Senin, 23 Maret 2009

Satu Lagi dari Seorang TUNG DESEM WARINGIN





Satu Lagi dari Seorang TUNG DESEM WARINGIN

(Dicatat selama talkshow di Radio Suara Surabaya 100FM, Sabtu, 21 Maret 2009)

Oleh : Ratmaya Urip

(Seri-1)

Pagi itu, Sabtu, 21 Maret 2009, seperti biasa di setiap hari Sabtu Pagi selama hampir 14 tahun ini aku berada kembali di Studio Radio Suara Surabaya 100 FM, untuk menggawangi program reguler mingguan SOLUSI MANAJEMEN BISNIS. Aku tidak ingat persis pagi itu edisi siaran yang ke berapa. Yang pasti kalau dihitung mungkin edisi di atas edisi ke 600, dan sedang berjalan mendekati edisi ke 700.

Aku tidak tahu mengapa acara ini bertahan sampai lebih dari sepuluh tahun, dan pendengarnya belum juga jenuh atau bosan, yang terbukti dari hasil rating AC NIELSEN (suatu lembaga survey penyiaran yang punya nama di Indonesia, yang juga melakukan survey untuk televisi-televisi nasional), yang masih menempatkan acara tersebut sebagai acara dengan nilai rating yang tinggi. Kalau tidak pastilah sudah terdepak dari rangkaian program acara di Radio Suara Surabaya, radio yang sangat dipercaya dan menduduki peringkat nomor 1 (satu) di Jawa Timur, dan dapat diikuti siarannya via internet melalui www.suarasurabaya.net.

Terus terang ada rasa bangga, karena acara SOLUSI MANAJEMEN BISNIS, jika ditinjau atas lama jam tayangnya, bisa disejajarkan dengan serial-serial Oshin, Si Unyil, Dinasty, Losmen, Obrolan Pak Besut (RRI Yogyakarta beberapa dekade yang lalu), Dora Emon, Berpacu Dalam Melody, dan lain-lain (he.he.he..ketahuan sekarang narsis-nya muncul, ya...? Maklum ketularan narsistis ini dari sebagian besar facebookers...!). Ini karena melihat fenomena sekarang, yang nampaknya manusia cenderung narsis, dan yang nampaknya telah membawa pepatah “tong kosong nyaring bunyinya” itu sekarang sudah tidak berlaku lagi. Sudah usang, atau menurut istilahku, Sudah Menjadi Lampau! (Catatan: Maaf, ini bukan pendapatku pribadi, tapi hanya sebuah catatan kecil atas fenomena yang telah terjadi di jaman ini!).

Sekarang kalau tidak nyaring tidak dianggap orang. Faktanya para caleg yang merimba di setiap pemilihan umum, baik Pemilu, Pilkada, maupun pemilihan-pemilihan apapun tidak akan laku jika tidak nyaring. Orang pinter jika tidak bisa bicara atau menulis (baca: “nyaring”), maka jalan pikiran ataupun hasil kepintarannya tidak akan diketahui atau dilirik orang. Bahkan kontes-kontes kecantikan, menyanyi, sampai kontes ilusionis semacam The Master pun perlu “nyaring”, jika ingin eksis dan dikenal.

Sekarang yang lebih mengemuka adalah “tak kenal maka tak sayang”. Meskipun “kenal” dan rasa “sayang” itu diperoleh dari ber-“nyaring-nyaring”, meski kadang “nyaring”-nya tanpa isi, atau “nyaring”-nya hanya sampah, atau tidak dapat memberikan nilai tambah. Nah...di sinilah perlunya banyak informasi untuk menyaring ke”nyaring”an yang banyak bertebaran dan membikin bising telinga kita, supaya tidak terjebak, tidak kesasar, tidak membuat bingung, tidak ditipu, dan segala hal yang “tidak-tidak” lainnya, khususnya yang negatif.

Aku kadang berpikir, ah...mungkin kawan-kawan di Radio Suara Surabaya sungkan dengan tim kami, karena acara kami adalah acara talkshow pertama di radio tersebut, sebelum maraknya acara-acara talkshow di televisi maupun radio-radio yang lain. Setidak-tidaknya secara historis kami telah memberikan kontribusi meskipun secuil bagi Radio Suara Surabaya, sehingga ragu-ragu mendepak acara kami. Perlu dicatat, acara tersebut memang merupakan program acara talkshow pertama sekaligus terpanjang tayangannya (hampir 14 tahun) di Radio Suara Surabaya. Ketika didirikan dulu, acara talkshow memang belum begitu banyak di media seperti sekarang ini. Dulu coba di-released, dengan setengah berjudi dan setengah hati, karena harus berhadapan dengan acara-cara hiburan, seperti film, olah raga, drama dan lain-lain. Ternyata dengan pemeo sekaligus resep : “solutif, produktif, informatif, inovatif, dan aplikatif”, seluruh kendala dapat dirungkas. Sehingga kendala-kendala nyaris tak terdengar lagi.

Pagi itu topik yang akan diberikan solusinya adalah masalah keterpurukan pasar tradisional ketika harus dihadapkan pada kehadiran pasar modern yang mulai menancapkan hegemoninya sejak pertengahan dekade tahun sembilan puluhan. Tentu saja formatnya adalah memperbaiki sistem dan manusianya, sehingga kesan kumuh, kotor, jorok, bau, dan ketidaknyamanan lainnya dapat enyah dari kinerja seluruh pasar tradisional. Tidak semata-mata menggunjingkan masalah yang berkaitan dengan Perpres 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, maupun Permendag No 53/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

Yang pasti mengurus 13.450 pasar tradisional dengan 12.650.000 pedagang di seluruh Indonesia ini memang tidak mudah. Apalagi melakukan revitalisasi. Pemerintah-pun sampai sekarang tidak sanggup. Sehingga seolah-olah kehidupan pasar tradisional saat ini dapat diibaratkan seperti pepatah Jerman : Kein Ausgang aus der Holle !!!

Untuk itu aku mengundang salah satu Direktur Perusahaan Daerah Pasar Surya, yang kebetulan pemegang otoritas perpasaran di Surabaya, serta perwakilan pedagang, yang diwakili oleh salah satu pejabat senior di Pusat Koperasi Pedagang Pasar (PUSKOPPAS), Jawa Timur.

Tidak disangka-sangka dan tidak diduga sebelumnya, ketika tiba di halaman depan atau tepatnya di halaman parkir Radio Suara Surabaya, aku berjumpa dengan seseorang yang sering disebut dengan nama Tung Desem Waringin, sahabat lamaku ketika beliau masih aktif sebagai Ketua Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA-Indonesia) Cabang Jakarta, atau ketika beliau masih aktif sebagai fungsionaris AMA-Malang.

Tentu saja pertemuanku dengan beliau meriah sekali jadinya, melebihi pertemuan seorang wanita yang lama tidak bertemu dengan sahabat atau kerabatnya, ataupun melebihi kemeriahan acara Sekaten di Yogyakarta, acara Cap Go Meh di Singkawang, acara Ogoh-ogoh di Denpasar, acara adat Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' di Tana Toraja, acara pesta kembang api di Puncak Malam Tahun Baru di Harbour Bridge, Sidney, acara Mardi Grass di New Orleans, acara St Patrick Day di Dublin, acara Carnaval di Rio de Janeiro, acara panen raya anggur di Cognac, maupun acara panen ikan di Islandia. Maklum meskipun beliau sudah berpredikat sebagai salah satu motivator papan atas Indonesia, dengan tarif yang sulit dijangkau, dan Presiden Republik Indonesia-pun memberikan apresiasi kepada Pak Tung, yang itu aku tahu beritanya dari sejuta media, namun aku jarang berjumpa dengan beliau. Khususnya sejak Pak Tung tidak begitu aktif lagi sebagai fungsionaris AMA-Indonesia. Terus terang membaca buku Pak Tung yang sangat fenomenal saja-pun aku belum sempat. Juga aku belum pernah (karena belum sempat) hadir di seminar-seminar beliau yang selalu dihadiri ribuan peserta tersebut. Ketika AMA-Surabaya mengundang beliau dalam seminar-pun kebetulan aku tidak dapat hadir, karena sedang berada di luar kota. Aku hanya tahu, bahwa Pak Tung atau nama lengkapnya TUNG DESEM WARINGIN sekarang sangat berkibar di bumi Indonesia, meskipun ketika dulu masih sebagai fungsionaris AMA-Indonesia, baik di Malang maupun di Jakarta belum sepopuler sekarang. Sekarang beliau benar-benar selebritis (pesohor) papan atas, yang digapainya dari hasil kerja cerdas dan kerja waras beliau (bukan semata-mata kerja keras beliau). Tentu saja aku bangga, karena sebagai sesama manusia yang sempat mampir untuk digodog di candradimukanya AMA-Indonesia, beliau dapat menjadi seperti sekarang ini. Manusia dengan tingkat kesibukan luar biasa, yang untuk menggapai suatu acara dengan beliau memerlukan keuletan dan harus menebas dan menerabas keruwetan dan keangkeran terlebih dahulu.

(Bersambung)

Catatan :

Maaf kepada seluruh anggota milis, untuk supaya tidak membikin krodit jalur milis, maka sambungan serial ini dapat dibaca di blog saya, dan memang sengaja tidak akan di sambung di milis ini. Silakan baca lanjutannya di: http://ratmayaurip.blogspot.com

Para sutresna milis ugi saget nuweni utawi mampir wonten ing blog kawula ingkeng ngginakaken basa Jawi, sinaosa sapunika taksih wonten ing babagan purwa utawi saweg dipun wiwiti. Mangga sami-sami dipun bikak wonten ing :

http://pendhapa-ratmaya.blogspot.com.

Nyuwun agunging samodra pangaksami bilih blog punika taksis dereng tinata kanti sae lan dereng kathah isinipun, amargi taksih pados jagrag.

(Para anggota milis juga dapat menengok blog saya yang berbahasa Jawa meski under construction di http://pendhapa-ratmaya.blogspot.com. Maaf kalau di blog ini masih belum tertata dan belum banyak isinya, karena masih mencari bentuk).

.

Kamis, 12 Maret 2009

Resensi Bacaan Laki-laki Dewasa: JANGKRIK JLITHENG


Resensi Buku (disajikan secara santai) :

Bacaan Laki-laki Dewasa

JANGKRIK JLITHENG

Buah Karya : Jalu Suwangsa

Peresensi : Ratmaya Urip

Berkeliling area Superblok yang belum benar-benar selesai City of Tomorrow (Cito) di kawasan Bunderan Waru, membuatku capek. Hampir seluruh area telah aku jelajahi. Seperti halnya Pusat Perbelanjaan lainnya di kota-kota besar, isinya kalau bukan supermarket, hypermarket, game-zone, bioskop, kios-kios para pedagang, pastilah foodcourt.

Oh ya, mumpung ingat, aku sering berpikir, kenapa ya Bunderan yang menjadi gerbang masuk kota Surabaya dari arah selatan itu dinamakan Bunderan Waru? Padahal secara geografis, wilayah tersebut berada di daerah Menanggal, Kecamatan Gayungan, yang masuk wilayah kota Surabaya, bukan wilayah Waru, yang masuk wilayah Kabupaten Sidoarjo. Hal itu karena perbatasan antara Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo letaknya berada di saluran kecil di sebelah selatan bunderan. Sehingga lebih tepat kalau Bunderan Waru disebut sebagai Bunderan Menanggal atau Bunderan Gayungan, karena memang masuk wilayah administratip Kelurahan Menanggal, Kecamatan Gayungan, Kota Surabaya. Bukan masuk wilayah Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Entahlah? Yang pasti aku juga ingat, ketika shelter kereta komuter di dekat Makro, Aloha, yang sekarang bernama Sawotratap itu dulu sempat dinamakan Pepelegi, namun karena ada protes dari warga Sawotratap (karena shelter kereta komuter tersebut memang masuk wilayah Sawotratap, bukan Pepelegi), maka namanya segera diganti Sawotratap, meski nama Pepelegi sempat bertengger selama satu bulan. Dalam konteks yang sama, kenapa tidak ada yang protes untuk mengubah nama Bunderan Waru menjadi Bunderan Menanggal? Mungkin nama Bunderan Waru lebih mudah diucapkan dan lebih enak didengar atau lebih gampang dimaknai. Dari kajian pemasaran, mungkin lebih layak jual dengan brand Bunderan Waru. Padahal menurut saya, apakah tetap dinamakan Bunderan Waru atau diubah sesuai dengan letak wilayah administratif-geografisnya menjadi Bunderan Menanggal atau Bunderan Gayungan, semuanya hanya tergantung waktu saja. Contohnya, nama jalan-jalan yang sekarang diberi nama pahlawan, seperti Jalan jenderal A. Yani, Jalan Jenderal Gatot Soebroto, dan lain-lain, orang-orang sudah lupa pada nama jalan sebelumnya, atau nama jalan aslinya.

Aku jadi ingat dengan penggantian nama baku Yogyakarta menjadi Jogjakarta yang diusulkan oleh Pak Hermawan Kertajaya kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X. Penggantian nama baku tersebut konon supaya lebih layak jual, demikian menurut yang aku dengar (Maaf, kalau aku salah dengar atau salah menerima informasi, yang berarti bahwa informasi itu salah). Tentu saja penggantian nama tersebut menimbulkan pro dan kontra. Aku sih lebih condong tetap dengan nama lama Yogyakarta, dan itu juga dilakukan oleh orang-orang asli dari Yogyakarta. Alasanku karena nama Yogyakarta adalah historis dari nama panjang Ngayogyakarto Hadiningrat. Selama ini memang Yogyakarta, sering ditulis dengan nama-nama lain yang tidak baku, seperti Djogjakarta, Djogdjakarta, Jogyakarta, Djogdyakarta, dan lain-lain. Grup Jawa Pos sering menulisnya dengan Jogjakarta, sementara grup Kompas, sering menulis dengan Yogyakarta, sedang koran asli Yogya tetap bertahan dengan Yogyakarta. Beberapa stasiun televisi juga memilih nama yang saling berbeda pula. Aduh, nama saja bikin repot.

Penggantian nama menurutku tidak ada kaitannya dengan layak tidaknya untuk dijual, tergantung dari cara, metode dan sistem pemasarannya. Contohnya Gudang Garam, Dji Sam Soe, merek-merek rokok yang sangat terkenal, yang menjadi terkenal karena nama tersebut diciptakan karena faktor historis. Ada lagi rokok merk Jeruk yang sangat populer di kawasan Jawa Tengah. Rokok kok diberi merk Gudang Garam, Dji Sam Soe, dan Jeruk, bahkan Bentoel, dan Nojorono. Nama-nama yang ketika dibuat dulu mungkin tidak akan terbayangkan akan dapat dijual. Tokh akhirnya nama-nama tersebut jika diganti akan banyak yang keberatan, karena reputasinya sudah dibangun sangat lama. Demikian juga nama baku Yogyakarta, tidak usah diganti dengan Jogjakarta, karena sejarah mencatat, tidak terlalu siginifikan dalam menjual potensinya

Sementara meskipun tidak diganti namanya, setelah pindah kekuasaan dari semula wilayah Mexico menjadi wilayah Amerika Serikat (setelah menang dalam perangnya dengan Mexico pada pertengahan abad sembilan belas), nama-nama berbau Spanyol tetap dipertahankan tanpa diubah menjadi nama-nama berbau Amerika-Inggris. Contoh nama-nama tersebut adalah Texas, Los Angeles, San Fransisco, San Antonio, El Paso, San Diego, Santa Fe, Arizona, Albuquerque, Tucson, Dallas, Alamo, Rio Grande, dan lain-lain. Nama-nama historis Indian juga tetap dipertahankan dan sangat populer seperti Chicago, Ohio, Cheyenne, Wyoming, Oklahoma, dan lain-lain.

Dengan kata lain, nama Yogyakarta, tanpa diubah menjadi Jogjakarta tetap akan layak jual (tergantung masyarakatnya, sistem pemasaran dan kemampuan untuk memasarkannya). Faktor historis justru akan lebih menjual, khususnya dalam perpektif pariwisata. Jadi perubahan nama Yogyakarta menjadi Jogjakarta, menurut penulis adalah mengada-ada dan mubazir. Popularitas Yogyakarta sebagai tempat tujuan wisata, sebagai kota pelajar, sebagai sentra produsen dan tempat lahirnya salak pondoh, tidak ada kaitannya dengan penggantian nama. Sementara tentang nama-nama lain yang bukan nama baku, seperti Djogyakarta, Djokdjakarta, Jogdjakarta, Jogyakarta, Yogjakarta, dan lain-lain, biarkan saja berkembang sebagai nama-nama slank, yang dapat dijadikan bahan pajangan di kaos-kaos DAGADU atau kaos JOGER. Memang aneh, karena di Indonesia ini hanya nama kota Yogyakarta yang dapat memiliki sejuta nama lain yang tidak baku. Bandung, Jakarta, Solo, Palembang, Medan, Samarinda, Denpasar, Jayapura dan lain-lain kota di Indonesia sulit untuk dicari nama slank-nya.

Nama tempat atau wilayah memang sering diganti namun karena alasan politis (jarang yang diganti karena alasan pemasaran), seperti New Amsterdam menjadi New York, Soekarnopura menjadi Jayapura, Puncak Soekarno menjadi Puncak Jaya, Noertanio menjadi IPTN kemudian PTDI, Jalan Raya Waru menjadi Jalan Letjend S. Parman, Jalan “X” menjadi Jalan Jendral Soedirman, Jalan Jendral A. Yani, atau Jalan Jendral Gatot Soebroto, dan lain-lain.

Kembali keberadaanku di Superblok City of Tomorrow (Cito). Dalam puncak rasa lelahku, tiba-tiba mataku terdampar pada kios buku kecil di lantai dasar, yang letaknya tidak terlalu membuat orang untuk terundang memasukinya. Kios itu terletak di depan gerbang Hypermart agak ke kanan. Tidak terbaca nama kios di situ.

Dari beberapa judul buku yang tersedia, tidak ada yang menarik minatku atau mengusik gairahku untuk membeli, seperti halnya kalau aku berada di toko buku favorit Gramedia, Gunung Agung, Kharisma, atau Toga Mas, kecuali satu buku saku kecil yang tiba-tiba menjulat keingintahuanku.

Buku itu berukuran 11 cm x 18,5 cm, memiliki 124 halaman. Judulnya :

Bacaan Laki-laki Dewasa

JANGKRIK JLITHENG

(ora kaya kayaa, jebul dudu apa-apa)

Oleh : Jalu Suwangsa

Terus terang, aku belum pernah tertarik pada buku apapun yang mengupas masalah sex, meskipun disajikan dalam bentuk yang santun, ilmiah dan premium. Tentang sex aku lebih suka mendiskusikannya secara santun dan ilmiah (tidak vulgar) dengan Pak Halim Pranata (He..he..he maaf jangan marah ya Pak Halim, ini bercanda), Pak Jadi Rajagukguk, Ketua AMA Batam (diskusi secara imajiner lho, Pak), dan Pak Tiantoro, Ketua AMA Surabaya demisioner (ini karena Bapak pakarnya Viagra, Cialis, Bluemoon, Tripoten, Ever-Joy, dst, mengingat beliau adalah ahli farmasi, dan mantan Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Jawa Timur dua periode).

Di tengah sumpek-nya urusan bisnis, baik manajerial maupun operasional, membaca buku ini sangat menyegarkan bukan malah mencekam. Benar-benar ilmiah, setara dengan Kamasutra, atau Serat Centhini. Bahasanya sangat santun, ditulis dengan filosofi Jawa yang inggil, dan memberi pencerahan yang hakiki, karena menempatkan sex benar-benar sebagai sesuatu yang adi luhung, bukan sebagai komoditi, bukan sebagai kesenangan semata, bukan sebagai hal yang terletak antara tabu dan tidak tabu, bukan untuk membuat orang menjadi terangsang. Pokoknya buku ini menempatkan sex sebagai jati diri yang merupakan anugrah, hidayah, dan rahmat, yang luar biasa dari Allah Swt. Juga buku ini menempatkan sex beyonce daripada hanya sebagai sarana atau alat reproduksi, regenerasi, rekreasi, retardasi, reposisi, relasi, prokreasi, recharging, bussiness chance, social issue discussion, dan lain-lain.

Terus terang setelah judulnya, kalimat yang muncul kemudian yang menjulat perhatianku adalah :

Bagi yang belum menikmati puncaknya, sex seakan segala-galanya. Bagi yang sudah mencapai pencerahan, sex bukanlah apa-apa!

(ora kaya kayaa, jebul dudu apa-apa)

Filosofi Jawa kuno mengajarkan tentang lingga dan yoni. Persatuan lingga dan yoni menjadi lambang kesempurnaan, persatuan, dan prestasi, yang terproyeksi dari ungkapan :

Kaya curiga manjing warangka, kaya warangka manjing curiga

Atau lebih sederhananya :

Kaya munthu karo cowek, kaya alu karo lesung

(BERSAMBUNG)

Catatan :

1. Resensi buku ini hanya akan dilanjutkan jika ada tanggapan untuk dilanjutkan dari sekurang-kurangnya 9 (sembilan) anggota milis. Jika tidak ada tanggapan atau tanggapannya kurang dari 9 anggota milis, maka resensi ini tidak layak untuk ditampilkan, sehingga langsung akan dihentikan, atau tidak akan disambung lagi. Tentu saja sebagai imbangan, jika sampai ada 1 (satu) anggota milis saja yang menolak untuk dilanjutkan, maka resensi ini akan dihentikan. Terima kasih, dan maaf.

2. Resensi ini disampaikan sebagai alternatip, mengingat sehari-hari kita sudah dijejali dengan kesibukan-kesibukan yang luar biasa. Maaf, telah sedikit mengalihkan lalu lintas pembicaraan bisnis menjadi sedikit filosofis.

.

ooOoo

RESPONSE TENTANG JANGKRIK JLITHENG

12:51 AM released by ratmaya

1. Pak Chris Susanto

Re: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Tuesday, June 24, 2008 3:42 AM From: "chris susanto" torirentcar@yahoo.com To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

Saya anggota milis yg pertama (dari min 9 orang) : lanjut aja pak, dg syarat disertai gambar (gambar di-scan) ...he he....kalo ndak ada gambar, gambar bapak juga boleh.

2. Pak Widodo

Re: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Tuesday, June 24, 2008 4:35 AM

From: "B.Widodo Centrin Account" bwidodo@sby.centrin.net.id

To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

saya, isteri dan anak saya orang kedua, ketiga dan ke empat ya pak...

jadi tinggal 5 orang lagi, lanjut aja pak.....

Salam hangat

Widodo59

3. Cik Lan

Re: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Tuesday, June 24, 2008 4:40 AM

From: "Ruaniwati Tjio"

To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

Hi Pak Urip...


Bacaan wanita dewasa juga kah?

saya orang ketiga dari 9 kayaknya :)

Regards
Lan

4. Bu Iva

RE: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Tuesday, June 24, 2008 5:00 AM

From: "Lathifah Ambarwati"

To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

Lanjut Pak, mumpung saya punya waktu banyak nih ;))

Saya pingin menikmati bacaan yang mutu dari seorang Ratmaya Urip ;p

Sukses selalu dengan karya2nya ya Pak.

Salam,

Iva

5. Pak Aditya

RE: [mailinglistamasby] Resensi Buku : Jangkrik Jlitheng

Thursday, June 26, 2008 8:26 AM

From: "aditya dedi"

To: mailinglistamasby@yahoogroups.com

Pak,

apa sambungannya ? saya nunggu nih......(masak kalah semangat sama mbak Iva and Cie Lan dkk ?? apa kata dunia ?? )

ooOoo

Catatan Penulis : Oleh karena response dari anggota milis hanya mendapatkan 5 (lima) reponse atau kurang dari yang diharapkan, maka dengan ini tulisan penulis hentikan sampai di sini saja, tidak akan dilanjutkan. Semoga di kemudian hari dapat dilanjutkan setelah response-nya positip.


6. Bu Ema

Dear Pak Ratmaya,

Hari ini sy baca blog anda ttg jankrik jliteng, bagus ...pengen tau sih apa kelanjutannya.

Tulisan anda bagus sekali, anda benar-benar berbakat.....

satu hal yang saya kagumi, anda positive banget...

tq,

ema


Ibukota Negara Mesti Pindah?

IBUKOTA NEGARA MESTI PINDAH ?

(Bag. 1)

(Catatan Seputar Banjir Jakarta, 1 Februari 2008)

Oleh : Ratmaya Urip

Keasyikanku membaca kembali Winnetou IV dari Serial Dr. Karl May menjadi terganggu, karena terpecah oleh sesuatu hal yang lain. Ya..., setelah cukup lama aku berpikir, gadis manis yang duduk sendirian di salah satu sudut Srikandi Executive Lounge itu, wajah dan postur tubuhnya mengingatkanku pada Tia Carrere, film star berwajah Melayu atau tepatnya Polynesian (karena memang ada darah Filipino), kelahiran Honolulu, Hawaii, 2 Januari 1967, yang selalu mendapatkan perhatian pria, yang aku lebih suka menyebutnya sebagai “si hidung pesek namun berdada sangat mancung”. Tia Carrere aktris Hollywood itu memang telah menjadi salah satu idolaku selama ini, di samping Penelope Cruz, si sexy dari Spanyol yang juga menjadi begitu populer di Hollywood. Pokoknya, gadis yang duduk di salah satu sudut Srikandi Executive Lounge itu cukup cantik atau lebih tepatnya manis untuk membuat pria menunggu. Atau bisa dibalik, apa gunanya cantik, kalau hanya akan membuat pria menunggu? (Ungkapan apa pula ini? Absurd, nggak?)

Sebenarnya aku tidak begitu yakin bahwa dia masih gadis, karena penampilannya sangat mature. Akh...apa peduliku, aku kan hanya sedang menikmati keindahan ragawi yang kebetulan sedang berada di depanku, bak menikmati lukisan-lukisan klasik beraliran surrealisme dari Salvador Dali, sambil menunggu keberangkatan pesawat yang kebetulan delay di Bandara Internasional Ahmad Yani, Semarang, pagi itu. Menurutku sah-sah saja menikmati keindahan ragawi seorang wanita cantik, asal masih dalam batas-batas kewajaran, atau dengan kata lain, hanya sekedar menebar kekaguman untuk suatu trigger yang aku lebih suka menyebutnya sebagai pesona ragawi seorang wanita. Apalah gunanya wanita berdandan cantik kalau bukan untuk mendapatkan pengakuan atas kecantikan natural dan/atau kecantikan artifisialnya? Untuk mendapatkan label “cantik” atau “menarik” dari siapapun yang memandangnya? Baik dari pria maupun wanita. Tentu saja response untuk penampilan dari suatu obyek yang indah dalam hal ini suatu kecantikan yang terhidang, bagi sudut pandang pria pasti akan berbeda dengan sudut pandang wanita. Sangat mudah ditebak, karena pria akan mengaguminya, sementara wanita akan mencemburuinya (Untuk memudahkan atau lebih memperjelas cara pandang tersebut, ilustrasinya dapat dilihat pada sinetron : Suami-suami Takut Istri, yang sedang tayang di Trans TV dari Senin-Jumat, mulai jam 18.00 sampai jam 19.00. Maaf, ini bukan iklan, dan saya tidak dibayar untuk hal ini, semata-mata sebagai ilustrasi dan hanya untuk menyederhanakan saja)

Ya, pagi itu, Jum’at, 1 Pebruari 2008 jam 09.30 pagi, ada sesuatu yang aneh yang terjadi di seluruh sudut Bandara. Calon penumpang berjejal penuh, baik di dua ruang tunggu untuk publik, maupun di tiga executive lounge, yaitu Arjuna Executive Lounge, Srikandi Executive Lounge, maupun Garuda Executive Lounge. Beruntunglah aku, karena masih mendapatkan seat di Srikandi Executive Lounge, karena aku sudah check in sejak jam 07.30 tadi. Pesawatku, Sriwijaya Air menurut schedule akan terbang ke Surabaya pada jam 08.40 pagi. Namun sampai jam 09.30 pagi itu belum ada tanda-tanda untuk berangkat.

Selama dua hari ini, aku berada di Semarang untuk memenuhi undangan memberikan presentasi atau menjadi pembicara tentang Rigid Pavement, khususnya konstruksi perkerasan jalan yang dibangun di tanah dasar lempung lunak atau rawa, dengan menggunakan concrete sebagai surface coarse-nya. Jadi belum ada satu tahun, sudah tiga kali ini aku menjadi pembicara tentang Rigid Pavement di Semarang. Pertama kali aku diundang Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) Jawa Tengah, kemudian yang kedua di depan civitas academica salah satu Universitas Negeri di Semarang, sedang yang ketiga atau kemarin, di depan sejumlah Pimpinan Proyek dari Dinas Pekerjaan Umum dan beberapa kontraktor di Jawa Tengah. Mereka nampaknya tertarik dengan pendekatanku dalam membangun atau menangani Rigid Pavement di daerah-daerah dengan medan yang sangat berat, seperti rawa, daerah bertanah gambut, daerah dekat laut dengan tingkat keasaman yang tinggi,dan sebagainya. Kalau selama ini civil engineer selalu menggunakan pendekatan yang bersifat fisik-mekanik (physical-mechanical approach), seperti penggunaan tiang pancang (pile), geotextile, sistem cakar ayam, dan lain-lain, aku lebih suka dengan pendekatan kimia (chemical approach), yang jarang disentuh oleh para civil engineers, khususnya calcium-based solidification, yang lebih banyak mengurangi masalah.

Sebenarnya aku sudah bosan bicara atau menulis masalah engineering, atau yang bersifat teknikal. Aku lebih senang bicara atau menulis masalah-masalah manajemen, apakah itu Project Management, Construction Management, maupun Manufacturing Management. Apakah technopreneurship atau eco-technopreneurship. Apakah itu yang berkaitan dengan hal-hal yang stratejik, maupun operasional. Rasanya itu lebih asyik. Bagiku, bicara tentang engineering, sudah saatnya pensiun. Berbeda dengan kegemaranku membaca Serial Dr. Karl May, yang meskipun aku baca seribu kali, mulai sejak aku kecil dulu sampai sekarang tidak pernah ada bosannya. Namun, tentunya aku harus menghormati undangan yang disampaikan kepadaku.

(Catatan : beberapa jam kemudian setelah aku berada kembali di Surabaya, atau setelah Jalan Akses ke Bandara Soekarno Hatta tergenang banjir lebih dari satu meter, begitu pula dengan runway-nya, sehingga 233 penerbangan domestik dan internasional kacau, maka rasanya ada panggilan jiwa dan ada dorongan untuk menulis sedikit tentang engineering, khususnya menyampaikan beberapa pengalaman yang menyangkut Bandara Soekarno Hatta dan Jalan Akses Tol Prof. Dr. Ir. Sediyatmo. Kebetulan pada waktu pembangunannya, di awal sampai pertengahan dekade delapan puluhan, aku cukup mengikuti prosesnya. Tentu saja tulisan ini akan disusun secara populer, jauh dari kesan engineering, mengingat anggota milis yang sangat heterogen)

Pesawat yang rencananya aku naiki mempunyai route Jakarta-Semarang-Surabaya-Balikpapan, sehingga aku harus menunggu pesawat datang dari Jakarta terlebih dahulu. Karena pesawat belum juga datang, banyak penumpang yang mulai kesal. Semua penumpang yang berdesakan di seluruh sudut Bandara akhirnya dapat sedikit tenang, ketika diberikan informasi, bahwa cuaca di atas Jakarta tidak dapat diajak kompromi untuk melakukan penerbangan. Ketenangan mereka mungkin terpicu oleh jalan pikiran mereka, lebih baik selamat di Bandara daripada harus sport jantung menghadapi maut di tengah badai di atas Jakarta.

Seluruh flight, baik yang dari Jakarta maupun menuju Jakarta, untuk seluruh maskapai penerbangan tidak mungkin untuk menuju atau terbang dari Jakarta. Puncaknya terjadi ketika beberapa pesawat yang seharusnya menuju Jakarta, misalnya dari Solo menuju Jakarta, meskipun sudah terbang hampir mendekati Jakarta akhirnya harus divert ke Bandara Internasional Ahmad Yani, Semarang. Sejak itu seluruh penumpang jadi sadar, bahwa ada masalah yang sangat serius sedang terjadi. Apalagi setelah melihat Ketua Umum PB NU, Bpk. KH Hasyim Muzadi yang kebetulan sedang menuju Jakarta dari Solo jam 07.45 terpaksa terdampar di Semarang, setelah sempat berputar-putar di Jakarta. Padahal mulai tanggal 1 sampai dengan 3 Februari beliau harus berada di Jakarta, dalam rangka Harlah NU ke 82. Beliau berjam-jam menunggu di Bandara Internasional Ahmad Yani, Semarang.

Tentu saja, situasi yang serius tersebut menyebabkan perhatianku pada Tia Carrere di salah satu sudut Srikandi Executive Lounge menjadi terbang dan musnah, atau lebih tepatnya berantakan, terhantam badai keseriusan yang tengah terjadi.

(Bersambung)

IBUKOTA NEGARA MESTI PINDAH ?

(Bag. 2)

(Catatan Seputar Banjir Jakarta, 1 Februari 2008)

Oleh : Ratmaya Urip

Jakarta, Jum’at, 1 Februari 2008 kembali harus dilanda bencana, dan ini untuk yang kesekian kalinya. Orang-orang pintar semuanya berkumpul di sana, tokh sampai saat ini belum pernah ada hasil dalam penanganannya. Alam memang sulit diprediksi, karena kita semakin menjauhinya, semakin merusaknya, semakin jauh dari penciptaNya.

Aku jadi ingat kota sensual yang penuh dengan romantika serta aroma musik jazz dan blues di seluruh sudut kota, yang selalu gegap gempita karena Mardi Grass, kota yang selalu “terasing” dari lingkungannya karena dominannya budaya Perancis dengan tambahan sedikit Spanish di tengah dataran luas yang berbudaya Yankee, kota yang merupakan pelabuhan kedua terbesar nomor dua di negaranya setelah New York, namun kehidupannya tidak tenang karena selalu dihantui serangan banjir Mississippi dari arah utara, maupun badai raksasa dari Teluk Mexico. Kota yang nafas kehidupannya sampai kini terengah-engah karena Badai Katrina. Akh....rasanya mirip dengan Jakarta. Ya, New Orleans memang mirip Jakarta, hanya Jakarta jauh lebih kecil ancamannya. Seperti halnya New Orleans, Jakarta selalu harus siap dibantai banjir, hanya bedanya di Jakarta tidak pernah mengalami badai besar seperti Katrina, Karina, dan badai-badai lainnya. Apakah Jakarta juga akan ditinggalkan banyak penghuninya seperti New Orleans kelak?

Rasanya kenyamanan sudah tidak akrab lagi dengan Jakarta. Mobilitas sering terganggu, kalau tidak karena banjir, juga karena kemacetan lalu lintas, demo-demo politik, dan sebagainya. Benar-benar jauh dari kenyamanan. Waktu, menjadi tidak ada artinya karena tidak ada harganya dan terbuang percuma karena terperangkap jebakan banjir, atau jebakan demo dan jebakan kemacetan lalu lintas.

Kadang aku berpikir, kenapa, ya..ibukota negara kita tidak seperti ibukota Pakistan yang berpindah-pindah mulai dari Karachi, Rawalpindi dan Islamabad?

Kenapa, ya ibukota negara atau ibukota politik dari Indonesia tidak dipisahkan dengan ibukota bisnis atau ibukota ekonominya, seperti Inggris, Jerman, Italia, Rusia, Australia, China, India, Canada, atau Amerika Serikat, dan lain-lainnya, sehingga hiruk-pikuk politik tidak berimbas ke hiruk pikuk bisnis, atau bencana tidak selalu menghantamnya. Supaya nilai tambah yang direncanakan tidak terdistorsi oleh hal-hal yang tidak perlu, dan supaya kemampuan bersaing bangsa menjadi semakin tinggi?

Semua orang tahu bahwa ibu kota politik Inggris adalah London, sementara ibukota bisnisnya di Liverpool dan Manchester. Ibukota politik Jerman adalah Berlin, sementara ibu kota industrinya Frankfurt, Hamburg, dan Stuttgart. Ibukota politik Italia ada di Roma, sementara ibukota bisnisnya ada di Milan dan Turin. Ibukota politik Rusia di Moskow, sementara ibukota bisnisnya di St. Petersburg dan wilayah Caucasus. Ibukota politik Australia adalah Canberra, sementara ibukota bisnisnya adalah Sidney dan Melbourne. Ibukota politik China ada di Beijing, namun ibukota bisnisnya ada di Shanghai dan Guangzhou. Ibukota politik India ada di New Delhi, sementara ibukota bisnis ada di Mumbai. Ibukota politik Canada ada di Ottawa, sementara ibukota bisnisnya ada di Montreal dan Toronto. Juga ibukota politik Amerika Serikat adalah Washington DC, sementara ibukota bisnisnya sudah terspesialisasi yang menyebar ke seluruh negara bagian? Ibukota perdagangan di New York, ibukota otomotif di Detroit, ibukota penerbangan di Seattle, ibukota minyak di Texas, ibukota hiburan di Los Angeles (baca: Hollywood), ibukota wisata di Miami, ibukota pertambangan di Appalachia, ibukota pendidikan di Boston dan New England, ibukota pertanian di California dan Pennsylvania, ibukota maritim di San Diego, dan sebagainya.

Melihat ibukota politik seperti Roma, Washington DC, Beijing, Canberra, London, Paris, Berlin, Ottawa, dan lain-lain yang semuanya nyaman, tenang, serba disiplin dan serba teratur dan jauh dari hiruk pikuk bisnis (karena memang ibukota bisnis tidak di situ), maka pastilah pemimpin-pemimpin politik dapat lebih berpikir tenang, lebih dapat mencurahkan tenaganya untuk kemakmuran rakyat, kemajuan bangsa dan semua hal yang positip lainnya. Mereka lebih dapat meng-upgrade dirinya untuk menjadi negarawan, tidak hanya sekedar politisi. Presidennya tidak perlu menyusuri jalan busway karena kebanjiran, seperti di Indonesia. Mungkin karena ibu kota politiknya terdistorsi oleh aktifitasnya sebagai ibu kota ekonomi, maka para pemimpin bangsa jadi bising dan senewen, sehingga peri lakunya menjadi seperti sekarang ini. Korup, narsis, medahulukan kepentingan diri sendiri dan golongan, serta sering arogan.

Juga patut untuk dicermati, maka tidak seperti Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, yang semuanya menempel di bibir pantai, hampir seluruh negara maju memiliki ibukota politik yang berada di pedalaman, atau jauh dari garis pantai, bahkan di pegunungan, untuk memudahkan sistem drainasi, dan atau serangan badai dari laut, atau bencana lainnya. Ingat, seluruh ibukota politik ini semuanya jauh dari garis pantai, seperti London (Inggris), Paris (Perancis), Madrid (Spanyol), Berlin (Jerman), Moskow (Rusia), Roma (Italia), Beijing (China), Riyadh (Arab Saudi), New Delhi (India), Ottawa (Canada), Mexico City (Mexico), dan lain-lain. Bahkan ibukota negara tetangga dekat kita, Kuala Lumpur-pun tidak berani terlalu dekat dengan garis pantai.

Bukan aku mendewa-dewakan negara maju, karena faktanya Indonesia sampai saat ini tidak pernah beranjak dari keterpurukan. Karena tidak mau mencontoh keberhasilan negara lain.

Aku jadi ingat kembali suatu rencana di zaman Bung Karno dulu, untuk memindahkan ibukota ke Palangka Raya atau ke Purwokerto. Mungkin kalau dulu wacana pemindahan ibukota Indonesia tersebut jadi dilaksanakan, pastilah akan lain jadinya.

Kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota besarnya memang rakus. Semuanya ingin berpolitik sekaligus berbisnis di segala bidang, sehingga aktifitasnya menumpuk di satu kota, tanpa “core competency”, sehingga wajarlah jika kesemrawutan dan ketidaknyamanan kota, termasuk banjir, kemacetan lalu lintas, demo-demo politik maupun buruh, memporakporandakan sendi-sendi ekonomi dan kehidupan. Dengan memilih core competency-nya sendiri seperti Bali, atau Jogja, maka kemakmuran akan tercapai, karena fokus.

Mendengar atau menyimak adanya kota di Indonesia, yang ingin meraih semuanya, seperti industri, pariwisata, perdagangan, maritim, budaya, dan lain-lain, aku merasa geli, karena menunjukkan bahwa kota tersebut tidak fokus.

Itu baru tinjauan antarnegara. Bagaimana dengan tingkat propinsi atau negara bagian?

Contoh yang mudah adalah Amerika Serikat (Maaf, aku hanya menyampaikan contoh yang baik-baik saja dari negara adidaya tersebut, sementara yang jelek-jelek, seperti invasi ke negara berdaulat Irak, dan mungkin juga Iran, serta sifatnya yang terlalu membela Israel, atau ambivalensi serta rasialisme yang masih ada, dan lain-lain, aku amat sangat mengecamnya).

Di Amerika Serikat, hampir seluruh ibukota politik negara bagian, ternyata juga terpisah dengan ibukota bisnis negara bagian tersebut.

Contohnya : Ibukota bisnis negara bagian New York adalah New York City, sementara ibukota politik (pusat pemerintahan) adalah Albany. Ibukota bisnis California adalah Los Angeles, sementara ibukota politik di Sacramento. Ibukota bisnis Texas ada di Houston, sementara ibukota politik ada di Austin. Semuanya ada di pedalaman, bukan di bibir pantai. Demikianlah, banyak negara bagian yang jumlahnya 50 (lima puluh) itu ternyata tidak memilih ibukota politiknya sama dengan ibukota bisnisnya. Banyak kota-kota besar di setiap negara bagian yang bukan menjadi ibukota politik negara bagian. Ini berbeda dengan Indonesia, yang dapat dipastikan, bahwa ibukota politik dari suatu propinsi pasti dikangkangi oleh kota-kota besarnya, yang sekaligus sebagai ibukota bisnis/ekonomi.

Maka tentu saja segudang masalah pasti akan muncul, termasuk Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, dan sebagainya.

Dengan adanya letak kota di tepi pantai, masalahpun kemudian antri atau malah secara frontal menghantam kehidupan kota, dan selanjutnya menjadi bencana kemanusiaan. Contohnya adalah banjir. Banjir terjadi karena daya tampung lahan berkurang karena padatnya pemukiman yang menyebabkan resapan air berkurang karena padatnya bangunan. Banjir juga terjadi karena letak kota di pesisir yang nota bene daerahnya rendah, sehingga membuat air hujan atau banjir sukar untuk run-off karena muka air laut sama dengan muka air di darat. Juga air banjir sulit untuk infiltrasi ke dalam tanah, karena muka air tanah sangat tinggi dan sudah jenuh air). Masalah lain di kota yang letaknya di tepi pantai adalah banyaknya penyakit malaria, demam berdarah, dan muntaber. Ini terjadi karena letak kota di pesisir telah menyulitkan drainasi, dan juga membuat saluran drainasi tertutup sampah). Belum lagi masalah kemacetan lalu lintas, karena semakin berkurangnya daya tampung dan daya dukung kota karena kepadatan dan hiruk pikuk kota yang terjadi yang diakibatkan campuraduknya fungsi kota sebagai ibu kota politik dan ibu kota bisnis. Infrastuktur kota, khususnya jalan menjadi sering rusak, dan sebagainya.

(Bersambung)

IBUKOTA NEGARA MESTI PINDAH ?

(Bag. 3)

(Catatan Seputar Banjir Jakarta, 1 Februari 2008)

Oleh : Ratmaya Urip

Frekuensi banjir yang tinggi, tanah longsor, tabrakan kereta api, gempa dan tsunami, letusan gunung berapi, angin puting beliung dan kasus Lumpur Lapindo, serta bencana-bencana yang silih berganti mendera Indonesia, tidak pernah tuntas ditangani, dan selalu meninggalkan sejuta masalah, karena tidak ada yang fokus penanganannya. Menurut saya itu karena pemimpinnya “hanyalah” politisi, bukan negarawan. “Politician always think about next position, statesman always act for next generation”. Apalagi sebagian besar politisi-politisi kita berada di ranah politik karena untuk menyambung hidup, untuk mencari sesuap nasi (dan jika tidak ketahuan, menyimpan bergudang-gudang harta dari korupsi). Kalau ditinjau dari perspektif Maslow, para politisi tersebut kebanyakan masih berada di level-level bawah, dan yang tertinggi di level 4 (empat), itupun jumlahnya tidak banyak. Mayoritas ada di level 2 dan 3. Sementara yang dibutuhkan adalah yang sudah berada di level 5. Bagaimana Indonesia akan maju jika politisinya masih mengais-ngais rejeki untuk perutnya sendiri, perut kroni dan juga sampai perut turunan ke tujuhnya? Apa ada waktu untuk memikirkan negara dan rakyatnya? Yeah, begitulah fakta yang ada di negara berkembang. Maka kalau ada businessman (businessman yang sukses dan tataran Maslow-nya berada di level 5, bukan businessman ecek-ecek), yang mendapat kesempatan memimpin, kemudian berhasil, seperti Fadel Muhammad di Gorontalo, Masfuk di Lamongan, dan lain-lain, aku tidak heran. Tentu saja businessman tersebut harus mengerti politik, dan tahu caranya untuk menyejahterakan bangsa. Kalau ada businessman yang menjadi pemimpin, namun prestasinya buruk, pastilah dia sebenarnya masih berada di level bawah dari hierarki Maslow. Tentang korelasi kegagalan memimpin versus hierarki Maslow, menurutku layak untuk dijadikan hipotesis dalam disertasi.

Tentang bencana, lain lagi ceritanya. Visi kita selalu pada “life without disaster” (hidup tanpa bencana), bukan “life with disaster” (hidup bersama bencana), seperti Jepang, yang sehari-harinya memang hidup bersama bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami. Kita yang memang memiliki potensi bencana tinggi, sampai sekarang masih menekuni visi “life without disaster”, sehingga misi, strategi dan action plan, maupun eksekusi lapangannya selalu defensif dan kuratif atau korektif. Bukan offensif dan preventif seperti negara-negara yang menganut paham “life with disaster”. Sekali lagi, visi kita yang ketinggalan kereta tersebut masih dianut oleh pemimpin-pemimpin kita yang kebetulan bercokol di Jakarta, kota dengan jutaan masalah.

Tidakkah berlebihan atau naif, kalau penulis mengatakan, bahwa itu karena ibukota negara atau ibukota politik kita masih di Jakarta, yang konsentrasinya masih harus menangani atau mengobati dirinya sendiri dari segudang masalah? Memang benar di Jakarta sudah ada pemerintah daerah, namun kan pemerintah pusatnya ada di sana pula, yang mau tidak mau akan terimbas atau bahkan terhantam oleh segala masalah yang ada di Jakarta? Bagiku negara yang selalu sakit kronis, disebabkan oleh ibukotanya yang sakit kronis pula. (He...he...he...ini bukan bercanda, lho). Faktanya, negara yang makmur, hampir semuanya memiliki ibukota yang sedikit masalahnya. (Atau karena pemimpin di ibukota tersebut pintar menyelesaikan atau meredam masalah?). Biarlah Jakarta menjadi ibukota bisnis seperti New York, Los Angeles, Frankfurt, Shanghai, Sidney, Liverpool, Mumbai, Toronto, dan lain-lain, yang hiruk pikuk dengan aktifitas bisnisnya, sementara ibukota negara atau ibukota politik, kita pilih yang damai dan santun, seperti Beijing, Washington DC, Canberra, London, Paris, Ottawa, Kuala Lumpur, Riyadh, New Delhi, dan lain-lain.

Kalau perlu, ahli Fengsui dikumpulkan untuk mencari tempat yang cocok untuk menjadi ibukota negara yang baru (He...he...he...kalau yang ini aku tidak tahu apakah aku bercanda atau tidak .......!).

Sering kita menyalahkan penjajah, karena itu yang paling mudah untuk disalahkan. Aku malah sering menyebutkan, bahwa kita tidak pernah berjaya, karena kita salah dalam memilih penjajah. Karena kalau kita “memilih” Inggris sebagai penjajah, yang merupakan negara penjajah yang kaya, yang level Maslow-nya adalah 5, bukan 2 atau 3 seperti Belanda, bekas jajahannya hampir semuanya mewarisi kejayaan Inggris. Ingat, bahwa hampir seluruh jajahan dari negara-negara penjajah yang level Maslow-nya rendah seperti Belanda, Portugal, Belgia, dan Spanyol, ternyata nasibnya sama seperti kita. Jika dijajah Inggris, mereka diberi kemerdekaan (kecuali India dan Pakistan) dengan cuma-cuma, dan tidak perlu susah-susah merebut kemerdekaan seperti Indonesia. Contohnya yang paling dekat dengan kita adalah Malaysia, Singapura, Australia, dan Selandia Baru. Mereka kini makmur. Saya sering berpikir, kenapa, ya, dulu Raffles harus hengkang dari Indonesia? malah meninggalkan Bengkulu dan membangun Tamasek, yang kemudian menjadi Singapura? Kalau kita memilih Inggris sebagai penjajah, pastilah lain ceritanya. Masalahnya, secara klasik dapat dikatakan, bahwa kita tidak berdaya dalam memilih penjajah, karena penjajahlah yang memilih kita.

Sering pula kita (baca: para pemimpin politik atau politisi, bukan rakyat kecil), menyalahkan Soeharto atau Orde Baru. Para pemimpin yang jumlahnya jauh lebih kecil dari yang dipimpin itu selalu menyalahkan Soeharto (seperti yang sering penulis lakukan dulu), sementara rakyat kecil yang jumlahnya jauh lebih banyak, banyak yang memimpikan kembali ke era Soeharto, karena dulu hidupnya jauh lebih baik daripada di Zaman Reformasi ini. Ini semua terlepas dari kasus-kasus HAM di zaman Orde Baru yang ada. Harga-harga lebih terjangkau, dan sebagainya. Sebagian besar businessman juga banyak yang menyimpan pendapat dalam hati, bahwa dalam berbisnis, dulu lebih mudah.

Menurutku, sebaiknya kita jangan menyalahkan siapapun, kalau perlu kita salahkan diri kita sendiri yang belum juga mampu berbuat banyak untuk keluar dari situasi yang tidak menguntungkan saat ini. Menyalahkan orang lain atau pihak lain, itu sebenarnya menyembunyikan ketidakmampuan kita, atau menunjukkan bahwa kita goblog!

Penulis merasa heran ketika ada seorang pemimpin yang mengatakan, setelah menyikapi korupsi yang semakin marak di era otonomi daerah saat ini, dengan mengatakan : “Biarlah uang rakyat dikorupsi oleh orang-orang kecil di daerah, karena paling-paling duitnya untuk kawin lagi, sementara jika dikorupsi orang-orang pusat seperti zaman Orde Baru dulu, duitnya dilarikan keluar negeri.” Menurut saya, yang namanya korupsi itu, adalah biang keterpurukan bangsa. Apakah dilakukan oleh orang-orang dari pusat di era Orde Baru, maupun oleh orang-orang daerah di Orde Reformasi ini. Kebetulan pemimpin yang berkata seperti itu domisilinya ada di Jakarta, yang mungkin telah memberinya polusi berupa masalah kepadanya. Jakarta, rasanya telah menjadi mata air bagi keterpurukan bangsa, sehingga muara kejayaan masih jauh dari jangkauan.

Meskipun untuk saat ini belum terbersit secuilpun keinginan, namun menurut penulis, sudah saatnya kita merencanakan perpindahan ibukota kita ke tempat lain, untuk memisahkan ibukota politik dengan ibukota bisnis. Seperti halnya negara-negara lain yang telah menjadi maju karena telah melakukan pemisahan fungsi ibukota. Apakah itu ibukota negara maupun ibukota propinsi. Supaya pemimpin-peminpin negara dapat berpikir tenang dan bijak, tidak terkontaminasi dan terkooptasi oleh adanya hingar bingar kota, supaya kolusi antara pejabat negara dan pelaku bisnis tidak banyak terjadi. Meskipun semuanya itu tidak menjamin akan menyelesaikan masalah bangsa, karena semua terletak pada manusianya. Apalagi sistemnya masih carut marut seperti sekarang ini. Sekurang-kurangnya dapat mengurangi masalah. Karena apapun yang dilakukan saat ini, seperti misalnya dengan membuat jalur busway, dengan mengobrak PKL, dan lain-lain, hanya akan semakin menambah beban kota, karena diakui atau tidak, daya tampung kota tetap, sementara manusia, fasilitas dan aktifitasnya semakin bertambah besar. Ini yang disebut social bubble. Seperti halnya economical bubble, maka letusannya akan berdampak sangat besar pada hidup, penghidupan dan kehidupan. Social bubble akan cenderung menjadi political bubble.

Ingat bahwa di era reformasi saat ini, politik telah menjelma menjadi panglima lagi, sementara keadaan dimana era ekonomi menjadi panglima, nampaknya semakin manjauh. Terus terang, penulis saat ini sangat mendambakan, agar sosial atau lebih tepatnya kesejahteraan rakyat atau kesejahteraan bangsa-lah yang menjadi panglima, sehingga politik dan ekonomi dapat menjadi hambanya! Semoga keinginan penulis ini tidak hanya menjadi harapan yang ada di awang-awang, yang sewaktu-waktu dapat hilang tersaput atau terbawa awan!

(Tamat)

DARI MANA ASALMU?

RESPONSE ATAS EMAIL DARI IBU DEBORA CHANG :

(Jeritan hati yang menyentuh, yang diturunkan dari milis indokarlmay@yahoogroups.com)

DARI MANA ASALMU

Thursday, March 20, 2008 9:38 PM
From: "Debora Chang" <changdebora@ gmail.com>

Add sender to Contacts
To: "Milis - indokarlmay" <indokarlmay@ yahoogroups. com>

Dari Mana Asalmu?
============ ===


Sudah lama aku ingin menuangkan pikiranku tentang topik ini. Malah aku sudah sempat memulainya, sudah nyaris mencapai 500 kata, tapi moodku tiba-tiba hilang begitu saja. Maka jadilah tulisan itu konsep menggantung yang kutahu tak akan pernah terselesaikan.
Tapi hari Minggu, 24 Februari 2008, ada beberapa anggota PKMI yang masih saja bertahan di ruang pameran Bentara Budaya Jakarta walaupun acara kumpul-kumpul dan putar filmnya sudah usai, termasuk diriku, menunggu jam pameran berakhir dengan melihat-lihat materi pameran dan berbincang-bincang ringan.

Saat itulah, Koh Teje the one and only sempat melontarkan pertanyaan biasa yang hampir selalu diajukan oleh orang-orang yang baru pertama kali bertemu muka, "Aslinya dari mana?" Saat itu juga, dalam kebingungan sesaat ingin menjawab apa, tekad untuk menuntaskan tulisan tentang topik ini berkobar lagi.

Dari Mana Asalku?

Seandainya pertanyaan ini dilontarkan oleh orang asing, pasti bisa kujawab dengan mudah dan singkat, "Dari Indonesia." Seandainya juga kemudian diteruskan dengan pertanyaan yang lebih mendetil: dari kota mana?, dengan mantap akan kujawab, "Jakarta."

Tetapi, menghadapi pertanyaan dari rekan senegara, aku selalu bingung harus menjawab apa. Saat mood sedang bagus, biasanya aku menjawab, "Keliling-keliling" lalu disambung cerita ringkas perpindahanku dari kota ke kota, tergantung reaksi si penanya atas jawaban keliling-keliling itu.

Manakala sedang tidak ingin berpanjang lebar, aku akan menjawab, "Tidak asli mana-mana," atau, "Indonesia," dan pernah juga menjawab keliling-keliling tanpa penjelasan apa-apa. Walau jawaban-jawabanku ini sering memicu reaksi negatif, aku tidak pernah bisa memaksa diri untuk menyebut satu kota tertentu sebagai kota asalku.

Sebab, kalau aku menyebut Jakarta sebagai jawaban atas pertanyaan aslinya dari mana, artinya secara tak langsung aku mengklaim Jakarta sebagai kota kelahiran, tempatku dibesarkan, kota yang membentuk karakter diriku. Dan aku tidak bisa berbuat begitu karena aku tidak bisa mengatakan kebohongan.

Jadi sejujurnya, menurut kata hatiku, Indonesia adalah jawaban yang paling pas, dan ini sering kutekankan sebagai kesimpulan setelah menceritakan keliling-kelilingku. Lahir di Pontianak, umur dua tahun pindah ke Salatiga, sepuluh tahun kemudian pindah ke Tangerang, lulus SMA pindah ke Jakarta, sempat ke Surabaya dua tahun lamanya sebelum balik lagi ke Jakarta, dan sekarang di Bekasi (dan punya rencana untuk menjadi warga Bogor, bila Tuhan berkenan).

Ada seorang kenalan yang bingung atas kesulitanku menjawab pertanyaan macam ini. Dia juga termasuk orang yang beberapa kali berpindah kota, walau seberapa sering aku tak ingat lagi, tapi bisa dengan enteng menyebut Cianjur sebagai kota asalnya karena di kota itulah orangtuanya menetap sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang dan tidak ada rencana untuk pindah lagi.

Kalau aku menerapkan cara seperti itu, maka jawabanku seharusnya adalah Tangerang. Tapi sungguh mati aku tidak bisa berbuat begitu. Bagaimanapun juga, aku tidak mau disebut sebagai orang Tangerang. Pernah tinggal di Tangerang dan orangtua ada di Tangerang, oke, itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Tapi bagiku, mengaku sebagai orang dari daerah tertentu, itu artinya mengaku memiliki karakter dan sifat-sifat yang menjadi ciri khas daerah itu. Penyebutan suatu kota sebagai kota asal, itu sama dengan mengindentikkan diri dengan kota itu.

Keterkaitan Budaya Setempat dengan Karakter Masyarakat. Orang sering bilang, dan aku juga sepaham, bahwa kita tidak boleh menyamaratakan orang menurut latar belakangnya, karena setiap orang itu unik. Tapi mau mengakuinya ataupun tidak, ada keterkaitan khusus antara suatu wilayah dengan masyarakat yang mendiaminya. Malah sering kali keterkaitan itu bukan hanya dalam bentuk budaya, tapi juga mencakup ciri-ciri fisiknya.

Masyarakat pesisir, contohnya, identik dengan masyarakat yang terbuka dan mudah beradaptasi dengan beraneka budaya. Dan masyarakat pedalaman, identik dengan orang yang menyukai keteraturan dan agak sulit menerima perubahan. Setiap daerah juga punya nilai-nilai kesopanannya sendiri, dan kalau orang tumbuh besar di sana, aturan-aturan itu disadari ataupun tidak akan melekat erat dalam dirinya. Contoh paling jelas tentang betapa berbedanya norma kesopanan adalah dalam soal makan.

Masyarakat Dayak sangat menghargai tamu yang melahap tandas makanan porsi besar yang dihidangkan, kalau perlu sampai bertahak. Sebaliknya, bagi masyarakat Jawa, orang yang menghabiskan makanan di piringnya dianggap rakus, dan bertahak adalah kelakuan yang sangat tidak sopan.

Kondisi alam termasuk salah satu unsur pembentuk karakter masyarakat. Orang-orang Cina yang merantau meninggalkan negeri asalnya karena kemiskinan, biasanya jadi sangat menghargai setiap remah makanan yang dimilikinya, dan itu menjadi sikap hidupnya. Nenek seorang mantan rekan kerja, selalu menangis tanpa suara kalau melihat cucunya tidak menghabiskan nasi di piringnya sampai butir terakhir. Sebab setiap kali melihat makanan yang terbuang, dia selalu teringat akan masa-masa sulit yang dialaminya di negeri leluhur, saat kulit ubi pun teramat berharga, kulit kesemek dijadikan penganan, saat satu-satunya teman makan semangkuk kecil bubur polos encer hanyalah sepotong kecil lobak asin kering yang dihisap-hisap sampai hilang rasa.

Karena itu masyarakat Cina perantauan identik dengan orang-orang tahan banting berdaya juang tinggi yang superhemat. Dan selewat beberapa generasi, keturunan orang-orang perantauan itu pasti mengembangkan budaya yang berbeda, karena mengalami asimilasi dengan budaya setempat dan hidup di kondisi alam yang berbeda dengan para pendahulunya.
Singkatnya, setiap individu, selain memiliki karakter pribadi, biasanya membawa-bawa karakter masyarakat yang membentuknya. Itulah sebabnya tak mungkin bagiku menyebut diri sebagai orang Tangerang. Sebab, maaf saja, Tangerang yang kukenal saat pertama kali menginjakkan kaki dua belas tahunku di sana, sudah menorehkan luka yang dalam di hatiku.

Aku Orang Indonesia.

Aku lahir di Pontianak, tapi tak bisa menyebut diri orang Pontianak karena hanya menghabiskan setahun lebih pertamaku di sana, jadi tidak sempat menyerap karakter dan budaya Pontianak. Walau orangtuaku sampai sekaranmasih merasa sebagai orang Pontianak karena lahir dan dewasa di sana, mereka tidak sepenuhnya menanamkan budaya Pontianak pada diriku, terutama karena selama sepuluh tahun kami di Salatiga, Papa lebih banyak berada di Tangerang, mengunjungi Salatiga sebulan sekali atau dua kali, aku tidak begitu ingat. Juga karena kami memeluk agama Kristen, sehingga tidak lagi mengikuti tradisi Cina dengan upacara-upacara dan perayaaan-perayaann ya yang kental di kalangan Cina Pontianak.

Aku tidak punya logat Pontianak, tidak bisa bahasa yang umum dipakai di Pontianak yakni dialek Khek maupun Tiociu, tidak punya kebiasaan merumpikan saudara dan kenalan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya seperti yang dikeluhkan teman-teman "sekampung", juga tidak matre seperti anggapan umum terhadap perempuan-perempuan PBB (Pontianak Bangka Belitung). Satu-satunya hal Pontianak dalam diriku adalah makanannya. Aku menyukai beberapa masakan Pontianak mamaku.

Kari ayam, chaikue (atau choipan, sebutan terkenalnya, yang kalau di Pontianaknya sendiri beraneka ragam, ada yang isi bangkuang, isi kucai, isi talas, semuanya enak… nyam…), asinan pepaya mengkal, udang atau cumi bumbu kuning, rebung masak ebi, teman makan buah berupa gula pasir dicampur kecap asin, es lidah buaya dan jengkol rebus dicolek unti kelapa muda masak gula pasir (tapi yang sudah puluhan tahun tidak pernah dibikin lagi), cah pakis, batang kangkung cah jahe, ikan masak tauco, sup ikan dengan daun selasih, waduuhh, daftarnya bisa panjang banget, tapi aku tak tahan untuk tidak menyebut kolak campur sari ubi-talas-jagung- pisang, boleh juga ditambah kolang-kaling dan singkong.

Masa sepuluh tahunku di Salatiga, dari umur dua tahun sampai selesai kelas 5 SD, tidak menyisakan kemampuan berbahasa Jawa pada diriku. Memahami pembicaraan dan bacaan ringan aku masih bisa, tapi jangan suruh aku bicara, pasti langsung gelagapan dan mati kutu, otak buntu. Jadi sungguh mustahil menyebut diri sebagai orang Salatiga. Orang Salatiga kok tak bisa omong Jawa?

Hal Salatiga dalam diriku adalah, aku terbiasa untuk tidak membeda-bedakan ras dan suku bangsa. Meskipun bacaan macam Karl May berpengaruh besar, perlakuan yang kita terima semasa kanak-kanak berpengaruh jauh lebih besar lagi. Di Salatiga, aku selalu merupakan golongan minoritas di mana pun aku berada—lingkungan rumah, sekolah, gereja; satu-satunya atau salah satu dardua anak ras Cina di kelas atau bahkan sekolah, dan satu-satunya atau salah
satu dari dua keluarga Cina di kampung (bisa ada atau-atau itu karena kami pindah rumah dua kali, dan aku pindah sekolah satu kali).

Tetapi sepanjang ingatanku, tak sekali pun aku diperlakukan secara berbeda karena perbedaan ras itu. Aku tak pernah merasa menjadi pusat perhatian, dipandang secara sinis, ataupun benar-benar menyadari bahwa penampilan fisikku lain dari yang lain. Perbedaan yang kusadari pada diriku adalah, aku anak yang gemar membaca, tidak terlalu suka bermain, payah banget dalam hal olahraga, menggambar, dan mengarang, tidak pernah mencari teman; tidak seperti anak-anak lain.

Tangerang, adalah guncangan budaya superhebat. Di sekolah, ada lebih dari 4 anak Cina di kelasku saja. Di kampung, memang hanya ada dua keluarga Cina termasuk kami di lingkungan RT, tapi dalam kawasan RW apalagi kelurahan, ada keluarga-keluarga Cina lainnya. Tetapi jumlah yang lebih banyak ini sama sekali tidak membuatku merasa lebih sama dengan yang lain. Justru sebaliknya. Di sinilah pertama kalinya aku diteriaki "Cina!" dan "Babi!" oleh anak-anak di jalan yang kulewati dari rumah ke sekolah atau ke warung, walau tidak pernah dilakukan oleh anak-anak tetangga dekat—mereka sih baik-baik, main dengan adik-adikku dan sebagainya.

Masih banyak lagi sikap bermusuhan yang kami hadapi, termasuk menjadi sasaran utama pencurian walau kami bukan orang berada, hanya keluarga menengah ke bawah biasa yang mendapat berkat secukupnya dari Yang Mahakuasa sehingga tidak pernah sampai berkekurangan dan tidak pernah merasakan kelaparan.

Namun yang paling membuatku tidak bisa menerima Tangerang sebagai tempat asalku adalah, aku tidak bisa menerima nilai-nilai yang berlaku di sana (aku tak tahu apakah nilai-nilai itu hanya berlaku di sekitar tempat tinggalku ataukah memang berlaku umum di Tangerang, atau apakah itu adalah norma zaman dulu dan sekarang sudah berubah; aku hanya sudah terlanjur menggeneralisasinya , maaf kalau salah).

Kalau kita sedang berjalan-jalan di kebun orang, lalu menemukan kelapa jatuh atau apa pun yang jatuh dari pohon, maka kelapa itu adalah milik kita, karena kitalah yang menemukannya. Kalau kita menanam pohon, maka pohon dan buahnya adalah milik kita, tak peduli di mana kita menanamnya—di tanah milik orang lain sekalipun; dan kalau si pemilik tanah menjual tanahnya, si pemilik baru harus membayar harga pohon itu kepada kita, tak peduli dia menginginkan pohon itu atau tidak.

Bagiku, ini adalah aturan yang sangat tidak menghargai orang lain, yang mau menang sendiri. Dan menurutku aku sama sekali bukan orang yang seperti itu. Lalu teriakan hinaan yang dilontarkan anak-anak itu, dari mana mereka mempelajarinya? Kemungkinan besar adalah dari kebencian para orangtua mereka yang terucap dalam percakapan sehari-hari di rumah, karena disadari atau tidak, biasanya anak-anak menyerap, meniru, dan mewujudkan sikap dan pandangan orangtuanya tanpa disaring.

Tentu saja aku tidak benar-benar terbebas dari pengaruh Tangerang. Yang terutama adalah kebiasaan mengganti istilah orang pertama tunggal menjadi jamak: aku menjadi kita, dan orang kedua tunggal menjadi orang ketiga tunggal: kamu menjadi dia. Jadi terkadang, dalam percakapan sehari-hari, kalau aku bilang "kita", itu bisa saja artinya "aku", karena "kita" terkesan lebih memperhalus keakuan, walau sering jadi kurang pas bagi yangmendengarnya. Juga ada ungkapan yang sering terucap dalam percakapan dengan orang rumah: "mbe?" Artinya "masak iya?", membacanya seperti menirukan suara kambing tapi pendek saja dan tanpa huruf [k], dengan nada meragukan.

Maka begitu pindah ke Jakarta, yang merupakan melting pot (apa ya bahasa Indonesianya? kuali peleburan?) suku, ras, budaya, bangsa, bahasa—Indonesia dalam bentuk mini karena semua sukunya ada di sana, lengkap dengan perwakilan berbagai bangsa asingnya, hingga boleh dibilang tidak punya ciri khas karena masyarakat Betawinya tidak terlalu terasa kemayoritasannya, aku merasa kota ini lebih mewakili karakter diriku.

Tetap saja, aku tidak bisa mengiyakan kalau orang bertanya apakah aku asli Jakarta karena aku pindah ke sana saat sudah dewasa, sudah lulus SMA, saat orang sudah tidak terlalu banyak lagi terpengaruh oleh lingkungannya, walau proses pembelajaran masih terus berlangsung seumur hidup dan pengalaman tak akan pernah berhenti menempa seseorang.

Ada hal lain lagi yang menambah rasa sebagai orang Indonesia daripada sebagai orang kota tertentu. Aku selalu bersekolah di sekolah negeri, menjalani pendidikan formal murni ala Indonesia, tidak seperti kebanyakan anak Cina yang cenderung menempuh pendidikan di sekolah swasta (dan dimulai dari diriku, semua adikku dari SD sampai SMA-nya juga masuk sekolah negeri).

Sayangnya, jawaban singkat "asli Indonesia" atas pertanyaan di judul tulisan ini selalu dianggap main-main, sehingga orang sering merasa perlu mempertegas pertanyaannya dengan menanyakan dari kota mana asalku, dan kebingunganku pun tak akan pernah berakhir. Mungkin aku perlu membawa-bawa tulisan ini ke mana-mana untuk diberikan alih-alih menjawab pertanyaan.

Haha..

Juga tak tertutup kemungkinan, bagi kebanyakan orang, pertanyaan dari mana asalmu itu hanyalah basa-basi pergaulan; aku saja yang terlalu serius menyikapinya, jadi seharusnya aku bisa dengan enteng mencomot salah satu kota untuk sekadar "membungkam" mulut si penanya. Tapi begitulah diriku, tak bisa mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan kata hati.

Jadi, nikmati saja!

debora**


Re: [indokarlmay] OOT: Dari Mana Asalmu? (panjang: 2000 kata)

Monday, March 24, 2008 9:12 PM

From:

Add sender to Contacts

To: indokarlmay@yahoogroups.com, mailinglistamasby@yahoogroups.com, ama-dki@yahoogroups.com, quality-network@yahoogroups.com

Ibu Debora,

Berbahagialah Ibu Debora, yang telah melanglang Indonesia dalam bauran sejumlah budaya Indonesia, sehingga kaya dengan nuansa keIndonesiaan yang lengkap yang diperoleh dari perjalanan hidup secara praktis dengan melibatkan seluruh indra secara langsung (bukan hanya teoritis), yang telah membentuk kearifan yang hakiki, membentuk jati diri Ibu Debora, yang secara antropologis (sedikit atau banyak), menjadi lebih Indonesia. Lebih lengkap daripada hanya sekedar menjadi Pontianak, Salatiga, Surabaya, Bekasi, Jakarta, atau bahkan menjadi China (apakah itu yang berbahasa Khek/Hakka, Cantonese, Manadarin atau Hokkian). Saya dapat menyampaikan hal ini karena pengalaman hidup saya mirip dengan Ibu.

Saya dilahirkan sebagai orang Jawa Mataraman (untuk membedakannya dengan Jawa Koek, Jawa Kulonan, Jawa Arek, Jawa Osing, Jawa Tengger, Jawa Samin, dan Jawa-Jawa yang lain), namun saya cukup mengenal budaya-budaya Dayak Benuaq, Putuk, Kenyah, Tunjung. Juga Budaya Bugis dan Madura, Budaya Bali, Budaya Arek, Banjar, Sunda, Betawi, Lampung, dan lain-lain. Bahkan saya beruntung mengenal budaya-budaya Basque, Irish, Scottish, English, Bavarian, Filipino, Sicilian, dan Mediterranean.

Beruntung dan bersyukurlah Ibu Debora yang telah menempa diri dengan melanglang Nusantara dalam dekapan kebahagiaan (entah kebahagiaan absolut atau relatif), bukan penderitaan hidup seperti halnya orang-orang Irish yang terpaksa hengkang dari tanah leluhurnya Ireland, beberapa abad yang lalu, karena kelaparan akibat gagalnya panen kentang atau serangan wabah penyakit, menuju tanah harapan baru Amerika Serikat. Banyak di antara mereka yang kemudian mati ketika baru mulai beranjak dari tanah kelahiran, mati dalam perjalanan di tengah ganasnya ombak Samudera Atlantik, atau mati setelah tiba di tanah harapan.

Survive, itulah satu-satunya keinginan mereka. Tak ada harta yang dibawa, tak tahu apakah ada tempat berlindung atau tempat untuk hidup di tanah harapan baru, apalagi tanpa ada keyakinan untuk dapat sampai ke tanah harapan dengan selamat. Lebih baik meninggalkan neraka (tanah kelahiran) yang sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk mendapatkan kehidupan (karena selalu memberi derita berupa kematian), menuju tanah harapan baru yang masih mungkin untuk menjadi gantungan hidup. Mereka berangkat dari minus (di bawah nol), yang kalau dipadankan dalam perspektif Maslow, mereka adalah orang-orang yang masih berada di bawah level 1 (di bawah level pemenuhan kebutuhan basic, physiological, survival). Kalau tokh kemudian setelah dua abad di antara mereka ada yang berjaya setelah dengan susah payah meniti seluruh level dari hierarki Maslow, sehingga merajai jabatan Presiden Amerika Serikat, seperti Kennedy, Reagan, Clinton, Bush, Nixon, dan lain-lain, yang semuanya merupakan clan atau fam Irish, adalah karena kepiawaian mereka dalam meniti hidup yang berbasis pada semangat mereka untuk mencapai tingkat yang benar-benar excellence. Juga kalau kemudian etnis mereka di Amerika Serikat saat ini jumlahnya sepuluh kali lebih banyak daripada yang tinggal di tanah leluhur Ireland, adalah karena semangat mereka untuk tetap survive, dan tekad mereka untuk selalu unggul dalam bersaing. Semangat "Irish Diaspora".
(Catatan : Berbeda dengan orang English yang merupakan etnis mapan dan feodal, etnis Irish dan Scottish adalah etnis yang paling menderita karena deraan hidup yang berkepanjangan di tanah Britania Raya pada zaman tersebut).

Tulisan Ibu Debora menginspirasi saya pada beberapa pemikiran yang telah lama menghuni benak saya hampir sepuluh tahun ini.

Adapun isi benak saya tersebut adalah : "Kenapa, ya, Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa bisa maju (Meskipun saat ini sedang berjuang melawan resesi karena economic bubble). Kemudian akhir-akhir ini juga disusul China. Sementara Indonesia, ya...begini, begini saja! Malah semakin terdegradasi dalam percaturan hidup dunia." Jawabnya adalah pada "sense of competitiveness" , ”soul of competitiveness” atau "spirit of competitiveness"

Saya mempunyai hipotesa tentang hal tersebut setelah mengamati cukup lama, dalam hal ini setelah mengkajinya dalam perspektif antropologi ekonomi atau antropologi bisnis. Atau tepatnya : "Keunggulan Bersaing dalam Perspektif Antropologi Ekonomi/Bisnis. " Saya sudah mencoba mengkajinya secara ilmu teknik, namun tidak ketemu. Baru setelah mencoba mengkaji secara antropologis khususnya antropologi ekonomi/bisnis, kok agak nyambung.

Saya sering berpikir (sejak lima belas tahun lalu), apakah budaya dengan slogan-slogan, pemeo-pemeo atau ungkapan-ungkapan : "alon-alon waton kelakon", "nrimo ing pandum", "mangan ora mangan kumpul","tongkat kayu jadi tanaman", "bukan lautan hanya kolam susu", "negara yang menghampar bak zamrud khatulistiwa" , dan lain-lain itulah yang membuat Indonesia terjebak dalam kondisi yang sulit maju? (Sebagai orang Jawa sekaligus Indonesia, saya selalu berada dalam pergulatan intens, karena ungkapan-ungkapan tersebut adalah warisan leluhur yang harus selalu dilestarikan. Namun apakah masih cocok dan relevan untuk saat ini? Apakah perlu transformasi tanpa mengubah nilai-nilainya? Transformasi yang menghasilkan nilai kemampuan bersaing yang tinggi bagi Indonesia tanpa harus terjebak pada ketidakberdayaan total seperti yang terjadi saat ini? Terpuruk dan terpuruk!)Saya yakin itu bisa, karena budaya Irish juga memiliki ungkapan keramahtamahan yang mirip dengan ungkapan-ungkapan Jawa di atas : "Cead mile failte", namun tokh mereka saat ini dapat menjadi etnis dengan kemampuan bersaing yang tinggi setelah bertransformasi dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai warisan leluhur.

Juga cerita rakyat Irish seperti Gulliver sebagai Liliput, atau Gulliver sebagai Raksasa yang kita kenal ketika kita kecil dulu ternyata mirip dengan cerita-cerita rakyat kita, cerita-cerita yang nampaknya meninabobokan kita.

Perhatikan juga musik klasik tradisional Indonesia yang lebih sering bergaya langgam yang mendayu-dayu, meski ada yang stambul yang lebih dinamis. Apakah semuanya itu ada hubungannya dengan kemampuan bersaing? Nampaknya memang tidak ada korelasinya, namun....ya itulah, perlu transformasi dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai yang dikandungnya.

Semoga tulisan Ibu dapat mengakselerasi penulisan saya yang kini masih setengah jadi, yang saat ini terbengkelai dan belum tahu kapan selesainya (atau ada yang mau membantu?).

Oh, ya...ada satu hal yang mirip antara budaya China dan Irish, yaitu :

1. Etnis China dan Irish sama-sama menyebar ke seluruh dunia.
2. Kalau etnis China mempunyai Tahun Baru Imlek, etnis Irish memiliki St Patrick’s Day, yang keduanya dirayakan kedua etnis tersebut secara besar-besaran di seluruh dunia.

Terima kasih dan salam.

Ratmaya Urip

ooOoo