Kamis, 12 Maret 2009

Ibukota Negara Mesti Pindah?

IBUKOTA NEGARA MESTI PINDAH ?

(Bag. 1)

(Catatan Seputar Banjir Jakarta, 1 Februari 2008)

Oleh : Ratmaya Urip

Keasyikanku membaca kembali Winnetou IV dari Serial Dr. Karl May menjadi terganggu, karena terpecah oleh sesuatu hal yang lain. Ya..., setelah cukup lama aku berpikir, gadis manis yang duduk sendirian di salah satu sudut Srikandi Executive Lounge itu, wajah dan postur tubuhnya mengingatkanku pada Tia Carrere, film star berwajah Melayu atau tepatnya Polynesian (karena memang ada darah Filipino), kelahiran Honolulu, Hawaii, 2 Januari 1967, yang selalu mendapatkan perhatian pria, yang aku lebih suka menyebutnya sebagai “si hidung pesek namun berdada sangat mancung”. Tia Carrere aktris Hollywood itu memang telah menjadi salah satu idolaku selama ini, di samping Penelope Cruz, si sexy dari Spanyol yang juga menjadi begitu populer di Hollywood. Pokoknya, gadis yang duduk di salah satu sudut Srikandi Executive Lounge itu cukup cantik atau lebih tepatnya manis untuk membuat pria menunggu. Atau bisa dibalik, apa gunanya cantik, kalau hanya akan membuat pria menunggu? (Ungkapan apa pula ini? Absurd, nggak?)

Sebenarnya aku tidak begitu yakin bahwa dia masih gadis, karena penampilannya sangat mature. Akh...apa peduliku, aku kan hanya sedang menikmati keindahan ragawi yang kebetulan sedang berada di depanku, bak menikmati lukisan-lukisan klasik beraliran surrealisme dari Salvador Dali, sambil menunggu keberangkatan pesawat yang kebetulan delay di Bandara Internasional Ahmad Yani, Semarang, pagi itu. Menurutku sah-sah saja menikmati keindahan ragawi seorang wanita cantik, asal masih dalam batas-batas kewajaran, atau dengan kata lain, hanya sekedar menebar kekaguman untuk suatu trigger yang aku lebih suka menyebutnya sebagai pesona ragawi seorang wanita. Apalah gunanya wanita berdandan cantik kalau bukan untuk mendapatkan pengakuan atas kecantikan natural dan/atau kecantikan artifisialnya? Untuk mendapatkan label “cantik” atau “menarik” dari siapapun yang memandangnya? Baik dari pria maupun wanita. Tentu saja response untuk penampilan dari suatu obyek yang indah dalam hal ini suatu kecantikan yang terhidang, bagi sudut pandang pria pasti akan berbeda dengan sudut pandang wanita. Sangat mudah ditebak, karena pria akan mengaguminya, sementara wanita akan mencemburuinya (Untuk memudahkan atau lebih memperjelas cara pandang tersebut, ilustrasinya dapat dilihat pada sinetron : Suami-suami Takut Istri, yang sedang tayang di Trans TV dari Senin-Jumat, mulai jam 18.00 sampai jam 19.00. Maaf, ini bukan iklan, dan saya tidak dibayar untuk hal ini, semata-mata sebagai ilustrasi dan hanya untuk menyederhanakan saja)

Ya, pagi itu, Jum’at, 1 Pebruari 2008 jam 09.30 pagi, ada sesuatu yang aneh yang terjadi di seluruh sudut Bandara. Calon penumpang berjejal penuh, baik di dua ruang tunggu untuk publik, maupun di tiga executive lounge, yaitu Arjuna Executive Lounge, Srikandi Executive Lounge, maupun Garuda Executive Lounge. Beruntunglah aku, karena masih mendapatkan seat di Srikandi Executive Lounge, karena aku sudah check in sejak jam 07.30 tadi. Pesawatku, Sriwijaya Air menurut schedule akan terbang ke Surabaya pada jam 08.40 pagi. Namun sampai jam 09.30 pagi itu belum ada tanda-tanda untuk berangkat.

Selama dua hari ini, aku berada di Semarang untuk memenuhi undangan memberikan presentasi atau menjadi pembicara tentang Rigid Pavement, khususnya konstruksi perkerasan jalan yang dibangun di tanah dasar lempung lunak atau rawa, dengan menggunakan concrete sebagai surface coarse-nya. Jadi belum ada satu tahun, sudah tiga kali ini aku menjadi pembicara tentang Rigid Pavement di Semarang. Pertama kali aku diundang Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) Jawa Tengah, kemudian yang kedua di depan civitas academica salah satu Universitas Negeri di Semarang, sedang yang ketiga atau kemarin, di depan sejumlah Pimpinan Proyek dari Dinas Pekerjaan Umum dan beberapa kontraktor di Jawa Tengah. Mereka nampaknya tertarik dengan pendekatanku dalam membangun atau menangani Rigid Pavement di daerah-daerah dengan medan yang sangat berat, seperti rawa, daerah bertanah gambut, daerah dekat laut dengan tingkat keasaman yang tinggi,dan sebagainya. Kalau selama ini civil engineer selalu menggunakan pendekatan yang bersifat fisik-mekanik (physical-mechanical approach), seperti penggunaan tiang pancang (pile), geotextile, sistem cakar ayam, dan lain-lain, aku lebih suka dengan pendekatan kimia (chemical approach), yang jarang disentuh oleh para civil engineers, khususnya calcium-based solidification, yang lebih banyak mengurangi masalah.

Sebenarnya aku sudah bosan bicara atau menulis masalah engineering, atau yang bersifat teknikal. Aku lebih senang bicara atau menulis masalah-masalah manajemen, apakah itu Project Management, Construction Management, maupun Manufacturing Management. Apakah technopreneurship atau eco-technopreneurship. Apakah itu yang berkaitan dengan hal-hal yang stratejik, maupun operasional. Rasanya itu lebih asyik. Bagiku, bicara tentang engineering, sudah saatnya pensiun. Berbeda dengan kegemaranku membaca Serial Dr. Karl May, yang meskipun aku baca seribu kali, mulai sejak aku kecil dulu sampai sekarang tidak pernah ada bosannya. Namun, tentunya aku harus menghormati undangan yang disampaikan kepadaku.

(Catatan : beberapa jam kemudian setelah aku berada kembali di Surabaya, atau setelah Jalan Akses ke Bandara Soekarno Hatta tergenang banjir lebih dari satu meter, begitu pula dengan runway-nya, sehingga 233 penerbangan domestik dan internasional kacau, maka rasanya ada panggilan jiwa dan ada dorongan untuk menulis sedikit tentang engineering, khususnya menyampaikan beberapa pengalaman yang menyangkut Bandara Soekarno Hatta dan Jalan Akses Tol Prof. Dr. Ir. Sediyatmo. Kebetulan pada waktu pembangunannya, di awal sampai pertengahan dekade delapan puluhan, aku cukup mengikuti prosesnya. Tentu saja tulisan ini akan disusun secara populer, jauh dari kesan engineering, mengingat anggota milis yang sangat heterogen)

Pesawat yang rencananya aku naiki mempunyai route Jakarta-Semarang-Surabaya-Balikpapan, sehingga aku harus menunggu pesawat datang dari Jakarta terlebih dahulu. Karena pesawat belum juga datang, banyak penumpang yang mulai kesal. Semua penumpang yang berdesakan di seluruh sudut Bandara akhirnya dapat sedikit tenang, ketika diberikan informasi, bahwa cuaca di atas Jakarta tidak dapat diajak kompromi untuk melakukan penerbangan. Ketenangan mereka mungkin terpicu oleh jalan pikiran mereka, lebih baik selamat di Bandara daripada harus sport jantung menghadapi maut di tengah badai di atas Jakarta.

Seluruh flight, baik yang dari Jakarta maupun menuju Jakarta, untuk seluruh maskapai penerbangan tidak mungkin untuk menuju atau terbang dari Jakarta. Puncaknya terjadi ketika beberapa pesawat yang seharusnya menuju Jakarta, misalnya dari Solo menuju Jakarta, meskipun sudah terbang hampir mendekati Jakarta akhirnya harus divert ke Bandara Internasional Ahmad Yani, Semarang. Sejak itu seluruh penumpang jadi sadar, bahwa ada masalah yang sangat serius sedang terjadi. Apalagi setelah melihat Ketua Umum PB NU, Bpk. KH Hasyim Muzadi yang kebetulan sedang menuju Jakarta dari Solo jam 07.45 terpaksa terdampar di Semarang, setelah sempat berputar-putar di Jakarta. Padahal mulai tanggal 1 sampai dengan 3 Februari beliau harus berada di Jakarta, dalam rangka Harlah NU ke 82. Beliau berjam-jam menunggu di Bandara Internasional Ahmad Yani, Semarang.

Tentu saja, situasi yang serius tersebut menyebabkan perhatianku pada Tia Carrere di salah satu sudut Srikandi Executive Lounge menjadi terbang dan musnah, atau lebih tepatnya berantakan, terhantam badai keseriusan yang tengah terjadi.

(Bersambung)

IBUKOTA NEGARA MESTI PINDAH ?

(Bag. 2)

(Catatan Seputar Banjir Jakarta, 1 Februari 2008)

Oleh : Ratmaya Urip

Jakarta, Jum’at, 1 Februari 2008 kembali harus dilanda bencana, dan ini untuk yang kesekian kalinya. Orang-orang pintar semuanya berkumpul di sana, tokh sampai saat ini belum pernah ada hasil dalam penanganannya. Alam memang sulit diprediksi, karena kita semakin menjauhinya, semakin merusaknya, semakin jauh dari penciptaNya.

Aku jadi ingat kota sensual yang penuh dengan romantika serta aroma musik jazz dan blues di seluruh sudut kota, yang selalu gegap gempita karena Mardi Grass, kota yang selalu “terasing” dari lingkungannya karena dominannya budaya Perancis dengan tambahan sedikit Spanish di tengah dataran luas yang berbudaya Yankee, kota yang merupakan pelabuhan kedua terbesar nomor dua di negaranya setelah New York, namun kehidupannya tidak tenang karena selalu dihantui serangan banjir Mississippi dari arah utara, maupun badai raksasa dari Teluk Mexico. Kota yang nafas kehidupannya sampai kini terengah-engah karena Badai Katrina. Akh....rasanya mirip dengan Jakarta. Ya, New Orleans memang mirip Jakarta, hanya Jakarta jauh lebih kecil ancamannya. Seperti halnya New Orleans, Jakarta selalu harus siap dibantai banjir, hanya bedanya di Jakarta tidak pernah mengalami badai besar seperti Katrina, Karina, dan badai-badai lainnya. Apakah Jakarta juga akan ditinggalkan banyak penghuninya seperti New Orleans kelak?

Rasanya kenyamanan sudah tidak akrab lagi dengan Jakarta. Mobilitas sering terganggu, kalau tidak karena banjir, juga karena kemacetan lalu lintas, demo-demo politik, dan sebagainya. Benar-benar jauh dari kenyamanan. Waktu, menjadi tidak ada artinya karena tidak ada harganya dan terbuang percuma karena terperangkap jebakan banjir, atau jebakan demo dan jebakan kemacetan lalu lintas.

Kadang aku berpikir, kenapa, ya..ibukota negara kita tidak seperti ibukota Pakistan yang berpindah-pindah mulai dari Karachi, Rawalpindi dan Islamabad?

Kenapa, ya ibukota negara atau ibukota politik dari Indonesia tidak dipisahkan dengan ibukota bisnis atau ibukota ekonominya, seperti Inggris, Jerman, Italia, Rusia, Australia, China, India, Canada, atau Amerika Serikat, dan lain-lainnya, sehingga hiruk-pikuk politik tidak berimbas ke hiruk pikuk bisnis, atau bencana tidak selalu menghantamnya. Supaya nilai tambah yang direncanakan tidak terdistorsi oleh hal-hal yang tidak perlu, dan supaya kemampuan bersaing bangsa menjadi semakin tinggi?

Semua orang tahu bahwa ibu kota politik Inggris adalah London, sementara ibukota bisnisnya di Liverpool dan Manchester. Ibukota politik Jerman adalah Berlin, sementara ibu kota industrinya Frankfurt, Hamburg, dan Stuttgart. Ibukota politik Italia ada di Roma, sementara ibukota bisnisnya ada di Milan dan Turin. Ibukota politik Rusia di Moskow, sementara ibukota bisnisnya di St. Petersburg dan wilayah Caucasus. Ibukota politik Australia adalah Canberra, sementara ibukota bisnisnya adalah Sidney dan Melbourne. Ibukota politik China ada di Beijing, namun ibukota bisnisnya ada di Shanghai dan Guangzhou. Ibukota politik India ada di New Delhi, sementara ibukota bisnis ada di Mumbai. Ibukota politik Canada ada di Ottawa, sementara ibukota bisnisnya ada di Montreal dan Toronto. Juga ibukota politik Amerika Serikat adalah Washington DC, sementara ibukota bisnisnya sudah terspesialisasi yang menyebar ke seluruh negara bagian? Ibukota perdagangan di New York, ibukota otomotif di Detroit, ibukota penerbangan di Seattle, ibukota minyak di Texas, ibukota hiburan di Los Angeles (baca: Hollywood), ibukota wisata di Miami, ibukota pertambangan di Appalachia, ibukota pendidikan di Boston dan New England, ibukota pertanian di California dan Pennsylvania, ibukota maritim di San Diego, dan sebagainya.

Melihat ibukota politik seperti Roma, Washington DC, Beijing, Canberra, London, Paris, Berlin, Ottawa, dan lain-lain yang semuanya nyaman, tenang, serba disiplin dan serba teratur dan jauh dari hiruk pikuk bisnis (karena memang ibukota bisnis tidak di situ), maka pastilah pemimpin-pemimpin politik dapat lebih berpikir tenang, lebih dapat mencurahkan tenaganya untuk kemakmuran rakyat, kemajuan bangsa dan semua hal yang positip lainnya. Mereka lebih dapat meng-upgrade dirinya untuk menjadi negarawan, tidak hanya sekedar politisi. Presidennya tidak perlu menyusuri jalan busway karena kebanjiran, seperti di Indonesia. Mungkin karena ibu kota politiknya terdistorsi oleh aktifitasnya sebagai ibu kota ekonomi, maka para pemimpin bangsa jadi bising dan senewen, sehingga peri lakunya menjadi seperti sekarang ini. Korup, narsis, medahulukan kepentingan diri sendiri dan golongan, serta sering arogan.

Juga patut untuk dicermati, maka tidak seperti Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, yang semuanya menempel di bibir pantai, hampir seluruh negara maju memiliki ibukota politik yang berada di pedalaman, atau jauh dari garis pantai, bahkan di pegunungan, untuk memudahkan sistem drainasi, dan atau serangan badai dari laut, atau bencana lainnya. Ingat, seluruh ibukota politik ini semuanya jauh dari garis pantai, seperti London (Inggris), Paris (Perancis), Madrid (Spanyol), Berlin (Jerman), Moskow (Rusia), Roma (Italia), Beijing (China), Riyadh (Arab Saudi), New Delhi (India), Ottawa (Canada), Mexico City (Mexico), dan lain-lain. Bahkan ibukota negara tetangga dekat kita, Kuala Lumpur-pun tidak berani terlalu dekat dengan garis pantai.

Bukan aku mendewa-dewakan negara maju, karena faktanya Indonesia sampai saat ini tidak pernah beranjak dari keterpurukan. Karena tidak mau mencontoh keberhasilan negara lain.

Aku jadi ingat kembali suatu rencana di zaman Bung Karno dulu, untuk memindahkan ibukota ke Palangka Raya atau ke Purwokerto. Mungkin kalau dulu wacana pemindahan ibukota Indonesia tersebut jadi dilaksanakan, pastilah akan lain jadinya.

Kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota besarnya memang rakus. Semuanya ingin berpolitik sekaligus berbisnis di segala bidang, sehingga aktifitasnya menumpuk di satu kota, tanpa “core competency”, sehingga wajarlah jika kesemrawutan dan ketidaknyamanan kota, termasuk banjir, kemacetan lalu lintas, demo-demo politik maupun buruh, memporakporandakan sendi-sendi ekonomi dan kehidupan. Dengan memilih core competency-nya sendiri seperti Bali, atau Jogja, maka kemakmuran akan tercapai, karena fokus.

Mendengar atau menyimak adanya kota di Indonesia, yang ingin meraih semuanya, seperti industri, pariwisata, perdagangan, maritim, budaya, dan lain-lain, aku merasa geli, karena menunjukkan bahwa kota tersebut tidak fokus.

Itu baru tinjauan antarnegara. Bagaimana dengan tingkat propinsi atau negara bagian?

Contoh yang mudah adalah Amerika Serikat (Maaf, aku hanya menyampaikan contoh yang baik-baik saja dari negara adidaya tersebut, sementara yang jelek-jelek, seperti invasi ke negara berdaulat Irak, dan mungkin juga Iran, serta sifatnya yang terlalu membela Israel, atau ambivalensi serta rasialisme yang masih ada, dan lain-lain, aku amat sangat mengecamnya).

Di Amerika Serikat, hampir seluruh ibukota politik negara bagian, ternyata juga terpisah dengan ibukota bisnis negara bagian tersebut.

Contohnya : Ibukota bisnis negara bagian New York adalah New York City, sementara ibukota politik (pusat pemerintahan) adalah Albany. Ibukota bisnis California adalah Los Angeles, sementara ibukota politik di Sacramento. Ibukota bisnis Texas ada di Houston, sementara ibukota politik ada di Austin. Semuanya ada di pedalaman, bukan di bibir pantai. Demikianlah, banyak negara bagian yang jumlahnya 50 (lima puluh) itu ternyata tidak memilih ibukota politiknya sama dengan ibukota bisnisnya. Banyak kota-kota besar di setiap negara bagian yang bukan menjadi ibukota politik negara bagian. Ini berbeda dengan Indonesia, yang dapat dipastikan, bahwa ibukota politik dari suatu propinsi pasti dikangkangi oleh kota-kota besarnya, yang sekaligus sebagai ibukota bisnis/ekonomi.

Maka tentu saja segudang masalah pasti akan muncul, termasuk Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, dan sebagainya.

Dengan adanya letak kota di tepi pantai, masalahpun kemudian antri atau malah secara frontal menghantam kehidupan kota, dan selanjutnya menjadi bencana kemanusiaan. Contohnya adalah banjir. Banjir terjadi karena daya tampung lahan berkurang karena padatnya pemukiman yang menyebabkan resapan air berkurang karena padatnya bangunan. Banjir juga terjadi karena letak kota di pesisir yang nota bene daerahnya rendah, sehingga membuat air hujan atau banjir sukar untuk run-off karena muka air laut sama dengan muka air di darat. Juga air banjir sulit untuk infiltrasi ke dalam tanah, karena muka air tanah sangat tinggi dan sudah jenuh air). Masalah lain di kota yang letaknya di tepi pantai adalah banyaknya penyakit malaria, demam berdarah, dan muntaber. Ini terjadi karena letak kota di pesisir telah menyulitkan drainasi, dan juga membuat saluran drainasi tertutup sampah). Belum lagi masalah kemacetan lalu lintas, karena semakin berkurangnya daya tampung dan daya dukung kota karena kepadatan dan hiruk pikuk kota yang terjadi yang diakibatkan campuraduknya fungsi kota sebagai ibu kota politik dan ibu kota bisnis. Infrastuktur kota, khususnya jalan menjadi sering rusak, dan sebagainya.

(Bersambung)

IBUKOTA NEGARA MESTI PINDAH ?

(Bag. 3)

(Catatan Seputar Banjir Jakarta, 1 Februari 2008)

Oleh : Ratmaya Urip

Frekuensi banjir yang tinggi, tanah longsor, tabrakan kereta api, gempa dan tsunami, letusan gunung berapi, angin puting beliung dan kasus Lumpur Lapindo, serta bencana-bencana yang silih berganti mendera Indonesia, tidak pernah tuntas ditangani, dan selalu meninggalkan sejuta masalah, karena tidak ada yang fokus penanganannya. Menurut saya itu karena pemimpinnya “hanyalah” politisi, bukan negarawan. “Politician always think about next position, statesman always act for next generation”. Apalagi sebagian besar politisi-politisi kita berada di ranah politik karena untuk menyambung hidup, untuk mencari sesuap nasi (dan jika tidak ketahuan, menyimpan bergudang-gudang harta dari korupsi). Kalau ditinjau dari perspektif Maslow, para politisi tersebut kebanyakan masih berada di level-level bawah, dan yang tertinggi di level 4 (empat), itupun jumlahnya tidak banyak. Mayoritas ada di level 2 dan 3. Sementara yang dibutuhkan adalah yang sudah berada di level 5. Bagaimana Indonesia akan maju jika politisinya masih mengais-ngais rejeki untuk perutnya sendiri, perut kroni dan juga sampai perut turunan ke tujuhnya? Apa ada waktu untuk memikirkan negara dan rakyatnya? Yeah, begitulah fakta yang ada di negara berkembang. Maka kalau ada businessman (businessman yang sukses dan tataran Maslow-nya berada di level 5, bukan businessman ecek-ecek), yang mendapat kesempatan memimpin, kemudian berhasil, seperti Fadel Muhammad di Gorontalo, Masfuk di Lamongan, dan lain-lain, aku tidak heran. Tentu saja businessman tersebut harus mengerti politik, dan tahu caranya untuk menyejahterakan bangsa. Kalau ada businessman yang menjadi pemimpin, namun prestasinya buruk, pastilah dia sebenarnya masih berada di level bawah dari hierarki Maslow. Tentang korelasi kegagalan memimpin versus hierarki Maslow, menurutku layak untuk dijadikan hipotesis dalam disertasi.

Tentang bencana, lain lagi ceritanya. Visi kita selalu pada “life without disaster” (hidup tanpa bencana), bukan “life with disaster” (hidup bersama bencana), seperti Jepang, yang sehari-harinya memang hidup bersama bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami. Kita yang memang memiliki potensi bencana tinggi, sampai sekarang masih menekuni visi “life without disaster”, sehingga misi, strategi dan action plan, maupun eksekusi lapangannya selalu defensif dan kuratif atau korektif. Bukan offensif dan preventif seperti negara-negara yang menganut paham “life with disaster”. Sekali lagi, visi kita yang ketinggalan kereta tersebut masih dianut oleh pemimpin-pemimpin kita yang kebetulan bercokol di Jakarta, kota dengan jutaan masalah.

Tidakkah berlebihan atau naif, kalau penulis mengatakan, bahwa itu karena ibukota negara atau ibukota politik kita masih di Jakarta, yang konsentrasinya masih harus menangani atau mengobati dirinya sendiri dari segudang masalah? Memang benar di Jakarta sudah ada pemerintah daerah, namun kan pemerintah pusatnya ada di sana pula, yang mau tidak mau akan terimbas atau bahkan terhantam oleh segala masalah yang ada di Jakarta? Bagiku negara yang selalu sakit kronis, disebabkan oleh ibukotanya yang sakit kronis pula. (He...he...he...ini bukan bercanda, lho). Faktanya, negara yang makmur, hampir semuanya memiliki ibukota yang sedikit masalahnya. (Atau karena pemimpin di ibukota tersebut pintar menyelesaikan atau meredam masalah?). Biarlah Jakarta menjadi ibukota bisnis seperti New York, Los Angeles, Frankfurt, Shanghai, Sidney, Liverpool, Mumbai, Toronto, dan lain-lain, yang hiruk pikuk dengan aktifitas bisnisnya, sementara ibukota negara atau ibukota politik, kita pilih yang damai dan santun, seperti Beijing, Washington DC, Canberra, London, Paris, Ottawa, Kuala Lumpur, Riyadh, New Delhi, dan lain-lain.

Kalau perlu, ahli Fengsui dikumpulkan untuk mencari tempat yang cocok untuk menjadi ibukota negara yang baru (He...he...he...kalau yang ini aku tidak tahu apakah aku bercanda atau tidak .......!).

Sering kita menyalahkan penjajah, karena itu yang paling mudah untuk disalahkan. Aku malah sering menyebutkan, bahwa kita tidak pernah berjaya, karena kita salah dalam memilih penjajah. Karena kalau kita “memilih” Inggris sebagai penjajah, yang merupakan negara penjajah yang kaya, yang level Maslow-nya adalah 5, bukan 2 atau 3 seperti Belanda, bekas jajahannya hampir semuanya mewarisi kejayaan Inggris. Ingat, bahwa hampir seluruh jajahan dari negara-negara penjajah yang level Maslow-nya rendah seperti Belanda, Portugal, Belgia, dan Spanyol, ternyata nasibnya sama seperti kita. Jika dijajah Inggris, mereka diberi kemerdekaan (kecuali India dan Pakistan) dengan cuma-cuma, dan tidak perlu susah-susah merebut kemerdekaan seperti Indonesia. Contohnya yang paling dekat dengan kita adalah Malaysia, Singapura, Australia, dan Selandia Baru. Mereka kini makmur. Saya sering berpikir, kenapa, ya, dulu Raffles harus hengkang dari Indonesia? malah meninggalkan Bengkulu dan membangun Tamasek, yang kemudian menjadi Singapura? Kalau kita memilih Inggris sebagai penjajah, pastilah lain ceritanya. Masalahnya, secara klasik dapat dikatakan, bahwa kita tidak berdaya dalam memilih penjajah, karena penjajahlah yang memilih kita.

Sering pula kita (baca: para pemimpin politik atau politisi, bukan rakyat kecil), menyalahkan Soeharto atau Orde Baru. Para pemimpin yang jumlahnya jauh lebih kecil dari yang dipimpin itu selalu menyalahkan Soeharto (seperti yang sering penulis lakukan dulu), sementara rakyat kecil yang jumlahnya jauh lebih banyak, banyak yang memimpikan kembali ke era Soeharto, karena dulu hidupnya jauh lebih baik daripada di Zaman Reformasi ini. Ini semua terlepas dari kasus-kasus HAM di zaman Orde Baru yang ada. Harga-harga lebih terjangkau, dan sebagainya. Sebagian besar businessman juga banyak yang menyimpan pendapat dalam hati, bahwa dalam berbisnis, dulu lebih mudah.

Menurutku, sebaiknya kita jangan menyalahkan siapapun, kalau perlu kita salahkan diri kita sendiri yang belum juga mampu berbuat banyak untuk keluar dari situasi yang tidak menguntungkan saat ini. Menyalahkan orang lain atau pihak lain, itu sebenarnya menyembunyikan ketidakmampuan kita, atau menunjukkan bahwa kita goblog!

Penulis merasa heran ketika ada seorang pemimpin yang mengatakan, setelah menyikapi korupsi yang semakin marak di era otonomi daerah saat ini, dengan mengatakan : “Biarlah uang rakyat dikorupsi oleh orang-orang kecil di daerah, karena paling-paling duitnya untuk kawin lagi, sementara jika dikorupsi orang-orang pusat seperti zaman Orde Baru dulu, duitnya dilarikan keluar negeri.” Menurut saya, yang namanya korupsi itu, adalah biang keterpurukan bangsa. Apakah dilakukan oleh orang-orang dari pusat di era Orde Baru, maupun oleh orang-orang daerah di Orde Reformasi ini. Kebetulan pemimpin yang berkata seperti itu domisilinya ada di Jakarta, yang mungkin telah memberinya polusi berupa masalah kepadanya. Jakarta, rasanya telah menjadi mata air bagi keterpurukan bangsa, sehingga muara kejayaan masih jauh dari jangkauan.

Meskipun untuk saat ini belum terbersit secuilpun keinginan, namun menurut penulis, sudah saatnya kita merencanakan perpindahan ibukota kita ke tempat lain, untuk memisahkan ibukota politik dengan ibukota bisnis. Seperti halnya negara-negara lain yang telah menjadi maju karena telah melakukan pemisahan fungsi ibukota. Apakah itu ibukota negara maupun ibukota propinsi. Supaya pemimpin-peminpin negara dapat berpikir tenang dan bijak, tidak terkontaminasi dan terkooptasi oleh adanya hingar bingar kota, supaya kolusi antara pejabat negara dan pelaku bisnis tidak banyak terjadi. Meskipun semuanya itu tidak menjamin akan menyelesaikan masalah bangsa, karena semua terletak pada manusianya. Apalagi sistemnya masih carut marut seperti sekarang ini. Sekurang-kurangnya dapat mengurangi masalah. Karena apapun yang dilakukan saat ini, seperti misalnya dengan membuat jalur busway, dengan mengobrak PKL, dan lain-lain, hanya akan semakin menambah beban kota, karena diakui atau tidak, daya tampung kota tetap, sementara manusia, fasilitas dan aktifitasnya semakin bertambah besar. Ini yang disebut social bubble. Seperti halnya economical bubble, maka letusannya akan berdampak sangat besar pada hidup, penghidupan dan kehidupan. Social bubble akan cenderung menjadi political bubble.

Ingat bahwa di era reformasi saat ini, politik telah menjelma menjadi panglima lagi, sementara keadaan dimana era ekonomi menjadi panglima, nampaknya semakin manjauh. Terus terang, penulis saat ini sangat mendambakan, agar sosial atau lebih tepatnya kesejahteraan rakyat atau kesejahteraan bangsa-lah yang menjadi panglima, sehingga politik dan ekonomi dapat menjadi hambanya! Semoga keinginan penulis ini tidak hanya menjadi harapan yang ada di awang-awang, yang sewaktu-waktu dapat hilang tersaput atau terbawa awan!

(Tamat)

Tidak ada komentar: