Kamis, 12 Maret 2009

Resensi Bacaan Laki-laki Dewasa: JANGKRIK JLITHENG


Resensi Buku (disajikan secara santai) :

Bacaan Laki-laki Dewasa

JANGKRIK JLITHENG

Buah Karya : Jalu Suwangsa

Peresensi : Ratmaya Urip

Berkeliling area Superblok yang belum benar-benar selesai City of Tomorrow (Cito) di kawasan Bunderan Waru, membuatku capek. Hampir seluruh area telah aku jelajahi. Seperti halnya Pusat Perbelanjaan lainnya di kota-kota besar, isinya kalau bukan supermarket, hypermarket, game-zone, bioskop, kios-kios para pedagang, pastilah foodcourt.

Oh ya, mumpung ingat, aku sering berpikir, kenapa ya Bunderan yang menjadi gerbang masuk kota Surabaya dari arah selatan itu dinamakan Bunderan Waru? Padahal secara geografis, wilayah tersebut berada di daerah Menanggal, Kecamatan Gayungan, yang masuk wilayah kota Surabaya, bukan wilayah Waru, yang masuk wilayah Kabupaten Sidoarjo. Hal itu karena perbatasan antara Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo letaknya berada di saluran kecil di sebelah selatan bunderan. Sehingga lebih tepat kalau Bunderan Waru disebut sebagai Bunderan Menanggal atau Bunderan Gayungan, karena memang masuk wilayah administratip Kelurahan Menanggal, Kecamatan Gayungan, Kota Surabaya. Bukan masuk wilayah Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Entahlah? Yang pasti aku juga ingat, ketika shelter kereta komuter di dekat Makro, Aloha, yang sekarang bernama Sawotratap itu dulu sempat dinamakan Pepelegi, namun karena ada protes dari warga Sawotratap (karena shelter kereta komuter tersebut memang masuk wilayah Sawotratap, bukan Pepelegi), maka namanya segera diganti Sawotratap, meski nama Pepelegi sempat bertengger selama satu bulan. Dalam konteks yang sama, kenapa tidak ada yang protes untuk mengubah nama Bunderan Waru menjadi Bunderan Menanggal? Mungkin nama Bunderan Waru lebih mudah diucapkan dan lebih enak didengar atau lebih gampang dimaknai. Dari kajian pemasaran, mungkin lebih layak jual dengan brand Bunderan Waru. Padahal menurut saya, apakah tetap dinamakan Bunderan Waru atau diubah sesuai dengan letak wilayah administratif-geografisnya menjadi Bunderan Menanggal atau Bunderan Gayungan, semuanya hanya tergantung waktu saja. Contohnya, nama jalan-jalan yang sekarang diberi nama pahlawan, seperti Jalan jenderal A. Yani, Jalan Jenderal Gatot Soebroto, dan lain-lain, orang-orang sudah lupa pada nama jalan sebelumnya, atau nama jalan aslinya.

Aku jadi ingat dengan penggantian nama baku Yogyakarta menjadi Jogjakarta yang diusulkan oleh Pak Hermawan Kertajaya kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X. Penggantian nama baku tersebut konon supaya lebih layak jual, demikian menurut yang aku dengar (Maaf, kalau aku salah dengar atau salah menerima informasi, yang berarti bahwa informasi itu salah). Tentu saja penggantian nama tersebut menimbulkan pro dan kontra. Aku sih lebih condong tetap dengan nama lama Yogyakarta, dan itu juga dilakukan oleh orang-orang asli dari Yogyakarta. Alasanku karena nama Yogyakarta adalah historis dari nama panjang Ngayogyakarto Hadiningrat. Selama ini memang Yogyakarta, sering ditulis dengan nama-nama lain yang tidak baku, seperti Djogjakarta, Djogdjakarta, Jogyakarta, Djogdyakarta, dan lain-lain. Grup Jawa Pos sering menulisnya dengan Jogjakarta, sementara grup Kompas, sering menulis dengan Yogyakarta, sedang koran asli Yogya tetap bertahan dengan Yogyakarta. Beberapa stasiun televisi juga memilih nama yang saling berbeda pula. Aduh, nama saja bikin repot.

Penggantian nama menurutku tidak ada kaitannya dengan layak tidaknya untuk dijual, tergantung dari cara, metode dan sistem pemasarannya. Contohnya Gudang Garam, Dji Sam Soe, merek-merek rokok yang sangat terkenal, yang menjadi terkenal karena nama tersebut diciptakan karena faktor historis. Ada lagi rokok merk Jeruk yang sangat populer di kawasan Jawa Tengah. Rokok kok diberi merk Gudang Garam, Dji Sam Soe, dan Jeruk, bahkan Bentoel, dan Nojorono. Nama-nama yang ketika dibuat dulu mungkin tidak akan terbayangkan akan dapat dijual. Tokh akhirnya nama-nama tersebut jika diganti akan banyak yang keberatan, karena reputasinya sudah dibangun sangat lama. Demikian juga nama baku Yogyakarta, tidak usah diganti dengan Jogjakarta, karena sejarah mencatat, tidak terlalu siginifikan dalam menjual potensinya

Sementara meskipun tidak diganti namanya, setelah pindah kekuasaan dari semula wilayah Mexico menjadi wilayah Amerika Serikat (setelah menang dalam perangnya dengan Mexico pada pertengahan abad sembilan belas), nama-nama berbau Spanyol tetap dipertahankan tanpa diubah menjadi nama-nama berbau Amerika-Inggris. Contoh nama-nama tersebut adalah Texas, Los Angeles, San Fransisco, San Antonio, El Paso, San Diego, Santa Fe, Arizona, Albuquerque, Tucson, Dallas, Alamo, Rio Grande, dan lain-lain. Nama-nama historis Indian juga tetap dipertahankan dan sangat populer seperti Chicago, Ohio, Cheyenne, Wyoming, Oklahoma, dan lain-lain.

Dengan kata lain, nama Yogyakarta, tanpa diubah menjadi Jogjakarta tetap akan layak jual (tergantung masyarakatnya, sistem pemasaran dan kemampuan untuk memasarkannya). Faktor historis justru akan lebih menjual, khususnya dalam perpektif pariwisata. Jadi perubahan nama Yogyakarta menjadi Jogjakarta, menurut penulis adalah mengada-ada dan mubazir. Popularitas Yogyakarta sebagai tempat tujuan wisata, sebagai kota pelajar, sebagai sentra produsen dan tempat lahirnya salak pondoh, tidak ada kaitannya dengan penggantian nama. Sementara tentang nama-nama lain yang bukan nama baku, seperti Djogyakarta, Djokdjakarta, Jogdjakarta, Jogyakarta, Yogjakarta, dan lain-lain, biarkan saja berkembang sebagai nama-nama slank, yang dapat dijadikan bahan pajangan di kaos-kaos DAGADU atau kaos JOGER. Memang aneh, karena di Indonesia ini hanya nama kota Yogyakarta yang dapat memiliki sejuta nama lain yang tidak baku. Bandung, Jakarta, Solo, Palembang, Medan, Samarinda, Denpasar, Jayapura dan lain-lain kota di Indonesia sulit untuk dicari nama slank-nya.

Nama tempat atau wilayah memang sering diganti namun karena alasan politis (jarang yang diganti karena alasan pemasaran), seperti New Amsterdam menjadi New York, Soekarnopura menjadi Jayapura, Puncak Soekarno menjadi Puncak Jaya, Noertanio menjadi IPTN kemudian PTDI, Jalan Raya Waru menjadi Jalan Letjend S. Parman, Jalan “X” menjadi Jalan Jendral Soedirman, Jalan Jendral A. Yani, atau Jalan Jendral Gatot Soebroto, dan lain-lain.

Kembali keberadaanku di Superblok City of Tomorrow (Cito). Dalam puncak rasa lelahku, tiba-tiba mataku terdampar pada kios buku kecil di lantai dasar, yang letaknya tidak terlalu membuat orang untuk terundang memasukinya. Kios itu terletak di depan gerbang Hypermart agak ke kanan. Tidak terbaca nama kios di situ.

Dari beberapa judul buku yang tersedia, tidak ada yang menarik minatku atau mengusik gairahku untuk membeli, seperti halnya kalau aku berada di toko buku favorit Gramedia, Gunung Agung, Kharisma, atau Toga Mas, kecuali satu buku saku kecil yang tiba-tiba menjulat keingintahuanku.

Buku itu berukuran 11 cm x 18,5 cm, memiliki 124 halaman. Judulnya :

Bacaan Laki-laki Dewasa

JANGKRIK JLITHENG

(ora kaya kayaa, jebul dudu apa-apa)

Oleh : Jalu Suwangsa

Terus terang, aku belum pernah tertarik pada buku apapun yang mengupas masalah sex, meskipun disajikan dalam bentuk yang santun, ilmiah dan premium. Tentang sex aku lebih suka mendiskusikannya secara santun dan ilmiah (tidak vulgar) dengan Pak Halim Pranata (He..he..he maaf jangan marah ya Pak Halim, ini bercanda), Pak Jadi Rajagukguk, Ketua AMA Batam (diskusi secara imajiner lho, Pak), dan Pak Tiantoro, Ketua AMA Surabaya demisioner (ini karena Bapak pakarnya Viagra, Cialis, Bluemoon, Tripoten, Ever-Joy, dst, mengingat beliau adalah ahli farmasi, dan mantan Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Jawa Timur dua periode).

Di tengah sumpek-nya urusan bisnis, baik manajerial maupun operasional, membaca buku ini sangat menyegarkan bukan malah mencekam. Benar-benar ilmiah, setara dengan Kamasutra, atau Serat Centhini. Bahasanya sangat santun, ditulis dengan filosofi Jawa yang inggil, dan memberi pencerahan yang hakiki, karena menempatkan sex benar-benar sebagai sesuatu yang adi luhung, bukan sebagai komoditi, bukan sebagai kesenangan semata, bukan sebagai hal yang terletak antara tabu dan tidak tabu, bukan untuk membuat orang menjadi terangsang. Pokoknya buku ini menempatkan sex sebagai jati diri yang merupakan anugrah, hidayah, dan rahmat, yang luar biasa dari Allah Swt. Juga buku ini menempatkan sex beyonce daripada hanya sebagai sarana atau alat reproduksi, regenerasi, rekreasi, retardasi, reposisi, relasi, prokreasi, recharging, bussiness chance, social issue discussion, dan lain-lain.

Terus terang setelah judulnya, kalimat yang muncul kemudian yang menjulat perhatianku adalah :

Bagi yang belum menikmati puncaknya, sex seakan segala-galanya. Bagi yang sudah mencapai pencerahan, sex bukanlah apa-apa!

(ora kaya kayaa, jebul dudu apa-apa)

Filosofi Jawa kuno mengajarkan tentang lingga dan yoni. Persatuan lingga dan yoni menjadi lambang kesempurnaan, persatuan, dan prestasi, yang terproyeksi dari ungkapan :

Kaya curiga manjing warangka, kaya warangka manjing curiga

Atau lebih sederhananya :

Kaya munthu karo cowek, kaya alu karo lesung

(BERSAMBUNG)

Catatan :

1. Resensi buku ini hanya akan dilanjutkan jika ada tanggapan untuk dilanjutkan dari sekurang-kurangnya 9 (sembilan) anggota milis. Jika tidak ada tanggapan atau tanggapannya kurang dari 9 anggota milis, maka resensi ini tidak layak untuk ditampilkan, sehingga langsung akan dihentikan, atau tidak akan disambung lagi. Tentu saja sebagai imbangan, jika sampai ada 1 (satu) anggota milis saja yang menolak untuk dilanjutkan, maka resensi ini akan dihentikan. Terima kasih, dan maaf.

2. Resensi ini disampaikan sebagai alternatip, mengingat sehari-hari kita sudah dijejali dengan kesibukan-kesibukan yang luar biasa. Maaf, telah sedikit mengalihkan lalu lintas pembicaraan bisnis menjadi sedikit filosofis.

.

ooOoo

RESPONSE TENTANG JANGKRIK JLITHENG

12:51 AM released by ratmaya

1. Pak Chris Susanto

Re: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Tuesday, June 24, 2008 3:42 AM From: "chris susanto" torirentcar@yahoo.com To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

Saya anggota milis yg pertama (dari min 9 orang) : lanjut aja pak, dg syarat disertai gambar (gambar di-scan) ...he he....kalo ndak ada gambar, gambar bapak juga boleh.

2. Pak Widodo

Re: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Tuesday, June 24, 2008 4:35 AM

From: "B.Widodo Centrin Account" bwidodo@sby.centrin.net.id

To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

saya, isteri dan anak saya orang kedua, ketiga dan ke empat ya pak...

jadi tinggal 5 orang lagi, lanjut aja pak.....

Salam hangat

Widodo59

3. Cik Lan

Re: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Tuesday, June 24, 2008 4:40 AM

From: "Ruaniwati Tjio"

To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

Hi Pak Urip...


Bacaan wanita dewasa juga kah?

saya orang ketiga dari 9 kayaknya :)

Regards
Lan

4. Bu Iva

RE: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Tuesday, June 24, 2008 5:00 AM

From: "Lathifah Ambarwati"

To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

Lanjut Pak, mumpung saya punya waktu banyak nih ;))

Saya pingin menikmati bacaan yang mutu dari seorang Ratmaya Urip ;p

Sukses selalu dengan karya2nya ya Pak.

Salam,

Iva

5. Pak Aditya

RE: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Thursday, June 26, 2008 8:26 AM

From: "aditya dedi"

To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

Pak,

apa sambungannya ? saya nunggu nih......(masak kalah semangat sama mbak Iva and Cie Lan dkk ?? apa kata dunia ?? )

ooOoo

Catatan Penulis : Oleh karena response dari anggota milis hanya mendapatkan 5 (lima) reponse atau kurang dari yang diharapkan, maka dengan ini tulisan penulis hentikan sampai di sini saja, tidak akan dilanjutkan. Semoga di kemudian hari dapat dilanjutkan setelah response-nya positip.


6. Bu Ema

Dear Pak Ratmaya,

Hari ini sy baca blog anda ttg jankrik jliteng, bagus ...pengen tau sih apa kelanjutannya.

Tulisan anda bagus sekali, anda benar-benar berbakat.....

satu hal yang saya kagumi, anda positive banget...

tq,

ema


1 komentar:

Unknown mengatakan...

kok berhenti oom?lanjuut...maap baru nemu blognya...