Kamis, 12 Maret 2009

DARI MANA ASALMU?

RESPONSE ATAS EMAIL DARI IBU DEBORA CHANG :

(Jeritan hati yang menyentuh, yang diturunkan dari milis indokarlmay@yahoogroups.com)

DARI MANA ASALMU

Thursday, March 20, 2008 9:38 PM
From: "Debora Chang" <changdebora@ gmail.com>

Add sender to Contacts
To: "Milis - indokarlmay" <indokarlmay@ yahoogroups. com>

Dari Mana Asalmu?
============ ===


Sudah lama aku ingin menuangkan pikiranku tentang topik ini. Malah aku sudah sempat memulainya, sudah nyaris mencapai 500 kata, tapi moodku tiba-tiba hilang begitu saja. Maka jadilah tulisan itu konsep menggantung yang kutahu tak akan pernah terselesaikan.
Tapi hari Minggu, 24 Februari 2008, ada beberapa anggota PKMI yang masih saja bertahan di ruang pameran Bentara Budaya Jakarta walaupun acara kumpul-kumpul dan putar filmnya sudah usai, termasuk diriku, menunggu jam pameran berakhir dengan melihat-lihat materi pameran dan berbincang-bincang ringan.

Saat itulah, Koh Teje the one and only sempat melontarkan pertanyaan biasa yang hampir selalu diajukan oleh orang-orang yang baru pertama kali bertemu muka, "Aslinya dari mana?" Saat itu juga, dalam kebingungan sesaat ingin menjawab apa, tekad untuk menuntaskan tulisan tentang topik ini berkobar lagi.

Dari Mana Asalku?

Seandainya pertanyaan ini dilontarkan oleh orang asing, pasti bisa kujawab dengan mudah dan singkat, "Dari Indonesia." Seandainya juga kemudian diteruskan dengan pertanyaan yang lebih mendetil: dari kota mana?, dengan mantap akan kujawab, "Jakarta."

Tetapi, menghadapi pertanyaan dari rekan senegara, aku selalu bingung harus menjawab apa. Saat mood sedang bagus, biasanya aku menjawab, "Keliling-keliling" lalu disambung cerita ringkas perpindahanku dari kota ke kota, tergantung reaksi si penanya atas jawaban keliling-keliling itu.

Manakala sedang tidak ingin berpanjang lebar, aku akan menjawab, "Tidak asli mana-mana," atau, "Indonesia," dan pernah juga menjawab keliling-keliling tanpa penjelasan apa-apa. Walau jawaban-jawabanku ini sering memicu reaksi negatif, aku tidak pernah bisa memaksa diri untuk menyebut satu kota tertentu sebagai kota asalku.

Sebab, kalau aku menyebut Jakarta sebagai jawaban atas pertanyaan aslinya dari mana, artinya secara tak langsung aku mengklaim Jakarta sebagai kota kelahiran, tempatku dibesarkan, kota yang membentuk karakter diriku. Dan aku tidak bisa berbuat begitu karena aku tidak bisa mengatakan kebohongan.

Jadi sejujurnya, menurut kata hatiku, Indonesia adalah jawaban yang paling pas, dan ini sering kutekankan sebagai kesimpulan setelah menceritakan keliling-kelilingku. Lahir di Pontianak, umur dua tahun pindah ke Salatiga, sepuluh tahun kemudian pindah ke Tangerang, lulus SMA pindah ke Jakarta, sempat ke Surabaya dua tahun lamanya sebelum balik lagi ke Jakarta, dan sekarang di Bekasi (dan punya rencana untuk menjadi warga Bogor, bila Tuhan berkenan).

Ada seorang kenalan yang bingung atas kesulitanku menjawab pertanyaan macam ini. Dia juga termasuk orang yang beberapa kali berpindah kota, walau seberapa sering aku tak ingat lagi, tapi bisa dengan enteng menyebut Cianjur sebagai kota asalnya karena di kota itulah orangtuanya menetap sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang dan tidak ada rencana untuk pindah lagi.

Kalau aku menerapkan cara seperti itu, maka jawabanku seharusnya adalah Tangerang. Tapi sungguh mati aku tidak bisa berbuat begitu. Bagaimanapun juga, aku tidak mau disebut sebagai orang Tangerang. Pernah tinggal di Tangerang dan orangtua ada di Tangerang, oke, itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Tapi bagiku, mengaku sebagai orang dari daerah tertentu, itu artinya mengaku memiliki karakter dan sifat-sifat yang menjadi ciri khas daerah itu. Penyebutan suatu kota sebagai kota asal, itu sama dengan mengindentikkan diri dengan kota itu.

Keterkaitan Budaya Setempat dengan Karakter Masyarakat. Orang sering bilang, dan aku juga sepaham, bahwa kita tidak boleh menyamaratakan orang menurut latar belakangnya, karena setiap orang itu unik. Tapi mau mengakuinya ataupun tidak, ada keterkaitan khusus antara suatu wilayah dengan masyarakat yang mendiaminya. Malah sering kali keterkaitan itu bukan hanya dalam bentuk budaya, tapi juga mencakup ciri-ciri fisiknya.

Masyarakat pesisir, contohnya, identik dengan masyarakat yang terbuka dan mudah beradaptasi dengan beraneka budaya. Dan masyarakat pedalaman, identik dengan orang yang menyukai keteraturan dan agak sulit menerima perubahan. Setiap daerah juga punya nilai-nilai kesopanannya sendiri, dan kalau orang tumbuh besar di sana, aturan-aturan itu disadari ataupun tidak akan melekat erat dalam dirinya. Contoh paling jelas tentang betapa berbedanya norma kesopanan adalah dalam soal makan.

Masyarakat Dayak sangat menghargai tamu yang melahap tandas makanan porsi besar yang dihidangkan, kalau perlu sampai bertahak. Sebaliknya, bagi masyarakat Jawa, orang yang menghabiskan makanan di piringnya dianggap rakus, dan bertahak adalah kelakuan yang sangat tidak sopan.

Kondisi alam termasuk salah satu unsur pembentuk karakter masyarakat. Orang-orang Cina yang merantau meninggalkan negeri asalnya karena kemiskinan, biasanya jadi sangat menghargai setiap remah makanan yang dimilikinya, dan itu menjadi sikap hidupnya. Nenek seorang mantan rekan kerja, selalu menangis tanpa suara kalau melihat cucunya tidak menghabiskan nasi di piringnya sampai butir terakhir. Sebab setiap kali melihat makanan yang terbuang, dia selalu teringat akan masa-masa sulit yang dialaminya di negeri leluhur, saat kulit ubi pun teramat berharga, kulit kesemek dijadikan penganan, saat satu-satunya teman makan semangkuk kecil bubur polos encer hanyalah sepotong kecil lobak asin kering yang dihisap-hisap sampai hilang rasa.

Karena itu masyarakat Cina perantauan identik dengan orang-orang tahan banting berdaya juang tinggi yang superhemat. Dan selewat beberapa generasi, keturunan orang-orang perantauan itu pasti mengembangkan budaya yang berbeda, karena mengalami asimilasi dengan budaya setempat dan hidup di kondisi alam yang berbeda dengan para pendahulunya.
Singkatnya, setiap individu, selain memiliki karakter pribadi, biasanya membawa-bawa karakter masyarakat yang membentuknya. Itulah sebabnya tak mungkin bagiku menyebut diri sebagai orang Tangerang. Sebab, maaf saja, Tangerang yang kukenal saat pertama kali menginjakkan kaki dua belas tahunku di sana, sudah menorehkan luka yang dalam di hatiku.

Aku Orang Indonesia.

Aku lahir di Pontianak, tapi tak bisa menyebut diri orang Pontianak karena hanya menghabiskan setahun lebih pertamaku di sana, jadi tidak sempat menyerap karakter dan budaya Pontianak. Walau orangtuaku sampai sekaranmasih merasa sebagai orang Pontianak karena lahir dan dewasa di sana, mereka tidak sepenuhnya menanamkan budaya Pontianak pada diriku, terutama karena selama sepuluh tahun kami di Salatiga, Papa lebih banyak berada di Tangerang, mengunjungi Salatiga sebulan sekali atau dua kali, aku tidak begitu ingat. Juga karena kami memeluk agama Kristen, sehingga tidak lagi mengikuti tradisi Cina dengan upacara-upacara dan perayaaan-perayaann ya yang kental di kalangan Cina Pontianak.

Aku tidak punya logat Pontianak, tidak bisa bahasa yang umum dipakai di Pontianak yakni dialek Khek maupun Tiociu, tidak punya kebiasaan merumpikan saudara dan kenalan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya seperti yang dikeluhkan teman-teman "sekampung", juga tidak matre seperti anggapan umum terhadap perempuan-perempuan PBB (Pontianak Bangka Belitung). Satu-satunya hal Pontianak dalam diriku adalah makanannya. Aku menyukai beberapa masakan Pontianak mamaku.

Kari ayam, chaikue (atau choipan, sebutan terkenalnya, yang kalau di Pontianaknya sendiri beraneka ragam, ada yang isi bangkuang, isi kucai, isi talas, semuanya enak… nyam…), asinan pepaya mengkal, udang atau cumi bumbu kuning, rebung masak ebi, teman makan buah berupa gula pasir dicampur kecap asin, es lidah buaya dan jengkol rebus dicolek unti kelapa muda masak gula pasir (tapi yang sudah puluhan tahun tidak pernah dibikin lagi), cah pakis, batang kangkung cah jahe, ikan masak tauco, sup ikan dengan daun selasih, waduuhh, daftarnya bisa panjang banget, tapi aku tak tahan untuk tidak menyebut kolak campur sari ubi-talas-jagung- pisang, boleh juga ditambah kolang-kaling dan singkong.

Masa sepuluh tahunku di Salatiga, dari umur dua tahun sampai selesai kelas 5 SD, tidak menyisakan kemampuan berbahasa Jawa pada diriku. Memahami pembicaraan dan bacaan ringan aku masih bisa, tapi jangan suruh aku bicara, pasti langsung gelagapan dan mati kutu, otak buntu. Jadi sungguh mustahil menyebut diri sebagai orang Salatiga. Orang Salatiga kok tak bisa omong Jawa?

Hal Salatiga dalam diriku adalah, aku terbiasa untuk tidak membeda-bedakan ras dan suku bangsa. Meskipun bacaan macam Karl May berpengaruh besar, perlakuan yang kita terima semasa kanak-kanak berpengaruh jauh lebih besar lagi. Di Salatiga, aku selalu merupakan golongan minoritas di mana pun aku berada—lingkungan rumah, sekolah, gereja; satu-satunya atau salah satu dardua anak ras Cina di kelas atau bahkan sekolah, dan satu-satunya atau salah
satu dari dua keluarga Cina di kampung (bisa ada atau-atau itu karena kami pindah rumah dua kali, dan aku pindah sekolah satu kali).

Tetapi sepanjang ingatanku, tak sekali pun aku diperlakukan secara berbeda karena perbedaan ras itu. Aku tak pernah merasa menjadi pusat perhatian, dipandang secara sinis, ataupun benar-benar menyadari bahwa penampilan fisikku lain dari yang lain. Perbedaan yang kusadari pada diriku adalah, aku anak yang gemar membaca, tidak terlalu suka bermain, payah banget dalam hal olahraga, menggambar, dan mengarang, tidak pernah mencari teman; tidak seperti anak-anak lain.

Tangerang, adalah guncangan budaya superhebat. Di sekolah, ada lebih dari 4 anak Cina di kelasku saja. Di kampung, memang hanya ada dua keluarga Cina termasuk kami di lingkungan RT, tapi dalam kawasan RW apalagi kelurahan, ada keluarga-keluarga Cina lainnya. Tetapi jumlah yang lebih banyak ini sama sekali tidak membuatku merasa lebih sama dengan yang lain. Justru sebaliknya. Di sinilah pertama kalinya aku diteriaki "Cina!" dan "Babi!" oleh anak-anak di jalan yang kulewati dari rumah ke sekolah atau ke warung, walau tidak pernah dilakukan oleh anak-anak tetangga dekat—mereka sih baik-baik, main dengan adik-adikku dan sebagainya.

Masih banyak lagi sikap bermusuhan yang kami hadapi, termasuk menjadi sasaran utama pencurian walau kami bukan orang berada, hanya keluarga menengah ke bawah biasa yang mendapat berkat secukupnya dari Yang Mahakuasa sehingga tidak pernah sampai berkekurangan dan tidak pernah merasakan kelaparan.

Namun yang paling membuatku tidak bisa menerima Tangerang sebagai tempat asalku adalah, aku tidak bisa menerima nilai-nilai yang berlaku di sana (aku tak tahu apakah nilai-nilai itu hanya berlaku di sekitar tempat tinggalku ataukah memang berlaku umum di Tangerang, atau apakah itu adalah norma zaman dulu dan sekarang sudah berubah; aku hanya sudah terlanjur menggeneralisasinya , maaf kalau salah).

Kalau kita sedang berjalan-jalan di kebun orang, lalu menemukan kelapa jatuh atau apa pun yang jatuh dari pohon, maka kelapa itu adalah milik kita, karena kitalah yang menemukannya. Kalau kita menanam pohon, maka pohon dan buahnya adalah milik kita, tak peduli di mana kita menanamnya—di tanah milik orang lain sekalipun; dan kalau si pemilik tanah menjual tanahnya, si pemilik baru harus membayar harga pohon itu kepada kita, tak peduli dia menginginkan pohon itu atau tidak.

Bagiku, ini adalah aturan yang sangat tidak menghargai orang lain, yang mau menang sendiri. Dan menurutku aku sama sekali bukan orang yang seperti itu. Lalu teriakan hinaan yang dilontarkan anak-anak itu, dari mana mereka mempelajarinya? Kemungkinan besar adalah dari kebencian para orangtua mereka yang terucap dalam percakapan sehari-hari di rumah, karena disadari atau tidak, biasanya anak-anak menyerap, meniru, dan mewujudkan sikap dan pandangan orangtuanya tanpa disaring.

Tentu saja aku tidak benar-benar terbebas dari pengaruh Tangerang. Yang terutama adalah kebiasaan mengganti istilah orang pertama tunggal menjadi jamak: aku menjadi kita, dan orang kedua tunggal menjadi orang ketiga tunggal: kamu menjadi dia. Jadi terkadang, dalam percakapan sehari-hari, kalau aku bilang "kita", itu bisa saja artinya "aku", karena "kita" terkesan lebih memperhalus keakuan, walau sering jadi kurang pas bagi yangmendengarnya. Juga ada ungkapan yang sering terucap dalam percakapan dengan orang rumah: "mbe?" Artinya "masak iya?", membacanya seperti menirukan suara kambing tapi pendek saja dan tanpa huruf [k], dengan nada meragukan.

Maka begitu pindah ke Jakarta, yang merupakan melting pot (apa ya bahasa Indonesianya? kuali peleburan?) suku, ras, budaya, bangsa, bahasa—Indonesia dalam bentuk mini karena semua sukunya ada di sana, lengkap dengan perwakilan berbagai bangsa asingnya, hingga boleh dibilang tidak punya ciri khas karena masyarakat Betawinya tidak terlalu terasa kemayoritasannya, aku merasa kota ini lebih mewakili karakter diriku.

Tetap saja, aku tidak bisa mengiyakan kalau orang bertanya apakah aku asli Jakarta karena aku pindah ke sana saat sudah dewasa, sudah lulus SMA, saat orang sudah tidak terlalu banyak lagi terpengaruh oleh lingkungannya, walau proses pembelajaran masih terus berlangsung seumur hidup dan pengalaman tak akan pernah berhenti menempa seseorang.

Ada hal lain lagi yang menambah rasa sebagai orang Indonesia daripada sebagai orang kota tertentu. Aku selalu bersekolah di sekolah negeri, menjalani pendidikan formal murni ala Indonesia, tidak seperti kebanyakan anak Cina yang cenderung menempuh pendidikan di sekolah swasta (dan dimulai dari diriku, semua adikku dari SD sampai SMA-nya juga masuk sekolah negeri).

Sayangnya, jawaban singkat "asli Indonesia" atas pertanyaan di judul tulisan ini selalu dianggap main-main, sehingga orang sering merasa perlu mempertegas pertanyaannya dengan menanyakan dari kota mana asalku, dan kebingunganku pun tak akan pernah berakhir. Mungkin aku perlu membawa-bawa tulisan ini ke mana-mana untuk diberikan alih-alih menjawab pertanyaan.

Haha..

Juga tak tertutup kemungkinan, bagi kebanyakan orang, pertanyaan dari mana asalmu itu hanyalah basa-basi pergaulan; aku saja yang terlalu serius menyikapinya, jadi seharusnya aku bisa dengan enteng mencomot salah satu kota untuk sekadar "membungkam" mulut si penanya. Tapi begitulah diriku, tak bisa mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan kata hati.

Jadi, nikmati saja!

debora**


Re: [indokarlmay] OOT: Dari Mana Asalmu? (panjang: 2000 kata)

Monday, March 24, 2008 9:12 PM

From:

Add sender to Contacts

To: indokarlmay@yahoogroups.com, mailinglistamasby@yahoogroups.com, ama-dki@yahoogroups.com, quality-network@yahoogroups.com

Ibu Debora,

Berbahagialah Ibu Debora, yang telah melanglang Indonesia dalam bauran sejumlah budaya Indonesia, sehingga kaya dengan nuansa keIndonesiaan yang lengkap yang diperoleh dari perjalanan hidup secara praktis dengan melibatkan seluruh indra secara langsung (bukan hanya teoritis), yang telah membentuk kearifan yang hakiki, membentuk jati diri Ibu Debora, yang secara antropologis (sedikit atau banyak), menjadi lebih Indonesia. Lebih lengkap daripada hanya sekedar menjadi Pontianak, Salatiga, Surabaya, Bekasi, Jakarta, atau bahkan menjadi China (apakah itu yang berbahasa Khek/Hakka, Cantonese, Manadarin atau Hokkian). Saya dapat menyampaikan hal ini karena pengalaman hidup saya mirip dengan Ibu.

Saya dilahirkan sebagai orang Jawa Mataraman (untuk membedakannya dengan Jawa Koek, Jawa Kulonan, Jawa Arek, Jawa Osing, Jawa Tengger, Jawa Samin, dan Jawa-Jawa yang lain), namun saya cukup mengenal budaya-budaya Dayak Benuaq, Putuk, Kenyah, Tunjung. Juga Budaya Bugis dan Madura, Budaya Bali, Budaya Arek, Banjar, Sunda, Betawi, Lampung, dan lain-lain. Bahkan saya beruntung mengenal budaya-budaya Basque, Irish, Scottish, English, Bavarian, Filipino, Sicilian, dan Mediterranean.

Beruntung dan bersyukurlah Ibu Debora yang telah menempa diri dengan melanglang Nusantara dalam dekapan kebahagiaan (entah kebahagiaan absolut atau relatif), bukan penderitaan hidup seperti halnya orang-orang Irish yang terpaksa hengkang dari tanah leluhurnya Ireland, beberapa abad yang lalu, karena kelaparan akibat gagalnya panen kentang atau serangan wabah penyakit, menuju tanah harapan baru Amerika Serikat. Banyak di antara mereka yang kemudian mati ketika baru mulai beranjak dari tanah kelahiran, mati dalam perjalanan di tengah ganasnya ombak Samudera Atlantik, atau mati setelah tiba di tanah harapan.

Survive, itulah satu-satunya keinginan mereka. Tak ada harta yang dibawa, tak tahu apakah ada tempat berlindung atau tempat untuk hidup di tanah harapan baru, apalagi tanpa ada keyakinan untuk dapat sampai ke tanah harapan dengan selamat. Lebih baik meninggalkan neraka (tanah kelahiran) yang sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk mendapatkan kehidupan (karena selalu memberi derita berupa kematian), menuju tanah harapan baru yang masih mungkin untuk menjadi gantungan hidup. Mereka berangkat dari minus (di bawah nol), yang kalau dipadankan dalam perspektif Maslow, mereka adalah orang-orang yang masih berada di bawah level 1 (di bawah level pemenuhan kebutuhan basic, physiological, survival). Kalau tokh kemudian setelah dua abad di antara mereka ada yang berjaya setelah dengan susah payah meniti seluruh level dari hierarki Maslow, sehingga merajai jabatan Presiden Amerika Serikat, seperti Kennedy, Reagan, Clinton, Bush, Nixon, dan lain-lain, yang semuanya merupakan clan atau fam Irish, adalah karena kepiawaian mereka dalam meniti hidup yang berbasis pada semangat mereka untuk mencapai tingkat yang benar-benar excellence. Juga kalau kemudian etnis mereka di Amerika Serikat saat ini jumlahnya sepuluh kali lebih banyak daripada yang tinggal di tanah leluhur Ireland, adalah karena semangat mereka untuk tetap survive, dan tekad mereka untuk selalu unggul dalam bersaing. Semangat "Irish Diaspora".
(Catatan : Berbeda dengan orang English yang merupakan etnis mapan dan feodal, etnis Irish dan Scottish adalah etnis yang paling menderita karena deraan hidup yang berkepanjangan di tanah Britania Raya pada zaman tersebut).

Tulisan Ibu Debora menginspirasi saya pada beberapa pemikiran yang telah lama menghuni benak saya hampir sepuluh tahun ini.

Adapun isi benak saya tersebut adalah : "Kenapa, ya, Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa bisa maju (Meskipun saat ini sedang berjuang melawan resesi karena economic bubble). Kemudian akhir-akhir ini juga disusul China. Sementara Indonesia, ya...begini, begini saja! Malah semakin terdegradasi dalam percaturan hidup dunia." Jawabnya adalah pada "sense of competitiveness" , ”soul of competitiveness” atau "spirit of competitiveness"

Saya mempunyai hipotesa tentang hal tersebut setelah mengamati cukup lama, dalam hal ini setelah mengkajinya dalam perspektif antropologi ekonomi atau antropologi bisnis. Atau tepatnya : "Keunggulan Bersaing dalam Perspektif Antropologi Ekonomi/Bisnis. " Saya sudah mencoba mengkajinya secara ilmu teknik, namun tidak ketemu. Baru setelah mencoba mengkaji secara antropologis khususnya antropologi ekonomi/bisnis, kok agak nyambung.

Saya sering berpikir (sejak lima belas tahun lalu), apakah budaya dengan slogan-slogan, pemeo-pemeo atau ungkapan-ungkapan : "alon-alon waton kelakon", "nrimo ing pandum", "mangan ora mangan kumpul","tongkat kayu jadi tanaman", "bukan lautan hanya kolam susu", "negara yang menghampar bak zamrud khatulistiwa" , dan lain-lain itulah yang membuat Indonesia terjebak dalam kondisi yang sulit maju? (Sebagai orang Jawa sekaligus Indonesia, saya selalu berada dalam pergulatan intens, karena ungkapan-ungkapan tersebut adalah warisan leluhur yang harus selalu dilestarikan. Namun apakah masih cocok dan relevan untuk saat ini? Apakah perlu transformasi tanpa mengubah nilai-nilainya? Transformasi yang menghasilkan nilai kemampuan bersaing yang tinggi bagi Indonesia tanpa harus terjebak pada ketidakberdayaan total seperti yang terjadi saat ini? Terpuruk dan terpuruk!)Saya yakin itu bisa, karena budaya Irish juga memiliki ungkapan keramahtamahan yang mirip dengan ungkapan-ungkapan Jawa di atas : "Cead mile failte", namun tokh mereka saat ini dapat menjadi etnis dengan kemampuan bersaing yang tinggi setelah bertransformasi dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai warisan leluhur.

Juga cerita rakyat Irish seperti Gulliver sebagai Liliput, atau Gulliver sebagai Raksasa yang kita kenal ketika kita kecil dulu ternyata mirip dengan cerita-cerita rakyat kita, cerita-cerita yang nampaknya meninabobokan kita.

Perhatikan juga musik klasik tradisional Indonesia yang lebih sering bergaya langgam yang mendayu-dayu, meski ada yang stambul yang lebih dinamis. Apakah semuanya itu ada hubungannya dengan kemampuan bersaing? Nampaknya memang tidak ada korelasinya, namun....ya itulah, perlu transformasi dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai yang dikandungnya.

Semoga tulisan Ibu dapat mengakselerasi penulisan saya yang kini masih setengah jadi, yang saat ini terbengkelai dan belum tahu kapan selesainya (atau ada yang mau membantu?).

Oh, ya...ada satu hal yang mirip antara budaya China dan Irish, yaitu :

1. Etnis China dan Irish sama-sama menyebar ke seluruh dunia.
2. Kalau etnis China mempunyai Tahun Baru Imlek, etnis Irish memiliki St Patrick’s Day, yang keduanya dirayakan kedua etnis tersebut secara besar-besaran di seluruh dunia.

Terima kasih dan salam.

Ratmaya Urip

ooOoo

Tidak ada komentar: