Senin, 21 Januari 2008

MENUAI BENCANA MENGAIS ASA (1)



MENUAI BENCANA MENGAIS ASA

(Suatu Kajian Secara Populer sebagai Pengantar untuk Manajemen Krisis)



Oleh : Ratmaya Urip





Menarik sekali apa yang disampaikan Pak Andrey Fifo, bahwa hitam-putih, abu-abu, ataupun colorful dari suatu fenomena atau sikap-perilaku, itu amat sangat tergantung darimana kita memandangnya, sebagai apa kita menyikapinya dan apa kepentingan kita. Sehingga friksi sering terjadi karena perbedaan sudut pandang itu. Yang pasti, akhirnya sering terjadi bahwa suatu pendapat atau pemikiran atau pelaksanaan, dianggap benar jika itu dilakukan oleh siapa yang menang (baca : yang berkuasa). Dengan kata lain, yang benar itu adalah yang menang, karena dengan kemenangan, khususnya di zaman baheula, biasanya dipaksakan untuk menjadi kebenaran. Sedang yang kalah..mau tidak mau, suka tidak suka, harus menjadi yang salah (baca : terhukum).

Kasus runtuhnya Louis XVI dan Maria Antoinette dalam Revolusi Perancis, runtuhnya Tzar dalam Revolusi Bolshevik di Rusia (yang mengingatkan saya pada novel Boris Pasternak pemenang hadiah Nobel Kesusastraan : Dr. Zhivago, atau film-nya yang dibintangi Omar Syarif), atau tentang Copernicus yang harus di-guillotine karena berpandangan bahwa bumi ini bulat seperti bola bukan seperti meja, adalah contoh-contohnya. Saya di sini tidak berpihak pada yang kalah atau yang menang karena saya pengikut balancing, namun tetap berpihak pada kebenaran yang hakiki, bukan kebenaran semu. Di sini saya hanya ingin memberikan ilustrasi, bahwa yang menang itu sering kali menjadi yang benar, atau yang benar itu dapat ditentukan oleh yang menang, sehingga arogansi sering muncul mengiringi “kebenaran” tersebut. Meskipun di kemudian hari ditemukan kebenaran yang hakiki, sejarah sering tidak dapat atau sulit membalikkannya, atau perlu upaya yang sangat keras dan lama untuk itu.


Dalam kasus Lapindo Brantas kebetulan ada “diskusi” kecil saya dengan Bpk Iwan, Phd, yang expert dalam masalah yang berkaitan dengan industri penerbangan, metalurgi, petrologi, manajemen, dll. Saya sangat menghargai dan hormat kepada beliau atas kepakaran yang beliau miliki. (Phd beliau diperoleh dari perguruan tinggi ternama di Inggris, yang menjadi rujukan bagi perguruan-perguruan tinggi yang ada di dunia. Setara dengan MIT dan UCLA di USA). Beliau juga kebetulan saat ini menggawangi (merujuk istilah yang disampaikan salah satu anggota milis AMA-Surabaya), salah satu industri yang memiliki brand kuat di Indonesia, dan berdomisili di Surabaya.


Tiba-tiba saja terjadi kasus Lapindo Brantas, itulah asal muasal diskusi saya dengan beliau. Tidak sekedar diskusi namun berusaha membantu dengan cara kita masing-masing, dalam hal ini bagaimana selanjutnya yang sebaiknya kita lakukan? Kita harus dapat mengais asa atau memanfaatkan situasi yang buruk secara positip untuk melanjutkan hidup dan kehidupan), setelah menuai bencana. Sebab, sebesar apapun bencana (tokh itu sudah terjadi, yang kita tidak dapat mengelak lagi, karena itu kehendakNYA), pasti ada berkah yang dapat dimanfaatkan. Diskusi itu terjadi setelah 2 (dua) hari bencana terjadi, jadi jauh sebelum situasi semakin berlarut-larut. Waktu itu saya sempat menyampaikan via Suara Surabaya, bahwa masalah atau distorsi dalam aktifitas mining, sekecil apapun harus segera diselesaikan, oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun pelaku usaha, karena resikonya sangat tinggi, sehingga meskipun baru 2 (dua) hari terjadi distorsi, harus segera ditangani dengan Manajemen Krisis. Diskusi kemudian dilanjutkan di Radio Suara Surabaya, dalam hal ini topik bahasan yang saya ketengahkan adalah Manajemen Krisis (bukan Krisis Manajemen), karena saya tahu, dan pernah memiliki referensi yang meskipun secuil, namun saya rasa cukup, dalam Mining Management. Aktifitas dengan tingkat resiko sangat tinggi, seperti mining, apalagi untuk deep mining atau off-shore mining bukan surface mining, harus dikelola dengan mengedepankan Manajemen Krisis, bukan Generic Management (Conventional Management). Yang menurut saya (maaf jika saya subyektip) lebih intensip dan lebih kompleks daripada Manufacturing Management maupun Project Management/ Construction Management. Karena saya sudah pernah mencicipi semuanya, di hari-hari ketika saya masih muda, ketika benak dan hati saya masih dipenuhi dan diliputi getaran-getaran asmara kepada anak dara, bukan janda…he…he…he, Pak Halim, Pak Andrey Fifo, Pak Antoni, Pak Aditya jangan komentar, ya?).


Saya sangat paham, bahwa aktifitas operasional maupun manajerial dalam bidang-bidang Mining, Manufacturing (mulai dari Marketing, Process, PPIC, Quality Control, Distribution, dll), maupun bidang Project/ Construction adalah aktifitas yang sudah ada sejak beberapa abad yang lalu, jauh sebelum Revolusi Industri, ataupun sebelum orang-orang Irish, Scottish, Bavaria, Basque, Sicilian, maupun Negro, membanjiri benua Amerika pada abad ke 18 dan 19. Itu sering disebut sebagai sunset activities, sunset industries, atau sunset management. Sudah jadi generik, karena masih resources-based activities, dengan tambahan sedikit mixed beberapa aktifitas yang bernuansa knowledge-based activities, tidak sepenuhnya full knowledge-based activities seperti beberapa aktifitas service maupun IT activities. Namun tokh distorsi selalu saja terjadi.


Oh, ya…sebelum saya lanjutkan, dan sebelum saya lupa, saya ingin menyampaikan, bahwa kalau kita bicara masalah bencana, maka kita harus ingat, bahwa bencana adalah fenomena yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia sejak berabad-abad yang lalu. Dalam pergumulan manusia dengan bencana agar bebas dari bencana (free from disaster), kemudian lahirlah praktek-praktek mitigasi, seperti mitigasi banjir, mitigasi kekeringan (drought mitigation), mitigasi gempa (earthquake mitigation), dan lain-lain. Mitigasi tsunami, di Indonesia belum dikenal sampai terjadinya tsunami di Aceh. (Ketika terjadi tsunami di Pantai Pancer Banyuwangi beberapa tahun yang lalu, dan saya sempat ke sana, response kita untuk menjadi mitigasi juga belum ada). Padahal tsunami sudah terjadi berabad-abad lamanya, dan Indonesia dikenal sebagai daerah gempa akut. Karena terletak di kawasan pergeseran lempeng-lempeng tektonik yang aktip. Memang secara science, rahasia tsunami baru terkuak setelah bencana tsunami di Lisabon, Portugal, pada tanggal 1 November 1755, yang membawa korban 70.000 jiwa melayang di antara 275.000 penduduk atau hampir 40% jumlah penduduk (Sitorus, Aston Freddy dkk, 2005).


Mitigasi kekeringan sudah dikenal mulai zaman Mesir kuno dan sudah berusia 4000 tahun. Juga kita kenal dan akrab dengan mitigasi banjir pada bangsa kita yang kebetulan hidup di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo hilir di Bojonegoro, yang harus selalu hidup dengan bencana banjir, apalagi sebelum adanya tanggul sepanjang Bengawan Solo yang dibangun oleh Pemerintah via Tim Proyek Bengawan Solo.


Kata disaster (bencana) secara etimologis berasal dari kata “dis” yang berarti sesuatu yang tidak enak (ingat padanan kata yang lain seperti “dis”-integrasi,), serta “astro” yang berarti bintang (ingat kata “astro”-logi). “Dis-astro”, berarti an event precipitated by stars atau peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi, atau kemudian dianggap sebagai simbol bencana (Sitorus, Aston Freddy dkk, 2005).


Dalam menyikapi bencana, ada kesalahan mendasar (maaf, ini kesan subyektif saya), karena kita selalu berprinsip atau berdasar pada aktifitas untuk “Bebas dari Bencana” (free from disaster) semata, dan tidak ada upaya dari kita untuk melengkapinya dengan prinsip “Hidup Bersama Bencana” (living with disaster). Tentu saja yang terakhir ini sebagai pelengkap bagi kita untuk lebih mereduksi akibat-akibat yang mungkin timbul karena terjadinya bencana. Dalam hal ini, meskipun kita mempunyai komitmen untuk “Hidup Bersama Bencana” (living with disaster), tetap harus dilandasi oleh semangat, bahwa bencana itu meskipun akan selalu terjadi, harus kita upayakan tidak akan terjadi.


Untuk mendalami prinsip “Hidup Bersama Bencana”, kita harus belajar banyak dari orang-orang di daerah aliran sungai Bengawan Solo yang hidup bersama bencana banjir di Bojonegoro, atau juga orang-orang yang hidup di Delta Mekong, atau di Teluk Benggala (Bangla Desh), atau tempat orang-orang Perancis, Hispanik, dan kulit hitam bermukim di muara Mississippi ( New Orleans, Louisiana, tempat kelahiran musik jazz, dan tempat karnaval tahunan Mardi Gras yang terbesar di USA). Juga jangan abaikan bagaimana orang-orang Jepang hidup bersama bencana gempa dan tsunami sebagai pembelajaran kita.


Ada fenomena menarik yang layak kita sikapi. Yaitu ketika kita disibukkan oleh kemungkinan meletusnya Gunung Merapi (yang selalu ada sejak saya belum lahir), dengan upaya-upaya keras untuk mengurangi dampak dari aktifitas Merapi (aktifitas yang sering terjadi), dengan memerintahkan seluruh penduduk untuk mengungsi, karena bahaya bencana memang secara kasat indra dapat kita rasakan (dari belahan utara), ternyata bencana yang lebih besar, yaitu gempa Jogja-Jateng terjadi (dari arah selatan), di luar pengamatan kita. Hal itu mirip dengan fenomena ketika semua orang di negara bagian Loussiana, dalam hal ini kota New Orleans, sedang sibuk-sibuknya menghadapi serangan banjir tahunan dari Sungai Mississippi (dari arah utara), tiba-tiba harus berhadapan dengan Badai Katrina (dari arah selatan, yaitu Teluk Mexico), bencana yang tidak kalah besarnya dengan banjir Mississippi.


Apa dampak yang terjadi ketika kita tetap berprinsip “Hidup Bebas dari Bencana”, bukan ”Hidup Bersama Bencana?” Lihat faktanya, kita selalu mengelola bencana dengan Manajemen Konvensional, bukan Manajemen Krisis, sehingga selalu saja terjadi Krisis Manajemen.


Baiklah, uraian di atas saya sampaikan sekedar sebagai penyegaran. Selanjutnya kita kembali ke Kasus Lapindo Brantas dalam hal ini sharing dan brainstorming saya dengan Bpk Iwan.

(Bersambung)

Tidak ada komentar: