saya tahu sebenarnya Pak Samsu full experiences. Selama ini hanya merendah saja. Memang experiences dan experiments memegang peran kunci dalam menghadapi wanita.

Ternyata Pak Samsu sejak sentuhan pertama berupa pertanyaan awal saya ke wanita tersebut, memang sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk bergabung dalam pembicaraan, nampaknya ngebet banget (atau iri pada saya?), hal ini terbukti karena tanpa diminta tiba-tiba Pak Samsu menembakkan sederetan kata-kata, seolah tanggap pada keinginan saya :
”Ya, Bu...saya tadi sempat memperhatikan Ibu saat sebelum pesawat take-off , menanyakan tentang combo kepada pramugari. Kebetulan itu juga masalah saya. Sebaiknya kita minta bantuan Pak Urip atau Bu Sri untuk mengaktifkannya.”
Nampaknya bak gayung bersambut, Bu Sri cukup memahami keinginan saya, yang dengan kearifannya ternyata sangat mengerti hasrat (atau libido?) kelaki-lakian saya ketika ’terpaksa’ harus dihadapkan pada keindahan ragawi sesosok wanita :
”Sebaiknya kita kenalan dulu. Masak belum kenalan sudah harus jauh ngobrolnya...Kenalkan dulu, saya Sri Sundari,” kata Bu Sri sambil menyodorkan tangannya ke wanita tersebut untuk berjabat tangan.
Terima kasih Bu Sri, karena telah melapangkan jalan bagi saya, karena Ibu telah berperan sebagai katalisator atau fasilitator dalam upaya mendekatkan keinginan saya untuk lebih mengenal wanita tersebut. Bagi saya ini sangat sempurna, karena jika awal kenalan dengan wanita tersebut dilakukan oleh Bu Sri yang wanita juga, pastilah tidak akan banyak hambatan. Awal yang baik. Ini bukan berarti saya memanfaatkan Bu Sri, lho...!
”Vivi...Vivi Ruswita,” sambut wanita tersebut mulai menunjukkan keakraban awal. (Catatan : Nama tersebut terus terang bukan nama asli. Sengaja disamarkan oleh penulis menjadi nama imajinasi penulis, demi privasinya).
”Saya Samsu...lengkapnya Samsu Hadi,” serobot Pak Samsu sambil menyorongkan gumpalan jari-jari tangannya yang terpadu sebagai tangan kanannya kepada wanita tersebut. Menurut saya semua jari tangan Pak Samsu terdiri dari jempol semua, tidak ada telunjuk, jari manis dan kelingkingnya, karena seluruh jari tangannya mempunyai ukuran king size atau XL semuanya. Maklum sosok Pak Samsu memang mirip tokoh pewayangan Bima dari Pandawa. Namun Bima yang kelebihan berat badan. (He...he...he...maaf Pak Samsu, ini hanya bercanda, jangan dimasukkan hati. Terima kasih atas pengertiannya dan bantuannya karena telah menjadi peran pembantu di cerita ini. Semoga nanti dapat menyabet peran pembantu pria terbaik dalam Piala Oscar. Sedang peran utama biarlah tetap saya saja!).

”Ratmaya Urip,” saya menyusul memperkenalkan diri dengan pandangan yang disejuk-sejukkan, sambil menatap bola mata dengan bulu mata yang indah menawan tersebut. Bulu mata lentik yang menyebabkan saya ingin ketawa, karena tiba-tiba saya ingat bulu mata Deasy Bebek, pacar Donald yang sering harus bersitegang dengan Untung dalam serial Donald Bebek. Bulu mata Deasy Bebek memang selalu digambarkan indah sekali dalam komik-komiknya. Apalagi kalau sedang berkejap-kejap.

”Ke Batam dalam rangka apa, nih. Pulang atau ada urusan bisnis?” tukas Bu Sri.
”Nggak, Bu...hanya jalan-jalan saja. Saya, sih dari Surabaya, dan ini untuk pertama kalinya saya ke Batam, dan nanti langsung ke Bintan,” sahut Vivi.
”Oh, ya...? Berani banget, sendirian ke wild wild west. Lagian untuk yang pertama kalinya. Tidak takut salah jalan? Wanita cantik jalan sendirian nanti diterkam buaya, lho,” seloroh Bu Sri, sambil melirik saya penuh arti.
Edan, Bu Sri ini. Saya tersindir, masak saya dianggap buaya. Belum tahu dia, kalau saya ini Pangeran dari Negeri Antah Berantah atau Negeri Dongeng yang selalu diimpikan oleh Puteri-puteri Raja dalam setiap tidurnya, dan selalu dibayangkan untuk menjadi pengantinnya. Seperti dalam dongeng-dongeng Hans Christian Andersen.
Wanita dengan nama Vivi tersebut tersenyum manis, menyambut seloroh Bu Sri. Kemudian :
”Nggak, Bu...mana ada yang mau mengganggu wanita buruk rupa seperti saya ini,” tukas Vivi.
”Aduh...wanita secantik Bu Vivi saja mengaku buruk rupa, lantas yang cantik seperti apa, ya?” saya mencoba menyergahnya.
Vivi tersenyum lagi, wajahnya memerah.
”Sudah...sudah! Pak Urip katanya mau nolongin buka combo. Ayo dong...jangan ngomong terus,” serobot Pak Samsu agak sewot.
Kemudian dengan telepon seluler, saya menghubungi operator 147. Setelah tersambung, karena harus menjawab pertanyaan dari seberang sana tentang data diri yang sangat personal, maka telepon seluler segera saya alihkan ke Vivi, yang memang ingin meregistrasikan nomor combo untuk Batam. Setelah mengucapkan terima kasih kepada saya, diapun berbicara dengan operator. Setelah selesai dan mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada saya, Vivi berujar :
”Bapak-bapak dan Ibu Sri ini sebenarnya mau kemana dan ada keperluan apa berada di Batam?”
”Oh, ya...kami sebenarnya ada acara MUNAS di Batam ini, yang dimulai malam nanti,” sahut Pak Samsu.
”MUNAS? MUNAS apa, Pak?”
”Kami ini sebenarnya delegasi Asosiasi Manajemen Indonesia Cabang Surabaya, yang kebetulan akan berMUNAS di Batam,” saya mencoba menjelaskan.
”Asosiasi Manajemen Indonesia? Kok saya baru dengar. Organisasi apa itu, Pak?”

Kami kemudian menjelaskan secara rinci tentang Asosiasi Manajemen Indonesia sampai mulut kami berbuih-buih karena terlalu semangat. Vivi mendengarkan kami dengan serius dan seksama, meskipun sambil berdiri. Dari pembicaraan yang kemudian lebih berkembang, ternyata Vivi adalah salah satu manajer di salah satu Bank Asing di Surabaya (Maaf, demi privasinya, maka tempat kerjanya terpaksa di block out, atas inisiatip penulis). Namun, yang penting bagi saya, dan bagi AMA Indonesia, Vivi memberikan jawaban, ya! Ketika Bu Sri mengajaknya untuk bergabung menjadi anggota AMA Indonesia Cabang Surabaya. Untuk itu dia sempat memberikan business card kepada kami. Intuisi saya, dia memiliki potensi yang tinggi dan sangat prospektip bagi AMA Indonesia Cabang Surabaya.

Setelah berkenalan lebih akrab, saya dapat lebih menikmati sosoknya lebih detail, karena lebih merasa bebas dan tenang dalam menatapnya (meski sembunyi-sembunyi!).

Vivi memang sangat memukau, meskipun penampilannya tidak termasuk natural, karena kesan modern make up-nya lebih kuat. Sebenarnya saya lebih dapat menikmati kecantikan yang alami, ibarat menikmati keindahan lukisan beraliran realis dari Sudjojono, bukan lukisan naturalis dari Basuki Abdulah. Meskipun menurut saya, wanita tersebut tidak termasuk kedua aliran tersebut dalam mengexploitir penampilannya. Lebih dekat ke tipikal wanita surrealis dari Salvador Dali, bukan Leonardo Da Vinci. Rambutnya hitam dan bersandar ke bahu dengan anggunnya, yang nampaknya bergelombang secara alami, bukan tipikal rambut bergelombang milik Farrah Fawcett, yang artifisial.

Dari sejumlah kalimat yang sempat meluncur dari bibirnya, saya sudah dapat menilai, bahwa gaya bicaranya cukup bervariasi, kadang legato, kadang staccato. Nampaknya tergantung kebutuhan. Dengan varian seperti itu ditambah kemampuan dinamika, dialektika dan romantika yang terpotret dari wajah serta bahasa tubuhnya yang fenomenal, Vivi menjadi sangat khas, atau dapat disebut wanita yang sangat berkarakter. Timbre atau warna suaranya lebih dekat ke mezo sopran, namun kesan alto-nya dengan suara sedikit serak-serak basah yang sensual kadang muncul. Sesaat aku ingat January Christie, penyanyi alto favoritku, namun Vivi mempunyai frekuensi suara yang sedikit lebih tinggi daripada January Christie. Saya yakin, jika Vivi menyanyi, rentang suara vokalnya pasti sekurang-kurangnya mencapai empat oktaf. Kesimpulan ini saya peroleh berdasar pengalaman saja. Mungkin karakter suaranya cocok dengan beberapa lagu yang pernah saya bawakan bersama grup musik saya beberapa tahun yang lalu, yang sampai sekarang belum pernah ada yang cocok membawakannya. Semoga nanti dia sempat ada waktu untuk menyanyikan dan menjiwai lagu-lagu kami. Saya berharap dia dapat menyanyikan lagu-lagu dengan iringan piano dari saya. Di antara beberapa lagu Cemara Tujuh (group musik saya di Yogyakarta semasa kuliah dulu), mungkin lagu yang berjudul Perempuan sangat cocok untuk dia :

Perempuan

Memang aku perempuan
Citraku sepertanyaan dengan pelangi
Syarafku peka bagaikan senar
Yang terpetik jari angin

Yang bergetar dan mendesah pada gitar
Dalam hati segala ingin
Dan kodratku memang rahim
Dalam rindu fajar pagi, dalam rindu fajar pagi

Dan seterusnya......! (Off the record!)
--------------------------------------------------------------------------------
Catatan : Semoga Mas Santo, kawan saya semasa di grup musik Cemara Tujuh, Yogyakarta, sempat membaca cerita ini.
-------------------------------------------------------------------------------



Vivi ternyata cukup humoris. Ini terbukti ketika kami berbicara dengannya, kadang dia melempar canda yang tidak terduga. Semakin lama bicara, semakin menunjukkan, bahwa wawasannya cukup luas dan dapat diajak sebagai teman diskusi yang menyenangkan, karena dapat meladeni banyak topik diskusi, mulai politik, ekonomi, budaya sampai musik dan sepak bola.

Celana jeans biru yang sportif namun tidak begitu ketat membalut kaki panjangnya, sementara baju casual berwarna dasar kuning dengan motif hiasan bunga putih di sana sini, membuat penampilannya sangat menggoda. Sangat modis, penuh citra rasa tinggi. Yang pasti dia sangat santun dan nampak selalu mengontrol penampilannya supaya tetap bercitra sebagai wanita yang sangat berkelas.

Kami kemudian berpisah dengan Vivi, yang katanya berpisah untuk sementara, karena dia sudah berjanji akan bergabung sebagai anggota AMA Surabaya setelah tiba kembali di Surabaya, dan akan ikut aktif dalam program-program AMA Surabaya. Betul-betul perjumpaan yang mengesankan, karena berMUNAS sekaligus dapat menggaet anggota baru. Cantik lagi! Dia buru-buru mau langsung ke Telaga Punggur, pelabuhan khusus penyeberangan ke Bintan, dengan taksi. Sayang dia tidak mau ikut bergabung sebagai anggota delegasi Surabaya secara dadakan.

Sesampai di pintu keluar saya merasa surprised, melihat sederetan panitia Munas VI, dan Pengurus AMA Cabang Batam nampak berderet menjemput kami. Diawali jabat tangan dengan Pak Febiansyah, sebagai refleksi ucapan selamat datang. Kemudian dilanjutkan jabat tangan dengan anggota panitia yang lain, yang maaf...namanya banyak yang saya lupa. Tiba-tiba muncul Sang Ketua, Pak Jadi dengan senyumnya yang khas menyeruak di antara deretan para penjemput penumpang, yang kemudian menyapa kami dengan suara bariton-nya :

”Selamat datang di Batam dan Selamat ber-Munas,” sapanya ramah penuh keakraban. Hospitality yang tidak dibuat-buat, dan tentu saja saya terkesan. Nampaknya Pak Jadi dan kawan-kawan di Batam sangat siap dalam mempersiapkan event tiga tahunan ini.
”Lho...dari Surabaya kok hanya bertiga?” tanya Pak Febri.
”Oh, ya...maaf, salah satu anggota rombongan ikut dengan Mandala, karena kehabisan ticket. Direncanakan satu jam lagi menyusul tiba,” jelas Pak Samsu Hadi.

Dari jauh, sekitar dua puluh lima meter kulihat sosok yang sangat saya kenal menghampiri kami. Bu Elmi, ya Bu Elmi Ong...menghampiri kami dengan senyumnya yang sangat saya kenal hampir dua tahun ini.Terus terang saya kenal Bu Elmi baru ketika saya mengikuti Rakornas di Hotel Sheraton Media, Jakarta, akhir tahun 2005 yang lalu. Ibarat belum seumur jagung saya mengenal Bu Elmi, namun rasanya saya sudah mengenalnya sejak Bu Elmi masih kecil. Masih seperti yang dulu, cantik dengan kulit kuning langsat dan sosok langsing idaman setiap wanita, yang sehat penuh vitalitas (dan kreatifitas), yang nampaknya selalu terjaga perawatannya. Beliau nampak sekali selalu menjaga penampilan. Tuturnya santun penuh keakraban, yang dengan gaya centilnya sering melempar canda namun tidak bermaksud untuk bercanda, sehingga selalu membuat betah lawan bicaranya. Highstyle-lah pokoknya. Suara soprannya saat bertutur kata selalu mengingatkan saya pada Conny Francis dalam hit-nya Aldila atau My Love. Hanya bedanya Bu Elmi tidak mendayu-dayu, karena artikulasi dan intonasinya sangat tajam dalam kelembutan yang menghanyutkan, sementara phraseringnya sangat prima, seolah merupakan trademark beliau, yang itu sering terproyeksikan dalam setiap diskusi yang pernah kami lakukan. Yang pasti semuanya itu memberinya kesan smart dan anggun, kebak pesona. Memang saya harus mengakui, Bu Elmi memiliki kepribadian dan karakter yang sulit dicari padanannya di antara jajaran bintang film atau selebritis lokal maupun internasional. Pokoknya...beyond-lah! Beruntunglah suami yang telah berhasil menyuntingnya, dan yang pasti telah membuat saya iri. (Maaf Bu Elmi, ini fakta...dan saya berusaha memproyeksikannya seobyektif mungkin, tanpa pretensi apapun. Sungguh! Saya kira teman-teman setuju kok. Bukan demikian Pak George Nurtani dari Makassar atau Pak Satria Bangsawan dari Lampung? Kalau saya salah karena terlalu subyektif mohon dikoreksi? Untuk suami Bu Elmi, mohon maaf. Dengan ini Bapak pasti bangga, karena banyak yang nyaman dan tersanjung karena memiliki teman seperti Bu Elmi yang sangat baik, ramah dan friendly).

Kemudian dari bibir pink-nya yang tipis dan nampak alami tersebut meluncur sederetan kata-kata ramah dalam senyumnya yang melimpah ruah (Catatan : ibaratnya senyum itu dapat dibawa pulang sebagai buah tangan karena sangat melimpahnya. Yang pasti, meskipun melimpah ruah namun tidak menyebabkan inflasi, malah ngangeni...he...he...he...! ) :
”Selamat datang…selamat datang, Bapak-bapak dan Ibu…,” sejenak Bu Elmi terdiam, mengernyitkan dahi, mencoba mengingat-ingat sesuatu, namun tetap dengan senyum yang berpendar di wajahnya, dengan sinar mata yang juga tetap penuh binar keakraban.
”Sri Sundari,” sahut Bu Sri, satu-satunya anggota delegasi Surabaya yang wanita, seolah tanggap akan apa yang ada di benak Bu Elmi, yang mungkin saja Bu Elmi lupa akan nama Bu Sri..
“Ya, benar…Bu Sri!…wah Bapak dan Ibu ini tamu perdana lho…soalnya rombongan besar baru datang mulai jam satu sampai jam tiga nanti. Dari Jakarta dan Makassar jam satu, dari Jambi, Medan, dan Bandung jam dua, sementara lainnya sekitar jam tiga.”
”Oh, ya…sebagai rombongan perdana berarti layak untuk mendapatkan kalungan bunga, dong,” canda Bu Sri.

Bu Elmi tidak menjawab, hanya tersenyum dan senyumnya memang selalu mempesona, dan itu sudah cukup memberikan kepuasan bagi kami atas pancingan canda dari Bu Sri tersebut.

”Maaf Bu Elmi, salah satu anggota delegasi dari Surabaya masih ketinggalan. Satu jam lagi mungkin baru tiba,” jelas Pak Samsu.
”Jangan khawatir, nanti pasti ada yang menjemput dan mengantar ke hotel,” sahut Bu Elmi.
”Mari, Bapak-bapak dan Ibu…silakan langsung ke mobil penjemputan,” ajak Pak Febri.

Sejenak saya tertegun, setelah menyapu deretan mobil di pelataran parkir. Ada yang aneh.

Selama ini di Batam, plat nomor polisi yang saya kenal adalah BM, sementara di pelataran parkir, plat dengan nomor polisi BP lebih dominan. Tentu saja saya tidak suka menunggu teka-teki tersebut terlalu lama, dengan mencoba mencari penjelasan dari Pak Febriansyah :

”Pak Febri...kenapa sekarang banyak plat BP di sini, ya?”
”Oh, Pak Urip jeli juga, ya....Plat BP itu memang baru ada setahun dua tahun ini. Itu sebagai response atas pembentukan Propinsi Kepulauan Riau yang terpisah dari induknya. Karena Kepulauan Riau (KEPRI) sudah terpisah maka plat nomor polisinyapun harus terpisah. Untuk itu maka ditetapkan BP sebagai identitas baku untuk nomor polisi di KEPRI. Sementara nomor polisi BM masih berlaku sampai masa berlaku STNK-nya habis nanti,” jelas Pak Febri.
Oh, jadi semacam pemisahan nomor polisi yang pernah terjadi di Jawa. Saya masih ingat ketika nomor polisi ex Karesidenan Surabaya, yaitu L terpaksa dimekarkan menjadi L dan W. Nomor polisi L khusus untuk Kota Surabaya saja, sementara nomor polisi W untuk daerah penyangga atau suburb-nya, seperti Sidoarjo, Gresik, Mojokerto dan Jombang. Sebelumnya daerah-daerah penyangga tersebut bernomor polisi L, karena masih dalam wilayah ex Karesidenan Surabaya. Juga ketika nomor polisi Bandung yaitu D, dimekarkan menjadi D dan Z. Nomor polisi D khusus Bandung Kota, sementara Z untuk nomor polisi daerah sekitarnya, seperti Sumedang, Garut, Cimahi, Tasikmalaya, dan Ciamis. Perlu diketahui, sejarah nomor-nomor polisi di Jawa ditetapkan untuk satu wilayah ex-Karesidenan, atau untuk satu wilayah Polwil atau Polwiltabes.

Ada sesuatu yang tiba-tiba menggelitik benak dan hati saya menghadapi fenomena yang nampaknya amat sangat sepele tersebut. Kreatifitas saya tiba-tiba muncul tiba-tiba.

”Sebagai orang Batam, tentunya Pak Febri tahu kenapa dipilih BP, bukan lainnya?”
”Wah, mana kutahu...!” tukas Pak Febri.
”Masak Pak Febri tidak tahu?”
”Ya...sebab saya tidak pernah berpikir sampai di situ.”
”Oh, begitu...mungkin Bu Elmi, tahu?” Bu Elmi menggelengkan kepala sambil mengangkat sedikit bahunya. Kemudian saya layangkan pandangan saya ke teman-teman dari Surabaya, siapa tahu ada yang mengerti. Namun mereka juga menggelengkan kepala.
”Mau tahu, nih...?” sergap saya tiba-tiba. Kemudian tanpa menunggu jawaban mereka, saya melanjutkan :
”Dulu ketika masih bernomor polisi BM, karena masih bagian dari Propinsi Riau, maka Batam yang berada di Kepulauan Riau masih kecripatan rezeki minyak, sehingga BM itu akronim dari Banyak Minyak. Sekarang, setelah berpisah dari Riau Daratan (yang nota bene kaya minyak karena memiliki Ladang minyak Duri dan Dumai dengan Caltex-nya), Batam sebagai bagian dari Propinsi Kepulauan Riau menjadi kekurangan minyak, meski masih punya gas di Natuna, tapi minyaknya menjadi berkurang. Maka pantas kalau nomor polisinya diganti BP, yang merupakan akronim dari Banyak Pulau, karena sekarang setelah tidak ada minyak, yang dimiliki paling banyak oleh Propinsi Kepulauan Riau adalah ribuan pulau. (Note : Di era desentralisasi ini, Propinsi Riau konon adalah Propinsi terkaya kedua setelah Kalimantan Timur).

Ledakan tawa tentu saja terburai dari mereka, karena penjelasan saya memang tidak terduga. Padahal ide tersebut muncul secara spontan begitu saja, tanpa harus berpikir terlebih dahulu.

AMA Indonesia Cabang Batam memang luar biasa. Di samping penjemputan yang excellence dan perfect kepada seluruh anggota delegasi, sepanjang perjalanan mulai dari Bandara Hang Nadim sampai ke hotel Novotel, tempat penyelenggaraan Munas VI, di setiap tempat strategis yang kami lalui banyak sekali dijumpai spanduk Selamat Datang Para Peserta Munas VI AMA Indonesia, serta baliho tentang Seminar dengan topik Sepuluh Karakter dan Perilaku Khas Konsumen Indonesia, yang akan disampaikan oleh Bpk Handi Irawan, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat AMA Indonesia yang akan berakhir masa kepengurusannya besok malam. Kami benar-benar dimanjakan ibarat raja. Seluruh panitia sangat welcome dengan hospitality yang sangat prima. Semuanya membuat kami merasa dirumah sendiri.
Bravo AMA Batam, Onward No Retreat.

Sepanjang jalan, bukit-bukit kecil dengan kandungan utama lempung merah dan lempung putih,yang biasanya mengandung banyak silika oksida dan alumina oksida, nampak banyak ditumbuhi pepohonan yang menghijau. Mungkin karena meskipun sudah hampir masuk musim kemarau, namun masih belum lepas sama sekali dari musim penghujan, sehingga hujan masih dengan rajinnya membasahi bumi Batam dan bahkan seluruh Indonesia di saat ini. Terbukti saat itu kondisinya baru saja terjadi hujan sebelumnya, yang terlihat dari jalan yang masih basah dengan beberapa genangan air yang cukup banyak menghadang sepanjang jalan. Sepanjang perjalanan, hampir tidak kami jumpai bukit-bukit karang atau batu andhesit. Di Batam memang jarang sekali dijumpai batu andhesit, apalagi granit, sehingga bahan baku untuk konstruksi banyak didatangkan dari Bintan, dalam hal ini daerah Kijang, wilayah yang juga memasok bahan baku konstruksi untuk Singapura. Sementara Malaysia banyak dipasok dari Karimun. Sebagai seorang engineer, biasanya saya selalu dan secara otomatis melihat fenomena geologis, teknis dan fisik itu sebagai perhatian utama. Mungkin sudah kebiasaan. Baru kemudian kondisi sosial ekonominya.

Tampak di sebuah bukit di kejauhan yang relatip lebih tinggi dari wilayah sekitarnya, bertengger sepotong tulisan yang mirip dengan tulisan HOLLYWOOD di Los Angeles, California. Hanya isi tulisannya saya lupa. Kalau tidak salah tertulis tiga suku kata : BUKIT INDAH SUKAJADI, yang nampang sangat eksklusip dan dengan pongahnya berdiri di antara sibakan belantara pohon-pohon yang indah menghijau di punggung bukit. Entah mengapa, saya tiba-tiba ingat Mount Rushmore di negara bagian South Dakota, tempat dimana terpahat dengan indah dan megahnya patung-patung empat presiden Amerika Serikat yang legendaris : George Washington (Presiden Pertama dan Bapak Revolusi serta komandan tertinggi Patriot, kelompok militer yang melawan penjajahan Inggris), Thomas Jefferson (Presiden ketiga yang sangat cerdas, pencetus Declaration of Indepence), Abraham Lincoln (Presiden keenam belas, Bapak antiperbudakan yang terpaksa harus melakukan perang saudara dari thn 1861 sampai tahun 1865 antara Union dan Confederation, yang kemudian tewas terbunuh ketika sedang berkuasa) dan terakhir Theodore Rosevelt (Presiden yang memerintahkan untuk mengabadikan sejumlah presiden dalam bentuk patung-patung di Mount Rushmore). Mungkin saja mind mapping saya sedang berfungsi. Sebab saya bayangkan di Batam ada semacam keajaiban Mount Rushmore, dimana sejumlah patung Presiden Indonesia terpahat indah di punggung gunung. Namun tentu saja itu tidak mungkin, sebab di Batam tidak ada bukit granit atau andhesit yang dapat dipahat. Belum lagi dampak sosial yang akan timbul. Pasti akan dituduh sebagai pemborosan di saat-saat sulit, merusak lingkungan, dan kultus individu.

Jam menunjukkan angka sepuluh lewat empat puluh sembilan menit, ketika kaki saya menginjak lantai lobby Hotel Novotel, di Sei Jodoh. Sesosok wanita berwajah bulat keibuan, yang tentu saja sangat cantik, dengan ramahnya menyapa kami, memperkenalkan diri. Nampaknya dari Panitia Munas. Yang pasti saya belum pernah melihatnya.

”Baru tiba, Pak? Saya dari Panitia. Saya Yusi. Silakan registrasi dulu.”

Bu Yusi kemudian mengajak kami duduk di kursi tunggu dari kayu jati yang sangat artistik dengan bantal lembut di atasnya. Yang cukup sempurna karena terdiri dari satu meja oval dengan empat kursi yang mengelilinginya, di salah satu sudut lobby di depan Front Office. Bu Yusi kemudian mengambil segumpal kertas yang berisi Daftar Peserta Munas VI, dilanjutkan dengan mencatat dan memberi tanda tentang kehadiran kami di Daftar Peserta Munas tersebut. Selanjutnya kami masing-masing diberi satu berkas amplop plastik besar, yang berisi Agenda Munas, Tata Tertib Munas, Tanda Peserta, ballpoint, dan lain-lain. Baru kemudian kami diajak ke Front Office untuk mengambil kunci kamar dari petugas hotel. Aku dan Pak Samsu berada di kamar 565 secara sharing, sementara Bu Sri sharing bersama Bu Evi dari Sekretariat BPP AMA, entah di kamar nomor berapa, saya tidak ingat. Namun masih satu lantai. (Di esok hari kami baru tahu, ternyata Ibu Yusi itu isteri Pak Jadi, Ketua AMA Batam, dan juga Direktur Batam Promo. Saya sampai melongo panjang karena luar biasa kaget meskipun sangat terkesan dan surpsised mendengar hal itu. Bagaimana tidak, Pak Jadi atau lengkapnya Bapak Jadi Rajagukguk, dengan darah kental Bataknya, yang dalam kajian anthropologi masuk dalam golongan Melayu tua seperti halnya temen-teman dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan, biasanya mempunyai stereotip yang keras, tegas dan tidak suka bertele-tele. Meskipun setelah saya mengenal cukup lama ternyata Pak Jadi jauh dari stereotip tersebut. Karena Pak Jadi sangat lembut, santun dan ngemong, seperti orang Jawa, namun tetap tegas. Kalau diibaratkan sebagai Gauss Curve dalam Ilmu Statistik, Pak Jadi masuk dalam katagori tepian kurva yang lima persen. Itulah mungkin yang menjadi kiat-kiat beliau dalam menyunting Ibu Yusi, yang berdarah Tionghoa atau China, dan yang menurut saya secara sepintas moyangnya berasal dari Hokkian. Dari referensi yang ada pada saya, teman-teman Tionghoa yang menyebar di Medan, Bagan Siapiapi, Pematang Siantar, sampai Riau memang berasal dari Hokkian. Termasuk di dalamnya Singapura dan Malaysia. Sementara teman-teman Tionghoa yang berada di Surabaya, Semarang, Tuban, Lasem, dan sekitarnya, moyangnya berasal dari Sichuan (Ingat tentang Laksamana Cheng Ho yang mendarat di Semarang). Sedang teman-teman Tionghoa yang berada di Singkawang, Sambas, serta Kalimantan dan Sulawesi pada umumnya adalah Cantonese. Tiga sub-kultur itulah yang kini menyebar di Indonesia. (He...he...he...Pak Jadi jangan marah jika dalam session ini Pak Jadi saya dapuk sebagai aktor utama. Ini sekaligus sebagai permohonan izin saya untuk menokohkan Pak Jadi. Kan dapat sebagai bekal dalam pencalonan Bupati nanti. Juga Pak Jadi adalah tuan rumah dalam Munas kali ini. Jadi sah sah saja saya menokohkan Pak Jadi. Apalagi Pak Jadi memang tokoh masyarakat di Batam dan Kepulauan Riau. Last but not least, Pak Jadi harus bersyukur dan merasa beruntung karena berhasil memiliki Bu Yusi, atau lengkapnya Ibu Yusi Cheung yang cantik, lincah, smart dan gesit serta pandai cari duit. Oh, ya..di esok harinya juga setelah kami mengetahui bahwa Bu Yusi adalah isteri dari Pak Jadi, Pak Jadi cerita kepada saya tentang lika-likunya dalam upaya kerasnya mendapatkan Bu Yusi. Dan itu mungkin dapat ditulis dalam satu buku dalam bentuk novel, karena asyiknya. Kalau Pak Jadi mengijinkan, saya bisa me-release-nya via milis ini. Pak Jadi dan Bu Yusi sebagai pemeran utama. Jangan khawatir, nama pemeran utama akan disamarkan, dan pasti akan menjadi best seller! Jejaka Batak yang ganteng bertemu gadis China yang cantik, dibumbui lika-liku intrik yang intens dan mencemaskan sekaligus menggemaskan, namun berakhir happy ending. Benar-benar sangat inspiring!).

Tiba-tiba ketika kami sedang mau beranjak menuju lift, telepon seluler saya berbunyi. Saya lihat nomornya, ternyata nomor telepon yang sangat saya kenal, ya 031-5600000, nomor telepon Radio Suara Surabaya. Ada apa, ya? Segera kuangkat, dan di seberang terdengar suara wanita, yang saya sangat hafal timbre-nya, ya...suara vokal mezzo sopran dari Wismanti, si hitam manis yang manja, centil namun tegas.

”Hallo...Pak Urip?”
”Ya, Mbak Wismanti...ada apa, nih?”
”Ini, Mas Isa mau bicara...!”
”Oh, ya...baiklah, silakan..!”

Setelah menunggu beberapa jenak, kemudian terdengar suara Mas Isa Anshori di seberang :

”Hallo...ini Pak Urip?”
”Ya, Mas Isa...kok tumben ngontak saya. Ada apa nih? Apa yang dapat saya bantu?” sahutku dengan heran, mengingat Mas Isa, memang satu-satunya crew Suara Surabaya yang sangat jarang mengontak saya. Beda dengan Mas Yoyong, Mas Iman, Mbak Nuke, Mbak Dani, Mbak Wismanti, Mbak Restu, dan lain-lain. Selama ini teman-teman Suara Surabaya memang sering sekali mengontak saya untuk konsultasi, atau menjadikan saya sebagai narasumber untuk masalah-masalah manajemen, khususnya operation management, quality management system, SHE management, human resource management, project management, construction management termasuk procurement, engineering & construction. Juga untuk masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Tentu saja itu di luar regular program dalam bentuk weekly program di Suara Surabaya yang berjudul Solusi Manajemen Bisnis yang saya lakukan setiap Sabtu sebagai host. Program yang sudah tiga belas tahun saya gawangi bersama teman-teman yang lain di AMA Cabang Surabaya. (Catatan : Untuk para pembaca yang ingin mengenal lebih jauh Weekly Program Solusi Manajemen Bisnis di Suara Surabaya, program unggulan Suara Surabaya yang bekerja sama dengan AMA Indonesia Cabang Surabaya, dapat mengikutinya via internet melalui www.suarasurabaya.net kemudian klik radio online untuk siaran langsungnya, atau radio on demand untuk rekaman eventsFM 100 di tempat-tempat yang dapat dijangkau, khususnya Jawa Timur. Di samping itu juga dapat didengarkan via satelit. Jika ingin bergabung secara interaktip, silakan kontak ke 031-5600000 pada waktu jam siaran, pada setiap hari Sabtu, mulai jam 08:00 WIB. (Mohon maaf dan untuk dicatat dan dipahami, serta terus terang saja, catatan atau uraian ini adalah iklan! Seratus persen reklame dan ada yang lebih suka menyebutnya sebagai advertisiment atau lebih tepatnya advertorial! Advertorial yang sengaja diselipkan dalam novellete ini. He...he...he...! Malah jika ada pembaca yang ingin membantu kami sebagai narasumber, kami sangat menerimanya dengan tangan terbuka. Sering kali saya merekomendasikan beberapa Pengurus AMA, baik di BPP maupun BPC untuk diwawancarai via telepon langsung. Seperti Pak Handi Irawan, Pak Alex Denni, dan lain-lain. Bukan demikian Pak Handi dan Pak Alex?).

”Pak Urip ada waktu untuk bincang-bincang di Radio?” kata Mas Isa.
”Kapan? Dan apa topiknya?” saya menukas.
”Masih ingat tentang pembicaraan Pak Urip dengan Mas Iman beberapa waktu yang lalu?” jelas Mas Isa.

Saya tiba-tiba ingat diskusi saya hari Sabtu sehabis mengisi acara rutin mingguan Solusi Manajemen Bisnis, beberapa waktu yang lalu. Mungkin dua minggu yang lalu.
Pada waktu itu saya dianggap kompeten oleh Suara Surabaya, yang dalam hal ini diwakili Mas Iman, sebagai pengamat musik. Oleh karena itu Mas Iman mengajak saya, yang dianggap sangat paham tentang musik, untuk membantu mengubah format acara musik unggulan Memorabilia. Waktu itu sempat terlontar, untuk membuat acara musik Memorabilia tersebut menjadi jauh lebih cerdas, yang beda dengan acara-acara musik di radio-radio lain. Padahal selama ini saya sudah menganggap Memorabilia sangat unggul dibandingkan dengan radio-radio lainnya. Saya diminta memberi masukan sekaligus sewaktu-waktu jika ada waktu menjadi co-host. Saya memang menyanggupi, namun format perubahannya belum ada ide, sehingga saya hanya menjawab, nanti akan saya pikirkan. Kalau Mas Isa saat ini mengontak saya, itu mungkin adalah dalam rangka menagih janji.

”Oh, ya, Mas Isa...tentang Memorabilia, ya?”
”Benar, pak. Apakah Bapak ada waktu untuk langsung hadir di studio?”
”Kapan, mas?”
”Bagaimana jika malam nanti?” sahut Mas Isa.

Edan Mas Isa ini. Saya kan belum ada ide secuilpun. Apalagi saat ini saya sedang berada di Batam.

”Mas Isa, maaf ya...malam ini saya pastikan tidak bisa, karena saya sedang berada di luar kota.”
”Oh, ya...dimana Pak?”
”Di Batam, mas.... Bagaimana jika sehabis saya pulang dari Batam,” sahut saya kemudian.
”Oh, ya?....Wah, sayang sekali ya, padahal sudah saya nanti-nanti lho, kehadiran Pak Urip di studio. Khusus untuk program musik, bukan Program Solusi Manajemen Bisnis seperti biasanya. Supaya dapat mengimbangi Om Bubby Chen, di acara Jazz Trafic. Namun bagaimana lagi?”
”Aduh, masak saya disejajarkan dengan Om Bubby Chen...beliau kan Mpu-nya musik jazz. Saya kan nggak ada apa-apanya jika dibandingkan beliau. Malu, dong,” sahut saya cepat. Jazz Traffic dengan host Om Bubby Chen memang acara unggulan musik yang lain di Suara Surabaya, dengan rating sangat tinggi di samping Memorabilia.
”Jangan merendah, lho Pak. Nanti tersandung. Oh, ya... ngomong-ngomong sedang ada apa nih, di Batam? Bisnis, ya?”
”Kali ini bukan urusan bisnis...hanya menjalankan amanat organisasi.”
”Lho, amanat apa itu, Pak?”
”Itu, lho...sedang ada Munas AMA..,”
”Oh, ...baiklah kalau begitu. Selamat berMunas, ya Pak. Sukses selalu! Ada salam dari Mas Iman dan Restu,” sahut Mas Isa.

Saya jadi bingung, belum siap ide, sudah ditagih. Ah, nanti saja mikirnya. Saya harus siap-siap untuk berMunas yang akan dimulai nanti sehabis Maghrib.
Tiba-tiba sesuatu singgah di benak saya. Ya, bagaimana kalau untuk Memorabilia saya apresiasi dengan hal-hal yang pendengar tidak begitu concern, atau tidak begitu tahu. Sebab selama ini penikmat musik pada umumnya hanya tahu, oh, lagu itu indah dan enak didengar. Atau hanya mengagumi sekelompok pemusik sukses tanpa tahu lika-liku perjalanan kariernya secara rinci. Atau juga sejauh mana prestasi sebuah lagu atau musisi jika harus dihadapkan pada semacam award seperti Grammy Awards, Billboard Music Awards, American Music Awards, Rock and Roll Hall of Fame Induction Ceremony. Apalagi jika harus berbincang tentang teknik vokal, pitch control atau yang saya lebih suka menyebutnya sebagai intonasi, attack nada, phrasering, artikulasi, pernafasan diafragma, dan sebagainya. Ya, mungkin itu akan coba saya bahas nanti dengan teman-teman Suara Surabaya. Yang penting saya harus siap-siap memasuki Munas.

Nampaknya memang benar, bahwa delegasi dari Surabaya adalah kloter pertama yang datang di Munas, karena lobby hotel masih nampak sepi. Maka kami memutuskan untuk langsung naik ke kamar untuk istirahat. Kami melangkah menuju lift dengan tenangnya, padahal dua hari yang lalu hotel ini dicekam kepanikan luar biasa, ketika terjadi ancaman bom. Seluruh tamu diungsikan. Polisi pada berdatangan. Kayak mau kiamatlah. Untunglah saat saya sudah berada dalam lift dan kemudian sampai di dalam kamar di lantai lima atau tepatnya kamar 565, belum mendengar kejadian tersebut. Padahal beritanya menyebar di seluruh media cetak dan media elektronik.

Jam 12 kurang sepuluh menit, pintu kamar kami diketuk orang. Saya yang membukanya, karena Pak Samsu sedang asyik telepon, yang nampaknya penting, karena materinya adalah masalah bisnis. Setelah pintu kamar terbuka...oh, Pak Chris, anggota delegasi Surabaya yang berangkatnya tercecer karena kehabisan ticket. Pak Chris barus saja menyusul datang, dan mendapatkan kamar persis di depan kamar kami, kamar nomor 566.

Siang itu dengan amat sangat terpaksa, saya tidak menunaikan sholat Jum’at karena musafir. Maka setelah sholat zuhur dan sholat ashar yang saya tunaikan dengan dijamak dan diqasar, tak ada yang dapat kami lakukan sampai acara resmi MUNAS VI dibuka sehabis maghrib nanti. Namun kami belum makan siang, sehingga saya mengajak Pak Samsu, Pak Chris dan Bu Sri untuk makan siang di luar hotel, sambil window shopping keluar hotel. Mereka sangat antusias menyambut ajakan saya, karena mereka memang belum pernah ke Batam sama sekali, sehingga dengan jalan-jalan keluar hotel dalam setiap kesempatan yang sesempit apapun, pasti akan menambah khasanah pengetahuan dan referensi mereka tentang Batam. Namun nampaknya mereka belum siap sehingga saya menunggu mereka di lobby hotel, sambil membaca Batam Pos untuk hari ini. Pak Chris dan Bu Sri akan sholat dulu, sementara Pak Samsu sedang asyik telepon, menangani urusan bisnisnya di Surabaya.

”Pak Urip, selamat datang di Batam,” tiba-tiba ada yang menyapa saya. Saya menoleh ke arah datangnya suara. Oh...Bu Fenti, teman lama yang juga salah satu Pengurus AMA Batam. Bu Fenti nampak beda dengan saat terakhir kali saya melihatnya di Rakornas AMA di Jakarta dua tahun yang lalu. Ketika Rakornas akhir tahun lalu di Surabaya, Bu Fenti tidak hadir. Dia nampak sedikit gemuk, namun paras cantiknya tetap tidak berubah, malah saya kira lebih cantik, meski sedikit pucat seperti baru saja sakit. Nafasnya terengah-engah karena nampaknya baru saja datang dengan menaiki tangga dari parking area di basement.

”Wah, kok sedikit gemuk sekarang?” saya menyambutnya dengan hangat, menjabat tangannya.

Wajah Bu Fenti sedikit memerah. Saya tahu, karena biasanya wanita paling tidak suka kalau dikatakan gemuk. Namun memang dia sedikit gemuk. Ada rasa bersalah yang hinggap di hati saya dengan komentar saya itu, namun sudah terlanjur. Seolah tidak menanggapi pertanyaan saya, Bu Fenti menukas :

”Sendirian, Pak?”
”Oh,...saya berempat...mereka sebentar lagi turun. Mau jalan-jalan sebentar.”
”Kemana, Pak?” Bu Fenti menegas.
”Ke BCS atau ke Lucky Plaza...mau lihat-lihat,” saya menjawab.
”Sayang, saya tidak bisa mengantar, karena harus bertugas untuk menerima tamu-tamu peserta Munas yang sebentar lagi pasti mulai berdatangan,” sesal Bu Fenti.
”Aduh, saya tidak mau merepotkan Bu Fenti, apalagi sedang bertugas. Terima kasih, Bu.”
”Juga maaf nih, saya baru datang setelah Bapak datang. Maklum ada insiden kecil di jalan,” tambah Bu Fenti.
”Oh, ya...ada insiden apa, Bu?” saya bertanya.
”Ya, begitulah...ada sedikit urusan dengan polisi.”
”Lho, urusan apa? Kecelakaan lalu lintas?”
”Ya, begitulah. Saya tadi diserempet sepeda motor, padahal menurut saya dia yang salah. Namun karena jatuh dan terluka dengan luka yang sedikit serius, dan kebetulan ada polisi sedang bertugas di dekat tempat kejadian, maka selanjutnya jadi urusan polisi. Dua jam lebih saya berurusan,” jelas Bu Fenti.

Tiba-tiba saja teman-teman sudah ada di samping saya. Saya tidak melihat mereka sebelumnya, mungkin karena saya asyik berbincang dengan Bu Fenti. Teman-teman rasanya belum pernah jumpa Bu Fenti, karena ketika Rakornas di Jakarta dua tahun lalu tidak dapat hadir. Sedangkan ketika Rakornas di Surabaya akhir tahun lalu, Bu Fenti yang tidak bisa hadir di Surabaya. Oh, ya...mungkin Pak Chris saja yang sudah mengenal Bu Fenti, karena Pak Chris hadir di Rakornas Jakarta. Mereka kemudian berkenalan.

”Bu Fenti sudah lama di Batam?” tanya Pak Samsu setelah berkenalan.
”Lho, kenapa...?”
”Masalahnya logat bicaranya kok saya sangat familiar. Dari Jawa Timur, ya?” lanjut Pak Samsu. Bu Fenti terperangah sebentar, kemudian menyahut :
”Benar Pak, tepatnya Banyuwangi,” jelas Bu Fenti.
”Banyuwangi?” Pak Samsu nampak terkesima.
”Ya, Banyuwangi,”
”Lho, saya juga dari Banyuwangi. Tahun berapa di sana?”

Karena dari satu daerah asal, maka kemudian Pak Samsu dan Bu Fenti terlibat dalam pembicaraan yang intens dan memikat tentang teman-teman dan saudara-saudara mereka di Banyuwangi, kemudian saling dihubung-hubungkan, hingga pada suatu titik dimana Pak Samsu dan Bu Fenti ternyata masih saudara, meski bukan saudara dekat. Pembicaraan seperti itu memang sangat sering terjadi jika seseorang menjumpai orang lain yang masih satu daerah di perantauan. Dari pembicaraan mereka juga terungkap bahwa Bu Fenti saat ini sedang hamil muda. Pantas saja, nampak sedikit gemuk. Bu Fenti kemudian menawari kami untuk memakai mobilnya, untuk dipakai keliling kota, namun tidak dapat ikut mengantar karena sedang bertugas menerima tamu-tamu MUNAS. Tetapi karena kami sudah akan diantar Panitia yang lain, melalui Bu Yusi, maka tawaran Bu Fenti kami tolak.

Kami diantar oleh salah satu anggota Panitia (maaf saya lupa namanya, yang pasti beliau seorang wanita masih sangat muda, dan berkulit hitam manis) bersama-sama salah satu anggota delegasi AMA Palembang yang kebetulan sudah tiba di Batam (maaf kami juga lupa nama beliau). Bapak dari AMA Palembang tersebut di-drop terlebih dahulu di Lucky Plaza, mungkin akan berbelanja telepon seluler, karena Lucky Plaza adalah Pusat telepon seluler dan asesorisnya di Batam, semacam WTC di Surabaya. Konon telepon seluler di tempat tersebut jauh lebih murah daripada wilayah lain di Indonesia. Sementara kami berempat didrop di Batam City Square (BCS) untuk melihat-lihat jam tangan dan tas.

Sesampai di BCS, pertama kali yang kami tuju adalah food court, mengingat perut sudah tidak tahan lagi untuk dibiarkan kosong. Setelah perut terisi dengan aneka makanan fastfood, baru kami menyebar ke seluruh stand yang ada. Nampaknya hampir seluruh barang-barang yang ditawarkan memang branded dan original, dengan harga yang relatip lebih rendah daripada harga-harga di Surabaya, khususnya jika dibandingkan dengan barang-barang di Tunjungan Plaza maupun PTC. Setelah puas berada di Batam City Square (BCS), khususnya di Vira Collection, kami kemudian ke ke Lucky Plaza.
Sebenarnya cukup banyak teman saya di Batam yang sewaktu-waktu dapat dikontak supaya jalan-jalan saya di Batam dapat dilakukan dengan mobilitas tinggi. Namun kali ini saya ingin lebih bebas dan juga tidak ingin mengganggu mereka. Maka setelah selesai dengan aktifitas belanja di BCS, kami mencari taksi untuk menuju ke Lucky Plaza. Ada hal kecil yang sempat saya rekam ketika kami hendak beranjak dari BCS ke Lucky Plaza dengan menggunakan taksi. Karena ketika berangkat tadi kami didrop, maka untuk mobilisasi berikutnya kami memerlukan taksi. Ternyata ada catatan unik yang harus dipahami oleh pembaca yang ingin melancong ke Batam. Untuk memakai taksi, kita harus kenal dua istilah, yaitu biasa atau langsung. Biasa, artinya meskipun kita sudah meluncur di dalam taksi, sewaktu-waktu sopir taksi dapat berhenti untuk mengambil penumpang lagi di jalan, asal masih ada tempat di dalam taksi. Itupun sopir taksi berhak untuk tidak langsung ke tujuan kita, karena masih putar-putar mencari penumpang lain, sampai seluruh seat dalam taksi terisi penuh. Untuk yang ini memang ongkosnya lebih murah, karena dihitung per kepala. Biasanya jika masih dalam kota ongkosnya paling mahal Rp 5.000,00 per kepala. Sementara untuk yang disebut sebagai langsung, memang lebih mahal meskipun sebenarnya tidak terpaut terlalu jauh. Untuk ini kita biasanya memakai taksi dengan sistem tawar menawar, dan kita langsung diantar ke tempat tujuan, tanpa mampir-mampir lagi seperti halnya kalau kita memilih sistem biasa. Karena kami berempat, akan lebih efisien dan lebih hemat waktu jika kami memilih sistem langsung. Setelah tawar menawar, ternyata ongkosnya sangat murah, karena tercapai kesepakatan Rp 15.000,-, lebih murah daripada menggunakan sistem biasa, yang kalau dihitung perkepala menjadi 4 x Rp 5.000,00 = Rp 20.000,00.
Di Lucky Plaza kami berhenti di sebuah gerai di lantai dasar yang sangat lengkap stock ponselnya. Nampaknya yang terbesar di pusat selular tersebut. Memang kalau dibandingkan dengan Surabaya harganya terpaut cukup lumayan, hanya masalahnya di gerai tersebut tidak menyediakan garansi pabrik, hanya garansi toko. Tawar menawar sempat terjadi ketika Pak Chris melihat sebuah ponsel Nokia type N 95, yang menarik perhatiannya, yang bagi Pak Chris cukup murah. Namun entah mengapa akhirnya tidak jadi membelinya. Mungkin karena masalah garansi tersebut di atas. Kami kemudian keluar dari bangunan beberapa lantai yang berdiri megah tersebut, ke arah kiri memotong jalan menuju kompleks Hotel Formosa di lantai dasar. Tiba-tiba ada yang mengusik perhatian saya ketika saya melintas di sebuah gerai di Blok D No. 1. Gerai tersebut bernama Swiss Collection. Nampak banyak sekali pelanggan yang berjubel di dalamnya, yang nampak dari sibakan kain gordin yang ada di balik kaca. Di etalase nampak sederetan parfum, arloji, dan tas wanita yang branded. Saya menggamit teman-teman untuk memasuki gerai tersebut.
Masuk ke dalam gerai terasa sejuk dan nyaman. Penataan ruangnya mengingatkan saya pada sebuah gerai serupa yang pernah saya kunjungi di Perth, Western Australia beberapa tahun yang lalu. Sangat mirip. Sementara bersumber dari langit-langit ruangan tersebut, terdengar lembut dan indah, suara Simon & Garfunkel dalam hit-nya Bridge over Troubled Water dalam versi aslinya. Bridge over Troubled Water bagi saya, adalah lagu legendaris dan notable, karena merupakan sebuah lagu di antara sedikit lagu yang memenangkan tiga katagori sekaligus dalam ajang Grammy Awards, yang disabetnya pada tahun 1971, atau tepatnya tanggal 16 Maret 1971, di Century Plaza Hotel, Los Angeles, California, tiga puluh enam tahun yang lalu. Lagu tersebut menyabet sekaligus katagori-katagori Song of The Year, Album of The Year, dan Record of The Year. Sejak tahun 1959, atau sejak pertama kali diselenggarakannya Grammy Awards sampai dengan tahun 2007, atau tepatnya 11 Februari 2007 yang lalu, atau tahun ke 49 dari penyelenggaraan Grammy Awards, bagi saya hanya ada 5 lagu yang sangat notable, karena berhasil memenangkan tiga katagori sekaligus, yaitu di samping Simon & Garfunkel pada tahun 1971 dengan Bridge Over Trouble Water, juga Christopher Cross dengan Sailing pada tahun 1981, Eric Clapton dengan Tears in Heaven pada tahun 1993, Norah Jones dengan Don’t Know Way pada tahun 2003, dan The Dixie Chicks dengan Not Ready to Make Nice pada tahun 2007.
Di Swiss Collection akhirnya kami banyak memborong parfum. Sayang sekali tidak seluruh keinginan kami terpenuhi, karena stock yang ada sangat terbatas.

Menjelang maghrib, kami sudah memasuki lobby hotel kembali. Kebetulan kami berjumpa dengan Ibu Listya, Ketua AMA Malang, yang juga baru tiba di hotel.

”Baru datang, Bu?” saya menyapa Bu Listya.
”Nggak, Pak...sudah tadi jam dua, hanya saya langsung pergi ke Yong Kee untuk makan siang, terus jalan-jalan sebentar” jelas Bu Listya.
”Jam berapa nanti acaranya dimulai?” lanjut Bu Listya.
”Menurut jadwal, sih Opening Ceremony dimulai jam 19.30, yang didahului dengan dinner & networking sebelumnya,” saya menjelaskan kepada Bu Listya.
”Kalau begitu masih ada waktu untuk mandi, dan berbenah diri,” sahut Bu Listya dalam gumam yang saya hampir sulit mendengarnya. Seolah ingin berkata pada dirinya sendiri.

Kami akhirnya menuju lift, kemudian berpencar ke kamar masing-masing. Yang semuanya kebetulan ada di lantai lima.

oooOooo


engaja kami berempat sebagai delegasi Surabaya duduk di deretan paling belakang di Ballroom Hotel Novotel, tempat diselenggarakannya Opening Ceremony MUNAS AMA ke VI malam ini.

Opening Ceremony MUNAS VI AMA Indonesia belum dimulai, karena para tamu sedang mulai berdatangan, sementara yang sudah hadir nampak mengambil makan malam dan sebagian lainnya sedang melakukan aktifitas networking. Jam sudah menunjukkan waktu pukul 19 lewat tiga puluh menit. Ruangan dengan kapasitas 300 kursi, yang disusun dengan menggunakan sistem round table nampak penuh disesaki para undangan, bahkan panitia perlu menambah jumlah round table yang ada. Suasana sangat meriah namun santai. Wajah-wajah para undangan, baik para anggota delegasi dari seluruh Indonesia maupun undangan lainnya kelihatan berseri dan penuh binar di mata.
Hampir seluruh anggota delegasi sudah hadir di ruangan. Mulai dari Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Malang, Denpasar, Makassar, dan tuan rumah Batam.
Saya sempat bersalaman dan atau bertegur sapa dengan Pak Darmendra dari Jambi, Pak Sukardi Pak A. Shomad dari Jambi, Pak Hariadi Benggawan, Pak Subtan Matcik, Pak Yufrisal, dan Pak Emil dari Palembang, Pak Asep Unik dan Pak Satria Bangsawan dari Lampung, Pak Yusfan, Pak Erwin dan Pak George Nurtani dari Makassar, Pak Aditya Cakasana dari Solo, Pak Jono Widodo dari Denpasar, Pak Agus Hidayat, Ibu Listya dan Ibu Clara dari Malang, Ibu Elmi, Ibu Vani, Ibu Fenti, Ibu Yusi, Pak Febriansyah, dan Pak Jadi Rajagukguk dari Batam, Pak Tje Kian, serta Bapak-bapak lainnya dari DKI, Pak Darto dari Bandung, serta tentu saja dengan Pak Handi Irawan, Pak Denny, Pak Aswin, Pak Mitro, Pak Mindiarto serta Ibu Lisa Tanjung dari BPP. Sayang saya tidak menemukan Ibu Diah Natalisa dari Palembang. Menurut teman-teman dari Palembang, Ibu Diah sedang sibuk mempersiapkan diri dalam rangka menerima gelar Professor dari Unsri, alamamater beliau. Sama dengan Pak Satria Bangsawan dari Lampung, yang juga akan memperoleh gelar serupa dari Unila. Beruntung AMA Indonesia memiliki beliau-beliau, yang dalam kesibukannya mengajar masih sempat mengurus AMA di masing-masing wilayahnya.

Thema yang diusung dalam MUNAS VI sekaligus Seminar kali ini adalah Developing Competence, Profesionalism, Entrepreneurship of Indonesia Management Society. Semoga saja semangat dan aura yang dipendarkannya dapat membawa AMA Indonesia semakin berkibar, sesuai dengan content, context dan container yang tersirat dan tersurat dalam thema tersebut.
Jam 19.46 WIB Walikota Batam, yang dalam hal ini diwakili oleh Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Bapak Syamsul Bahrum membuka MUNAS VI, yang sebelumnya didahului oleh sambutan beliau yang merupakan pokok-pokok pikiran yang sangat gegap dan menarik. Tentu saja setelah selesainya Laporan Ketua Panitia MUNAS, Bapak Jadi Rajagukguk dan Sambutan Ketua AMA Pusat, Bapak Handi Irawan.
Ada 2 (dua) point yang dapat saya catat dari sambutan Bapak Syamsul Bahrum. Yang pertama, dalam globalisasi ini kita sudah memasuki apa yang disebut sebagai knowledge economy, sehingga basisnya tidak cukup hanya dengan entrepreneurship saja, karena yang lebih sangat dibutuhkan adalah technopreneurship (tentang yang ini saya sempat terperangah karena seolah menonjok thema yang telah ditetapkan sebagai thema MUNAS). Beliau selanjutnya menyampaikan, bahwa karena zamannya adalah zaman postmodern, jika hanya berbasis orang saja tanpa kekuatan teknologi, kita pasti akan kalah dan tergilas dalam kompetisi.
Yang kedua (yang menurut saya ini adalah issue lama), dari point pertama tadi tentu saja standar pengelolaannya adalah knowledge-based management, yang beliau lebih suka menyebutnya sebagai new emerging of management, yang pada hakekatnya seorang pelaku aktifitas manajerial itu tidak cukup jika hanya mengandalkan pada leadership-nya saja, tapi juga memerlukan kemampuan dalam penguasaan teknologi dan informasi.
Tentang point kedua ini, menurut saya (yang telah menguasai dan mendalami sebelumnya dan lebih suka membaginya menjadi 6 elemen pokok seperti uraian saya di bawah), jika ingin menjadi agen dari new emerging of management, (yang saya lebih suka menyebutnya sebagai the new era of management) harus memiliki 6 unsur dasar kemampuan, yaitu :

Kemampuan menguasai product/service knowledge
Kemampuan menguasai networking
Kemampuan menguasai informasi/teknologi
Kemampuan menjaga keseimbangan antara kemampuan leadership & kemampuan followership
Kemampuan berkomunikasi (communication skill), termasuk kemampuan berbahasa yang baik, benar dan lugas dalam sebanyak mungkin bahasa yang relevan
Kemampuan untuk menjadi seseorang yang multispesialis, bukan generalis. Karena multispesialis cenderung akan membuat kita tahu banyak secara dalam (intens) dan tidak gampang terpengaruh atau dibohongi, sementara generalis itu memang tahu banyak namun sepotong-sepotong. Termasuk dalam konteks ini adalah kemampuan mengelola 11 M, bukan hanya 5 M (lihat tulisan saya di Buku Rakornas AMA Surabaya 2006).
(Catatan : mind mapping sebagai penjelasan rinci akan saya sampaikan jika diinginkan).

Setelah sambutan dari Walikota Batam yang dalam hal ini diwakili Asisten Ekonomi dan Pembangunan tersebut, maka selanjutnya acara dilanjutkan dengan puncak acara yang ditunggu-tunggu, yaitu paparan seminar Bapak Handi Irawan, yang menyampaikan topik : 10 Unique Characters / Behaviors of Indonesian Consumers ( 10 Karakter dan Perilaku Khas Konsumen Indonesia).

Pak Handi Irawan ternyata mempunyai nama yang sangat berkibar di Batam, buktinya Seminar yang berlangsung bersama dengan Opening Ceremony MUNAS VI AMA Indonesia kali ini juga menyedot perhatian banyak pihak. Banyak sekali pemerhati marketing di luar anggota AMA yang menghadirinya. Wah, benar-benar public relation sekaligus upaya go greater bagi AMA yang sangat pas dan efektif. Mereka hadir dengan memberikan biaya investasi yang cukup lumayan. Sehingga kehadiran mereka menambah semaraknya acara. Merekapun ikut bertahan sampai seluruh acara selesai pada jam 23.00 WIB, karena begitu menariknya seluruh acara yang disuguhkan. Tentu saja semuanya ini tidak lepas dari nama besar AMA Batam yang memang sangat berpengaruh di Batam, yang diperoleh karena kerja keras teman-teman di Batam. Selamat untuk Pak Jadi dan kawan-kawan!

Malam ini benar-benar sangat membanggakan bagi saya. Saya sempat memperoleh buku baru dari Pak Handi, yang kebetulan belum di launched di toko buku. Sehingga saya mungkin adalah pemilik perdana dari buku tersebut. Untuk itu Pak Handi menyempatkan diri memberi catatan khusus di halaman dalam dari buku beliau yang diberikan kepada saya sebelum acara dimulai. Adapun catatan dari Pak Handi untuk buku perdana yang diberikan kepada saya adalah :

Yth Bp Ratmaya
”Selamat Mencari utk menemukan strategi yag sukses”

Ttd
Handi Irawan

Salam dari sahabat
Batam, 12 Mei 2007
sebelumnya. Tentu saja dapat juga dinikmati siarannya secara langsung via gelombang


Terima kasih Pak Handi, sukses selalu.

Seminar dengan topik Sepuluh Karakter dan Perilaku Khas Konsumen Indonesia yang merupakan acara inti di samping Opening Ceremony-nya sendiri, pada intinya adalah hasil penelitian Pak Handi selama 12 tahun, yang mengamati berbagai macam karakter dan perilaku konsumen di berbagai wilayah di Indonesia dalam kaitannya dengan penjualan suatu produk atau brand. Dari hasil penelitian tersebut Pak Handi menyimpulkan, bahwa sebuah produk atau merk gagal, sementara produk dan merk lain sukses besar. Ternyata itu ada sebab dan kiat-kiatnya. Contoh konkritnya, dari kajian brand, ada beberapa brand yang sukses besar di Amerika tetapi tidak sukses di Indonesia, seperti Gatorade, Kodak, Kellog, Campbell Soup, The Body Shop, Oreo, IBM PC, Amazone. Juga dari segi product catagory ada juga yang sukses di Amerika tetapi tidak begitu sukses di Indonesia, seperti Recycle products, Store brand, Life Insurance, Hamburger, On-line shopping, PDA, Cereal. Sebaliknya, ada brand yang sangat berhasil di Indonesia, namun tidak berhasil di negara lain seperti, Top One, Extra Joss, Komix, PILKITA, Vegeta, Aqua, dan lain-lain. Dari product catagory, yang berhasil di Indonesia, namun kurang begitu berhasil di negara lain adalah, Energy drink, herb, Nokia Communicator, SMS, dan sebagainya.


Pak Handi mengawalinya dengan fakta, bahwa selama ini 90% dari textbook di bidang marketing berasal dari Amerika, sehingga ketika diaplikasikan di Indonesia tidak nyambung, karena konsumen Indonesia itu unik dan berbeda. Produk yang sukses tergantung pada perilaku konsumennya. Untuk dapat menembus dan menghasilkan omzet produk yang memuaskan dan market share yang besar, maka perusahaan harus mengetahui dulu keunikan dan karakteristik konsumen Indonesia. Sementara buku teks yang dijual di pasaran Indonesia tidak banyak menolong dalam hal untuk memasarkan produk di Indonesia yang terdiri dari 230 juta penduduk dengan kultur budaya yang berbeda-beda. Demikian seterusnya, yang disertai dengan berbagai ilustrasi dan contoh-contoh fakta yang sangat menarik, lucu dan faktual. Pokoknya exciting. Tunggu saja road show Pak Handi di masing-masing kota di Indonesia di bulan-bulan mendatang ini.
Ketika Pak Handi mengakhiri paparannya pada jam 23.00, ternyata seluruh undangan masih lengkap yang dengan antusiasme yang tinggi memberikan standing ovation kepada Pak Handi.

Ada satu catatan khusus yang perlu saya sampaikan di sini, yaitu ketika Pak Handi Irawan menyampaikan paparannya selama hampir dua setengah jam tadi ternyata Pak Chris tidak kelihatan batang hidungnya, dan baru muncul kembali bersamaan dengan saat Pak Handi menutup presentasinya.

”Dari mana saja?” saya bertanya kepadanya.
”Saya nggak kuat, Pak. Maklum hampir tiga malam tidak bisa tidur,” tukas Pak Chris.
”Terus kemana tadi?”
”Habis makan malam tadi saya langsung naik ke kamar, tidur...dan ketika bangun ternyata seminar belum selesai, sehingga saya meluncur turun lagi,” lanjut Pak Chris.
”Oh, begitu...”
”Ada yang asyik ketika saya meninggalkan seminar...” tambah Pak Chris.
”Apa itu?”
”Saya tadi satu lift dengan Sarah Ashari!”
”Oh, ya...? Asyik dong...sempat kenalan?” saya menukas.
”Mana sempat, dia serius banget berbincang dengan dua temannya.”

Pak Chris kemudian cerita, bahwa ketika dia naik ke kamarnya di lantai 5 untuk istirahat, ternyata di dalam elevator sudah ada Sarah Ashari bersama satu teman wanita dan satu teman laki-laki yang sikap dan perilakunya seperti banci. Hanya pada awalnya, Pak Chris tidak yakin kalau yang ada di depannya itu Sarah Ashari, karena daya tarik utama Sarah Ashari yang selama ini ditonjolkan di setiap sinetron, atau sebagai bintang iklan dan presenter, atau di penampilan-penampilannya yang lain, khususnya yang sering terlihat di media, sex appeal yang selama ini mengemuka dan yang seolah sudah menjadi ikonnya (apa hayo???) tidak nampak sama sekali. Penampilannya nampak biasa saja. Tidak ada citra atau lebih tepatnya kinerja ragawi yang khas dalam hal ini keindahan khas berupa tonjolan-tonjolan menantang yang selama ini selalu menjadi trade mark Sarah Ashari dan selalu menghuni benak Pak Chris, sehingga Pak Chris tidak begitu memperhatikannya. Mungkin rasa kantuknya ketika itu jauh lebih besar daripada perhatiannya pada selebritis yang selama ini menjadi buah bibir para pria tersebut. Namun ketika keluar bersama-sama dari elevator, karena ternyata kamar Pak Chris berdekatan dengan Sarah Ashari di lantai lima, Pak Chris baru terperangah. Sehingga bola mata Pak Chris menjadi jauh lebih besar dan lebih berbinar daripada sebelumnya. Pak Chris memperhatikannya dengan intens sampai Sarah masuk ke dalam kamar.
Sarah mengenakan celana jeans ketat dengan blouse belahan dada rendah dan kedua bahunya nampak telanjang karena lengan bajunya menggelantung di pangkal tangannya. Sebenarnya, meskipun berpenampilan sederhana tanpa make-up yang menonjol, namun Sarah masih nampak sensual. (Catatan : Dua hari kemudian, via media cetak lokal, kami baru tahu ternyata saat itu Sarah baru tiba dari Jakarta. Ke Batam dalam rangka mengisi acara di Pacifik Diskotik, diskotik yang sangat populer di kawasan SIJORI. Dari berita media tersebut juga, kami mendapat cerita bahwa penampilan Sarah di akhir pekan, hari Sabtu 12 Mei 2007 tersebut sangat heboh).
Tahu kalau Sarah mengisi acara di Pacifik Diskotik pastilah Pak Samsu atau Pak Tje Kian akan hadir, karena letak diskotik tersebut hanya berjarak 100 meter dari hotel kami menginap. Diskotik yang bangunannya mempunyai arsitektur seperti kapal pesiar mewah tersebut nampak dengan mata telanjang jika kita berdiri di depan hotel, karena hanya tinggal menyeberang jalan yang ada di depan hotel.

Malam itu sehabis Opening Ceremony dan Seminar, seluruh delegasi diundang oleh Panitia MUNAS untuk berwisata kuliner. Edan, karena waktu itu hampir lewat tengah malam, apalagi tadi kan sudah makan malam. Namun karena kami ingin tahu suasana Batam di waktu malam, kami semua akhirnya berangkat juga untuk makan tengah malam atau makan dini hari. Hampir seluruh anggota delegasi bergabung dalam wisata kuliner tengah malam tersebut. Semuanya diangkut dengan mini bus kapasitas 25 orang (namun diisi oleh lebih dari 30 orang), sementara sisa anggota delegasi lainnya diangkut dengan beberapa minibus lain yang berkapasitas 8 orang.

Windsor Food-court, demikian nama food-court tempat tujuan wisata kuliner tengah malam ini. Benar-benar luar biasa karena ketika kami sampai di sana masih luar biasa ramainya. Food court seluas 4000 m2 berupa lapangan terbuka dengan ribuan tempat duduk yang dikelilingi puluhan seafood counter itu nampaknya mempunyai daya tarik tersendiri. Konon pengunjung yang ada tidak hanya datang dari Batam atau wilayah Kepulauan Riau saja, namun juga banyak yang datang dari Singapura, Malaysia, Thailand dan bule-bule yang kebetulan sedang berada di Batam.
Nampaknya Kia-kia di Surabaya bukan tandingannya.

Tiba-tiba saya ingat kawasan food court yang pernah saya kunjungi di Batam beberapa tahun yang lalu, yaitu kawasan Bengkong, Waterfront dan juga Harbor Bay, Batu Ampar. Kalau di Bengkong kawasan food court-nya di atas permukaan air laut, berupa rumah-rumah panggung yang berdiri berderet dan menjorok ke laut, maka di Windsor Food-court ini berada di semacam lapangan terbuka yang khusus. Hanya memang lebih asyik di Bengkong atau di Kijang, Bintan, karena kita bisa menikmati pemandangan laut berupa lampu-lampu nelayan yang sedang mencari ikan, atau mendengar deburan ombak yang memecah pantai di kegelapan malam. Bagi yang sedang dimabuk cinta tempat yang terakhir ini akan lebih romantis, karena dapat menatap purnama atau indahnya Venus dan birahinya Mars dengan lebih leluasa. Kalau para pembaca pernah ke kawasan sea food di Jimbaran Bali, atau di Sumbawa Besar dengan seafood berkuah yang disebut sepat Sumbawa, atau juga di Pantai Losari, Makassar, jika dibandingkan, nampaknya di Batam ini ada yang lebih khas dengan ragam masakannya. Itu yang memberinya nilai lebih.
Masakan pembuka biasanya disajikan suatu jenis bekicot (bukan siput) laut yang hanya ada di perairan Kepulauan Riau yang sering disebut sebagai gonggong. Gonggong biasanya dimasak tanpa bumbu-bumbu, dan untuk memakannya kita perlu memakai tusuk gigi untuk memancing dagingnya yang tersembunyi di balik cangkangnya. Benar juga, ketika kami semua mulai duduk, dalam tempo sekejap seluruh meja yang memang sengaja dibuat memanjang secara bersambung (karena banyaknya anggota delegasi) sudah dipenuhi dengan piring-piring yang berisi gonggong sekaligus dengan tusuk giginya. Setelah itu baru terhidang pepes ikan khas Tanjung Pinang yang terbungkus dengan daun kelapa, dan siput serta kerang hijau. Baru kemudian muncul bubur ikan, dan aneka masakan laut lainnya. Benar-benar sangat nyus (menyitir Bondan Winarno dalam Wisata Kuliner di Trans TV) dan juga rasanya sangat megang (menyitir Titi Kamal dalam iklan mie Sedaap-nya).
Malam ini benar-benar wisata kuliner yang very exciting, fascinating and interesting. Sehingga ketika dini hari kami kembali ke hotel, dapat tidur nyenyak dengan mimpi-mimpi indah masing-masing, meski sesaat. Tidur kami menjadi lebih berkualitas meski secara kuantitas kurang memadai. Jam 03.00 dini hari kami sudah ada di tempat tidur masing-masing, dalam kepenatan yang sudah berada di titik nadir, meski berlumur kepuasan yang bertengger di titik zenith.

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar: