Senin, 21 Januari 2008

MANAJEMEN BIRAHI (1)


MANAJEMEN BIRAHI (1)


(Selembar kisah perjalanan anak-anak manusia yang kebetulan anggota Asosiasi Manajemen Indonesia Cabang Surabaya dalam suatu Factory Visit).



(Oleh : Ratmaya Urip)



Selepas kemacetan selama hampir dua jam mulai dari pintu tol Porong sampai bundaran Gempol, yang jaraknya tidak lebih dari 6 kilometer, kami merasa lega. Nampak binar-binar kepuasan menggelayut pekat di wajah Pak Sindu, Pak Budi Santosa, Pak David, dan Pak Susanto Sukiman, sementara bus meluncur kembali dengan tenang menyusuri kelancaran arus lalu lintas yang mulai bertabik kepada waktu, tabik penuh rasa akrab dan rasa kebersamaan.


Sesekali Pak Aditya, yang duduk di sudut kanan belakang dari bus menghela nafas, mungkin kelaparan karena belum sempat sarapan...! Ada keresahan yang enggan kompromi dengan rasa perutnya yang terlilit rasa perih (mungkin saja!) Sesekali matanya terpejam untuk membunuh waktu sekaligus rasa mualnya. Sementara Pak Halim yang biasanya ramai seperti bunyi petasan rantai...nampak terduduk lesu, meski di wajahnya masih menyimpan segurat keceriaan yang agak tersembunyi. Oh..mungkin karena ada dua putri ciliknya yang mengawal, sehingga si ayam hutan enggan berkotek lagi?


Teman baru kita, Ibu Elizabeth Tan dari AUTO 2000 yang cantik dengan wajahnya yang baby face serta kulitnya yang kuning keputih-putihan nampak senyum-senyum menatap lalu lintas yang melintas di balik jendela kaca...sekali-kali sempat aku lirik dia bercanda riang dengan temannya sesama AUTO 2000. Ketika perkenalan di depan anggota rombongan tadi terungkap bahwa Bu Elizabeth Tan masih lajang. Dalam hati aku sempat berucap :


"Sayang, ya..secantik beliau, belum ada yang membuat hatinya tertambat." Hush...kenapa aku jadi ikut senewen? Mungkin beliau galak, sehingga setiap orang yang mau mendekat ketakutan?! Tapi... nampaknya lembut kok, dan kelihatannya potensi kaum Adam untuk menolak kehadiran beliau rasanya merupakan hal yang sangat mustahil. Binar yang terpancar dari bola matanya seindah bola mata Natalie Glebova, si Miss Universe 2005. Itulah mungkin daya tariknya. (He..he..he, Pak Halim dan Pak Santo dilarang komentar!)

Tidak ada kata atau kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaanku dalam menilai Ibu Elizabeth Tan ketika itu, kecuali rasa kagum dan terkesan. Anggun, teduh dan menawan. Anggun seperti angsa putih yang melintas pelan di sela-sela teratai di kolam dingin, di sela-sela perkebunan anggur di Hobart, Tasmania,…teduh seperti keteduhan yang menyelimuti kota Vancouver, British Columbia, waktu summer…dan menawan seperti rata-rata gadis Dayak Benuaq yang sering aku jumpai di pedalaman Long Iram, Kalimantan Timur. (He…he…he… maaf Bu Elizabeth, ini sekedar untuk membuat para lajang penasaran untuk segera berkenalan dengan Ibu…ya, katakanlah sebagai promosi, begitulah). Untuk Pak Andrey Fifo disarankan untuk meredam getar-getar aneh yang epicentrum-nya sudah diketahui secara pasti koordinatnya. Untuk sekedar gambaran,jika Pak Andrey penasaran dapat membandingkan Ibu Elizabeth dengan Ibu Ivy Kamadjaja, yang beberapa hari yang lalu tersenyum simpul menebar pesona di Jawa Pos…sayang lupa tanggalnya, mungkin Pak Halim masih ingat, ya? Wah…saya bisa kualat pada Bu Ivy, nih…maafkan kelancanganku Bu Ivy, karena melupakan kesantunan, terbiasa dengan kepolosan ketika kita sering ngobrol dulu bersama Pak Halim, Pak Aditya, dan Ibu, sebelum Ibu menikah dengan suami tercinta…tolong sampaikan maaf saya untuk suami tercinta, apakah beliau sedang ada di Holland? Sayang, ya…pasukan Oranye kalah, sehingga tidak masuk babak-babak akhir Piala Dunia di Jerman. Oh, ya…kalau ke Holland oleh-olehnya bunga tulip, atau miniatur kincir angin seperti yang ada di Madurodam itu, jangan lupa, ya Bu).

Aku tidak dapat membayangkan jika Ibu Elizabeth mengenakan pakaian tradisional cheong-sam, atau ao-dai, atau kimono sekali pun. Pastilah seperti putri kaisar dari Dinasti Ming yang sedang berinkarnasi, atau seperti putri shogun Matsuba yang merajuk karena sang ayah tidak mau memenuhi keinginannya. Melihat sepintas Ibu Elizabeth, mengingatkanku pada temen lamaku Kumiko Hasegawa...si cewek badung dari Fukuoka, si centil manja, si burung beo, si pengagum Hemingway dan Sastre, ketika seharian harus menemaninya berjemur di tepian Swan River, Perth, Western Australia, supaya kulitnya yang putih dapat berubah menjadi coklat atau keclokatan. Manusia memang aneh, yang kulitnya coklat atau gelap ingin menjadi putih, sementara yang putih atau kuning ingin menjadi gelap. Juga masih jelas saat-saat ketika Kumiko bermanja-manja mengajakku nonton konser si gaek Cliff Richard yang kebetulan sedang berada di Perth, menyambut Summer Festival, atau ketika malam-malam harus memenuhi keinginannya ke King’s Park, supaya dapat menikmati keindahan kota berupa kerlap-kerlip lampu kota dari ketinggian, sampai-sampai karena terburu-buru hampir menabrak serombongan Aborigin yang sedang memotong jalan di depan London Court. Ya, nampaknya Ibu Elizabeth lebih mirip teman lamaku Kumiko daripada Ibu Ivy Kamadjaja, meskipun sama-sama cantik, sama-sama smart dan sama-sama ramahnya. Yang pasti sama-sama kukagumi. Bedanya kalau Kumiko lebih flamboyan dan berpikirnya selalu divergen, sementara Ibu Ivy lebih tegas namun santun dan membuat orang terlindungi, serta berpola pikir stratejik dan convergen. Mungkin karena Kumiko sejak kecil sampai dewasa selalu dalam lingkungan budaya dan pendidikan bernuansa orientalis di Tokyo, sementara Ibu Ivy lebih variatif, baik orientalis maupun western (di salah satu institusi pendidikan yang cukup bergengsi di Australia). Jika sifat-sifat tersebut menyatu, alangkah sempurnanya. Miss World maupun Miss Universe pastilah tidak ada apa-apanya.

(He...he...he...maaf Bu Ivy, sekali lagi jangan marah, semua ini ditulis untuk meng-upgrade imajinasi pembaca, dan untuk menebar keakraban di antara anggota milis, supaya ada kebersamaan yang pekat, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ibu Ivy. Sungguh Bu! Aku yakin, Ibu Ivy sangat paham pada perilaku si penulis kisah ini. Nah, jangan tegang, silakan kembali tersenyum dan rileks. Terima kasih atas perkenan Ibu untuk terpaksa hadir dalam cerita ini, meskipun bukan peran utama. Yang penting kan peran protagonis, bukan yang antagonis kan, Bu?! Atau Ibu mengijinkan penulis untuk mengangkat Ibu sebagai Pemeran Utama?? Wah, pasti jaminan untuk menjadi best seller!). Siapa dulu dong bintangnya!? Yang pasti seluruh anggota milis pasti setujuuuuuuuuuuuuuu!

Pak Samuel, Pak Samsuhadi, Pak Yonathan, Pak Celvin dan Pak David, masih dengan kesibukan diskusinya ketika bus tiba di tujuan awal Factory Visit, PT Nippon Indosari Corpindo, PIER, Pasuruan…pemegang merk Sari Roti.

Jam menunjukkan 10.45 WIB ketika hiruk pikuk memecah suasana.... mengiringi langkah-langkah kaki yang menapak pelataran parkir, sementara gegas yang menyertai wajah-wajah meringis mewarnai ketergesaan para peserta Factory Visit, baik Bapak-bapak maupun Ibu-ibu...untuk menuju lavatory. Maklum berjam-jam menahan kencing, yang hampir tidak tertahankan lagi, terutama sejak kemacetan di Porong tadi. Bayangkan, hampir seluruh peserta antri berjubel di depan kamar kecil yang jumlahnya tidak memadai. Untunglah ketika berangkat tadi aku tidak minum terlalu banyak, sehingga tidak perlu meringis menahan sakit karena tidak tahan untuk buang air kecil.


Ketika acara sudah dimulai, ruang yang disediakan untuk rombongan belum juga terisi setengahnya, maklum sebagian besar peserta masih berkutat di depan kamar kecil untuk antri buang hajat, sehingga berkali-kali tuan rumah meminta rombongan untuk segera masuk ke ruang pertemuan.

Sosok hitam manis, bak gadis Hispanik atau gadis Cataluna di lereng Pyrenees Mountain dekat perbatasan Spanyol dan Perancis (namun mengingatkanku pada Catherine Zeta Jones, bintang kesayanganku), hadir secara tiba-tiba dengan pandang dan sikap ramah dan akrab yang tidak dibuat-buat, yang membuat kami langsung bergegas menyambut uluran tangan lentiknya ketika menyalami kami satu per satu sebelum masuk ke ruang pertemuan. Karena lentiknya sampai-sampai aku menganggap seluruh jarinya terdiri dari jari manis semuanya, tidak ada telunjuk, jempol maupun kelingking. Tidak seperti Pak Aditya yang jarinya terdiri dari jempol semuanya (Jangan marah ya Pak, yang ini hanya pemanis kata saja, kok...yang pasti jari Pak Aditya normal, ada jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking dengan ukuran standar, semua orang tahu itu).

Namanya Ibu Selvy, atau lengkapnya Selvy Pratiwi, dan dugaanku pastilah masih lajang (di menit-menit akhir baru aku tahu, setelah bertanya ke kiri dan ke kanan, bahwa beliau ternyata sudah menikah). Rata-rata peserta menilai beliau cukup menarik, atau lebih jelasnya...indah untuk dipandang, sehingga sayang untuk dilewatkan. Pak Aditya bola matanya sampai mau copot ketika menatapnya, sementara Pak Halim sejak tadi tetap tenang, yang itu bukan kebiasaannya, sebab biasanya pasti membisikkan sesuatu ke telingaku jika mengagumi seorang wanita cantik, untuk mencocokkan penilaiannya dengan penilaianku, yang biasanya selalu similar. Ketenangan itu mungkin karena harus jaga image di depan putri-putri ciliknya. Namun tidak biasanya pula, Pak Halim sering mengusap kaca matanya yang kerap buram, yang mungkin berembun karena uap air yang keluar bersama nafasnya (baca : ngos-ngosan), setelah menatap Bu Selvy.
Maaf Pak Halim, kalimat yang terakhir ini tertulis dan meluncur begitu saja dari benak dengan tidak sengaja, dan aku tidak sempat menghapusnya, atau meralatnya, telanjur tertulis tidak apa-apa, ya? he...he...he...

Bicaranya santun, namun cukup tegas dan tidak membosankan...membikin betah yang mendengarkannya. Meskipun Bu Selvy hanya bicara, rasanya seperti mendengarkan suara nyanyian yang indah dan mempesona. Karena bicaranya dengan diksi, intonasi, artikulasi dan phrasering yang tepat, tidak false...meski sekali-sekali seperti falseto.

Aku tidak tahu pasti, apakah aku lebih tertarik pada apa yang disampaikannya atau pada cara dan gaya bicaranya, atau pada kecantikannya, namun untuk basa-basi aku mencatat beberapa hal yang kurasa perlu untuk nanti dapat ditanyakan dalam sesi tanya jawab. Bukan karena benar-benar ingin bertanya atau ingin tahu, namun semata-mata supaya mendapatkan perhatian darinya, meski hanya secuil. Dasar laki-laki!

Tidak heran ketika Bu Silvy mengajak seluruh anggota rombongan untuk bersama-sama menyanyikan jingle lagu Sari Roti (yang nampaknya sudah cukup familiar bagi sebagian besar anggota rombongan), semuanya antusias menyambutnya dengan bernyanyi gegap gempita meski fals. Hampir semua anggota rombongan hafal liriknya, karena seringnya muncul dalam iklan di layar kaca, ataupun mendengar dari rekaman lagu yang selalu menemani tukang roti dari Sari Roti keliling kampung ataupun perumahan. Itulah pesona Chaterine Zeta Jones kekasih Antonio Banderas dalam Zorro, khusus lokal Sari Roti.

Factory Visit kali ini adalah yang paling sederhana dibandingkan program serupa sebelumnya. Rasanya baru kemarin sore, saat-saat aku bersama rombongan berbondong-bondong meniti waktu (sejak beberapa tahun yang lalu hingga hari ini), menambah referensi atau study banding dengan mengunjungi sejumlah kota, mulai dari Semarang, Jogjakarta, Bandung, Jakarta, Denpasar dan lain-lain, untuk mendalami berbagai aspek manajerial maupun operasional, dalam berbagai industri manufaktur, agroindustri, UKM, berbagai macam jasa, dan sebagainya. Saat-saat ketika secara detail paham bagaimana caranya membuat pesawat CN 235, helikopter dan produk industri penerbangan lainnya di IPTN (kemudian berubah menjadi PTDI yang kemudian terpaksa setengah dilikuidasi). Juga kita tahu caranya membuat atau tepatnya merakit mobil Toyota Kijang atau Daihatsu yang dalam 4 (empat) menit dapat menghasilkan 1 (satu) mobil, di Astra Group, Sunter. Bagaimana Bir Bintang atau Coca Cola diproduksi dan dipasarkan, bagaimana caranya memproduksi bulldozer, loader, scraper dan excavator (backhoe, dragline, dan clamshell) di United Tractor, bagaimana proses pembuatan jamu di Martha Tilaar, bagaimana sulitnya mengendalikan industri jasa kereta api yang berjalan tertatih-tatih, di Kantor Pusatnya di Bandung, bagaimana agroindustri seperti perkebunan teh dan perkebunan bunga potong dikelola sehingga menghasilkan laba dan deviden bagi shareholder, bagaimana industri pariwisata dapat menjadi tulang punggung perekonomian di Bali.


Bagaimana Industri semen, industri minyak kelapa sawit, industri pupuk, industri rokok (Gudang Garam dan Sampoerna) serta berbagai macam dan jenis industri dikelola, semuanya bukan barang baru bagi peserta Factory Visit AMA Indonesia Cabang Surabaya.


Sedang bagiku, yang sangat sulit kulupakan adalah ketika melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana caranya membuat aluminium foil dengan dimensi ketipisan yang luar biasa yang masih dapat dilihat secara kasat mata. Dimensinya adalah 7 mikron (7 per seribu millimeter dalam bentuk coil dengan lebar 1,2 meter (untuk yang ini aku agak lupa secara tepat lebarnya). Yang mengherankan, dengan ketipisan yang seperti itu, aluminium coilnya tidak sobek, dan sangat rata di seluruh permukaan atau tidak bergelombang sama sekali. Perlu diketahui, aluminium foil tersebut 65% nya adalah untuk ekspor. Untuk dimensi yang lebih besar daripada 7 mikron, dipakai sebagai bahan baku packaging obat-obatan, bungkus makanan anak-anak seperti chikky, kaleng softdrink seperti Coca Cola, kertas bungkus kado, dan lain-lain.

Mungkin ada sedikit anggota Factory Visit yang masih ingat ketika tengah malam meluncur ke Lembang, Bandung Utara, bersama Mas Yoyong Burhanudin (Radio Suara Surabaya), untuk menikmati hangatnya kopi dan bandrek serta jagung bakar dan ketan panggang sampai subuh meskipun udara dingin sangat menyengat kulit, juga saat-saat peserta sangat cemas ketika menyeberangi Selat Bali karena begitu ganasnya ombak musin Barat, atau saat-saat ceria ketika dipaksa makan kacang sepuas-puasnya di Pabrik Kacang Dua-Kelinci, dan lezatnya buah Matoa (buah langka yang biasanya hanya tumbuh di Bumi Papua) yang tumbuh di halaman pabrik, dan bagaimana ekspresi peserta yang meledak kagum, ketika menatap ratusan rekor yang pernah dibuat anak bangsa di Musium Rekor Indonesia di Semarang, semuanya merupakan saat-saat yang indah dan sulit untuk dilupakan.

Juga para peserta Factory Visit mendapatkan gambaran yang jelas atas persaingan tajam antara Toyota dan Honda, antara Coca Cola, Pepsi Cola dan Teh Botol Sosro, antara Gudang Garam dan Sampoerna, antara Aqua dengan para followernya, bagaimana proses pembelian Aqua oleh Danone atau Ades oleh Coca Cola, bagaimana hegemoni industri pupuk yang tidak pernah dapat tergoyahkan meski selalu bermasalah, bagaimana oligopoli dan kartel semen merajai pasar, kenapa Indofood atau Unilever mamasang kuda-kuda dalam menghadapi Wings Group, serta bagaimana anatomi industri bumbu masak Miwon maupun Ajinomoto ketika harus berhadapan dengan isu tidak halal yang menggoncangkan, bagaimana sulitnya mengelola agro industri di PTPN XI, mulai dari gula, tembakau, coklat dan kopi. Bagi yang belum pernah mengikuti program Factory Visit amat sangat disayangkan, karena kita bisa belajar banyak dari kesuksesan orang lain, kesuksesan institusi lain. Kita bisa mengukur kemampuan kita jika dibandingkan dengan kemampuan orang lain, kita bisa berbagi pengalaman dan saling menebar keakraban sesama anggota Factory Visit. Apalagi ketika kita bisa saling melepas kangen dengan anggota AMA di seluruh kota yang kita kunjungi. Kita bisa akrab dengan Ibu Fransisca, Ketua AMA Bandung yang cantik, Ibu Yulia Pasaribu dari AMA Medan, Ibu Siska dari Pengurus AMA Jogja, Ibu Linda dari AMA Makassar, Ibu Elmi dari AMA Batam, Ibu Listya Ketua AMA Malang, dan Ibu-ibu yang lain, yang cantik, yang tegas, yang anggun, yang menantang, yang absurd, yang pendiam, yang sok tahu, yang sebelumnya hanya pernah aku dengar nama dan gosipnya. Ramahnya Ibu Siska dan Ibu Elmi, centilnya Ibu Linda, hangat dan familiarnya Ibu Sandra, anggunnya Ibu Listya, semuanya menciptakan pelangi AMA Indonesia.

Yang pasti, dengan ikut Factory Visit kita dapat memperoleh informasi secara detail dan lengkap dari tangan pertama, dari nara sumber paling kompeten, karena datanya data primer, bukan hanya membaca atau menonton dari media cetak atau elektronik, sehingga tidak bias, lebih informatif., dan yang lebih penting unforgetable bukan forgetfulness.

Oh, ya maaf…sampai lupa, nih! Aku harus menyimak lagi pada apa yang sedang disampaikan oleh Ibu Selvy Pratiwi dari Sari Roti, tidak malah melamunkan pelangi yang indah di masa lalu, namun sudah lewat. Pelangi memang selalu indah dan menarik, sayang keindahannya hanya sesaat, sebatas pelangi pagi. Beruntung pelangi selalu hadir secara berulang, khususnya saat-saat mendung mengawal kehadiran pagi, siang ataupun petang. Apalagi Ibu Selvy sedang asyik-asyiknya menjelaskan seluruh aspek manajerial dan operasional Sari Roti. Aku hampir ketinggalan memahami proses produksi, pengendalian mutu, distribusi dan pemasaran Sari Roti. Dan perhatianku kini kembali ke bibir indah yang merupakan perpaduan antara merahnya bibir gadis-gadis suku Laplandia dari Scandinavia Utara, lembutnya bibir gadis-gadis suku Maori dari New Zealand, sensualnya bibir gadis-gadis suku Bavaria dari Jerman Selatan, tipisnya bibir gadis-gadis suku Inuit dari Greenland dan Kodiak, mungilnya bibir gadis-gadis Uighur atau Xinjiang dari kawasan otonomi China Barat Jauh, meski ada aroma tebalnya bibir gadis-gadis suku Tutsi dari Rwanda.
Uff...!!! Suatu kolaborasi dari gabungan keindahan ragawi yang prima.

Bibirnya yang indah dan ranum, kayak ranumnya buah mangga yang habis dimakan kalong atau codot, ternyata sanggup untuk menjelaskan seluruh rangkaian proses produksi secara runut tanpa panduan secuil kertaspun. Semuanya meluncur seolah sudah menempel ketat di benaknya.

Maaf, ya Pak Stefanus, Pak Andrey Fifo, Pak Antoni, Pak Santo, Pak Chris, Pak Halim, Pak Aditya, Pak Jahja, Bu Ivy, Bu Elizabeth, Bu Janti Gunawan, meski beliau bukan type-ku, kalau aku harus jujur, Ibu Selvy layak untuk diperhitungkan kecantikannya. Jangan anggap aku mata keranjang, karena bagiku, mengagumi wanita yang cantik itu ibarat kita mengagumi keindahan sebuah lukisan beraliran naturalisme atau realisme. Atau seperti mengagumi keindahan suatu pesona alam seperti keindahan yang terhampar di atap USA, Denver, Colorado, dengan airportnya yang beratap kerucut kristal mempesona, atau semarak dan gempitanyanya Mardi Grass di New Orleans, Loussiana, atau suburnya perkebunan anggur di Verona, Italia serta melimpahnya anggur merah muda dari Provence dan Anjou, anggur merah dari Rhone, anggur putih dari Loire dan Alsace, anggur cemerlang dari Champagne, anggur dari daerah Cognac dan Armagnac, yang semuanya di Perancis.

Wanita dan anggur, padanan natural (bukan artifisial) yang tepat dalam estetika, sementara Ibu Selvy Pratiwi dan kecantikannya, padanan yang cermat untuk mata seorang pria (termasuk aku), pelabuhan yang tepat bagi imajinasi sensual pria.
(Maafkan aku Ibu Selvy, aku hanya melatih kesigapanku dalam menulis, mengontrol kosa kata, dan mencoba menggali minat dari pembaca kisah ini. Tidak ada pretensi apapun dalam melukiskan diri Ibu. Apakah aku masih bisa menulis seperti dulu? Itulah tujuannya. Juga, membangkitkan imajinasi pembaca ’kan tidak ada jeleknya, asal imajinasi positip!).

(Note : Cerita tentang anggur, mengingatkanku pada film Walking in The Clouds yang dibintangi Keanu Reeves. Film yang sangat indah dan romantis).


(Bersambung)

Tidak ada komentar: